Anda di halaman 1dari 3

UAS TEORI PROSA

Nama: Abang Muhammad Dalil Maulana

NIM : 17/410021/SA/18788

1. Stanton (2012:46) mengatakan sarana cerita merupakan teknik yang digunakan oleh pengarang untuk
memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan
penggunaan sarana cerita adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat
pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman
seperti yang dirasakan pengarang.

Contoh Sarana Cerita Kado Istimewah karya Jujur Prananto. Sudut pandang: pengarang mengambil sudut
pandang orang pertama akuan karena pengarang menjadi tokoh utama yang menceritkan orang lain dimasa
penjajahan, tapi cerita ini bukan cerita nyata melaikan pengalaman yang telah di alami oelh pengarang.
Gaya: pengarang tidak terlalu rumit memilih kata-kata karen mungkin untuk lebih mudah dimengerti, kata-
kata yang polos akan majas dan ambiguitas. Daerah yang digunakan adalah daerah tokoh utama dimana dia
berasa dan tokoh tambahan utama. Nada yang digunakan cukup dapat dipahami oleh pendengar. Tema
Cerita: kado istimewah yang sederhana yang ingin membuat seseorang ingat akan masa laluinya. Tema
Tambahan: ingin memberikan kado yang membawa kekhasan orang Indonesia.

2. Sudut pandang adalah arah pandang seorang penulis dalam menyampaikan sebuah cerita, sehingga cerita
tersebut lebih hidup dan tersampaikan dengan baik pada pembaca atau pendengarnya.

Dalam karya sastra simbol hadir berupa kata yang maknanya mengacu kepada makna lain. Simbol hadir
karena penulis atau pengarang ingin menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginannya dengan bahasa
yang khas. Sesuatu dalam teks sastra bisa dilihat sebagai simbol, bisa juga tidak, itu bergantung pada
interpretasi pembaca. Pemaknaan terhadap simbol diserahkan kepada pembaca yang membaca karya sastra
tersebut.

Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang digunakan penyair sebagai alat untuk
menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan kepada pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk
mendukung makna.

3. Tema adalah ide yang melandasi suatu cerita diperankan, serta sebagai pangkal tolak pengarang dalam
aktivitas pemaparan karya fiksi yang dibuatnya.

4. Kritena pertama adalah apakah karya sastra yang bersangkutan itu memperlihatkan adanya kebaruan
(inovasi). Dalam hal ini, acuan yang dapat dijadikan sebagai dasar kriteria adalah kenyataan bahwa sastra
selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Artinya, bahwa dalam kesusastraan modern,
apakah kebebasan berkreasi sebagai hak "istimewa" pengarang, telah dimanfaatkan pengarang untuk
memajukan mutu dunia sastra atau menggunakan hak istimewa itu hanya sebagai usaha untuk
menghasilkan karya sastra yang biasa-biasa saja, atau bahkan untuk sekadar "main-main" agar kelihatan
sebagai karya avant garde?kriteria kematangan (wawasan dan intelektualitas) ini dapat kita gunakan
sebagai salah satu alat untuk melihat kematangan seorang pengarang dalam menangkap dan menyajikan
sebuah persoalan. Satu persoalan yang sama akan dimaknai secara berbeda oleh para penyair, bergantung
pada tingkat kematangan masing-masing. Kriteria beriktunya menyangkut orisinalitas. Kriteria ini tentu
saja tidak harus didasarkan pada keseluruhan unsurnya yang memperlihatkan keaslian atau orisinalitasnya.
Bagaimana juga tidak ada satu pun karya yang 100 persen memperlihatkan orisinalitasnya. Selalu saja ada
persamaannya dengan karya-karya yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu pula, untuk menentukan
orisinalitas karya yang bersangkutan, kita harus juga melihat karya-karya yang terbit sebelumnya.
Mengingat kriteria orisinalitas sangat ditentukan juga oleh keberadaan karya-karya yang terbit sebelumnya,
maka di dalam pelaksanaannya kritena orisinalitas bertumpang tindih dengan kriteria kebaruan.

Banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai orisinalitas karya sastra. Pertama, dilihat dari salah satu
unsumya yang membangun karya sastra yang bersangkutan; tema, latar, tokoh, alur, atau sudut pandang
(jika novel); bait, larik, diksi, atau majas (jika puisi), atau tokoh, tema, latar, alur, bentuk dialog atau
petunjuk pemanggungan (jika drama). Kedua dilihat dari cara penyajiannya; bagaimana pengarang
menyampaikan kisahannya (novel), citraannya (puisi) atau dialog dan petunjuk pemanggungannya (drama).

Sebagai contoh, perhatikan puisi "1943” karya Chairil Anwar itu. Meskipun ia menggunakan bahasa
Indonesia seperti juga para penyair sebelumnya, keaslian atau orisinalitas puisi Chainl —salah satunya—
terletak pada pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari yang oleh para penyair sebelumnya tidak digunakan.
Demikian juga, bentuk larik yang digunakan Chairil, merupakan sesuatu yang khas dan orisinal karya
Chairil. Contoh yang lebih ekstrem lagi dapat kita lihat pada beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri
seperti "Tragedi Winka & Sihka", "Q", "Luka" yang hanya berisi satu larik: ha ha atau puisi "Kalian" yang
juga berisi satu larik yang lebih pendek lagi: pun.

Ketika kita membaca puisi-puisi Sutardji seperti tersebut di atas, maka komentar yang sering kali muncul
adalah pernyataan berikut: "Ah, jika itu puisi, maka kita juga dapat membuat puisi yang seperti itu." Tetapi,
apakah pernyataan yang sama itu akan muncul sebelum kita tahu ada puisi yang demikian? Dalam hal ini,
orisinalitas terletak pada orisinalitas gagasannya yang justru pada waktu itu tidak terpikirkan oleh penyair
lain. Jadi, apakah karya yang seperti itu sebelumnya telah ada? Jika ada, apakah polanya persis sama?
Dalam hal tersebut, selalu saja kita akan menemukan sesuatu yang baru, yang orisinil.

Kriteria berikutnya yang dapat kita gunakan untuk membuat penilaian adalah masalah yang menyangkut
aspek kepaduan. Pada karya-karya Chairil Anwar, kepaduan itu terlihat dari pilihan kata (diksi) yang
digunakannya dalam setiap larik puisi. Dan keseluruhannya membangun sebuah tema. Puisi Chairil yang
berjudul "1943" atau "Aku", misalnya, mengapa larik-lariknya tidak membangun bait-bait (" 1943"),
mengapa pula satu baitnya kadang kala hanya terdiri dari satu kata ("Aku")?Kriteria lainnya adalah
kompleksitas. Puisi Chairil Anwar "1943", misalnya, memberi gambaran dan pencitraan yang sangat
kompleks, rumit dan problematik yang dihadapi aku lirk yang gelisah dan meradang. Persoalan yang
dihadapi tokoh Siti Nurbaya, Hanafi, atau Zainuddin, juga bukanlah persoalan yang sederhana. Mereka
harus berhadapan dengan masalah sosio-kultural yang tentu hanya mungkin dapat diselesaikan melalui
proses penyadaran yang juga menyangkut masalah sosio-kultural. Dilihat dari sudut pengarang,
kompleksitas itu juga sangat bergantung pada memahaman sastrawan bersangkutan mengenai masalah
budaya yang melingkarinya. Pemahaman kultural itulah yang kemudian disajikan dan berusaha
diselesaikan pengarang, juga melalui pendekatan budaya. Dengan begitu, penyelesaiannya juga tentu saja
tidak seder hana, dan tidak mungkin dapat dilakukan secara hitam putih.

Kriteria kompleksitas atau kerumitan ini akan lebih jelas jika kita membandingkannya dengan novel
populer. Di dalam novel populer, semua persoalan akan diselesaikan secara gampangan, hitam-putih.
Dalam Ali Topan Anak Jalanan, misalnya, dengan mudah saja Ali Topan membawa kabur kekasihnya,
tanpa proses yang rumit yang melibatkan konflik batin atau problem kultural. Kemudian, orang tua
kekasihnya yang semula tidak merestui hubungan anaknya dengan Ali Topan, dengan mudah saja terpaksa
merestui hubungan itu. Mereka pun akhimya memkah. Selesai, happy ending!

Dalam Sitti Nurbaya, bisa saja pengarang tidak mematikan Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri. Bisa juga
dalam duel antara Datuk Maringgih dan Samsul Bahri, yang mati Datuk Maringgih. Dengan demikian,
terbukalah peluang untuk Samsul Bahri untuk menikahi pujaan hatinya, Sitti Nurbaya. Ternyata
penyelesaiannya tidak demikian. Ketiga tokoh itu, semuanya akhimya mati. Dengan cara penggambaran
seperti itu, pembaca secara langsung diajak untuk ikut berpikir memaknai akhir cerita yang tragis itu. Dan
secara tidak langsung pula, pembaca "digiring" untuk berpihak; simpati atau antipati kepada tokoh-tokoh
itu. Dalam hal kriteria kompleksitas ini, seperti telah disinggung, pembaca diajak juga untuk merefleksikan
atau ikut memikirkan persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh dalam novel bersangkutan. Jadi bisa saja
masalahnya sederhana, tetapi penyajiannya begitu rumit yang menyangkut masalah sosial budaya yang
pada akhirnya bermuara pada masalah manusia dan kemanusian secara universal.

Kriteria terakhir menyangkut kedalaman makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Larik terakhir
puisi Taufiq: Malu aku jadi orang Indonesia atau citraan yang ditampilkan Sapardi dalam puisi "Layang-
layang" sesungguhnya memantulkan kedalaman gagasan kedua penyair itu dalam mengangkat masalah
yang dihadapi umat manusia. Apa yang dikatakan Taufiq, Malu akujadi orang Indonesia, sungguh
mewakili kedukaan luar biasa, kepedihan yang perih, sekaligusjuga kegeramannya pada kebejatan moral.
Di balik sikap itu, ia justru sangat peduli pada nasib masa depan bangsanya.

Anda mungkin juga menyukai