Anda di halaman 1dari 5

AFRIKA PRANCIS

Tunisi Aljazair, Maroko, gurun Sahara sampai Teluk Guinea, Gabon, Congo Tengah,
Ubangi Shari-Chad, pantai Teluk Aden, Somali Prancis, Madagascar, Reunion dan Comoro
merupakan koloni Prancis sebelum Perang Dunia I. Sebagian besar Togo dan Kamerun
merupakan wilayah yang diserahkan Jerman kepada Prancis setelah Perang Dunia I berakhir.
Jika dilihat dari Paris yang merupakan ibukota Prancis, maka daerah vital milik Prancis dapat
dilihat dalam pantauannya. Perkembangan penduduk Prancis sangat lambat daripada Jerman.
Prancis harus mengimbangi jumlah tenaga manusia untuk mewujudkan cita-cita revanche.
Menurut Octave Homberg (politikus), untuk mengimbanginya, Prancis perlu memakai tenaga
manusia dari koloninya di Afrika. Karena Krisis Fashoda tahun 1898, Prancis tidak dapat
memperluas wilayah jajahannya dari Dakar ke Djibouti.

Pulau Madagaskar berhasil dikuasai Prancis pada 1896. Kehidupan penduduknya


sebagian besar dari hasil pertanian, seperti kopi, tebu, padi, panili, dan cengkeh, yang
nantinya sebagian besar akan di ekspor. Selanjutnya ada Pulau Reunion. Awalnya pulau ini
ditemukan oleh orang Portugis pada 1528 dan sejak abad ke-17 menjadi milik Prancis.
Penghasilan utamanya adalah tebu. Reunion dijadikan Departemen pada tahun 1946 dan
dipimpin seorang prefect yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri Prancis. Lalu ada Pulau
Comoro yang awalnya diperintah bersama Madagaskar pada 1912-1946. Mayoritas mereka
adalah orang Arab beragama Islam. High Commissioner memegang kekuasaan dan
bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan pulau di bawah komando Prancis setelah
Pulau Comoro ini berstatus daerah otonomi.

Prancis menjalankan politik kolonial yaitu asimilasi yang mana orang Afrika bebas
dijadikan orang Prancis. Tujuannya adalah mengintegrasi daerah seberang lautan Prancis dan
mengasimilasi penduduk koloni dalam kerangka Prancis. Untuk mencapai tujuan itu, Prancis
tidak memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Afrika kepada koloni. Pegawai
pemerintahan menentukan politik berdasarkan gagasan meropolitan. Beberapa orang dari
koloni ikut mengambil bagian. Untuk itu, diperlukan kelompok berpendidikan di tiap koloni
yang diberikan pendidikan yang baik namun terbatas, keadaan yang tenang dan
menyelenggarakan pekerjaan umun serta dimasukkan kekuatan ekonomi baru. Namun hasil
pada tiap koloni tidak merata.
Perkembangan industri yang tidak disokong dan peraturan bea cukai mengakibatkan
koloni terkena sistem monopoli. Prancis terbagi menjadi 2 pemerintahan yaitu Vichy (bekerja
sama dengan Jerman) dan De Gaulle (bekerja sama dengan Inggris) ketika Perang Dunia II
berjalan karena Prancis diduduki oleh Jerman. Kekuasaan Vichy diusir dari Afrika. Untuk
membicarakan masalah koloni dan dengan tujuan membentuk Parlemen Koloni baru di Paris
dan mengadakan pembaharuan di bidang ekonomi dan sosial, maka pemimpin Afrika Tengah
(Eboue) yang memihak De Gaulle mengadakan Konferensi di Brazzaville (1944). Namun,
cita-cita pembaharuan tidak boleh melanggar prinsip asimilasi.

