4.1 Hasil
4.1.1 Pertumbuhan Ikan Nila
Kegiatan budidaya polikultur ikan nila dan rumput laut memiliki tujuan
peningkatan produksi. Gambar 3 dan 4 menunjukkan penambahan bobot total
ikan nila yang dipelihara bersama rumput laut maupun tanpa rumput laut. Ikan
nila yang dipelihara bersama rumput laut memiliki pertumbuhan yang lebih baik
dari monokultur selama 35 hari pemeliharaan.
Gambar 3 menunjukkan grafik pertumbuhan bobot ikan nila yang setiap
minggu bertambah pada semua perlakuan. Penambahan bobot pada perlakuan
ikan nila 100 ekor/m3 tanpa rumput laut memiliki pertumbuhan bobot paling
rendah setiap minggu selama 35 hari pemeliharaan yaitu sebesar 106,90±3,98
gram. Pemeliharaan minggu kedua sampai ketiga menggambarkan penambahan
bobot yang relatif kecil dari minggu sebelumnya.
Grafik pertumbuhan perlakuan penambahan rumput laut (polikultur) selalu
memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan tanpa rumput laut.
Perlakuan dengan kepadatan rumput laut tertinggi 600 gram/m3 + ikan nila 100
ekor/m3, selalu memiliki pertumbuhan paling baik diantara perlakuan yang lain
yaitu dengan bobot akhir 154,02±1,49 gram, disusul dengan kepadatan 400
gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 dengan bobot akhir 145,32±1,11
gram, kemudian perlakuan kepadatan 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100
ekor/m3 memiliki bobot akhir 142,13±1,99 gram. Perlakuan polikultur pada
minggu kedua hingga ketiga memiliki pertumbuhan yang relatif kecil
dibandingkan dengan minggu sebelumnya maupun setelahnya, sedangkan pada
minggu awal hingga minggu kedua memiliki grafik pertumbuhan yang besar pada
setiap perlakuan (Lampiran 4).
Grafik hubungan antara waktu pemeliharaan terhadap penambahan bobot
total ikan nila selama 35 hari pemeliharaan yang diukur setiap minggu, terdapat
pada Gambar 3.
16
180
160
140
Bobot (gram)
120
100
80
0 gram/m3
60
200 gram/m3
40
400 gram/m3
20
600 gram/m3
0
0 1 2 3 4 5
Minggu ke-
Gambar 3. Biomasa ikan nila (Oreochromis niloticus) pada berbagai padat tanam
rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
180
170
160 154,02
150 142,13 145,32
Bobot (gram)
140
130
120
106,90
110
100
90
80
0 200 400 600
17
Gambar 5 menunjukkan peningkatan panjang ikan nila pada keempat
perlakuan setiap minggu. Perlakuan tanpa rumput laut menghasilkan panjang yang
relatif lebih kecil setiap minggu. Peningkatan panjang ikan nila paling besar pada
keempat perlakuan terdapat pada minggu awal hingga kedua terlihat dari
kemiringan garis yang lebih curam dibanding minggu setelahnya.
Perlakuan dengan penambahan rumput laut pada kepadatan berbeda
memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan tanpa rumput laut setiap
minggu. Namun, pada perlakuan polikultur, panjang ikan nila yang dihasilkan
tidak berbeda nyata hingga 35 hari pemeliharaan (P<0,05).
8
7
6
Panjang (cm)
5 0 gram/m3
4 200 gram/m3
3 400 gram/m3
2 600 gram/m3
1
0
0 1 2 3 4 5
Minggu ke-
Gambar 5. Panjang ikan nila (Oreochromis niloticus) pada berbagai padat tanam
rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
18
Grafik model peningkatan panjang ikan nila yang terbentuk selama 35 hari
pemeliharaan dengan berbagai kepadatan rumput laut setiap perlakuan, terdapat
pada Gambar 6.
7,40
7,20 7,06
6,96
7,00 6,84
Panjang (cm)
6,80
6,53
6,60
6,40
6,20
6,00
5,80
5,60
0 200 400 600
Laju pertumbuhan harian (LPH) ikan nila adalah penambahan bobot dalam
persen (%) ikan nila setiap hari selama pemeliharaan. LPH ikan nila pada
kepadatan 100 ekor/m3 ikan nila tanpa rumput laut memiliki nilai paling kecil
dibandingkan perlakuan polikultur, yaitu 2,03±0,40% per hari. Perlakuan dengan
kepadatan 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 menghasilkan LPH
ikan nila yang rendah yaitu 2,91±0,37% per hari, sedangkan perlakuan dengan
kepadatan 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 menghasilkan LPH
yang paling besar yaitu 3,12±0,21% per hari, nilai tersebut tidak jauh berbeda
pada perlakuan 400 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 dengan nilai
LPH 3,05±0,22% per hari. Hal ini terlihat pada Gambar 7 LPH ikan nila pada
perlakuan 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3, 400 gram/m3 rumput
laut + ikan nila 100 ekor/m3, 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3,
dan ikan nila 100 ekor/m3 tanpa rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
Persamaan garis yang terbentuk adalah LPH nila= 2,030 + 0,00686x –
0,0000016x2 + 0,0000001x3, dengan R2=76,7% sehingga 1 gram rumput laut
menghasilkan laju pertumbuhan harian ikan nila sebesar 2,03% per hari pada
kondisi lingkungan budidaya yang sesuai. Grafik garis memiliki kecenderungan
19
peningkatan padat tanam rumput laut menyebabkan peningkatan laju
pertumbuhan ikan nila sejalan dengan persamaan kubik di atas. Grafik garis
Gambar 7 memiliki nilai korelasi cukup erat 0,773 dan signifikan (P<0,05).
Laju pertumbuhan harian ikan nila pada perlakuan monokultur dan
polikultur yang dipelihara bersama rumput laut dalam satu wadah pemeliharaan
selama 35 hari, terdapat pada Gambar 7.
2,91
3,5
3,0 2,03
2,5
(%/hari)
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
0 200 400 600
20
nila 100 ekor/m3, 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3, dan ikan nila
100 ekor/m3 tanpa rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
Grafik garis pertumbuhan bobot relatif ikan nila selama 35 hari terhadap
padat tanam rumput laut yang dipelihara secara polikultur, terdapat pada Gambar
8.
250,0
Pertumbuhan relatif (%)
198,10
200,0 174,38 191,04
150,0
105,05
100,0
50,0
0,0
0 200 400 600
Padat tanam rumput laut (gram/m3)
21
laut + ikan nila 100 ekor/m3, 400 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3,
dan 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 selama 35 hari
pemeliharaan (Lampiran 5).
120,0
100,0 99,00
Bobot (gram)
0,0
0 1 2 3 4 5
Minggu ke-
Gambar 9. Pertumbuhan biomasa rumput laut (Gracilaria verrucosa) pada
berbagai padat tanam rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
22
menunjukkan hubungan padat tanam rumput laut pada masing-masing perlakuan
terhadap laju pertumbuhan rumput laut pada pemeliharaan bersama ikan nila
dengan kepadatan 100 ekor/m3.
