Anda di halaman 1dari 10

Ensefalopati Akibat Cedera Olahraga

Angeline Prabhu, MD; Bilal Abaid , MD; Sam reen Fathima, MD; Shivani Naik,


MD; Steven Lippmann, MD

Abstrak

Ensefalopati akibat cedera olahraga adalah masalah yang dapat berkembang pada
atlet-atlet yang mengalami trauma kepala. Terdapat peningkatan kecemasan pada
masyarakat umum, terutama pada orang tua dari anak-anak yang menjalani olahraga
dengan kontak fisik. Kondisi neuropsikologis yang paling umum ditemui adalah konkusio
dan ensefalopati traumatika. Konkusio serebri akibat trauma dapat bersifat asimptomatik,
tetapi gejala konkusio yang lebih serius, seperti hilangnya kesadaran, kelainan neurologis,
dan/atau amnesia pasca-traumatika juga dapat terjadi. Konkusio cerebri berulang
menyebabkan patologi otak yang persisten, yang dikenal sebagai ensefalopati traumatika
kronis. Penyakit neurodegeneratif progresif yang bersifat gradual ini juga sering disertai
dengan adanya defisit kognitif dan neurologis, yang dapat menyebabkan gambaran
parkinsonian dan demensia. Studi pencitraan mungkin tidak berkontribusi dalam
mendeteksi perubahan yang indikatif untuk ensefalopati; namun, pencitraan tensor yang
terdifusi, spektroskopi resonansi magnetik, dan pencitraan resonansi magnetik fungsional
dapat mendeteksi perubahan ini. Didapatkan degenerasi neuron progresif dengan protein
tau pada pemeriksaan patologis. Pendekatan preventif, diagnosis dini, dan perawatan yang
tepat merupakan pendekatan yang direkomendasikan untuk kondisi ini.
Pendahuluan

Gangguan otak akibat cedera yang berhubungan dengan olahraga merupakan


masalah epidemic dalam kesehatan masyarakat.[1] Legenda tinju Muhammad Ali yang
tidak terkalahkan dalam masa jayanya di atas ring, mengalami parkinsonisme dan demensia
sekunder akibat trauma kepala berulang yang terjadi selama bertahun-tahun.[2] 

Konkusio cerebri yang terkait dengan olahraga, cedera otak traumatika, dan
ensefalopati traumatika kronis adalah jenis kerusakan sistem saraf pusat (SSP) yang paling
umum ditemui.[3] Sebelumnya, ensefalopati traumatis kronis (CTE) dikenal sebagai punch
drunk syndrome, dementia pugillistika, dan/atau pemburukan psikopatik pugilis.
[ 4 ] Trauma otak ini terjadi pada 10% dari semua patologi kepala dan leher.[5] Lebih dari 1
juta orang Amerika mengalami kerusakan otak traumatika.[4] Sekitar 3 juta kejadian
konksio cerebri terkait olahraga didokumentasikan setiap tahunnya,[6–8] dimana 17% atlet
mengalami CTE. [5] Pemain sepak bola merupakan individu yang paling mungkin
menderita konkusio cerebri, [ 8 ] dan ensefalopati juga ditemukan pada atlet-atlet tinju,
rugby, gulat, hoki, sepak bola, karate, bola basket, terjun payung, atau bola voli.[9]   

Cedera otak sering diklasifikasikan sebagai cedera otak akut atau kronis. Cedera
otak akut terjadi selama benturan terjadi; yang paling umum adalah konkusio cerebri dan
konkusio cerebri yang disertai dengan edema cerebri difus. Cedera otak tunggal dan/atau
cedera otak multipel dapat berkonsekuensi menyebabkan gangguan SSP yang
persisten[ 1 ] Trauma otak telah diakui secara luas dapat menyebabkan CTE. Pelatih,
pelatih atletik, dan dokter berperan penting dalam mengenali atlet yang mengalami
konkusio cerebri. Pengenalan dini, pengobatan, dan penggunaan protokol berperan penting
dapat mengurangi perkembangan trauma kepala akut menjadi CTE. 
 

