Anda di halaman 1dari 2

NAMA : LAODE MOHAMMAD NURALAM

NIM : 0401173098

M.K : SOSIOLOGI AGAMA

DOSN : AULIA KAMAL

Asal Usul Agama Emile Durkheim

Emile Durkheim lahir di Epinal Perancis yang terletak di Lorraine pada 15 April 1858. Ia
berasal dari keluarga Yahudi Perancis yang saleh dan kakenya Rabi, hidupnya sendiri sama
sekali sekuler. Kebanyakan karyanya dimaksudkan untuk membukikan bahwa fenomena
keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. ia mendirikan fakultas sosiologi
pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang
diabdikan kepada ilmu sosial, L’Année Sociologique pada 1896. Minat Durkheim dalam
fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia
telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekuler.

Durkheim adalah seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara
politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya
memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja
dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan
perkembangannya. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas
Bourdeaux. Durkheim memberikan penjelasan yang terperinci tentang agama, gereja, ilahiah dan
duniawi sehingga para sosiolog dapat mengenali dan membedakan antara agama dan bukan
agama. Durkheim juga kesulitan untuk membentuk ilmu sosial agama yang melampaui metode
lama mahzab antropologi. Menurutnya tujuan dari metode tersebut untuk melampaui perbedaan
nasional dan historis terhadap basis manusia yang universal dan sesungguhnya dari kehidupan
beragama yang bebas dari tatanan sosialnya. Meskipun sejalan dengan tujuan ilmiah antar
antropolog dalam upayanya memahami sifat religius manusia, Durkheim yakin manusia
bukanlah sesuatu yang alami dalam individu, melainkan suatu produk dari sebab-sebab sosial
yang tidak mungkin memisahkan dari suatu seting sosial.

Durkheim memberikan penekanan tanpa henti seharusnya sosiologi seharusnya


menjelaskan fakta-fakta sosial, fenomena sosial bukan dalam hal manifestasi perorangan,
melainkan sosial, untuk memperluas bahasannya tentang agama. Penekanan tentang seting sosial
dan konsekuensi sosial dari agama dan dipengaruhi oleh pendapat Tylor bahwa suatu definisi
yang sempit tentang agama sebagai keyakinan kepada suatu zat yang maha tinggi akan
menaifkan keyakinan kesukuan terhadap spiritual mendorong Durkheim untuk memberikan
suatu definisi yang luas tentang apa yang suci itu. Durkheim menyatakan bahwa semua agama
mengklasifikasikan kesucian (segala hal yang dikesampingkan dan dilarang) dan keduniawian.
Durkheim memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang menjadikan agama sebagai
suatu praktik sosial, dengan menyatakan “fenomena religius secara alami terbagi menjadi dua
kategori dasar, yaitu keyakinan dan ritual. Yang pertama merupakan pendapat dan representasi
(simbol-simbol), yang kedua adalah cara berperilaku yang baku (praktik-praktik khusus). Setelah
penekanan Durkheim tentang sifat kolektif pada kehidupan sosial, keyakinan dan ritual
keagamaan atau ritual bukanlah khas perseorangan, namun pasti merupakan milik bersama.
Fokus telaahnya pada unsur-unsur sosial yang menghasilkan solidaritas dengan melihat agama
sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. “Agama merupakan suatu sistem
interpretasi diri kolektif. Dengan kata lain, agama adalah sistem simbol dimana masyarakat bisa
menjadi sadar akan dirinya,ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif”. Agama tidak lain
adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Keyakinan agama yang tepat
selalu dimiliki oleh sekumpulan orang tertentu yang menganut dan mempraktikkan ritual yang
menyertai keyakinan itu. Keyakinan ini tidak hanya dimiliki oleh setiap anggota kumpulan ini
sebagai perorangan, melainkan juga oleh kelompok tersebut dan mempersatukan mereka.
Individu yang membentuk kelompok ini terkait satu sama lain melalui kesamaan keyakinan.

Durkheim sering dikritik karena ia melihat agama hanya sebagai ideologi yang
melegitimasikan tatanan sosial. Kritik seperti itu kurang tepat. Sebab bagi Durkheim, agama
mengekspresikan nilai-nilai terdalam yang ada dalam tatanan sosial, mengenang saat-saat yang
berarti dalam sejarah dan memproyeksikan gambaran simbolik mengenai masa depan
masyarakat. Agama pada masa tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial, dan
pada saat lainnya dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu pada gambaran
masyarakat ideal. Dengan demikian dapat menumbuhkan gerakan pembaruan.

REFRENSI BUKU

Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai