Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS
DI RUANG ICU
RSUD ULIN BANJARMASIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Gadar & Kritis


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
M.REZA APRIANDI

NIM:
11194691910048

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MULIA

BANJARMASIN

2020
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : PERITONITIS


NAMA MAHASISWA : M.REZA APRIANDI

NIM : 1194691910048

Banjarmasin, 13 April 2020

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Fakultas Kesehatan
Universitas Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

………………………………….

………………………………….
NIK. ..................... NIK. ......................

LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL KASUS : PERITONITIS
NAMA MAHASISWA : M.REZA APRIANDI

NIM : 1194691910048

Banjarmasin,13 April 2020

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Fakultas Kesehatan
Universitas Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

…………………………………. ……………………………
NIK. ..................... NIK. ......................
LAPORAN PENDAHULUAN
PERITONITIS
A. Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat
epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang
merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus.
Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat,
sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritoneum (Brunner dan
Suddarth, 2016).
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang
melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi
semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat
diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum.
Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan
saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam
peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum
mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung.
Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung
berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus
(Smletzer, Suzanne C, 2017).

Menurut Doengses 2018 Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:


1) Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
2) Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3) Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Fungsi peritoneum:
1) Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
2) Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
3) Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap
dinding posterior abdomen.
4) Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi.
B. Pengertian
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa
rongga abdomen) lamnya. Abses Peritoneum awalnya terjadi peritonitis dan
mengakibatkan peradangan inflamasi bagian pada dinding serosa di viseral
ataupun parietal, dan apabila tidak dicegah peritonitis di bagian peradangan
bagian abdomen maka akan mengakibatkan abses peritonitis yaitu adalah
pecahnya peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi
viseral. Abses Peritoneum adalah pecahnya peritoneum, pada membrane
serosa, pada bagian rongga perut. Abses Peritoneum adalah pecahnya
peritoneum, pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane
serosa rongga abdomen dan dinding perut bagian dalam (Brunner dan
Suddarth, 2016).
C. Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga
peritoneum,bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi:
1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae
(7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya
(20%).
2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus
lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob
kurang dari 5%. (Cholongitas, 2009).
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh
berbagai kelainan pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di
dalam abdomen atau perforasi organ pascatrauma abdomen (Carpenito,
2017).
Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit
saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif internal.
Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma
(misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang
berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal, Inflamasi dan ileus
paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari
peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus.
Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan
dialisis peritoneal. (Brunner dan Suddarth, 2016).
D. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
(peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina
dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa
merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri
dapat dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi
bakteri dari mekanisme pembersihan oleh tubuh (Doenges & Marilynn, 2018).
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan
infeksi persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan
abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju
kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi
dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses
ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu
fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan
oleh penyakit viseral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan
antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi
peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi
pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka
kematian. Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di organ lain
(misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan
pembentukan abses abdomen berikutnya (Brunner & Suddarth, 2016).
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa,
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko
ileus paralitik (Brunner & Suddarth, 2016).
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons
hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk
mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah
jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi
hipovolemia (Brunner & Suddarth, 2016).
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ
intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan
dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi (Brunner & Suddarth,
2016).
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau
rekuren. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau
phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih
sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada
sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun
jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier
pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat
mencapai 50-74% (Brunner & Suddarth, 2016).
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia,
trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema
jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam
rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel
darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus
adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan
cairan dalam usus (Brunner & Suddarth, 2016).

E. Manisfestasi klinis
Menurut Mutaqin 2016, Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi.
Manisfestasi klinis awal dari peritonitis adalah gejala dari gangguan yang
menyebabkan kondisi ini yaitu :
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan,
terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar
oleh gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila
ditekan, dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat
terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