Patologi

Temuan anatomi dari konkusio cerebri adalah cedera aksonal, inflamasi, dan
kelainan substansia alba.[10,11] Pada CTE, neuropatologi yang terlibat meliputi
diencephalon, corpus mamillaris, thalamus, substansia grisea dan alba cerebri, batang otak,
cavum septum pellucidum, dan dilatasi ventrikel. Hal ini terkait dengan depigmentasi lokus
coeruleus dan substantia nigra .[12,13] Protein p-tau yang ditemukan pada pemeriksaan
mikroskopis, protein yang terhiperfosforilasi yang didapatkan dalam sulkus korteks
serebral, adalah tanda patognomonik untuk CTE.[11] Lesi p-tau diklasifikasikan menjadi
empat tahap; tahap I dan II dikategorikan sebagai lesi ringan, sedangkan tahap III dan IV
mengidentifikasikan kasus yang lebih berat.[3] pertemuan astrositik dan neurit yang
berbentuk spindle biasanya diamati pada seluruh otak. Gliosis, degenerasi neurofibrillar,
dan hilangnya neuron ditemukan pada korteks frontal dan temporal, corpus mamillaris,
hippocampus, subikulum, substantia nigra, nukleus ambiens, thalamus medialis, pars
compacta, dan/atau pars reticulata. [4] Degenerasi neurofibrillaris memiliki patologi yang
berbeda dari patologi tau lainnya, dimana kondisi ini secara ireguler melibatkan permukaan
superfisial lobus frontalis dan temporalis.[14]     

Patogenesis

Kekuatan traumatik akibat cedera kepala tertutup menyebabkan peregangan dan


robeknya akson.[1,7] Percepatan sudut dan linier dan dampak deselerasi dapat
menyebabkan cedera pada otak, yang kemudian dapat menyebabkan konkusio cerebri.
[1,15] Kematian sel saraf juga dapat terjadi sebagai akibat iskemia fokal, gangguan sawar
darah-otak, dan pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti glutamat, selain difusi
mediator inflamasi.[4]  

Patogenesis CTE tidak sepenuhnya dapat dibuktikan; namun, kondisi ini mungkin


disebabkan oleh karena adanya tauopati progresif. Cedera otak rekuren dan deposisi protein
tau dapat menyebabkan presentasi klinis dan patologis CTE. Namun, insidensi
perkembangan cedera ringan dapat menghasilkan manifestasi klinis yang jelas masih harus
didokumentasikan.[1]

Klinis

Cedera ini biasanya disebabkan oleh karena adanya pukulan atau kekuatan langsung
yang menyebabkan akselerasi dan/atau deselerasi kepala. Tingkat keparahan gejala klinis
yang terjadi berbanding lurus dengan waktu, derajat, dan repetisi paparan trauma.
[ 14 ] Banyak orang yang mengalami konkusio cerebri tidak menunjukkan gejala atau
hanya menunjukkan simptomatologi minimal. Sakit kepala dan pusing biasanya juga dapat
ditemukan.[16] Gejala lain yang dapat ditemui termasuk gangguan tidur, kehilangan
memori, kebingungan, disorientasi, penglihatan kabur, dan/atau nyeri kepala yang
persisten. [ 16 ] Pasien-pasien ini layak mendapatkan pemeriksaan lengkap. Terlepas dari
tingkat keparahannya, evaluasi neurologis termasuk tes kognitif harus dilakukan dan dapat
berfungsi sebagai panduan dasar fungsi neurologis di masa mendatang. Pemeriksaan ini
bahkan berlaku untuk kasus yang tidak terlalu parah.   

