Anda di halaman 1dari 11

Materi Kuliah Misiologi: Senin, 23 Maret 2020.

INJIL DI TENGAH KEBUDAYAAN

Kebudayaan merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam rangka misi. Sebab
masalah kebudayaan memengaruhi setiap aspek dari misi. Pengabaian terhadap kebudayaan bisa
membuat keliru dalam membaca situasi-situasi.

Injil Disampaikan Melalui Kebudayaan

Berita Injil berasal dari Allah, namun disampaikan melalui saluran manusia (2 Kor.4:7). Manusia
tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Para penulis Alkitab memakai kebudayaan dalam
mengomunikasikan berita. Kadang-kadang meminjam kebudayaan lain, seperti istilah Lewiatan
(binatang laut raksasa) dari kebudayaan Babel; perjanjian Allah dengan umat-Nya mencerminkan
perjanjian bangsa Het dengan bangsa-bangsa lain yang telah ditaklukkan oleh mereka. Banyak
padanan dari bagian-bagian kitab Amsal dengan budaya-budaya lain. Istilah filsafat dan agama
yang digunakan Paulus, sudah dikenal luas pada zamannya. Termasuk istilah “Injil”, “Kurios”,
dan lain-lain, berasal dari budaya Yunani, yang diberi makna baru. Bahkan Yesus pun lahir
dalam lingkungan suatu kebudayaan.

Persoalan-persoalan Kebudayaan Dalam Kehidupan Gereja Purba.

Banyak isu yang berkaitan dengan kebudayaan dihadapi dalam gereja purba. Misalnya Paulus
menyinggung soal keadaan moral orang-orang bukan Yahudi (Roma 2:12-16). Hal ini
menunjukkan suatu fakta dalam kebudayaan adanya suatu moral universal, di mana adanya
pembedaan antara yang baik dan yang jahat. Jadi, kebudayaan bisa menjadi jalan masuk untuk
memahami Injil. Namun Paulus tidak bersikap kompromi kalau ada hal-hal dalam kebudayaan
yang tidak sejalan dengan Injil. Misalnya: soal yang”halal” dan “haram” (Mrk.7:9; Kis.10:15).
Bagi banyak kebudayaan, soal pemisahan ini meruapakan bagian yang integral dari cara hidup
mereka. Secara budaya, orang Yahudi tidak bisa makan bersama dengan non Yahudi. Namun, di
mata Injil, tidak boleh ada sesuatu yang memisahkan orang-orang Kristen.

Dualisme Spiritual.

Banyak kasus di mana kebudayaan menyebabkan orang-orang Kristen salah mengerti, atau
memalsukan unsur-unsur dari iman mereka. Pada gereja di dunia Barat misalnya, ada
kecenderungan yang kuat untuk menerima secara implisit suatu pemahaman dan penghayatan
Injil yang bersifat dualistis.

- Fideisme = penekanan yang berlebihan pada kepercayaan yang benar dibandingkan


dengan tindakan yang benar.

1
- Subjektifisme = penekanan yang berlebihan pada kebutuhan emosional seseorang
dibandingkan dengan seruan agar terjadi perubahan yang radikal.
- Individualism = keselamatan sebagai rekonsiliasi pribadi dengan Allah dibandingkan
dengan rekonsiliasi dengan sesama manusia.
- Prohibitionisme = kecenderungan untuk memisahkan diri dari
kehidupan seni
(prohibition=larangan).

Identitas Etnis dan Nasional.

Karena begitu terikat dengan kebudayaan sendiri, sehingga tidak mampu melihat
kekurangankekurangannya, atau untuk melihat kekuatan dan kebaikan dari kebudayaan lain.
Kebudayaan menyatukan seseorang dengan kelompoknya yang punya sejarah, adat-istiadat, dan
tradisinya sendiri. Seorang yang terlepas atau dicabut dari akarnya menyebabkan krisis identitas
diri, bahkan mengakibatkan kelainan jiwa. Namun bahaya juga bila terjadi sukuisme dan
komunalisme yang kuat, sehingga terjadi ketegangan dengan kelompok etnis yang lain. Sikap
terhadap perbedaan kebudayaan, sebagaimana saat ini banyak wilayah sudah multicultural,
terjadi ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, diskriminasi, dan sebagainya.

Perbedaan budaya dan etnis harus dilihat sebagai suatu yang positif, yang secara sadar diterima
sebagai azasi bagi orang-orang percaya yang mau hidup sesuai Injil. Injil menawarkan
keselamatan bagi semua orang atas dasar yang tetap sama, yaitu hanya oleh anugerah. Tidak ada
seorang pun yang punya alasan untuk memegahkan diri (1 Kor.1:28-31). Salib Kristus
mendamaikan kelompok satu dengan lainnya. Gereja adalah persekutuan yang universal, suatu
kemanusiaan yang baru, suatu bangsa yang kudus, suatu kerajaan (1 Ptr.2:9-10). Realitas akhir
dari sejarah dari persepektif Alkitab, adalah komunitas baru yang terdiri manusia-manusia yang
berlatar belakang budaya dan ras yang beragam, yang bersama-sama menyembah satu Allah, satu
Juruselamat melalui satu Roh (Ef. 2:18,22; Why.7:9 dst.). Implikasi visi ini, gereja tidak boleh
mengidentifikasikan dirinya secara eksklusif dengan satu kebudayaan / bangsa. Dan gereja tidak
boleh membangun hambatan-hambatan terhadap kelompok-kelompok lain dengan menggunakan
secara eksklusif lambang-lambang kebudayaan, seperti bahasa.

Sifat Kebaratan dari Iman Kristen.

Gereja di banyak belahan dunia, khususnya di Asia, kesulitan menyatakan kesaksian iman
mereka. Mereka terasing dengan budaya mereka sendiri, karena pemberitaan Injil dari para
Misionaris Barat, yang dipengaruhi budaya Barat. Memang sulit untuk memisahkan kepercayaan
pada Injil dari nilai-nilai dan lembaga-lembaga masyarakat Barat. Juga sulit menghubungkan Injil
dengan masyarakat-masyarakat yang dibentuk dengan system kepercayaan yang begitu berbeda.
Di sinilah perlunya kontekstualisasi teologia.

2
Dalam prakteknya sering orang-orang yang menjadi Kristen dianggap oleh masyarakat setempat
sudah ke luar dari kelompok budaya, keluarga dan komunitasnya, dan bergabung dengan agama
asing (Barat).

Isu-isu dari Sejarah Misi.

Gerakan misioner modern (PI dari Barat) telah menimbulkan dampak yang besar yang berkaitan
Injil dan kebudayaan, khususnya di Afrika, Asia dan Amerika Latin terhadap kebudayaan
pribumi. Pada umumnya kebudayaan pribumi salah dipahami, sangat direndahkan, sehingga
gereja-gereja yang dilahirkan menjadi sebuah kebudayaan yang terasing dari tradisi hidup suku
bangsanya. Dalam konteks ini, “Lamin Sanneh”, menekankan pentingnya penterjemahan Alkitab
dalam bahasa daerah bagi kebudayaan pribumi.

Komunikasi Lintas Budaya.

Beberapa pertanyaan misiologi yang berkaitan Injil di tengah kebudayaan:

- Apakah Injil sama saja dalam semua kebudayaan?


- Bagaimana bahasa Injil harus diterjemahkan?
- Bagaimanakah unsur-unsur yang benar dan yang palsu dalam kabar baik itu dapat
dibedakan?
- Kapankah Injil serasi dengan kebudayaan dan kapan ia dalam konflik dengannya?

Titik-titik Pertemuan.

Dalam menyelesaikan masalah-masalah di sekitar usaha mengungkapkan Injil dalam


kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda, ada beberapa langkah yang dikembangkan:

1. Akomodasi: Maksudnya, bahwa beberapa pokok tentang agama Kristen seperti dikenal
dalam system kepercayaan lain diadaptasi atau disesuaikan dengan kebudayaan yang
berbeda, misalnya melalui penggunaan bahasa, lambang-lambang dan ilustrasi-ilustrasi.
Misalnya menerima adat-istiadat setempat yang berkaitan dengan lambang-lambang dari
budaya/agama pada bentuk-bentuk kristiani.
2. Akulturasi (Pemribumian): Maksudnya, gereja setempat menciptakan sendiri (mandiri)
dalam daya, dana dan teologi.
3. Inkulturasi: transformasi suatu kebudayaan oleh Injil, atau pengungkapan kembali Injil
berdasarkan kebudayaan.-

Oke, thanks!

