Dosen Pengampu:
Disusun Oleh
Samsul
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Tuhan penguasa
alam, Dia-lah Yang Maha Penyayang dan Maha Adil kepada setiap makhluk-Nya. Atas
rahmat dan kehendakNya makalah berjudul, “Pengaruh Belajar terhadap Perkembangan
Kognitif Anak” ini dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Belajar dan
Pembelajaran yang dibimbing oleh Prof. Dr. Sanggam R.I. Manalu, M.Pd. Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Pepatah
mengatakan, “Tiada Gading yang Tak Retak”. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat dinantikan, dan mudah-mudahan makalh ini dapat memberi setitik
manfaat bagi ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….8
3.2 Saran……………………………………………………………………………8
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Aliran Empirisme
Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran empirisme (empiricism) dengan
tokoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah “The School of
British Empiricism” (aliran empirisme Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh
3
terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah filsafat bernama
“environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama “environmental
psychology” (psikologi lingkungan) yang relatif masih baru. Doktrin empirisme yang
sangat mashyur adalah “tabula rasa”, sebuah istilah bahasa asing yang berarti batu
tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa
menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan dalam arti
perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman
pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada
pengaruhnya.
3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi (convergence) merupakan gabungan antara aliran
empirisme dengan aliran nativisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas
(pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
perkembangan manusia. Tokeh utama konvergensi bernama Louis William Stern
(1871-1938), seorang filosof dan psikolog Jerman. Para penganut aliran konvergensi
berkeyakinan bahwa baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan andilnya
sama besar dalam menentukan masa depan seseorang.
4
Antara 2-6 tahun anak berupaya mengorganisasikan dunia dirinya dengan
lingkungannya. Pada usia 2 atau 2,5 tahun hingga usia 4 atau 5 tahun merupakan
periode perkembangan yang cepat dan ekstensif. Umumnya anak usia 3-4 tahun sudah
dapat membentuk kelompok bermain (play group) dengan teman-temannya. Antara
usia 4-5 tahun anak sudah lebih diarahkan untuk ,emasuki pendidikan TK.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang penting, dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Melalui belajar seseorang dapat
memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap,
dan ketrampilan. Pernyataan di atas didukung oleh Gagne dalam buku Ratna Wilis bahwa
(1988:12-13)“ Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme
berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.” Kutipan diatas dapat diartikan bahwa
belajar membutuhkan waktu yang lama dan melalui proses perubahan perilaku dan pola pikir
dari seseorang.
Belajar menurut Drs. Bambang Warsita bahwa (2008:87)“ Belajar merupakan suatu
kumpulan proses yang bersifat individu, yang mengubah stimulasi yang datang dari
lingkungan seseorang ke dalam sejumlah informasiyang selanjutnya dapat menyebabkan
adanya hasil belajar dalam bentuk ingatan jangka panjang.” Menurut Prof. Dr. Made Pidarta,
belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat relatif permanen sebagai hasil pengalaman
5
(bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakanya pada
pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikanya kepada orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku dan pola pikir baik yang berupa
pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap, dimana perubahan- perubahan yang
dialami bersifat relatif permanen atau jangka panjang yang merupakan hasil dari pengalaman
hidup manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Salah satu teori belajar yang dikembangkan selama abad ke-20 adalah teori belajar
kognitif, yaitu teori belajar yang melibatkan proses berfikir secara komplek dan
mementingkan proses belajar. Menurut Drs. H. Baharuddin dan Esa Nur wahyuni (2007: 89)
yang menyatakan” aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukan sekedar stimulus dan
respons yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan
kegiatan mental yang ada di dalam individu yang sedang belajar”. Kutipan tersebut di atas
berarti bahwa belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat dan
menggunakan perilaku, sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan
diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan dan lain
sebagainya.
Teori belajar kognitif menurut Drs. Bambang Warsita yang beranggapan bahwa”
Belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh
pemahaman”. Maksudnya bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang
tidak selalu dapat dilihat sebagai tingkah laku. Dimana teori ini menekankan pada gagasan
bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dalam kontek situasi secara
keseluruhan.
Menurut Piaget dalam buku “Teknologi Pembelajaran” dari Drs. Bambang Warsita
(2008:69) yang menjelaskan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu prosess
genetika yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem
syaraf. Dalam buku “Psikologi Pendidikan” karya Wasty Soemanto (1997:123) yang
menyatakan teori belajar piaget disebut cognitive-development yang memandang bahwa
proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari pada fungsi intelektual dari kongkrit. Belajar
terdiri dari tiga tahapan yaitu :asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Piaget juga
mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap satu debfab
tahap lainnya yang secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin
teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh karena itu guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode,
media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
6
6. Menentukan penilaianproses dan hasil peserta didik
Syah,M (1995: 94) mengemukakan bahwa belajar adalah key term (istilah kunci yang
paling vital dalam setiap usaha pnndidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah
ada pendidikan. Sebagai suatu proses belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan berbagai upaya kependidikan, misalnya
psikologi pendidikan. Karena demikian pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya
riset dan eksperimen psikologi pendidikan pun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang
lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia itu. Perubahan dan
kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar.
Karena kemampuan berubahlah, manusia terbebas dari kemandegan fungsinya sebagai
khalifah di bumi. Selain itu, dengan kemampuan berubah melalui belajar itu, manusia secara
bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya. Tidak ada proses perkembangan siswa baik jasmani maupun rohaninya yang
sama sekali terlepas dari proses belajar mengajar sebagai proses pendidikan. Apabila fisik
dan mental sudah matang, pancaindra sudah siap menerima stimulus-stimulus dari
lingkungan, berarti kesanggupan siswa pun sudah tiba. Kualitas hasil proses perkembangan
manusia itu banyak terulang pada apa dan bagaimana ia belajar. selanjutnya tinggi rendahnya
kualitas perkembangan manusia itu akan menentukan masa depan peradaban manusia itu
sendiri. E.L. Thordike seorang pakar teori Srbond meramalkan, jika kemampuan belajar umat
manusia dikurangi setengah saja maka peradaban sekarang ini tak akan berguna bagi
kehidupan mendatang.
7
BAB III
3.1 Kesimpulan
Syarifudin,T (2006: 80) mengemukakan bahwa Perkembangan adalah perubahan
yang bersifat fungsional dan kualitatif. Misalnya perubahan fungsi pikir dari kemampuan
berpikir konkrit menjadi berpikir abstrak, perubahan fungsi tangan dari kemampuan
mencoret-coret menjadi mampu menulis.
Secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku
individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
yang melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian itu perlu diutarakan bahwa
perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah,
dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar. (Syah, M, 1995: 92).
Belajar akan mempengaruhi perkembangan kognitif siswa. Perubahan dan
kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar.
Karena kemampuan berubahlah, manusia terbebas dari kemandegan fungsinya sebagai
khalifah di bumi. Selain itu, dengan kemampuan berubah melalui belajar itu, manusia secara
bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya. Tidak ada proses perkembangan siswa baik jasmani maupun rohaninya yang
sama sekali terlepas dari proses belajar mengajar sebagai proses pendidikan. Apabila fisik
dan mental sudah matang, pancaindra sudah siap menerima stimulus-stimulus dari
lingkungan, berarti kesanggupan siswa pun sudah tiba.
3.2 Saran
Saran yang diberikan kepada pembaca ialah selalu menerapkan teori kognitif kepada
peserta didik, agar peserta didik dapat melibatkan proses berfikir secara komplek dan
mementingkan proses belajar.
8
DAFTAR PUSTAKA