Manifestasi klinis pasien dengan CTE sering bersifat berbahaya dan dimulai dengan
adanya perubahan kognitif, neurologis, dan rasa nyeri.[12,13,17] CTE dapat memburuk
menjadi demensia.[12,17] Gait propulsive yang tidak stabil, facies bertopeng, pergerakan
motor yang lamban, gangguan bicara, tremor, pusing, dan defisit pendengaran adalah
presentasi klinis yang umum terjadi pada stadium lanjut.[17] Depresi, penyalahgunaan zat,
perubahan kepribadian, dan kecenderungan bunuh diri sering didapatkan pada pasien yang
mengalami ensefalopati akibat cedera kepala.[13]   

Penurunan status klinis sering terjadi dalam tiga tahap.[4] Gambaran psikotik


dan/atau gejala penyakit afektif mencerminkan penurunan status klinis tahap pertama.
[4] Gambaran Parkinsonian mencerminkan penurunan status klinis tahap kedua, dimana
penurunan yang paling menonjol ditemukan pada aspek memori, perilaku sosial, dan status
neurologis.[4] Penurunan fungsi kognitif dengan gambaran demensia dan parkinsonisme
nyata didapatkan pada penurunan status klinik tahap akhir. [5,12 , 14 , 18 ]   

Diagnosa

Diagnosis konkusio cerebri didasarkan pada fitur klinis. Kebanyakan pasien tidak


mengalami kehilangan kesadaran. Konkusio cerebri kurang dapat terdiagnosis akibat
adanya kesalahpahaman dalam mendiagnosa kondisi ini, dimana gejala hilangnya
kesadaran dianggap merupakan gejala utama yang diperlukan. Konkusio cerebri dengan
manifestasi klinis kurang berat tidak memiliki gejala kehilangan kesadaran atau amnesia
post-traumatika, dan pasien sering dapat kembali ke fungsi normalnya dalam jangka waktu
1 hari. Cedera konkusif yang lebih berat dapat menginduksi hilangnya kesadaran,
kemungkinan dapat menyebabkan kelainan neurologis, amnesia post-traumatika, dan
gangguan fungsi klinis neurologis yang lebih lama.

Temuan neuroimaging memiliki hasik yang bervariasi dalam kasus-kasus yang


tidak berkomplikaso, tetapi cedera otak yang lebih parah dapat membuktikan adanya
perdarahan, edema, dan/atau hematoma intrakranial.[16] Pencitraan tensor difusi dapat
mendokumentasikan perubahan yang berkorelasi dengan keparahan konkusio cerebri.
[ 5 ] Kriteria diagnostik mencakup setidaknya satu dari beberapa gejala berikut ini. defisit
neurologis: penurunan kesadaran, kehilangan ingatan transien, konfusio, disorientasi, dan/
atau skor Glasgow Coma Scale bernilai 13-15 pada 30 menit pasca cedera. [ 16 ] Kasus
CTE pada orang yang hidup didokumentasikan dengan menggunakan tracer radioaktif,
yang berikatan dengan protein tau dan dapat divisualisasikan pada tomografi emisi
positron. [ 19 ]   

Atlet dengan CTE sering mengalami beberapa trauma otak rekuren dan memiliki
hasil penilaian SSP yang abnormal. Studi pencitraan seperti tomografi terkomputerisasi dan
pencitraan resonansi magnetik biasanya dapat mengesampingkan gambaran
neuropatologi lainnya . Studi pencitraan tingkat lanjut seperti pencitraan difusi tensor,
spektroskopi resonansi magnetik, dan pencitraan resonansi magnetik fungsional dapat
mengkonfirmasi diagnosis.