Hasil keputusan Konferensi Brazzaville, yaitu ada dua, mengenai masalah kebijakan
organisasi politik dan masalah – masalah social, untuk organisasi politik dibagi lagi menjadi
dua, yakni Organisasi Politik Prancis yaitu kebijakannya terdiri dari koloni diharapkan
mempunyai wakil di dalam Assembly dan bertugas membuat rencana konstitusi bagi Prancis.
adanya perwakilan koloni dalam pemerintahan pusat di Prancis, tidak adanya proyek
pembangunan yang ditujukan hanya untuk memperbaiki sistem perwakilan, Perlu adanya
batas-batas kekuasaan antara sentral dan koloni, dan penguasa legislatif harus menyesuaikan
dengan keputusan kekuasaan sentral dan juga dari berbagai daerah. Sedangkan kebijakan
Organisasi Politik di Koloni yaitu Councils of subdivision dan Regional Councils (bersifat
konsultatif) yang anggotanya merupakan bangsawan bumiputra dan jika memungkinkan
dilengkapi dengan lembaga tradisional yang ada dan Dewan-dewan Perwakilan ini apabila
menyangkut kekuasaan legislatif dan eksekutif akan bersikap konsultatif. Anggotanya adalah
sebagian orang Eropa dan sebagian bumiputra. Kemudian ada masalah – masalah social
yakni politik kolonial sebaiknya untuk memajukan bumiputra, kemajuan Afrika dapat dicapai
dengan bekerja sama dengan orang-orang non-Afrika, perdagangan harus beralih ke tangan
bumiputra, diperlukan latihan yang memadai agar pendidikan kalangan bumiputra dapat
terarah untuk memenuhi kebutuhan kantor umum, kebutuhan tenaga administrasi dalam
jumlah besar.

Referendum De Gaulle diadakan pada 1958 sebagai akibat dari adanya Community
yang mencakup bangsa Prancis dan penduduk di seberang lautan yang akan mempunyai
pemerintahan sendiri, namun politik luar negeri, pertahanan, sistem keuangan, politik
ekonomi dan finansial, penggunaan bahan mentah, pengawasan pengadilan, pendidikan tinggi
dan komunikasi jarak jauh akan menjadi milik bersama dan berada di tangan alat-alat
Community Presiden, Dewan Eksekutif, Senat Pengadilan Tinggi. Jika daerah di seberang
lautan menerima, berarti masuk menjadi anggota Community, sedangkan jika menolak akan
terjadi pemutusan hubungan dengan bekas negara induk. Senegal yang disusul Pantai Gading
sangat menerima politik “asimilasi” Prancis. Oleh karena itu, Senegal dan Pantai Gading
berinisiatif untuk perjuangan sosio-politik negerinya setelah Perang Dunia II berakhir.

Segenal merupakan koloni Prancis tertua di Afrika barat. Hubungan pertama


dilakukan melalui pulau Goree dan pulau kecil St. Lois di muara sungai Senegal. Sejak 1916
semua penduduk Afrika yang lahir menjadi warga negara Prancis. Segenal menduduki tingkat
tertinggi dalam Pendidikan karena melahirkan banyak ‘Senegalais” (orang Senegal) yang
berpendidikan. Pada 1920 dan 1925 dilakukan reorganisasi. St.Louis dijadikan ibu kota
sebagai pusat kebudayaan dan Dakar dijadikan basis Angkatan laut untuk memperkuat
ditambah dengan pulau Goree. Pada 1904-1959 Dakar dijadikan ibu kota Federasi Afrika
Barat Prancis. Awalnya Segenel lebih miskin, namun karena perhatian pemerintah Prancis
membuat Segenal maju sangat pesat dari berbagai bidang dan mengalami kesejahteraan.
Lebih lagi ketika Dakar menjadi ibu kota yang banyak mendapatkan bala bantuan dari
Prancis untuk pembangunan Dakar seperti pembangunan Jalan kereta api. Pada 1885 telah
dibuka hubungan keeta api Dakar-St. Louis dan pada 1924 Dakar-Sungai Niger. Banyak pula
pembangunan industri-industri kecil. Di bidang politk pada tahun 1848 Prancis memberikan
kebebasan hak masyarakat Afrika untuk memilih wakil-wakilnya ke National Assembly.
Segenal juga diberi hak untuk mengatur pemerintahan kotapraja. Dengan adanya konferensi
Brazzaville tahun 1944, terjadi perubahan politik kolonial Prancis. Peristiwa ini memberi
kesempatan daerah-daerah di Afrika untuk memiliki wakil-wakil dalam parlemen Prancis.
Dalam sidang Constituent Assembly tahun 1946, pemimpin-pemimpin Afrika menginginkan
agar mendapa persamaan hak warga negara, menghapus buruh paksaan dll. Namun pada
siding permulaan Constituent Assembly menghasilkan konstitusi yang memberi hak kepada
daerah Prancis untuk mengurus masalah mereka sendiri dengan hubungan semi-federak
dengan Prancis, Akan tetapi rencana tersebut ditolak oleh wakil Prancis.