Grafik pada Gambar 10 menunjukkan peningkatan padat tanam rumput laut
menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan rumput laut mengikuti persamaan
LPH rumput laut = 0,0452 + 0,01088x – 0,000013x2 dengan R2= 96,4%, yaitu
setiap 1 gram rumput laut akan memiliki laju pertumbuhan harian sebesar
0,0056%/hari dipelihara dengan ikan nila kepadatan 100 ekor/m3 selama 35 hari.
Grafik garis memiliki kecenderungan penurunan saat titik kepadatan rumput laut
400 gram/m3. Grafik garis Gambar 10 memiliki korelasi 0,801 dan signifikan
(P<0,05).
3,00
Laju pertumbuhan harian
2,50
2,22
(%/hari)
2,03
2,00 1,84
1,50
1,00
0 200 400 600
23
Hal ini terlihat dari Gambar 11 tingkat kelangsungan hidup ikan nila
(O. niloticus) selama pemeliharaan 35 hari, nilai kelangsungan hidup tertinggi
terdapat pada perlakuan dengan kepadatan rumput laut 600 gram/m3 rumput laut +
ikan nila 100 ekor/m3 yaitu 91,36±4,28% dan terendah pada perlakuan ikan nila
100 ekor/m3 tanpa rumput laut yaitu 72,84±2,14%, pada perlakuan 200 gram/m3
rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3, dan kepadatan 400 gram/m3 rumput laut +
ikan nila 100 ekor/m3, memiliki kelangsungan hidup secara berturut-turut adalah
85,19±2,62% dan 90,12±4,28% (Lampiran 6).
80 72,84
70
60
50
40
30 b a
20
10
0
0 200 400 600
4.1.4 Feeding Convertion Ratio (FCR) dan Efisiensi Pemberian Pakan (EPP)
Nilai konversi pakan menggambarkan efisiensi pakan yang diberikan ke
ikan nila dalam menghasilkan bobot akhir. Feeding convertion ratio adalah
jumlah pakan yang diberikan (kg) untuk menghasilkan 1 kg bobot tubuh ikan.
FCR ikan nila tertinggi terdapat pada perlakuan dengan pemeliharaan ikan nila
100 ekor/m3 tanpa rumput laut yaitu 4,31±1,60 memiliki arti dalam menghasilkan
1 kg ikan nila dibutuhkan pakan sebanyak 4,31 kg, sedangkan pada kepadatan
rumput laut tertinggi 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 FCR
sebesar 1,87±0,18 memiliki arti dalam menghasilkan 1 kg bobot ikan nila
membutuhkan 1,87 kg pakan.
Efisiensi pakan merupakan persen tingkat efisiensi pakan untuk
pertumbuhan ikan nila. Efisiensi pakan tertinggi diperoleh pada nilai FCR
terendah. Jadi pada perlakuan monokultur ikan nila dengan nilai FCR tertinggi
24
menghasilkan efisiensi 23,19±3,64% lebih rendah dari perlakuan pemberian
rumput laut, dan efisiensi pemberian pakan tertinggi terdapat pada perlakuan 600
gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 dengan FCR terendah, nilai EPP
yaitu sebesar 53,60±1,84%. FCR dan EPP sangat dipengaruhi dari bobot akhir,
bobot awal, bobot mati ikan nila dan total pakan yang diberikan selama
pemeliharaan (Lampiran 13 dan 14).
Tabel 1. Feeding Convertion Ratio (FCR) dan Efisiensi Pemberian Pakan (EPP)
ikan nila (Oreochromis niloticus) pada berbagai padat tanam rumput laut
selama 35 hari pemeliharaan
Padat tanam rumput laut (gram/m3)
Peforma Ikan nila
0 200 400 600
Bobot Awal (g) 52,13±0,15 51,80±1,41 49,93±0,57 51,67±0,07
Bobot Akhir (g) 106,90±3,98b 142,13±1,99a 145,32±1,11a 154,02±1,49a
Bobot Mati (g) 18,47±1,19a 11,30±2,56ab 7,23±4,72b 7,07±3,49b
Total Pakan (g) 140,5 158,6 167,1 176,7
FCR 4,31±1,60a 2,06±0,38b 1,90±0,08b 1,87±0,18b
EPP (%) 23,19±3,64b 48,61±4,42 a
52,70±1,46a 53,60±1,84a
Keterangan : Huruf superscript dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris
menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)
25
Tabel 2. Nitrogen dalam air yang dikeluarkan oleh ikan nila Oreochromis
niloticus pada berbagai padat tanam rumput laut selama 35 hari
pemeliharaan (mg/L).
Padat Minggu ke-
tanam
(gram/m3) 1 2 3 4 5
200 1.589±0.00 2.004±0.13ab 2.148±0.30ab 2.271±0.13ab 2.504±0.13bc
a ab a
400 1.589±0.00 2.032±0.02 2.235±0.16 2.429±0.17 2.797±0.10b
600 1.589±0.00 2.060±0.03a 2.358±0.24a 2.564±0.32a 3.151±0.10a
0 1.589±0.00 1.779±0.12b 1.871±0.13b 1.825±0.24b 2.257±0.19c
Keterangan :
Huruf superscript dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap kolom
menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)
Pada minggu ke-6 telah dilakukan pemanenan, sehingga angka N yang dikeluarkan ikan
nila sebesar 0 (tidak dilakukan pengukuran).
26
perbedaan kepadatan rumput laut yang berbeda memiliki konsentrasi TAN yang
tidak berbeda nyata, tetapi ketiga perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap
perlakuan tanpa rumput laut atau monokultur (P<0,05).
3,5
KonsentrasiTAN (mg/L)
3,0
2,5 0 gram/m3
2,0 200 gram/m3
400 gram/m3
1,5
600 gram/m3
1,0
0,5
0,0
-0,5 0 1 2 3 4 5
Minggu ke-
Gambar 12. Konsentrasi TAN di wadah pemeliharaan pada berbagai padat tanam
rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
27
3,00 Ulangan 1
2,00 Ulangan 3
1,50
1,00
0,50
0,00
0 200 400 600
28
1,00
0,40
0,20
0,00
0 1 2 3 4 5
-0,20
Minggu ke-
Gambar 14. Konsentrasi nitrit (NO2-) di wadah pemeliharaan pada berbagai padat
tanam rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
29
0,90 Ulangan 1
30
12,00
8,00
6,00 0 gram/m3
200 gram/m3
4,00 400 gram/m3
600 gram/m3
2,00
0,00
0 1 2 3 4 5
-2,00
Minggu ke-
Gambar 16. Konsentrasi nitrat (NO3-) di wadah pemeliharaan pada berbagai padat
tanam rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
31
10,0
Konsentrasi fosfat perlakuan ikan nila 100 ekor/m3 tanpa rumput laut pada
Gambar 18 terlihat mengalami peningkatan setiap minggu dan memiliki nilai yang
lebih besar dari perlakuan yang lain. Peningkatan konsentrasi fosfat perlakuan ini
terjadi pada minggu keempat, terlihat dari grafik lebih curam dari minggu
sebelumnya. Konsentrasi fosfat perlakuan ini memiliki nilai 6,328±0,48 mg/L
selama 35 hari pemeliharaan. Nilai ini tidak berbeda nyata terhadap perlakuan
pada kepadatan 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 yang memiliki
konsentrasi fosfat 5,716±0,58 mg/L.