3
Materi Kuliah Misiologi : Senin, 30 Maret 2020.

KEADILAN UNTUK KAUM MISKIN

Salah satu isu yang begitu mengundang perhatian dan menentukan saat ini ialah tentang kaum
miskin. Masalah kemiskinan menuntut kepedulian secara global, serta tindakan orang Kristen
untuk membawa perubahan.

Kaum Miskin.

Kemiskinan diperkirakan sekitar 75% dari penduduk dunia. Miskin dipahami, di mana
pemasukan tunai tahunan kurang dari setengah upah rata-rata secara nasional.

Kategori-kategori orang miskin, yang terbesar disebut “kaum miskin ultra” (rentan), yaitu:
– mereka yang tidak dapat bekerja;-para orang tua, sebagian penderita cacat, mereka yang
kesehatannya terganggu, dan anak-anak, - mereka yang bergantung pada pekerjaan musiman, dan
mereka yang tidak memiliki sumber produktif yang memadai untuk memperoleh penghasilan
yang memadai –tanah, ketrampilan dan alat-alat.

Kaum miskin adalah mereka yang tidak memiliki objek-objek mendasar yang mendukung
kehidupan, seperti makanan, perumahan, pakaian, dan perawatan kesehatan yang memadai.

Karena kemiskinan, bukan saja soal perumahan yang tidak sehat, di mana satu keluarga besar
tinggal bersama di satu/dua kamar, tidur bersama di satu ranjang, tanpa air ledeng, tanpa kamar
kecil yang layak, selokan-selokan yang terbuka, perawatan kesehatan yang minim, obat-obatan
yang tidak terjangkau dan makanan yang kurang. Terutama anak-anak mereka rentan terhadap
penyakit, terhalang dalam pertumbuhan fisik dan mental, kematian dini. Anak-anak perempuan
dipaksa menjadi pelacur atau bekerja keras. Kemiskinan juga disebabkan adanya diskriminasi
dalam masyarakat, seperti kaum cacat, perempuan, golongan-golongan minoritas menurut ras
dan golongan.

Akibat-akibat Kemiskinan.

- Kemiskinan di desa menimbulkan urbanisasi, orang-orang terpaksa ke kota untuk


menyambung hidup. Angka kelahiran meningkat.

4
- Kemiskinan di perkotaan menimbulkan banyak kejahatan, hancurnya hubungan
kekeluargaan, anak-anak jalanan, narkoba.

Sebab-sebab Kemiskinan:

1. System ekonomi pasar bebas, dengan pengawasan yang terbatas, sehingga yang kuat
menjadi semakin kuat, yang lemah semakin tidak berdaya.
2. Utang internasional, sehingga timbul eksploitasi terhadap alam untuk bayar hutang. Juga
karena rejim-rejim yang korup, tidak demokratis.
3. System perdagangan dunia yang tidak berpihak kepada Negara-negara ekonomi lemah.

Pencarian Keadilan:

Dari perspektif Kristen, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari adanya ketidakadilan di tengah
kehidupan. Keadilan merupakan sifat/hakekat Allah. Keadilan merangkul semua orang, keadilan
juga berarti membatasi pemusatan kekuatan ekonomi dan politik di tangan segelintir orang.

Pandangan khas Alkitab: keadilan ialah untuk membawa keserasian kepada masyarakat melalui
penegakan-penegakan hubungan-hubungan yang benar.

Peran Gereja di dalam memperoleh Keadilan bagi Kaum Miskin.

Gereja memiliki peran besar dalam mentransformasi situasi miskin, sebab banyak orang miskin
ada dalam gereja. Ada empat tanggung jawab gereja :

1. Mengenal Allah keadilan: karena misi gereja adalah respon terhadap misi Allah di dunia,
maka tanggung jawab gereja ialah hidup dan melayani orang-orang miskin, yang dikasihi
Allah.
2. Memproklamirkan suatu injil keadilan.
3. Memilih untuk mendahulukan kaum miskin.
4. Mengatasi materialisme.

PERJUMPAAN DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN.