Pencegahan

Pencegahan cedera otak traumatis dilakukan oleh tenaga kesehatan


masyarakat. Penting untuk mengurangi pajanan pukulan ke kepala, dan hal ini dapat
dilakukan dengan cara menggunakan peralatan pelindung yang telah direkomendasikan,
[ 4 , 20 ] meskipun manfaat dari penggunaan helm ini belum sepenuhnya dapat dibuktikan.
[20] Kemajuan teknologi dalam mengembangkan perlindungan kepala dan leher yang lebih
maju sedang berlangsung. Bukti menunjukkan bahwa cervical collar juga membantu
mencegah cedera otak akibat trauma kepala yang terkait dengan olahraga. [ 21 ]  Cervical
collar mungkin juga dapat menyebabkan kompresi vena jugularis, dimana bila edema vena
serebral terjadi, penggunaaan cervical collar akan mengurangi energi tumbukan.
[ 21 ] Penggunaan alat pelindung dapat menyebabkan permainan berlngsung lebih agresif
dan secara paradoks dapat meningkatkan jumlah kejadian cedera.[ 22 ]    
Pencegahan kejadian konkusio cerebri dapat mengurangi kejadian CTE.
[ 14 ] Pengenalan konkusio cerebri dini juga membantu dan harus ditingkatkan dengan
menggunakan alat diagnostik konkusio cerebri standar seperti sistem Cantu.
[ 4 , 5 , 14 ] Digunakan secara klinis, bantuan ini dalam penilaian kehilangan kesadaran,
defisit memori pasca-traumatika, dan/atau simptomatologi pasca-konkusif; alat ini juga
dapat menilai tingkat keparahan cedera. Pedoman kapan pemain dapat bermain ulang harus
diikuti oleh dokter, pemain, dan pelatih (Gambar). [ 4 , 16 ]  

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit telah mengusulkan rencana


pengembalian bermain dalam enam langkah. [ 23 ] Langkah pertama termasuk dapat
kembali ke kegiatan rutin seperti pergi ke sekolah dan berjalan kaki dalam jangka waktu
yang singkat setelah periode 2 hingga 3 hari istirahat. Langkah kedua termasuk melakukan
kembali latihan aerobik ringan seperti bersepeda, berjalan, atau jogging selama 5 hingga 10
menit. Langkah ketiga dilakukan agar individu dapat memulai aktivitas moderat. Langkah
keempat dengan menyetujui olahraga yang berat tetapi tidak berhubungan. Selanjutnya,
atlet diperbolehkan kembali berlatih dan melakukan olahraga kontak, tetapi dilakukan
dibawah pengawasan. Langkah terakhir memungkinkan pemain untuk
kembali bermain olahraga kompetitif sscara total. [ 23 ] 

Kesadaran publik tentang cedera yang berhubungan dengan olahraga ini dapat
membantu mencegah konkusio cerebri dan mengurangi kejadian CTE. Sekolah, perguruan
tinggi, tim profesional, dan organisasi yang mensponsori olahraga harus mendidik atlet, staf
pelatih, dan keluarga.

Terdapat relevansi yang jelas akan pedoman tentang kapan pemain dapat kembali
melakukan kegiatan olahraga. Masyarakat, pejabat pemerintah, dan komunitas medis harus
menyadari dan melawan konsekuensi kesehatan trauma kepala yang rekuren jangka
panjang. Penundaan permainan harus disarankan secara ketat, dan promosi keselamatan
akan komplikasi yang mungkin terjadi akibat olahraga kontak harus tetap menjadi perhatian
bagi tenaga kesehatan masyarakat.

Pengobatan

Pasien dengan konkusio cerebri sering dapat kembali ke fungsi awal mereka dalam
jangka waktu beberapa hari pasca cedera. [ 16 , 24 ] Istirahat kognitif dan fisik selama
setidaknya 1 minggu biasanya disarankan. Setelah pasien tidak menunjukkan gejala selama
1 minggu, peningkatan aktivitas fisik bertahap dimulai jauh sebelum pasien dapat kembali
melakukan olahraga kontak. Dalam kasus konkusio cerebri sskunder, waktu pemulihan
diperpanjang hingga sekitar 2 hingga 4 minggu. Apabila atlet mengalami konkusio cerebri
kembali dalam jangka waktu yang cepat, atlet tidak boleh melakukan aktivitas fisik yang
berat selama setidaknya selama 1 tahun.[5] Potokol pengembalian aktivitas olahraga harus
direkomendasikan secara ketat; protokol ini penting untuk mencegah disfungsi yang lebih
berat dan meningkatkan prognosis pasien.  

Efektivitas farmakoterapi bersifat tidak pasti dan farmakoterapi diberikan sesuai


kasus per kasus. [ 25 ] Obat antikonvulsan sering diresepkan untuk pasien dengan CTE,
tetapi efektivitasnya agak dipertanyakan; namun, terapi ini diindikasikan jika dan/atau
ketika kejang terjadi, kadang-kadang berbulan-bulan setelah onset cedera awal. [ 1 ] 

Farmakoterapi dapat diindikasikan untuk menerapi gejala-gejala yang berhubungan


dengan CTE.[1] Terapi yang dapat diberikan mungkin termasuk terapi analgesik untuk
nyeri, selective serotonin reuptake inhibitor untuk pasien dengan depresi dan / atau ansietas,
triptan atau β-blocker untuk pasien dengan nyeri kepala, benzodiazepine atau penekan
vestibular untuk pasien dengan pusing, antiemetik untuk gejala muntah, dan / atau inhibitor
antikolinesterase untuk defisit neurokognitif. [ 1 ] 
Untuk pasien dengan konkusio cerebri yang menunjukkan manifestasi
psikiatrik, sindrom pasca-konkusi ini sering bertahan selama berminggu-minggu atau
bahkan lebih. Pasien ini tidak boleh kembali ke kegiatan yang berhubungan dengan
olahraga.

Pasien dengan perdarahan intrakranial harus dirawat di rumah sakit dan diobservasi
[16] Perdarahan subdural adalah sekuele derajat berat yang paling umum ditemukan, diikuti
dengan perdarahan subaraknoid. [26] Pendarahan epidural sering membutuhkan intervensi
bedah saraf. [ 26 ]  

Kesimpulan

Kejadian cedera kepala traumatika bersifat epidemik. Cedera otak akibat olahraga


yang paling umum ditemui adalah konkusio cerebri yang dapat menyebabkan kerusakan
otak, dan konkusio cerebri yang berulang sering menyebabkan disfungsi otak kronis. Pasien
dengan cedera akut mungkin bersifat asimptomatik, tetapi kadang-kadang pasien dapat
mengalami kehilangan kesadaran. Atlet yang mengalami trauma berulang dapat mengalami
CTE, dengan defisit kognitif, perubahan memori atau kepribadian, dan disfungsi neurologis
yang dapat kemudian mengalami demensia dengan fitur parkinsonian. Penanganan pasien
harus selalu menekankan nasihat untuk menunda aktivitas berat sebelum dapat kembali
melakukan kegiatan olahraga.

Untuk dapat menghasilkan prognosis yang optimal, diagnosis dini harus dilakukan
bersamaan dengan tindakan perawatan dan follow up yang tepat harus dilakukan sesuai
kondisi klinis pasien. Pencegahan konkusio cerebri, terutama pada anak-anak, sangat
penting. Dokter harus mengedukasi atlet, keluarga atlet, institusi sekolah atau profesional
program olahraga lainnya, pemimpin pemerintah, serta masyarakat akan pentingnya
pencegahan dan intervensi cedera kepala. Ensefalopati akibat olahraga adalah masalah
kesehatan masyarakat yang harus ditangani oleh semua individu; dialog yang lebih luas
tentang kelayakan olahraga kontak, terutama untuk individu berusia muda,
diperlukan. Prevensi yang sama juga harus diberikan untuk menjaga kesehatan atlet-atlet
profesional.

Anda mungkin juga menyukai