Konsentrasi fosfat pada perlakuan dengan kepadatan rumput laut 600
gram/m3 + ikan nila 100 ekor/m3 menghasilkan konsentrasi fosfat lebih rendah
dibandingkan perlakuan lain dan bahkan mengalami penurunan pada minggu
ketiga hingga kelima, perlakuan ini memiliki nilai fosfat 1,762±0,63 mg/L. Nilai
tersebut tidak berbeda nyata terhadap perlakuan dengan kepadatan 400 gram/m3
rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 dengan konsentrasi fosfat 3,700±0,56 mg/L
(P<0,05) (Lampiran 23).
Konsentrasi fosfat di wadah pemeliharaan budidaya ikan nila dan rumput
laut secara monokultur maupun polikultur selama 35 hari masa pemeliharaan
hubungan antara waktu pemeliharaan dengan konsentrasi fosfat yang dihasilkan,
terdapat pada Gambar 18.
32
Konsentrasi fosfat (mg/L)
7,0
6,0
5,0
0 gram/m3
4,0 200 gram/m3
3,0 400 gram/m3
2,0 600 gram/m3
1,0
0,0
1 3 4 5
Minggu ke-
Gambar 18. Konsentrasi fosfat (PO43-) di wadah pemeliharaan pada berbagai
padat tanam rumput laut selama 35 hari pemeliharaan.
33
8,00
5,00 Ulangan 3
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
0 200 400 600
34
3,50 2,965
2,850
3,00
((µmol/g) x103)/hari)
Penyerapan nitrogen
2,50 1,986
2,00
1,50
1,00
0,50 0
0,00
-0,50 0 200 400 600
Gambar 20. Daya serap nitrogen (N uptake) pada berbagai padat tanam rumput
laut selama 35 hari pemeliharaan.
35
0,01 0,0068
0,01 0,0063
((µmol/g) x103)/hari)
0,0055
Penyerapan fosfat
0,01
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00 0,00
0,00
0,00 0 200 400 600
Padat tanam rumput laut (gram/m3)
Gambar 21. Daya serap fosfat (P uptake) pada berbagai padat tanam rumput laut
selama 35 hari pemeliharaan.
36
Tabel 3. Perubahan kualitas air pada berbagai padat tanam rumput laut selama 35
hari pemeliharaan.
Padat tanam rumput laut (gram/m3)
Kualitas air (%)
Kontrol 200 400 600
TAN 0.00±0.00 61.12±6.20 85.04±8.73 87.72±3.53
Nitrat (NO3-) 0.00±0.00 77.67±0.17 86.36±0.78 94.95±2.02
Nitrit (NO2-) 0.00±0.00 47.91±4.69 59.40±6.58 86.09±2.16
Fosfat (PO43-) 0.00±0.00 15.19±2.07 9.67±4.83 72.15±3.24
Keterangan : Nilai 0 (nol) pada perlakuan 0 gram/m3 rumput laut menunjukkan tidak adanya
perubahan pengurangan kualitas air di akhir pemeliharaan.
37
pada bobot yang berbeda. Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada umumnya bobot
1,8 gram, 1,9 gram, dan 2,0 gram memiliki tingkat konsumsi oksigen yang tidak
jauh berbeda dan memiliki slope yang sama yaitu negatif (turun), semakin besar
lama waktu maka semakin rendah tingkat konsumsi oksigen (mg O2/gram/jam)
ikan nila, dan penurunan tingkat konsumsi oksigen tertinggi pada satu jam
pertama. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila pada kepadatan 100 ekor/m 3, dengan
bobot awal 1,8 gram, 1,9 gram, 2,0 gram secara berturut-turut 0,0059 mg
O2/gram/jam, 0,0054 mg O2/gram/jam, dan 0,0051 mg O2/gram/jam
(Lampiran 24).
0,030
1.9 gram
0,020 2.0 gram
0,015
0,010
0,005
0,000
30 60 90 120 150 180
Waktu (menit)
Gambar 22. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila (Oreochromis niloticus) pada
bobot ikan 1,8 gram, 1,9 gram, dan 2,0 gram dengan kepadatan 100
ekor/m3 selama 180 menit dalam wadah tertutup.
38
0,008
Rumput laut yang dipelihara bersama dengan ikan nila juga mengalami
proses respirasi pada siang hari (terpapar cahaya) maupun malam hari (tidak ada
cahaya). Tingkat konsumsi oksigen rumput laut tidak sebesar tingkat konsumsi
oksigen ikan nila. Gambar 24 menunjukkan tingkat konsumsi oksigen saat
terpapar cahaya matahari (6000-14000 lux). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat konsumsi oksigen rumput laut saat terpapar cahaya matahari lebih rendah
daripada saat tanpa cahaya. Grafik pada Gambar 24 menggambarkan hubungan
waktu terhadap tingkat konsumsi oksigen pada masing-masing bobot rumput laut.
Rumput laut dengan kepadatan rendah 200 gram/m3 menghasilkan tingkat
konsumsi oksigen lebih tinggi, sedangkan pada kepadatan 400 gram/m3 dan 600
gram/m3 menghasilkan konsumsi yang tidak jauh berbeda akan tetapi masih lebih
tinggi tingkat konsumsi oksigen 400 gram/m3 rumput laut. Tingkat konsumsi
oksigen rumput laut terpapar cahaya matahari pada kepadatan 200 gram/m3, 400
gram/m3, dan 600 gram/m3 secara berturut-turut 0,0030 mg O2/gram/jam, 0,0015
mg O2/gram/jam, dan 0,0011 mg O2/gram/jam (Lampiran 25).
39
0,007
0,006
(mg O2/gram/jam)
200 gram/m3
0,005
400 gram/m3
TKO
0,004 600 gram/m3
0,003
0,002
0,001
0,000
30 60 90 120 150 180
Waktu (menit)
Gambar 24. Tingkat konsumsi oksigen rumput laut (Gracilaria verucosa) pada
berbagai padat tanam, saat terpapar cahaya matahari (6000-14000
lux) dan hubungannya dengan waktu selama 180 menit dalam wadah
tertutup.
40
0,0035
0,0030
0,0030
0,0020
0,0015
0,0015
0,0011
0,0010
0,0005
0,0000
200 400 600
Gambar 25. Persamaan linier tingkat konsumsi oksigen rumput laut (Gracilaria
verucosa) pada berbagai kepadatan, saat terpapar cahaya matahari
(6000-14000 lux) dan hubungannya dengan waktu selama 180 menit
dalam wadah tertutup.
Rumput laut yang dipelihara bersama dengan ikan nila juga mengalami
proses respirasi pada siang hari (terpapar cahaya) maupun malam hari (tidak ada
cahaya). Tingkat konsumsi oksigen rumput laut tidak sebesar tingkat konsumsi
oksigen ikan nila. Gambar 26 menunjukkan tingkat konsumsi oksigen saat tanpa
terpapar cahaya matahari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi
oksigen rumput laut saat tanpa terpapar cahaya matahari lebih tinggi dibandingkan
saat terpapar cahaya. Grafik pada Gambar 26 menggambarkan hubungan waktu
terhadap tingkat konsumsi oksigen pada masing-masing bobot rumput laut.