Penolakan itu berakibat besar bagi Afrika Prancis, yang akan membuat banyak reaksi
di masa depan. Pada Oktober 1946 tercapailah pembentukan French Union dimana semua
daerah tergabung dan memiliki wakil di setiap Lembaga legislative Prancis. Dibentuk pula
dewan perwakilan territorial dan regional. Konstitusi 1946 memaksa wakil Afrika terjun ke
dalam politik Prancis dan membuat perubahan-perubahan dalam bidang politik, ekonomi
serta sosial. Namun sistem pemilohan dibagi menjadi dua yaitu untuk warga negara Prancis
dan bukan warga negara. Hal ini mendapat pertentangan dari kaum politis
Afrika.demikianlah keadaan Afrika Barat Prancis yang dihubungkan dengan politik kolonial
Prancis, hanya Segenal yang paling maju.

Di luar Segenal, kegiatan di Bamako (Sudan Prancis) mempunyai arti besar. Pada 1946
terjadi perjuangan oemimoin Afrika namun mengalami kegagalan. Diadakannya deklarasi
dengan adanya kongres di Bamako. Kongres ini memutuskan terbentuknya partai politik
interterritorial yang disebut Rassemblement Democratique African (RDA), partai ini adalah
partai terkuat di Afrika Prancis Hitam. Pada 1910 Prancis membentuk sebuah federasi yang
disebut Afrika Equatorial yang terdiri dari 3 koloni : Gabon, Congo Tengah dan Ubangu
Shari-Chad. 1920 federasi ini menjadi 4 koloni karena Chad menjadi daerah yan berdiri
sendiri. Sampai menjelang perang dunia II antara Afrika Equatorial Prancis dan Congo
banyak persamaannya namun sesudah perang dunia II perkembangan kedua koloni tersebut
berlainan.

Pada 1946 administrasi di Afrika Equatorial Prancis sama dengan daerah-daerah Prancis
lainnya, Afrika Equatorial memegang peran penting dalam usaha mengubah politik kolonial
Prancis di Afrika. Kesetiaan Afrika Equatorial terhadap Prancis merdeka dibawah pimpinan
De Gaulle pada masa perang dunia II. Kemerdekaan itu mengubah pandangan Prancis yang
tadinya merendahkan penduduk Afrika Equatorial menjadi menghargai dan diterima sebagai
warganegara Prancis. Afrika Equatorial juga diberi hak untuk mengirimkan wakil-wakilnya
ke Constituent Assembly. Kondisi Ekonomi dan sosial Afrika Equatorial pada akhir perang
dunia II sangat menyedihkan, penduduk masih bersifat feodal menganggap bahwa orang
eropa masih akan melanjutkan menguasai politik negeru dan para penduduk juga berpendapat
bahwa orang Eropalah yang lebih tau banyak tentang politik, hal ini membuat hanya seorang
bumiputra yang terpilih, yaitu Felix Tehicaya dari Moyen Congo.

Sesudah pelaksanaan politik kolonial di Afrika Barat dan Afrika Equatorial, daerah di pantai
Laut Tengah yaitu Maroko,Tunisia dan Ajazair mempunyai persoalan “Plural Societies’.
Imperium Prancis di Afrika Barat ini yang oleh orang Arab disebut daerah Maghreb (Afrika
Barat) didiami oleh orang-orang Berber namun datang orang Arab dan sekarang
penduduknya terdiri atas dua bangsa tersebut. Pendudukan Prancis terhadap tiga wilayah ini
tidak dapat menghancurkan kesadaran nasional mereka, adanya perang dunia II menimbulkan
bentrokan yang lebih besar antara penduduk bumiputra dan pemerintah Prancis. Menjelang
berakhirnya perang penduduk bumiputra mengetahui bahwa mandate Prancis di Syria dan
Libanon diakhiri dan Liga Arab mulai dibentuk. Faktor tersebut mengakibatkan Gerakan
Nasionalisme yang gigih berdasarlan prinsip Atlantic Character. Mereka ingin bebas dari
kolonial Prancis dan terhindar dari kaum kolonis putih.

Anda mungkin juga menyukai