Tidak dapat disangkal, bahwa realitas yang dihadapi oleh manusia, adanya kepelbagaian agama
dan beragama. Semua agama, termasuk kekristenan berjumpa dan hidup bersama dengan orang-
orang yang beragama berbeda-beda. Kita bisa memilih untuk bersikap eksklusif/tertutup, yaitu
mengasingkan diri, atau bertindak aggressor untuk merebut orang-orang lain masuk ke dalam
dunia kita, maupun bersikap inklusif/terbuka untuk bekerja sama, berdialog secara kreatif dengan
agama-agama berbeda.

Iman Kristen dan Tradisi-tradisi Iman lain:

5
- Apa itu agama?

Tidak mudah untuk memberikan suatu definisi dari agama. Karena makna agama itu begitu luas,
dan tiap kelompok agama memiliki pemahamannya masing-masing. Dalam bahasa Inggris, kata
“religion” (agama) berasal dari bahasa Latin. Arti aslinya ialah “mengikat” dan menunjuk pada
apa yang mengikat seseorang atau suatu komunitas kepada dewa-dewa, kuasa-kuasa ilahi, atau
kuasa-kuasa di luar kuasa manusia. Ninian Smart mengidentifikasikan enam dimensi agama:
doktrin, mitos (kisah-kisah asal usul dan penafsirannya), etika, ritus, pengalaman mistik, dan
social. Ada juga yang membagi komponen agama sebagai: amanat, pengalaman yang dikaitkan
dengan amanat tersebut, komunitas yang sekaligus merupakan penyataan dari amanat itu dan
juga pengungkapannya, serta suatu gaya hidup yang berusaha menghayati amanat itu.

Usaha-usaha untuk memandang kehidupan agama dengan menggunakan kategori-kategori yang


luas, sebagaimana di atas, tentu mendukung pengakuan akan keragaman yang luar biasa dari
ungkapan agama. Namun belum cukup adanya pengakuan akan kenyataan adanya perbedaan-
perbedaan antara agama-agama dalam bentuknya yang “klasik” atau “ortodoks” (yang didasarkan
pada tradisi doctrinal yang diakui sebagai bersifat otoritatif dan pembatasan bagi suatu komunitas
tertentu). Dan dalam bentuknya yang “popular”. Ada juga fenomena gerakan-gerakan agama
baru (biasanya variasi dari salah satu agama dunia yang utama) yang membentuk suatu wadah
kepercayaan dan praktek yang jelas berbeda dan diungkapkan dalam suatu komunitas yang
berdiri sendiri.

Kata “religion” muncul enam kali dalam PB (Kisah 17:22 beribadah; 25:19 agama; 26:5 agama;
1 Tim.5:4 berbakti; Yak.1:26 ibadah; 27 ibadah). Paulus menggunakan kata ini (Kis.17:22)
menunjuk kepada pengabdian warga Athena terhadap dewa-dewa mereka. dalam kasus berikut –
terkait iman orang Yahudi oleh Festus dan Paulus pada saat pemeriksaan Paulus di depan
Gubernur Romawi dan Raja Agripa. Dalam tiga kasus terakhir tentang penerapan praktis iman.
Nas dalam Yakobus membedakan antara agama sejati dan agama palsu berdasarkan bagaimana
iman dipraktekkan atau tidak dipraktekkan.

- Agama dan hal-hal sekuler:

Perlu diakui, sebagaimana banyak kritik dari dunia sekuler, ada unsur-unsur negative dalam
praktek agama. Banyak dari apa yang dewasa ini disebut agama tidak lebih dari cerminan
agamawi masyarakat konsumen. Manusia dianggap suatu spesies yang mengonsumsi, di mana
produk-produk agamawi (seperti: kedamaian rohani, keselamatan, hidup kekal, penyembuhan)
diumumkan dan dipromosikan seperti barang atau jasa pada umumnya.

- Agama di mata penonton:

Pada umumnya orang-orang biasanya bersikap positif atau negative terhadap agama. Ada yang
melihat kepercayaan dan praktek agama sebagai bagian yang wajar dari kebudayaan – jadi
menjadi anggota suatu golongan beragama bergantung pada di mana seseorang lahir. Agama-
agama berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mempraktekkannya, oleh

6
karena itu, mencoba membujuk seseorang berpindah agama adalah tidak wajar, itu sama dengan
mematikan jati diri mereka, menjadikan mereka terasing dari budaya dan rohani.

Semua agama dipandang sebagai ungkapan autentik dari keinginan orang untuk mendekat kepada
Allah. Semuanya sedikit banyak mencerminkan cahaya Yesus Kristus yang menerangi perjalanan
semua orang menuju kebenaran. Jadi agama sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Tetapi
agama-agama akan berbahaya, apabila orang-orang beragama hidup atas dasar suatu
ideologis/pandangan yang palsu tentang realitas.

- Agama dan Wahyu:

Ada pendapat bahwa “kehadiran Allah dinyatakan dalam kepercayaan-kepercayaan agama”.


Setidaknya sejauh dalam kepercayaan-kepercayaan agama menyatakan unsur-unsur kebenaran,
kebajikan dan keindahan, maka telah menyentuh realitas Allah, yang daripada-Nya datang
“setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna” (Yak.1:17; 3:17).

Dalam kehidupan semua orang, terlepas apakah mereka memiliki agama secara formal, terkadang
nampak tindakan Allah, atau mencerminkan sifat Allah dengan melayani sesama, menunjukkan
belas kasih, membawa damai, mengampuni orang yang berbuat jahat kepada mereka. Terkadang
ciri-ciri ini ditampakkan karena keyakinan agamawi mereka; terkadang berlawanan dengan
keyakinan agama tersebut. Namun sejarah menunjukkan, bahwa belum tentu orang-orang
beragama memahami dan melayani Allah dengan lebih baik dari pada mereka yang tidak
menganggap diri beragama. Agama-agama sering menyebabkan orang hidup dalam perhambaan
ketakutan, fatalism, fanatisme, tahyul, dan otoritarianisme.

Orang-orang Kristen umumnya bersikap positif terhadap agama-agama lain, yakin bahwa orang-
orang dari agama lain berhubungan dengan Allah. Secara tradisional orang-orang Kristen
membedakan wahyu Allah yang khusus dan yang umum. Khusus = sabda nabi dan rasul dalam
Alkitab, dan pribadi Yesus Kristus. Umum= hati nurani manusia dan dunia alami.

Persoalan-persoalan tentang Keselamatan.

a. Partikularitas : adalah kepercayaan bahwa pemberian keselamatan dari Allah hanya


tersedia melalui kematian demi pendamaian oleh oknum historis Yesus Kristus, dan
diperoleh melalui iman kepada Yesus, dan disahkan oleh baptisan dan keanggotaan
komunitas Kristen.
b. Generalitas : bahwa keselamatan tersedia hanya melalui Yesus Kristus, tetapi jalan untuk
memperolehnya bisa melalui banyak cara. Misalnya, apabila orang-orang merespons
pencerahan rohani yang mereka miliki, yaitu mencari rahmat dan pengampunan Allah
dalam praktek agama mereka dan berusaha menjalani suatu hidup kedamaian, rekonsiliasi
dan keadilan, maka keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus tersedia bagi mereka.
c. Universalitas : bagi kaum universalitas, Yesus Kristus hanya satu jalan keselamatan di
antara banyak yang lain.

7
Bagaimana orang Kristen memahami agama-agama lain dengan asumsi-asumsi di atas, maka
perlu memahami dengan baik dan saksama soal: kedudukan kitab suci, persoalan-persoalan
tentang Yesus Kristus, isu kebenaran, dan masalah misi. Seharusnya dalam menyampaikan
pandangan kita dilakukan dengan hati-hati dan secara adil, jauh dari prasangka buruk, sehingga
tidak timbul kesalahpahaman di tengah masyarakat.

MATERI KULIAH MISIOLOGI : SENIN, 6 APRIL 2020.

MENGATASI KEKERASAN DAN MEMBANGUN PERDAMAIAN

Dalam mengatasi / menyelesaikan kekerasan dan membangun perdamaian merupakan suatu


aspek yang sangat diperlukan, yang dipahami sebagai peran orang Kristen yang berkaitan dengan
panggilan misinya. Bagaimana Tuhan Yesus secara konsisten menolak penggunaan kekerasan
sebagai suatu strategi misi. Pendamaian melalui rekonsiliasi yang sejati antar pihak-pihak yang
bermusuhan merupakan suatu aspek dasar dari kabar baik tentang Yesus dan Kerajaan Allah.
Pelayanan Yesus yang memuncak pada kematian-Nya oleh penyaliban, didasarkan pada
kenyataan bahwa hubungan-hubungan yang putus mengakibatkan kesusahan yang mendalam dan
harus dibayar dengan banyak kesakitan untuk memlihkannya. Injil perdamaian adalah suatu
berita tentang rekonsiliasi yang dibayar mahal untuk menyembuhkannya.

Maksud dan Tujuan :

Pada umumnya semua orang Kristen bermaksud mengikuti jalan Yesus Kristus dalam suatu
pelayanan membangun keadaan yang mendukung rekonsiliasi dan perdamaian. Membawa damai
dikaitkan dengan tidak membalas, kemurahan hati, dan mengasihi musuh. Semua orang yang
membawa damai disebut sebagai anak-anak Allah yang sejati (Mat.5:9, 5:45).

Misi menurut jalan Kristus dalam mengatasi kekerasan dan membangun perdamaian sangat jelas.
Perdamaian adalah hasil dari mematahkan spiral pembalasan dendam: “Mata ganti mata, dan gigi
ganti gigi”. Namun sepanjang sejarah kebanyakan orang Kristen cenderung memandang ajaran
ini sangat idealisme yang tidak selalu dapat diterapkan pada semua keadaan. Khusus : etika tidak
membalas, mungkin hanya bisa diterapkan pada yang bersifat pribadi. Kalau ada yang pukul
saya, saya diminta jangan memukul kembali. Tetapi tidak berlaku bagi tanggung jawab saya
menggunakan kekerasan guna membela pihak ketiga yang diserang. Dengan kata lain, saya tidak
boleh memberi pipi kiri atas nama orang lain. Apabila sikap ini dijalankan secara konsisten, bisa
justru menyebabkan ketidakadilan merajalela. Karena yang jahat tidak dihukum. Lalu,
bagaimana orang Kristen dapat memenuhi panggilan misi mereka untuk mengatasi kekerasan dan
membangun perdamaian.

8
Pendekatan-pendekatan terhadap Penggunaan Kekerasan:

Pada masa awal kekristenan (= 200 tahun) orang-orang Kristen tidak ikut serta dalam operasi
militer jenis apapun. Namun setelah itu, ada orang-orang Kristen yang masuk angkatan
bersenjata kekaisaran Romawi, menyusul pengakuan resmi terhadap iman Kristen oleh
Konstantinus Agung. Keabsahan orang Kristen terlibat dalam peperangan diakui secara teologis
dalam perkembangan teori “perang yang adil”.

Teori “perang yang adil” (Agustinus) bukan suatu usaha untuk menghalalkan penggunaan
kekerasan yang mematikan secara umum, melainkan untuk menunjukkan betapa hal itu tidak
dapat dibenarkan dalam kebanyakan keadaan. Teori ini dimaksudkan untuk membangun
hubungan antara dua pihak yang berseteru (konflik). Dimaksudkan untuk menetapkan kriteria
yang saksama dan membatasi, guna menuntaskan kapan kekuatan yang mungkin sekali
mengakibatkan kematian / pembunuhan dapat dibenarkan.

Walaupun kriteria cukup ketat ditetapkan untuk membatasi perang, namun realitas kejahatan di
dunia, sehingga sebagian orang Kristen membenarkan penggunaan kekerasan yang mematikan
dengan dua alas an :

(a) Argument dari sudut keadilan.


(b) Argument dari sudut kewargaan.

Yang pertama menekankan bahwa Allah menghendaki keadilan ditegakkan dalam masyarakat –
untuk mengadili dan menghukum pihak yang bersalah, dan untuk membela orang miskin dan
yang tertindas. Keadilan tidak dapat dijalankan secara perorangan, namun oleh lembaga yang
ditetapkan dalam masyarakat.

Yang kedua, kehidupan manusia tidak terlepas dari suatu kelompok/ komunitas masyarakat, di
mana ada hak dan kewajiban. “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada
kaisar” (Mrk.12:17).

Sekalipun “perang yang adil” ternyata tidak dapat diwujudkan dalam semua keadaan, terlebih
dalam konteks perang modern, namun nilai-nilai etis yang terdapat padanya cukup mendorong
dalam meredakan situasi-situasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan.

Isu-isu yang dihadapi dalam mengatasi kekerasan dan membangun perdamaian:

1. Kebangsaan dan kewargaan.

Setiap warga mempunyai kewajiban terhadap bangsa di mana ia menjadi bagian di dalamnya,
salah satunya ialah keikutsertaan dalam mewujudkan keadilan. Walaupun sebagai orang Kristen,
ia harus menghormati pemerintah, namun ia juga harus kritis sesuai hati nuraninya. Karena
kewargaannya juga sebagai umat Allah. Di mana ia harus bertanggung jawab kepada Tuhan
sebagai Penguasa segala sesuatu.

9
2. Demokrasi.

Misi Kristen lebih mudah diterapkan dalam suatu masyarakat yang demokratis. Demokrasi
memerlukan pemerintah yang representative, terpilih, terbuka dan bertanggung jawab. Walter
Wink: bahwa “dalam cara yang signifikan, demokrasi merupakan nir-kekerasan yang
dilembagakan”. Banyak perubahan dapat dihasilkan melalui cara-cara yang damai (misalnya:
pemungutan suara, penandatanganan petisi, melobi perorangan).

3. Keamanan.

Ancaman yang nyata terhadap keamanan, yaitu terjadi konflik dan kekerasan. Ada yang
berpendapat, agar aman maka pertahanan harus ditingkatkan. Misalnya: dengan membuat
benteng-benteng pertahanan, senjata-senjata diperbanyak dan semakin canggih. Kalau kekuatan
cukup, maka tidak ada yang berani menyerang. Pendapat lain, dengan membangun persahabatan,
pihak yang dianggap lawan menjadi mitra dan sahabat, maka menjamin keamanan bersama.

Misi Gereja untuk mengatasi kekerasan dan menciptakan perdamaian:

Untuk dapat memainkan peran gereja secara efektif dalam mematahkan spiral kekerasan dan
mendukung perdamaian, maka diperlukan tiga prasyarat:

1. Membereskan rumah tangganya sendiri.

Gereja harus menjadi contoh bagaimana menyelesaikan konflik. Gereja harus memastikan bahwa
prinsip-prinsip demokrasi telah diberlakukan.

Secara eksternal, gereja harus menjauhkan diri dari keterlibatan secara partisan dalam konflik-
konflik yang disebabkan pergolakan nasional, etnis, atau komunal.

2. Memahami sebab-sebab kekerasan.

Sebab utama yang menyebabkan kekerasan adalah masalah keterasingan. Mereka merasa terasing
dari orang lain, yang dianggapnya sebagai pesaing yang harus ditakuti. Keterasingan dapat
mengarah ke dalam diri sendiri, tidak memahami diri sendiri, hawa nafsu tidak terkendali, ilusi,
pikiran yang kacau tentang apa yang menjadi tujuan kehidupan, sehingga terjadi konflik internal
di mana seseorang membenci dirinya sendiri. Timbul kekerasan terhadap diri sendiri, seperti
bunuh diri, minum minuman keras dan penggunaan narkoba, depresi dan gangguan jiwa. Juga
melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Sebab utama lainnya adalah keinginan untuk berkuasa. Manusia cenderung untuk memanfaatkan
manusia lain sebagai alat untuk memuaskan kepentingannya sendiri. Contoh: hoax, fitnah, akhir-
akhir ini. Timbul kekerasan, termasuk aborsi.

3. Belajar menerapkan prinsip-prinsip transformasi konflik.

10
a) Pencegahan konflik : - usaha-usaha terus-menerus untuk menciptakan suatu budaya nir-
kekerasan secara umum. – intervensi langsung oleh pihak-pihak ketiga dalam memediasi
para pihak, pembinaan-pembinaan dalam membangun perdamaian.
b) Penyelesaian konflik : - mediasi konflik, dan sebagainya.
c) Menciptakan perdamaian : bukan saja dengan menyelesaikan permusuhan, konflik
tertangani. Juga dalam mengupayakan adanya ganti rugi bagi kerusakan yang disebabkan
konflik, dan pembangunan kembali.

11

Anda mungkin juga menyukai