Rumput laut dengan kepadatan tinggi 600 gram/m3 menghasilkan tingkat
konsumsi oksigen lebih tinggi, sedangkan pada kepadatan 400 gram/m3 dan 200
gram/m3 menghasilkan konsumsi yang tidak jauh berbeda. Tingkat konsumsi
oksigen rumput laut tanpa dipapar cahaya matahari pada kepadatan 600 gram/m3,
400 gram/m3, dan 200 gram/m3 secara berturut-turut 0,0046 mg O2/gram/jam,
0,0025 mg O2/gram/jam, dan 0,0018 mg O2/gram/jam (Lampiran 26).
Grafik tingkat konsumsi oksigen rumput laut (G. verucosa) pada berbagai
kepadatan, saat tanpa terpapar cahaya matahari dan hubungannya dengan waktu
selama 180 menit dalam wadah tertutup, terdapat pada Gambar 26.
41
0,008
0,007 600 gram/m3
400 gram/m3
(mg O2/gram/jam)
0,006
0,005 200 gram/m3
TKO 0,004
0,003
0,002
0,001
0,000
30 60 90 120 150 180
Waktu (menit)
Gambar 26. Tingkat konsumsi oksigen rumput laut (Gracilaria verucosa) pada
berbagai kepadatan, saat tanpa terpapar cahaya matahari dan
hubungannya dengan waktu selama 180 menit dalam wadah tertutup.
42
0,0045
0,0039
0,0040
TKO (mgO2/gram/jam)
0,0035
0,0030 0,0025
0,0025
0,0020 0,0018
0,0015
0,0010
0,0005
0,0000
200 400 600
Padat tanam rumput laut (gram/m3)
Gambar 27. Persamaan linier tingkat konsumsi oksigen rumput laut (Gracilaria
verucosa) pada berbagai padat tanam, saat tanpa terpapar cahaya
matahari dan hubungannya dengan waktu selama 180 menit dalam
wadah tertutup.
4.2 Pembahasan
Polikultur adalah suatu sistem budidaya bersama dua organisme atau lebih
dengan tujuan peningkatan produksi dan pemanfaatan lahan yang terbatas. Sistem
budidaya polikultur diindikasikan lebih menguntungkan daripada sistem
monokultur. Pemanfaatan kembali limbah buangan dari organisme satu (yaitu
ikan atau udang) terhadap organisme lain (yaitu rumput laut) untuk
pertumbuhannya menimbulkan interaksi saling menguntungkan atau simbiosis
mutualisme (integrated multi-trophic aquaculture) antara keduanya untuk
menciptakan lingkungan budidaya yang sesuai. Penelitian ini menggunakan
sistem budidaya polikultur pada ikan nila (O. niloticus) dan rumput laut
(G. verrucosa) untuk menghasilkan produk secara optimal. Interaksi positif yang
terjadi antara kedua organisme tersebut sangat menguntungkan bagi peningkatan
pertumbuhan ikan nila dan rumput laut. Hal ini didukung dengan hasil penelitian
konsentrasi nitrogen dan fosfat serta perubahan kualitas air pada sistem
monokultur dan polikultur oleh rumput laut di wadah selama 35 hari.
Perubahan nitrogen dan fosfat yang disebabkan rumput laut di wadah
pemeliharaan akan menurunkan konsentrasi kualitas air seperti pada Tabel 3,
rumput laut dengan padat tanam lebih tinggi mampu menghilangkan atau merubah
konsentrasi nitrogen dan fosfat lebih banyak. Zhou et al. (2006) G. lemaneiformis
43
dapat mengurangi jumlah hara nitrogen yang terakumulasi dalam dissoloved
inorganic nitrogen (DIN) pada wadah pemeliharaan dapat dihilangkan kurang
lebih 90%, dan rumput laut dapat menerima hampir 90% dari amonium yang
dipelihara bersama ikan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat perubahan kualitas
air berupa TAN, nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), dan fosfat (PO43-) pada wadah
pemeliharaan budidaya polikultur ikan nila dan rumput laut lebih baik dari
perlakuan monokultur. Peningkatan biomasa awal rumput laut akan meningkatkan
laju perubahan pengurangan kualitas air di wadah pemeliharaan. Perlakuan
dengan kepadatan rumput laut paling tinggi mampu menurunkan kualitas air lebih
tinggi dari perlakuan dengan kepadatan rumput laut lebih rendah, yaitu mencapai
lebih dari 85% penghilangan nitrogen, dan 72% penghilangan fosfat (Tabel 3).
Penelitian sejenis oleh Yang et al. (2006) tentang bioremediasi rumput laut
G. lemaneiformis menyatakan bahwa penyerapan nitrogen terbesar dalam bentuk
amonium oleh rumput laut. Namun, pada jenis rumput laut G. birdiae nitrogen
dalam bentuk nitrat terbuang lebih banyak dari TAN berdasarkan penelitian di
Brazil oleh Soriano et al. (2009). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Tabel 3)
yaitu nitrogen dalam bentuk nitrat terbuang lebih banyak pada semua perlakuan
pada setiap minggu, salah satu alasan adalah penyerapan oleh rumput laut.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis rumput laut, cahaya
dan pergerakan air, dan faktor biologi (umur tanaman dan kemampuan
penyimpanan nutrien pada jaringan).
Perubahan kualitas air berkaitan erat dengan buangan nitrogen di wadah
pemeliharaan oleh ikan nila dengan pemberian pakan secara terkontrol, semakin
banyak buangan ikan nila maka semakin banyak yang harus dihilangkan. Buangan
nitrogen berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme. Ikan
dengan bobot yang lebih tinggi akan diberi pakan lebih banyak, dan ikan dengan
bobot lebih rendah akan diberikan pakan lebih sedikit (Tabel 2), pada nilai feeding
ratio yang sama. Sakdiah (2009) menyatakan nilai ekskresi TAN dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain suhu, bobot, kadar nutrisi, salinitas, dan kadar TAN.
Hasil penelitian menunjukkan pada perlakuan 600 gram/m3 rumput laut + ikan
nila 100 ekor/m3 dengan LPH dan biomasa ikan nila lebih tinggi menghasilkan
buangan ikan nila yang lebih tinggi dan pada perlakuan ikan nila 100 ekor/m3
44
tanpa rumput laut menghasilkan bobot yang lebih rendah dan buangan ikan nila
lebih sedikit, akan tetapi pada perlakuan monokultur tidak terjadi pengurangan
kualitas air di wadah pemeliharaan oleh rumput laut sehingga jumlah nitrogen di
wadah pemeliharaan terakumulasi menjadi tinggi.
Jumlah nitrogen dipengaruhi oleh sistem metabolisme ikan terhadap pakan
dan kualitas air. Lingkungan wadah pemeliharaan ikan nila memiliki siklus yang
diawali dengan pemberian pakan pada ikan, kemudian pakan yang tidak termakan,
feses, dan hasil metabolisme ikan akan masuk ke wadah pemeliharaan,
mikroorganisme akan mendekomposisi bahan organik di dalam sistem sehingga
mengakibatkan peningkatan total amonia nitrogen (TAN) dan nitrit dimana
keduanya berbahaya bagi ikan pada konsentrasi tinggi, selanjutnya TAN didalam
sistem akan diubah menjadi nitrit, nitrat, dan gas nitrogen. Berdasarkan hasil
penelitian konsentrasi TAN, nitrit, dan nitrat dalam wadah budidaya bersama
rumput laut dan ikan nila jauh berbeda terhadap perlakuan monokultur ikan nila
saja.
Konsentrasi TAN, nitrit, dan nitrat yang berbeda antara perlakuan
polikultur dan monokultur dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian. Konsentrasi
TAN pada Gambar 12 setiap minggu menunjukkan perbedaan pada perlakuan
ikan nila 100 ekor/m3 tanpa rumput laut dan perlakuan dengan penambahan
rumput laut dengan bobot tertentu. Perlakuan polikultur memiliki konsentrasi
TAN lebih rendah dari monokultur, karena peranan dari rumput laut dalam
menyerap dan menyimpan nitrogen dalam bentuk TAN di wadah pemeliharaan.
Perlakuan dengan kepadatan rumput laut paling tinggi 600 gram/m3 + ikan nila
100 ekor/m3 memiliki konsentrasi TAN lebih rendah dari perlakuan polikultur
yang lain dengan kepadatan rumput laut yang lebih rendah.
Penyerapan dan penyimpanan nitrogen dalam bentuk TAN dalam bentuk
amonium (NH4+) oleh rumput laut dilakukan diseluruh bagian thallus atau
permukaan tubuh dan disimpan pada dinding sel yang terdiri dari karagenan dan
agar. Hal tersebut yang mengakibatkan perlakuan 600 gram/m3 rumput laut + ikan
nila 100 ekor/m3 memiliki konsentrasi TAN lebih rendah, semakin besar bobot
rumput laut, semakin luas permukaan thallus maka bidang penyerapan akan
semakin optimal dalam mengurangi konsentrasi TAN di wadah pemeliharaan
45
dibandingkan dengan rumput laut yang memiliki bobot dan luas permukaan
thallus lebih kecil. Hal ini terlihat pada Gambar 13 yang menunjukkan hubungan
berbanding terbalik antara biomasa rumput laut terhadap konsentrasi TAN di
wadah pemeliharaan.
Penyerapan nitrogen oleh rumput laut dalam bentuk amonium dan nitrat
(NO3-), oleh karena itu hasil yang ditunjukkan pada Gambar 16, sama dengan
Gambar 12, yaitu pada perlakuan polikultur selalu memiliki konsentrasi nitrat
lebih baik. Thallus rumput laut Ulva rigida mampu menyerap secara optimal
nitrat pada kisaran 400-500 µmol nitrat (g DM)-1 pada sel (Naldi 2002).
Kemampuan menyerap ion dan mineral di wadah pemeliharaan berbeda-beda
pada masing-masing jenis rumput laut. Hal ini dipengaruhi oleh jenis rumput laut,
cahaya dan pergerakan air, dan faktor biologi (umur tanaman dan kemampuan
penyimpanan nutrien pada jaringan).
Nitrogen di wadah pemeliharaan tidak hanya berupa TAN tetapi juga
dalam bentuk nitrit, melalui bakteri Nitrosomonas TAN diubah menjadi nitrit
yang bersifat lebih berbahaya bagi organisme (ikan dan udang). Hasil penelitian
(Gambar 14) menunjukkan perbedaan yang signifikan perlakuan polikultur ikan
nila dan rumput laut dengan monokultur ikan nila. Pada perlakuan monokultur
terjadi peningkatan nitrit setiap minggu, sedangkan pada perlakuan polikultur
memperlihatkan konsentrasi nitrit yang lebih rendah. Hal ini membuktikan bahwa
rumput laut tetap memberikan pengaruh positif di wadah pemeliharaan, walaupun
penyerapan rumput laut terhadap nitrit sangat kecil dibandingkan dengan TAN
dan nitrat.
Pengaruh rumput laut juga terlihat pada kurva kubik Gambar 15,
menjelaskan hubungan berbanding terbalik antara padat tanam rumput laut
terhadap konsentrasi nitrit yang dihasilkan, semakin besar padat tanam rumput
laut maka semakin memberikan dampak positif terhadap pemeliharaan ikan nila
dan rumput laut dengan konsentrasi nitrit lebih rendah.
Sebagian besar spesies tanaman air cenderung lebih mudah dalam
menyerap nitrogen dalam bentuk NH4+ daripada dalam bentuk NO3- sebagai
sumber hara nitrogen, hal ini dikarenakan penyerapan dalam bentuk NH4+
membutuhkan sedikit energi dan karena NH4+ -N tersebar merata di perairan jenuh
46
substrat. Selain itu, tekanan tinggi pada ion H+ menyebabkan, saat konsentrasi
nitrogen (NH4+ -N) tinggi, nitrogen mudah terserap kedalam thallus rumput laut.
Berbeda dengan penyerapan nitrat oleh tanaman air, nitrat diangkut dalam
membran plasma dan nitrate reductase activity (nRA) secara keseluruhan
dipengaruhi oleh ketersediaan NO3- di wadah pemeliharaan (Jampeetong 2012).
G. verrucosa juga melakukan penyerapan mineral seperti fosfat walaupun
dalam jumlah kecil. Naldi et al. (2002) menyatakan penyerapan nutrien pada
rumput laut memiliki perbandingan N:P sebesar 20:1 pada keadaan N yang tidak
berlebih. Penghilangan fosfat dari perairan tercemar terjadi melalui tiga tahapan
yaitu penyerapan substrat (lumpur, tanah), penyerapan oleh tanaman alga, dan
pengaruh aktifitas bakteri. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada Gambar 21
penyerapan fosfat oleh rumput laut tidak sebesar penyerapan terhadap nitrogen.
Penyerapan fosfat dalam jumlah kecil diduga karena penyerapan nitrogen lebih
mendominasi seluruh bagian thallus rumput laut dibandingkan penyerapan fosfat
maupun mineral yang lain, pernyataan ini didukung dengan rendahnya konsentrasi
nitrogen pada wadah pemeliharaan perlakuan polikultur dibandingkan pada
perlakuan monokultur.
Konsentrasi fosfat di wadah pemeliharaan (Gambar 18) menunjukkan
perbedaan antara perlakuan polikultur dan monokultur. Perlakuan polikultur ikan
nila dan rumput laut menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mengurangi fosfat
di wadah pemeliharaan dari perlakuan monokultur. Perlakuan dengan kepadatan
rumput laut lebih tinggi memiliki konsentrasi fosfat lebih rendah dibandingkan
perlakuan polikultur yang lain. Peranan rumput laut dalam meningkatkan kualitas
lingkungan wadah pemeliharaan, terutama mencegah peningkatan konsentrasi
fosfat terlihat pada Gambar 18, perlakuan monokultur memiliki konsentrasi fosfat
yang terus meningkat selama 35 hari pemeliharaan. Rumput laut mampu
mengurangi fosfat dengan meyerap dan menyimpan di dalam dinding sel sebagai
kualitas air yang mampu mendukung pertumbuhan.
Secara umum, tanaman darat, tanaman air, jenis alga, dan mikroorganisme
membutuhkan mineral fosfat sebagai nutrien yang penting bagi pertumbuhan dan
pada jaringannya, meskipun dalam jaringan tersedia dalam jumlah yang lebih
sedikit dibanding dengan C dan N, mineral fosfat berfungsi sebagai transformasi
47
energi metabolik dan merupakan penyusun fosfolipida yang penting dalam
menyusun membran (Iamchaturapatr et al. 2007).