F. Komplikasi
Menurut Mutaqin 2016, komplikasi dari peritonitis yaitu :
a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama
berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
a. Eviserasi luka
b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area
abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan
sesuatu terbuka” harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan
drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mutaqin 2016, Pemeriksaan penunjang dari peritonitis yaitu :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah
bila terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan
perubahan kadar kalium, natrium, dan klorida.
b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung
usus yang terdistensi.
c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan
teraspirasi dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme
penyebab.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien pertinoitis menurut Carpenito 2017 yaitu :
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan.
Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak
dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan
dalam ruang vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga
abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan
oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas
dan bantuan ventilasi diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis.
Dosis besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena
sampai organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik
khusus yang tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan
memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi
(apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki
(perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat
diversi fekal.
I. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose,
tanggal masuk, dan alamat
2. Riwayat penyakit
a) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa
sakit sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi
(peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap,
berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak
terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada
beberapa penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung,
pankreatitis akut berat, iskemia usus) nyeri abdomen dapat
digeneralisasi dari awal
b) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan
suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan
didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari
septikemia
c) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis,
perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis
sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis
penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi
pola makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita
keluarga sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit
apendititis, ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan
rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,0c dan terjadi takikardia, hipotensi,
pasien tampak legarti serta syok hipovolemia
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi
abdomen didapatkan pada hampir semuja pasien dengan
peritonitis dengan menunjukkan peningkatan kekakuan
dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering
menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk
untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering
mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini
mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut
juga mengungkapkan peradangan massa
2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan
salah satu tanda ileus obstruktif
3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu
tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum
akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas
dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal dapat memunculkan
nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin
mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior
penuh dapat mengindikasikan sebuah abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan
untuk mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya
endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi
temuan sering sulit diinterprestasikan dalam peritonitis berat
4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
5. Pengkajian B1 – B6
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
a. Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
b. Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
c. Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan
adanya atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
d. Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui
sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.
e. Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas
dan peningkatan usaha napas)
f. Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
g. Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan
kesimetrisannya.
h. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi
pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pnemotoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat.
i. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari
otot-otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakan dinding dada.
j. Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis
kronik dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning hijau)
biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut;
sputum yang mengandung darah dapat menunjukan adanya
edema paru, TBC, dan kanker paru.
k. Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya
tube yang berada di luar.
l. Parameter pada ventilator
Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
m. Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan
status ventilasi penurunan volume tidal secara mendadak
menunjukan adanya penurunan ventilasi alveolar, yang akan
meningkat PCO2. Sedangkan peningkatan volume tidal secara
mendadak menunjukan adanya peningkatan ventilasi alveolar
yang akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi
Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure
2. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)
a. Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
b. Distensi Vena Jugularis
c. Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan
ventilator
d. Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
a) S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
b) S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup pulmonal dan katup aorta.
c) S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
e. Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah.
Biasanya terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
f. Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
g. Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia
dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
h. PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada
interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi
menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia
kronis.
i. Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan
respirator dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang
menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu
skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif
respon pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai
adalah : Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon
verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga
komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan
respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat
kesadaran dibedakan menjadi :
a) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya..
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
e) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
f) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya).
4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
a. Kateter urin
b. Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat
jenis urine.
c. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
d. Distesi kandung kemih
5. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
a. Rongga mulut
b. Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
c. Bising usus
d. Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada
paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus
selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal
dan nasotrakeal.
e. Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat
diketahui dengan memeriksa adanya gelombang air pada
abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat
perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV.
Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan
respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid
yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya
pemasukan makanan.
f. Nyeri
g. Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
h. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
i. Mual dan muntah.
j. Klien nampak mengalami penurunan nafsu makan, abdomen
nampak distended, bising usus dan peristaltik usus menurun,
perubahan pola BAB, klien nampak mual dan muntah.
6. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
a. Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
b. Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir
dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran
mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang
menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal
akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
c. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak
begitu jelas terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya demam, infeksi. Pada pasien yang
menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan
pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril.
d. Integritas kulit
e. Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
6. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 2011) hal-hal
berikut :
1) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen
menunjukkan leukositosis (>11.000 sel/µL)
2) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
3) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk
mendeteksi disfungsi pembengkuan
4) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
5) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih,
namun pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul
sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan
mikrohematuria
6) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
7) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan
kultur cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100
ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur
b) Pemeriksaan radiografik
1) Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin
didapatkan usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara
bebas hadir dalam kebanyakan kasus anterior perforasi
lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan
perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa
dengan appendiks perforasi. Tegak film berguna untuk
mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling
sering disebalah kanan) sebagai indikasi adanya viskus
berlubang
2) Computed tomography scan (CT scan)
CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik
pilihan untuk abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam
semua kasus dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas
dasar klinis dan temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal
dan cairan lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi
dibawah bimbingan CT scan
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk
diagnostis dicurigai abses intra-abdomen. Abses abdomen
menunjukkan penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-
weighted dan homogen atau peningkatan intensitas sinyal
heterogen pada gambar T2-weighted. Terbatasnya 
c) USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan
atas (misalnya perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis,
pankreas pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis
(misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas),
tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya
nyeri, distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat
mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites).
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai
dengan nyeri tekan pada abdomen
2. Kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanis (tindakan operasi)
3. Intoleransi aktivitas b.d Imobilisasi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan memasukkan, mencerna dan mengabsorpsi
makanan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan agen injury biologis abses
peritonitis
c. Intervensi Keperawatan
Diagnose
No NOC NIC
keperawatan

1 Nyeri b.d agen Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 1 1. Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST
biologis (infeksi, jam diharapkan nyeri hilang 2. Beri oksigen nasal apabila skala nyeri ≥ 4 (0-5)
inflamasi) 3. Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul
Kriteria evaluasi :
4. Atur posisi fisiologis
1. Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau 5. Berikan kompres hangat pada abdomen
teradaptasi 6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
2. Skala nyeri 0-1 (0-4)
3. TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks

2 Kerusakan Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor perkembangan kerusakan kulit pasien
integritas 1 x 24 jam mengurangi kerusakan jaringan dengan 2. Monitor karakteristik luka meliputi warna dan ukuran
jaringan b.d kriteria hasil : 3. Bersihkan luka dengan normal salin
faktor mekanis 4. Lakukan pembalutan luka pada daerah luka
1. Warna kulit normal
(tindakan 5. Pertahankan teknik steril dalam perawatan luka
2. Bebas lesi jaringan
operasi)
3. Tidak ada perluasan tepi luka

3 Intoleransi Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
aktivitas b.d 1 x 24 jam. Pasien bertoleransi terhadap aktivitas dengan aktivitas
imobilisasi Kriteria Hasil : 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai
4. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
secara berlebihan
2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara
5. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas, takikardi,
mandiri
disritmia, sesak nafas, diaporesis, pu%at, perubahan
3. Keseimbangan aktivitas dan istirahat
hemodinamik
6. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
7. Kolaborasikan dengan 5enaga (ehabilitasi edik dalam
meren%anakan progran terapi yang tepat.
8. &antu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan
9. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
10.Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
11.Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda, kruk
12.Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
13.Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
14.Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
15.Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
16.Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
17.Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
4. Ketidakseimbang Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Nutritional management
an nutrisi kurang 2x24 jam diharapkan klien dapat terpenuhi kebutuhan Aktifitas:
nutrisinya, dengan kriteria hasil: a. Kaji adanya alergi makanan
dari kebutuhan
a. Intake zat gizi (nutrien) b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
tubuh b.d b. Intake zat makanan dan cairan kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
ketidakmampuan c. Berat badan normal c. Berikan makanan yang terpilih
d. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
memasukkan,
e. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
mencerna dan
mengabsorpsi Nutritional management:
a. Timbang berat badan secara rutin
makanan
b. Monitor turgor kulit
c. Monitor mual dan muntah
d. Monitor kalori dan intake nutrisi
e.
5. Resiko infeksi Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Risk Infection Injury
b.d agen injury 3 x 24 jam, infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil: Observasi
a. Tanda – tanda vital klien terutama suhu dalam batas a. Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh,
biologi/fisik
normal denyut jantung, drainase, penampilan luka, sekresi,
(abses b. Tidak terdapat tanda – tanda infeksi pada daerah penampilan urin, suhu kulit, lesi kulit, keletihan, dan
peritonitis) pemasangan WSD malise)
Nilai laboratorium terutama leukosit dalam batas normal b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap
( leukosit normal : 4000 – 10.500 rb/ul ). infeksi (misalnya, usia lanjut, usia kurang dari 1 tahun,
luluh imun, dan malnutrisi )
c. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung
granulosit, absolut, hitung jenis, protein serum, dan
algumin)
d. Amati penampilan praktik higiene Personal untuk
perlindungan terhadap infeksi

Mandiri
a. Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan tidak
menugaskan perawat yang sama untuk pasien lain yang
mengalami infeksi dan memisahkan ruang perawatan
pasien dengan pasien yang terinfeksi
b. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah dipergunakan
masing-masing pasien
c. Dresing daerah perut yang terjadi peritonitis

Kolaborasi
a. Ikuti protokol institusi untuk melaporkan suspek infeksi
atau kultur positif
b. Berikan terapi antibiotik, bila di perlukan
Health education
a. Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau
terapi meningkatkan resiko terhadap infeksi
Instruksikan untuk menjaga higiene personal untuk
melindungi tubuh terhadap infeksi (misalnya, mencuci
tangan)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta:EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2017. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik


Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 2018. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3.
Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2016. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi


Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. 2017. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai