Anda di halaman 1dari 8

A.

Jiwa menurut Al Quran dan Hadist


1. Pengertian jiwa
Istilah yang digunakan dalam Al Quran untuk menjelaskan mengenai jiwa
adalah nafs. Adz-Dzakiey (2007) memberikan pengertian jiwa (nafs) sebagai ruh yang
menyatu dengan jasad yang berfungsi mendorong manusia untuk bertingkah laku.
Firman Allah dalam surat Asy Syams (91: 7-11) menyatakan bahwa: Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Ayat-ayat tersebut
menjelaskan bahwa Allah menciptakan jiwa, kemudian memberikan kesempatan
kepadanya untuk memilih jalan kefasikan atau ketakwaan. Jiwa manusia mengandung
sisi keburukan (pengingkaran) dan kebaikan (ketakwaan). Jiwa mendorong manusia
untuk berbuat kebaikan atau kejahatan, sehingga manusia yang mensucikan jiwanya
menjadi manusia beruntung yaitu cenderung berbuat kebaikan dan manusia yang
mengotori jiwanya menjadi manusia merugi yaitu cenderung kepada keburukan
(kejahatan).
Berdasarkan ayat-ayat dan hadist di atas, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah
sesuatu yang menggerakkan manusia untuk cenderung berbuat kebaikan (taqwa) atau
keburukan (fasik), sehingga jiwa yang taqwa senantiasa mengajak kepada amal-amal
kebaikan, sedangkan jiwa yang fasik mengarahkan manusia kepada pengingkaran dan
kejahatan.
2. Macam-macam jiwa dalam Al Quran
Beberapa pandangan membagi jiwa menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) an-nafs
al-muthmainah (jiwa Rabbani), 2) an-nafs al-lawwamah (jiwa insani), 3) an-nafs
ammarah bi as-su’ (jiwa hewani) (Al-Ghazali, 2013; Adzakiey, 2007).
a. Jiwa hewani
Gambaran tentang jiwa hewani dijelaskan dalam ayat-ayat Al Quran sebagai
binatang ternak, sebagaimana QS Al A’raaf (7) ayat 179: Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-
ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai. QS AL Furqaan (25) ayat 43-44 juga memberikan penjelasan bahwa manusia
yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya, dikatakan sebagai lebih sesat dari
pada binatang ternak. Bahkan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 176 menyatakan
bahwa orang-orang yang mementingkan dunia memperturutkan hawa nafsu yang
rendah dikatakan sebagai anjing. QS Al Jumu’ah menggambarkan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Allah seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal.
b. Jiwa yang jahat (Syaitan)
Syaitan senantiasa mengajak kepada perilaku jahat, tipu daya, dan kesombongan.
QS Yusuf (12) ayat 53, menyatakan: Dan aku tidak membebaskan diriku dari
kejahatan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
c. Jiwa Rabbani (Malaikat)
Jiwa yang tenang digambarkan dalam QS Al Fajr (89): 27-30: Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya.
Lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-
Ku. QS Ar Ra’du ayat 28 juga menggambarkan ketenangan jiwa orang beriman.
Yaitu orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat
Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. QS Al
Baqarah (2): 269: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). Jiwa Rabbani senantiasa mengajak kepada
kebaikan, pengendalian hawa nafsu, serta kedekatan kepada Allah.
d. Jiwa yang menyesali diri (jiwa insani atau lawwamah)
Jiwa yang bergerak antara kecenderungan buruk dan baik digambarkan sebagai
jiwa yang menyesali diri. Sebagaimana difirmankan Allah dalam QS Al-Qiyamah
(75) ayat 2: Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya
sendiri).

Berdasarkan ayat-ayat Al Quran tersebut, hanyalah jiwa yang tenang yang bisa
kembali kepada Allah, yaitu jiwa yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sehingga
merasakan kenikmatan dalam ketaatan kepada Allah (Karzon, 2010).
B. Kesehatan jiwa menurut Islam

Aspek-aspek yang mendasari kesehatan jiwa adalah kecintaan kepada akhirat dan
ketaqwaan kepada Allah dan Rasul. Rasulullah bersabda bahwa umatnya di hari akhir
akan menderita penyakit hati yaitu cinta dunia dan takut mati. Segala macam penyakit
hati seperti kecemasan, depresi, waham, semuanya bersumber dari kecintaan kepada
dunia. Dunia sering digambarkan sebagai harta, tahta (kedudukan, gelar), dan wanita
(nafsu seksual). Ketiga macam godaan tersebut sering melalaikan manusia dan
menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan dunia dan akhirat. Orang-orang yang
bertaqwa akan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia, karena mereka memahami
bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang berlipat ganda. Pada kenyataannya
sebagian besar orang yang mengalami kehancuran adalah mereka yang haus kekuasaan,
gelar, status, dan pujian dari orang banyak (AL-Ghazali, 2007). Sesungguhnya tujuan
hakiki manusia adalah kebahagiaan akhirat. Manusia, harta benda, kekayaan, gelar dan
ibadah kita hanyalah perantara untuk menuju Allah.

Jadi, berdasarkan kajian Al Quran dan hadist, kesehatan jiwa mengandung arti
kecenderungan jiwa kepada kebaikan yang mengarahkan kepada ketaatan kepada Allah,
kecintaan kepada akhirat, menyebabkan sifat rendah hati dan jauh dari kesombongan,
sehingga akan diraih ketenangan jiwa yang berbuah kebahagiaan dunia dan akhirat.

C. Perilaku yang Mencerminkan Sehat Jiwa Menurut Islam

1. Kecintaan pada akhirat sebagai sumber kesehatan jiwa

Allah sudah menjelaskan dalam ayat-ayat Al Quran berikut ini bahwa


kehidupan dunia merupakan permainan dan kesenangan yang menipu. QS Al Hadid
(57) ayat 20: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Lebih lanjut difirmankan
dalam QS Al An’aam (6) ayat 32, bahwa orang bertaqwa memahami bahwa kehidupan
dunia ini sebagai permainan dan sendau gurau, sehingga akan lebih mementingkan
kehidupan akhirat dari pada dunia. Orang-orang yang lebih mengutamakan dunia
dikatakan sebagai orang yang melampaui batas, sebagaimana Allah berfirman dalam
QS An Naazi’aat (79), ayat 37-41: Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya),
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tunannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). QS
Ali Imran (3) ayat 14 memberikan gambaran tentang kesenangan hidup di dunia
berupa harta kekayaan, sawah, ladang, binatang ternak, wanita dan anak-anak, namun
Allah menegaskan bahwa tempat kembali yang paling baik ada di sisi Allah yaitu
syurga. Al Quran surat Asy Syuraa (42) ayat 20 menjelaskan bahwa: Barang siapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya
dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.

Penjelasan dalam ayat-ayat Al Quran tersebut di atas memberikan pesan


bahwa kehidupan akhirat lebih menjanjikan kebahagiaan yang berlipat ganda
dibandingkan kehidupan dunia yang bersifat sementara (sebentar) seperti gambaran
dalam QS An nisaa (4) ayat 77. Allah membolehkan menikmati kesenangan dunia, namun
dengan cara yang tidak melampaui batas, agar manusia tidak lalai dan meraih
kebahagiaan hakiki.

2. Ketaqwaan sebagai sumber ketentraman hati


Al Quran surat Al Baqarah (3-4) menyebutkan bahwa indikator orang
bertaqwa adalah beriman kepada yang ghaib, melakukan shalat, menafkahkan
sebagian rizki, dan meyakini adanya hari akhir. Ayat-ayat berikut ini, mengisyaratkan
bahwa Allah memberikan janji kepada orang yang bertaqwa berupa ketentraman hati,
ketenangan jiwa, hilangnya kesedihan dan kekhawatiran. QS Al Baqarah (2) ayat 38
menyatakan: Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati". QS Yunus (10) ayat 62-63 memberikan pesan: Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa. Selain itu Al Baqarah (2) ayat 62 dan Al Maidah (5) ayat 69 menyatakan:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. QS Fushshilat (41) ayat 30 Al Fath (48) ayat 4, juga menegaskan bahwa Allah
memberikan ketenangan hati kepada orang-orang mukmin untuk menambah
keimanan mereka.

3. Kepasrahan (Tawakal) kepada Allah sebagai sumber kebahagiaan


Tawakal ditandai dengan kepasrahan bahwa hanya Allah yang mengatur
segala urusan (Athaillah, 2007). Manusia diciptakan dengan tujuan menghamba hanya
kepada Allah. Allah berfirman Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku. Semestinya seorang hamba berserah diri sepenuhnya kepada
Allah dan terus berusaha mencapai tingkatan paling sempurna. Manusia merasa
gelisah karena telah melanggar aturan-aturan yang digariskan Allah atau mengingkari
sunatullah. Misalnya manusia yang tidak percaya pada pengaturan Allah, sehingga
ingin memperoleh rizki dengan jalan mencuri atau berbohong, meskipun orang lain
tidak mengetahui perbuatannya, tetapi hatinya akan merasa gelisah dan jauh dari
perasaan bahagia. Berserah diri membuat manusia tidak bergantung kepada makhluk,
dan hanya bergantung kepada Allah, sehingga jiwanya tidak terikat kepada selain
Allah.

4. Kesombongan sebagai sumber penyakit hati


Dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah
seluruh tubuh, dan jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itulah hati. Rasulullah
pun bersabda bahwa Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan
menentramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang
meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu. Az
Zumar (39) ayat 53: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). Beberapa ayat berikut ini menunjukkan kecenderungan
hati manusia yang dapat mengarah kepada kebaikan yaitu ketaatan, kerendahan hati,
serta mengarah kepada pengingkaran, kesombongan dan keputusasaan.
Kesombongan merupakan salah satu sumber penyakit hati yang berbahaya,
seperti digambarkan oleh Rasulullah sebagai kesukaan dipuji dan ketakutan untuk
dicela. Allah juga sangat membenci kesombongan karena sifat tersebut akan
menjauhkan manusia dari kebenaran dan ketaatan kepada Allah, serta menyebabkan
kerusakan. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya (QS Al A’raf, ayat 36). Ayat tersebut menegaskan bahwa orang
yang tidak mentaati Allah dikatakan sebagai orang yang sombong dan akan
dimasukkan ke dalam neraka. Rasulullah menegaskan dalam sabdanya: Tidak masuk
syurga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun hanya sebiji sawi.
Barang siapa datang pada hari kiamat dalam keadaan bebas dari tiga perkara maka ia
masuk syurga: takabur, khianat, hutang. Sifat sombong menghalangi orang masuk
syurga, karena kesombongan menyebabkan orang tidak mau mentaati kebenaran,
merendahkan orang lain, menimbulkan kemarahan, hasad, dan dendam. Sebaliknya
QS al Furqaan (25) ayat 63 menyatakan: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang keselamatan).
Kesombongan menyebabkan manusia tertutup hatinya dari rahmat Allah
sehingga seperti keadaan yang dijelaskan dalam QS Yusuf (12) ayat 87 Dan jangan
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir. Orang yang sombong menganggap bahwa semua
yang diraih merupakan usahanya sendiri, sehingga akan sangat bersedih bahkan
berputus asa jika mengalami kehilangan dan sangat gembira jika mendapatkan sesuatu
yang diinginkannya. QS Al Hadid (57) ayat 23 memperingatkan kepada manusia
sebagai berikut: Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.
Daftar Pustaka

Al Quran dan terjemahannya.


Adz-Dzakiey, H.B. (2007). Psikologi kenabian. Menghidupkan potensi dan kepribadian
kenabian dalam diri. Yogyakarta: Pustaka Al Furqan.
Al-Ghazali, A. H. M. (2013). Ringkasan ihya’ulumuddin (diterjemahkan oleh
Fudhailurrahman & Ade Humaira. Jakarta: PT Sahara.

Al-Ghazali, I. 2007. Bahagia senantiasa. Diterjemahkan dari The Alchemy of Happiness


(diterjemahkan oleh Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Faishal Bahreisy). Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.

Athaillah, A. I. (2007). Mengapa harus berserah. Panduan menyenagi setiap kenyataan.


(diterjemahkan oleh Fauzi Faishal Bahreisy). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Guðmundsdóttir, D. G. (2011). Positive psychology and public health. In R. Biswas-


Diener (editor), Positive Psychology and Social Change (pp. 109-124). Milwuakie
Oregon: Springer.

Hollins, S. (2006). Religions, culture, and healthcare. United Kingdom: Radcliffe


Publishing Ltd.
Karzon, A. A. (2010). Al Katiri, M, Bawazir, Z., Hanif, L., & Makesen, M. H (Editor).
Tazkiyatun Nafs. Gelombang Energi Penyucian Jiwa Menurut Al Quran dan As-
Sunnah di Atas Manhaj Salafs Shaalih. Diterjemahkan oleh H. Emiel Threeska.
Jakarta Timur: Akbarmedia.
Mujieb, A. M., Ismail, A., & Syafi’ah. (2009). Ensiklopedia tasawuf Imam Al-Ghazali.
Mudah memahami dan menjalani kehidupan sosial. Jakarta: Hikmah (Mizan
Publika).
Pilgrim, D. (2014). Key concept in mental health, 3rd edition. Sage.
Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan. Model-model kepribadian sehat
(diterjemahkan oleh Yustinus). Yogyakarta: Kanisius.
Taufiq, M. I. (2006). Panduan lengkap dan praktis psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.

Anda mungkin juga menyukai