Lingkungan pemeliharaan yang sesuai akan mendukung pertumbuhan dari
kedua organisme tersebut, sesuai dengan hasil penelitian (Gambar 3 dan 4), bobot
ikan nila yang dibudidaya secara monokultur menghasilkan biomasa akhir lebih
rendah dari polikultur. Persamaan kubik pada Gambar 4 menjelaskan bahwa
setiap 1 gram rumput laut akan meningkatkan bobot ikan nila menjadi 107,2 gram
selama 35 hari. Pemeliharaan tanpa rumput laut selalu memiliki pertumbuhan
yang lebih rendah dari perlakuan polikultur. Hal ini dapat dilihat dari nilai laju
pertumbuhan harian (LPH) ikan nila pada perlakuan tanpa rumput laut
menghasilkan LPH rendah 2,03±0,40% per hari, jika dibandingkan dengan
perlakuan polikultur 3,12±0,21% per hari pada perlakuan 600 gram/m3 rumput
laut + ikan nila 100 ekor/m3. Sakdiah (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, umur, dan kualitas air. Peningkatan
bobot ikan nila merupakan tingkat pemberian pakan yang ditransformasikan
menjadi biomassa ikan nila. Pakan yang diberikan dan daya serap energi dari
pakan yang sama menjadi penunjang pertumbuhan ikan, sehingga dalam hasil
penelitian diduga pada sistem polikultur ikan nila mampu memanfaatkan pakan
lebih baik dari monokultur, dan hal ini didukung dengan nilai FCR dan EPP yang
lebih baik pada Tabel 1.
Feeding convertion ratio (FCR) dan efisiensi pakan menjadi salah satu
indikator peningkatan bobot ikan. Sistem polikultur rumput laut dan ikan nila
menghasilkan FCR lebih rendah dan EPP lebih tinggi dari monokultur, semakin
kecil nilai FCR maka semakin banyak pakan yang dimakan dan terserap oleh
tubuh untuk pertumbuhan. Tingkat FCR dan efisiensi pakan akan mempengaruhi
jumlah limbah hasil metabolisme ikan nila, semakin rendah efisiensi pakan maka
akan semakin banyak limbah nitrogen yang terbuang, hal ini didukung dengan
nilai pengeluaran nitrogen ikan nila pada Tabel 2, diduga pada biomassa ikan
lebih besar akan menghasilkan limbah nitrogen lebih banyak. Tingkat nafsu
makanan ikan nila juga dipengaruhi oleh kualitas air wadah pemeliharaan. Zhou et
al. (2006) menyatakan G. lemaneiformis sangat efisien dalam menyerap nutrien
dari sistem budidaya polikultur bersama ikan konsumsi. Oleh karena itu kualitas
48
air di wadah pemeliharaan polikultur rumput laut dan ikan nila lebih baik dari
monokultur serta nafsu makan ikan nila lebih meningkat pada sistem polikultur.
Kemampuan rumput laut dalam menyerap nutrien, khususnya nitrogen dan
fosfat berdampak positif bagi ikan nila dan rumput laut. Ikan nila mendapatkan
kualitas media pemeliharaan yang lebih baik dan rumput laut mendapatkan
nitrogen dan fosfat sebagai kualitas air untuk pertumbuhan. Abreu et al. (2011)
menyatakan penyerapan nitrogen (amonium, nitrat) di wadah pemeliharaan oleh
rumput laut G. vermiculuphylla dilakukan dengan difusi pada seluruh bagian
thallus. Jadi, semakin banyak thallus yang mampu menyerap nitrogen akan
semakin baik kualitas air dan pertumbuhan rumput laut pada kondisi tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan rumput laut pada kepadatan
400 gram/m3 dan 600 gram/m3 lebih baik dari kepadatan 200 gram/m3 yang
terlihat dari nilai LPH masing-masing perlakuan. LPH rumput laut terbesar pada
perlakuan dengan 400 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 yaitu,
2,22±0,10% per hari, sedangkan perlakuan dengan kepadatan rumput laut paling
rendah 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 memiliki nilai LPH
1,84±0,09% per hari. Nilai LPH rumput laut yang dipelihara bersama ikan nila
lebih tinggi dari monokultur rumput laut saja, seperti pada hasil penelitian Novia
(2011) pada salinitas 15 ppt rumput laut (Gracilaria verrucosa) memiliki LPH
tertinggi dengan nilai 1,92±0,501% per hari.
Salah satu alasan yang dapat menerangkan penurunan nilai laju
pertumbuhan harian rumput laut pada kepadatan 600 gram/m3 adalah semakin
tinggi kepadatan rumput laut dalam suatu wadah pemeliharaan maka kemampuan
fotosintesis dan penyerapan nitrogen dan fosfat akan berkurang, sehingga
ketersediaan energi untuk pertumbuhan akan berkurang. Selain itu Yang (2006)
menyatakan kualitas perairan juga mempengaruhi dalam pertumbuhan rumput laut
seperti suhu, pada suhu ekstrim Gracilaria verrucosa akan mengalami penurunan
produksi bahkan tidak lagi tumbuh.
Sinaga (2010) menyatakan penyerapan nutrien berupa fosfat dan nitrat
disebut dengan daya serap total fosfat dan daya serap nitrat. Penyerapan nutrien
berlangsung secara difusi melalui seluruh permukaan thallus. Daya serap nutrien
oleh rumput laut dapat diukur berdasarkan bobot dan luas permukaan. Masuknya
49
nitrogen ke dalam jaringan tubuh rumput laut melalui proses difusi yang terjadi
pada seluruh permukaan thallus rumput laut. Nitrogen yang diserap diproses
melalui tahapan fiksasi nitrogen, nitrifikasi, asimilasi, dan denitrifikasi serta
amonifikasi umumnya dilakukan oleh bakteri sedangkan proses asimilasi
dilakukan oleh tumbuhan termasuk alga (Barsanti et al. 2006).
Laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut berpengaruh langsung
terhadap pertumbuhan thallus rumput laut. Pertumbuhan thallus rumput laut
diduga semakin memperbesar luas permukaan thallus dan luas bidang difusi
nitrogen di wadah pemeliharaan. Semakin besar permukaan thallus maka semakin
luas permukaan difusi nitrogen, dan penyerapan nitrogen semakin tinggi. Hal ini
terlihat dari hasil penelitian, penyerapan nitrogen pada perlakuan dengan
kepadatan rumput laut lebih tinggi, yaitu 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100
ekor/m3 dan 400 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 memiliki
konsentrasi penyerapan lebih tinggi dari perlakuan 200 gram/m3 rumput laut +
ikan nila 100 ekor/m3, nilai penyerapan nitrogen secara berturut-turut sebesar
2,965x103 µmol/gram per hari dan 2,850x103 µmol/gram per hari serta 1,986x103
µmol/gram per hari pada perlakuan 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100
ekor/m3.
Nilai penyerapan nitrogen di wadah pemeliharaan oleh rumput laut dapat
digunakan sebagai indikator mengetahui konsentrasi protein dan perubahan
kualitas air yang disebabkan oleh rumput laut. Tubuh tumbuhan tersusun oleh sel-
sel yang setiap intinya memiliki dinding sel selulosa bersifat permeable yang
dilewati air dan zat terlarut didalamnya termasuk nitrogen. Nitrogen yang terserap
akan diubah menjadi asam-asam amino pembentuk protein tersimpan dalam
dinding sel selulosa (Barsanti et al. 2006). Oleh sebab itu protein pada rumput laut
juga terdapat pada dinding sel selulosa dari tumbuhan. Konsentrasi protein thallus
rumput laut pada perlakuan 600 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3
lebih tinggi dari perlakuan 400 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 lebih
tinggi dari 200 gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 berturut-turut adalah
24,31%, 22,06%, dan 18,38%. Hal ini diduga pada padat tanam rumput laut lebih
tinggi memiliki luas permukaan dan dinding sel yang tebal dan besar (Sinaga
2010), sehingga penyimpanan nutrien oleh dinding sel lebih banyak. Selain
50
melakukan penyerapan nitrogen rumput laut (G. verrucosa) juga melakukan
penyerapan terhadap mineral-mineral lain termasuk fosfat. Penyerapan fosfat oleh
rumput laut tidak sebesar penyerapan nitrogen terhadap rumput laut, akan tetapi
tetap dipengaruhi oleh LPH rumput laut. Penyerapan fosfat perlakuan 600
gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 lebih tinggi dari perlakuan 400
gram/m3 rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3 lebih tinggi dari 200 gram/m3
rumput laut + ikan nila 100 ekor/m3.
Kondisi wadah pemeliharaan yang kurang sesuai dapat ditinjau dari
ketahanan ikan terhadap media pemeliharaan, ikan nila yang hidup pada wadah
pemeliharaan yang sesuai untuk kehidupannya secara umum memiliki tingkat
kematian yang rendah dan bobot tubuh yang baik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan ikan nila 100 ekor/m3 tanpa rumput laut menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup rendah dibanding perlakuan polikultur yaitu sebasar
72,84±2,14%, sedangkan perlakuan polikultur ikan nila dan rumput laut
menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih dari 85%, sesuai dengan kriteria
kegiatan budidaya harus memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih dari 80%.
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan nila pemeliharaan secara monokultur
disebabkan kualitas air yang kurang mendukung, konsentrasi TAN, nitrit, nitrat
dan fosfat yang cenderung lebih tinggi dibanding perlakuan polikultur selama 35
hari pemeliharaan.
Penyerapan energi yang berasal dari pakan tidak mampu dimanfaatkan
ikan untuk pertumbuhan bobot dan panjang ikan nila, akan tetapi energi tersebut
dialihkan untuk melakukan proses adaptasi atau penyesuaian diri ikan nila
terhadap lingkungan yang tidak sesuai, sehingga energi yang dibutuhkan
berkurang, sehingga ikan akan mengalami kemunduran pertumbuhan bahkan
kematian. Oleh karena itu pengontrolan kualitas air dan manajemen pemberian
pakan sangat diperlukan dalam kegiatan budidaya.
TAN yang tinggi di wadah pemeliharaan dapat mengakibatkan kematian
masal pada ikan. Hal ini dapat disebabkan kepadatan ikan yang tinggi
menghasilkan NH4+ dalam jumlah banyak, sementara Nitrosomonas dan
Nitrobacter belum berkembang sehingga kadar NH4+ yang tinggi tersebut akan
meracuni ikan itu sendiri. Nitrit juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan ikan,
51
nitrit yang tinggi dapat mengakibatkan hyperthrophy insang, hyperplasia,
meningkatkan kerentanan ikan terhadap penyakit infeksi, dan hemoragi.
Berdasarkan Gambar 29 menunjukkan bahwa kematian ikan pada pemeliharaan
polikultur (b) diduga karena kompetitor diantara organisme dalam mendapatkan
makanan, unsur hara, maupun kualitas media yang cukup, sedangkan
pemeliharaan monokultur dikarenakan jamur atau bakteri yang menggerogoti sirip
ikan yang timbul karena kualitas air yang tidak mendukung.
(a) (b)
Gambar 28. Tampak fisik kematian ikan nila (Oreochromis niloticus) di wadah
pemeliharaan monokultur (a) dan polikultur (b)
Kisaran suhu, DO, cahaya, dan salinitas keempat perlakuan pada tiga kali
ulangan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda nyata dan masih dalam kisaran
maksimum untuk kegiatan budidaya ikan nila dan rumput laut (Lampiran 8).
Budiardi (2005) menyatakan selama proses katabolisme makanan berlangsung,
energi kimia dari makanan tubuh diubah bentuknya menjadi ATP dan sisanya
hilang sebagai panas. Meningkatnya suhu pada umumnya disertai dengan
meningkatnya laju metabolisme yang berarti meningkatnya permintaan oksigen
oleh jaringan. Secara umum, meningkatnya suhu lingkungan 10 oC menyebabkan
meningkatnya laju pengambilan oksigen oleh hewan menjadi dua sampai tiga kali
lipat. Pertumbuhan rumput laut secara monokultur biasanya dipengaruhi oleh
substrat (endapan), cahaya, temperatur, ketersediaan kualitas air dan kepadatan
rumput laut. Berdasarkan data kualitas air yang tertera di Lampiran 8, nilai suhu
masih dalam batas toleransi (tidak ekstrim) yaitu sebesar 23-320C, sehingga
pertumbuhan rumput laut pada penelitian ini tidak terpengaruh oleh faktor suhu.
Kemampuan ikan dalam mengonsumsi oksigen sangat ditentukan oleh
faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, semakin tinggi fluktuasi kualitas air
maka akan semakin tinggi kebutuhan oksigen untuk dikonsumsi oleh ikan.
52
Pengukuran tingkat konsumsi oksigen ikan dan rumput laut bertujuan untuk
mengetahui pemanfaatan oksigen oleh dua organisme dalam satu wadah
pemeliharaan yang sama, sehingga dapat dipastikan terdapat kompetitor oksigen
atau tidak. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila dengan bobot tertentu mengalami
perbedaan. Gambar 23 menunjukkan grafik persamaan linier tingkat konsumsi
oksigen ikan nila pada bobot 1,8, 1,9, dan 2 gram yang mengalami penurunan
sejalan dengan bertambahnya bobot ikan. Ikan nila dengan ukuran bobot lebih
kecil mengonsumsi oksigen lebih banyak per satuan waktu dan bobot, dari ikan
nila dengan ukuran bobot lebih besar. Hal ini disebabkan ikan nila yang berukuran
lebih kecil membutuhkan banyak energi untuk pertumbuhan dan laju metabolisme
tubuh lebih cepat dibandingkan ikan nila yang berukuran besar, karena peredaran
darah yang membawa oksigen dan makanan lebih cepat dari ikan nila dengan
bobot yang lebih besar. Oleh sebab itu, grafik persamaan linier menunjukkan
hubungan berbanding terbalik (slope negatif/turun) antara bobot ikan nila dengan
tingkat konsumsi oksigen. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila pada berbagai
ukuran dapat menentukan konsentrasi oksigen terlarut minimal yang dibutuhkan
ikan selama pemeliharaan.
Hasil penelitian pada Gambar 23 menunjukkan hubungan antara waktu
dan tingkat konsumsi oksigen ikan nila. Penurunan tingkat konsumsi oksigen
sejalan dengan bertambahnya waktu selama 180 menit. Hal ini diduga disebabkan
oleh berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dan penurunan aktifitas ikan nila
menuju pada laju pengambilan oksigen minimal.
Selain ikan nila, tumbuhan seperti rumput laut juga mengalami proses
respirasi. Respirasi rumput laut terjadi sepanjang hari (pagi, siang, dan malam
hari), respirasi pada malam hari lebih tinggi dari siang hari, seperti pada hasil
penelitian tingkat konsumsi oksigen rumput laut saat tidak terpapar cahaya
matahari lebih tinggi yaitu 0,008 mg O2/gram/jam dari terpapar cahaya matahari
sebesar 0,002 mg O2/gram/jam. Hal ini dikarenakan faktor cahaya sangat
menentukan proses fotosintesis yang mampu menghasilkan karbohidrat dan
oksigen sehingga siang hari proses respirasi lebih rendah.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik antara
biomasa rumput laut terhadap tingkat konsumsi oksigen saat terpapar cahaya
53
matahari (Gambar 25). Grafik persamaan kurva linier, penurunan nilai tingkat
konsumsi oksigen rumput laut sejalan dengan bertambahnya bobot. Hal ini
dikarenakan proses respirasi rumput laut dilakukan diseluruh bagian tubuh thallus,
sehingga semakin besar bobot rumput laut semakin luas permukaan thallus dan
semakin besar bidang respirasi, akan tetapi peranan cahaya matahari dalam proses
fotosintesis rumput laut menghasilkan produk berupa oksigen dan karbohidrat,
sehingga proses konsumsi oksigen lebih kecil.
Gambar 24 menjelaskan hubungan waktu terhadap tingkat konsumsi
oksigen pada saat terpapar cahaya matahari. Pada bobot yang lebih kecil tingkat
konsumsi oksigen menurun lebih curam sejalan dengan bertambahnya waktu
dibandingkan bobot yang lebih besar, yang dikarenakan konsentrasi oksigen di
wadah pemeliharaan dan aktifitas rumput laut mengalami penurunan. Fotosintesis
yang dilakukan rumput laut saat terpapar matahari diindikasikan juga memberikan
pengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen rumput laut. Fotosintesis yang
dilakukan di seluruh bagian thallus akan menghasilkan produk akhir oksigen dan
karbohidrat. Bobot rumput laut yang lebih besar mampu melakukan fotosintesis
lebih tinggi dan menghasilkan oksigen dalam jumlah tertentu, sehingga tingkat
konsumsi oksigen akan lebih rendah dari bobot yang lebih kecil.
Penelitian selanjutnya untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen pada
rumput laut saat tidak terpapar cahaya matahari. Gambar 26 menunjukkan
hubungan antara waktu terhadap tingkat konsumsi oksigen rumput laut,
penurunan tingkat konsumsi oksigen akan sejalan dengan bertambahnya waktu
pengamatan. Gambar 27 menunjukkan hubungan berbanding lurus antara bobot
rumput laut terhadap tingkat konsumsi oksigen, semakin besar bobot rumput laut
maka laju respirasi lebih tinggi dari bobot kecil sehingga tingkat konsumsi
oksigen lebih besar.
Persamaan linier pada Gambar 25 dan 27 menunjukkan persamaan yang
terbentuk terhadap tingkat konsumsi oksigen rumput laut saat terpapar cahaya
matahari (Gambar 25) dan tanpa cahaya matahari (Gambar 27). Persamaan yang
terbentuk pada Gambar 25 adalah y = - 0,003x + 0,005 dengan x adalah padat
tanam rumput laut dan y adalah tingkat konsumsi oksigen, maka pada bobot
rumput laut satu gram akan mengonsumsi oksigen sebanyak 0,002 mg
54
O2/gram/jam, dan pada kondisi wadah pemeliharaan yang sesuai dan terpapar
cahaya matahari yang cukup untuk rumput laut. Persamaan linier yang terbentuk
pada Gambar 27 adalah yaitu y = 0,002x + 0,006, sehingga setiap 1 gram rumput
laut akan mengonsumsi oksigen sebanyak 0,008 mg O2/gram/jam dengan kondisi
yang sesuai untuk wadah pemeliharaan dan tanpa cahaya yang mempengaruhi.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi oksigen rumput laut saat tanpa ada
cahaya matahari lebih besar dibanding saat terpapar cahaya matahari pada 1 gram
bobot rumput laut per jam, dan terdapat pengaruh cahaya matahari terhadap
proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat dan oksigen di wadah
pemeliharaan. Berdasarkan data tingkat konsumsi okesigen ikan nila dan rumput
laut, dan dilihat dari data dissolved oxygen (DO) pada Lampiran 8, menunjukkan
tidak terjadi kompetitor antara kedua organisme tersebut dalam pengambilan
oksigen, karena ketersediaan oksigen masih memenuhi batas kebutuhan
organisme.
Kegiatan akuakultur, selain berorientasi terhadap perbaikan lingkungan
budidaya seperti pemaparan di atas, juga berorientasi terhadap keuntungan yang
dihasilkan, prospek usaha akan menjadi faktor layak atau tidak kegiatan
akuakultur polikultur ikan nila dan rumput laut diterapkan ke pembudidaya.
Berikut akan disajikan prospek usaha monokultur dan polikultur.
Asumsi kegiatan budidaya produksi rumput laut dan ikan nila per dua
bulan sekali dan dalam satu tahun terdapat empat kali siklus dilakukan di
Kabupaten Belanakan Subang. Produksi ikan nila pada skala pendederan yaitu
menebar benih ukuran 2 gram dan dipanen pada ukuran 6-8 gram. Asumsi-asumsi
yang digunakan dalam perhitungan usaha ikan nila dan rumput laut adalah sebagai
berikut, padat tanam awal ikan nila adalah 100 ekor/m3 dan padat tanam rumput
laut adalah 600 gram/m3 dengan pemeliharaan selama 35 hari menghasilkan LPH
ikan nila 3,12% per hari dan LPH rumput laut 2,03% per hari. Pakan yang
diberikan berupa pelet dengan konsentrasi protein 38%, dengan FR 5% tiga kali
sehari. Penjualan ikan nila dilakukan pada pedagang di TPI Belanakan Subang
dan rumput laut dijual ke pabrik pembuat agar dalam bentuk basah. Analisis usaha
dilakukan pada tambak dengan luas 5000 m2 dan terdapat empat tambak dengan
luas yang sama dan harga sewa tanah Rp 5.000/m2 selama 35 hari pemeliharaan
55
tanpa ada pergantian air dan pada musim sedikit hujan. Berikut akan disajikan
analisis usaha polikultur ikan nila dan rumput laut dan monokultur ikan nila
(Lampiran 28 dan 29).
Prospek usaha ditampilkan pada Tabel 5, berdasarkan nilai BEP dan R/C
rasio kegiatan budidaya ikan nila secara monokuktur maupun polikultur bersama
rumput laut maka kegiatan polikultur lebih menguntungkan.
56