Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah-SWT yang Maha-Pengasih lagi Maha-Panyayang,


segala puji bagi Allah Tuhan semesta-alam. Sehingga makalah yang kami buat ini
dapat selesai tanpa halangan yang berarti

Makalah ini kami buat dan susun dengan usaha maksimal juga atas bantuan dari
berbagai pihak yang berkenan meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk
menyelesaikan makalah ini. Oleh karenanya kami sampaikan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah ikut serta dalam menyelesaikan
karya ilmiah makalah ini.

Terlepas dari itu semua kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
makalah yang kami buat. Mungkin dari segi bahasa, susunan kalimat atau hal lain yang
tidak kami sadari. Oleh karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai
sarana perbaikan karya ilmiah yang lebih baik.

Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
masyarakat luas. Akhir kata kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas
perhatiannya.

Makassar, 1 September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu


negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode
tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas
produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional.

Pertumbuhan ekonomi sering disama artikan dengan pembangunan ekonomi,


tetapi pada dasar nya dua hal itu berbeda pengertiannya. Dengan ada nya
pertumbuhan ekonomi maka akan ada pembangunan ekonomi dimana dengan
pertumbuhan ekonomi itu sendiri akan memuncul kan pembangunan pembangunan
ekonomi. Banyak faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia,baik
faktor pendorong maupun faktor penghambat.

B. Rumusan masalah

1. Apakah pengertian pertumbuhan ekonomi?

2. Faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi.

3. Peran perdagangan internasional dalam perekonomian

4. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Jepang

5. Pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia

6. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Tiongkok


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pertumbuhan dan perkembangan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) adalah perkembangan kegiatan


dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah
pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka
panjang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat
pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh
pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya.

Perkembangan Ekonomi adalah suatu kondisi meningkatnya pendapatan karena


adanya peningkatan terhadap produksi barang dan jasa. Peningkatan pendapatan ini
tidak dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk, dan bisa dilihat dari
output yang meningkat, perkembangan teknologi, dan berbagai inovasi dalam bidang
sosial.

Perbedaan dan persamaan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas


produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikkan
pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya
pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.

Pembangunan ekonomi tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan


ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi
memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Perbedaan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi yaitu :

Pertumbuhan ekonomi :

1. Merupakan proses naiknya produk per kapita dalam jangka panjang

2. Tidak memperhatikan pemerataan pendapatan

3. Tidak memperhatikan pertambahan penduduk

4. Belum tentu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat

5. Pertumbuhan ekonomi belum tentu disertai dengan pembangunan ekonomi

Pembangunan ekonomi:

1. Merupakan proses perubahan yang terus menerus menuju perbaikan termasuk


usaha meningkatkan produk per kapita

2. Memperhatikan pemerataan pendapatan termasuk pemerataan pembangunan dan


hasil-hasilnya

3. Memperhatikan pertambahan penduduk

4. Memperhatikan pertambahan penduduk

5. Pembangunan ekonomi selalu dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi memiliki persamaan yaitu :

1. Kedua-duanya merupakan kecenderungan di bidang ekonomi

2. Pokok permasalahan akhir adalah besarnya pendapatan per kapita

3. Kedua-duanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan memerlukan dukungan


rakyat
4.Kedua-duanya berdampak pada kesejahteraan rakyat

Indikator yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi yaitu :

1. Produk Domestik Bruto (PDB),yaitu nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang
diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan negara asing.

2. Produk Nasional Bruto (PNB), yaitu nilai barang dan jasa yang dihitung hanyalah
barang dan jasa yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh warga
negara dari negara yang pendapatan nasionalnya dihitung.

B. Peran perdagangan internasional dalam perekonomian.

Perkembangan Ekonomi Dunia dan Indonesia

Dinamika perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi


global dan kawasan serta berbagai kemajuan dalam perbaikan, iklim investasi,
infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) dalam negeri. Ekonomi
dunia telah mampu tumbuh diatas 4% dalam lima tahun terakhir, lebih tinggi dari rata-
rata historisnya. Perkembangan ini terutama didorong oleh pesatnya pertumbuhan
ekonomi di negara berkembang (China dan India) serta kawasan Eropa. Tingginya
pertumbuhan ekonomi dunia tersebut diiringi dengan volume perdagangan dunia yang
juga tumbuh lebih tinggi dari tren jangka panjangnya. Sejalan dengan perkembangan
ekonomi dunia tersebut

Efek Perdagangan Internasional terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol
adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai
pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan,
kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi
menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi
salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut,
meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan.

Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah
perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi
mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas
perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen
tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan.
Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan
kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut
menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.

Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan


modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan
teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi
langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika
terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan
kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang
semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu
negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di
negara importir. Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara
biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya
yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di
negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara
importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir
(Appleyard, 2004).

Efek Terhadap Produksi


Pedagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sector
produksi di dalam negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam
pengaruh yang bekerja melalui adanya:

1.      Spesialisasi produksi.

2.      Kenaikan “investasi surplus”

3.      “Vent for Surplus”.

4.      Kenaikan produktivitas.

Dampak positif dan dampak negatif perdagangan internasional

1. Dampak positif

a)         Kegiatan produksi dalam negeri menjadi meningkat secara kuantitas dan
kualitas.

b)          Mendorong pertumbuhan ekonomi negara, pemerataan pendapatan


masyarakat, dan stabilitas ekonomi nasional.

c)          Menambahkan devisa negara melalui bea masuk dan biaya lain atas ekspor
dan impor.

d)        Mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam negeri,


terutamadalam bidang sektor industri dengan munculnya teknologi baru dapat
membantu dalam memproduksi barang lebih banyak dengan waktu yang singkat.

e)         Melalui impor, kebutuhan dalam negara dapat terpenuhi.

f)          Memperluas lapangan kerja dan kesempatan masyarakat untuk berkeja.

g)         Mempererat hubungan persaudaraan dan kerjasama antar negara.

2. Dampak negatif
a)         Barang-barang produksi dalam negeri terganggu akibat masuknya barang impor
yang dijual lebih murah dalam negeri yang menyebabkan industri dalam negeri
mengalami kerugian besar.

b)         Munculnya ketergantungan dengan negara maju.

c)         Terjadinya persaingan yang tidak sehat, karena pengaruh perdagangan bebas.

d)        Bila tidak mampu bersaing maka pertumbuhan perekonomian negara akan
semakin rendah dan bertambahnya pengangguran dalam negeri.

untuk peningkatan prodiktivitas.

Dampak khusus terhadap Kondisi Ketenagakerjaan

Liberalisasi dalam perdagangan barang, jasa, investasi, dan mobilitas faktor


produksi tenaga kerja akan berdampak pada kondisi ketenagakerjaan. Dampak pada
kondisi ketenagakerjaan ini biasanya menjadi isu yang paling sensitif dalam
pembentukan suatu kawasan integrasi ekonomi, seperti yang misalnya dialami oleh Uni
Eropa. Secara teoritis, liberalisasi dalam keempat faktor di atas akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja, karena akan menciptakan kondisi yang mendorong
perusahaan untuk mengalokasikan sumber-sumber daya secara lebih efisien (dampak
alokasi).

C. Faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan ekonomi berbicara tentang berbicara tentang pertumbuhan,


perkembangan, kemajuan ekonomi, dan kesejahteraan ekonomi pada sebuah Negara.
Perkembangan ekonomi setiap Negara berbeda-beda karena tidak semua Negara
mampu memenuhi factor-faktor yang dapat mendorong perekonomian suatu Negara
tercapai. Pertumbuhan ekonomi merupakan pertambahan pendapatan nasional
agregatif atau pertambahan output dalam periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi
mempresentasikan adanya peningkatan kapasitas kapasitas produksi barang dan jasa
secara fisik dalam kurun waktu yang sama.

Berikut adalah factor-faktor yang penting dalam perkembangan Ekonomi:

1. Tanah dan kekayaan alam

Tanah dan kekayaan alam merupakan factor yang dapat dengan mudah
digunakan untuk mengembangkan perekonomian suatu Negara. Negara dengan
kekayaan alam yang tinggi akan dengan mudah menarik perhatian para investor untuk
membangun industry. Nilai ekonomi dari kegiatan produksi pengolahan kekayaan alam
dapat menjadi basis pengembangan perekonomian jangka panjang. Pada umumnya,
Negara di Asia memulai perkembangan ekonomi dengan pengolahan sector
pertambangan minyak bumi. Namun, beberapa Negara yang tidak begitu kaya akan
tanah dan kekayaan alam juga dapat bertumbuh pesat. Contohnya Negara Jepang dan
Belanda.

2. Mutu Tenaga Kerja dan Penduduk

Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kerja dan penduduk akan mampu
meningkatkan produktivitas, itulah mengapa mutu tenaga kerja dan penduduk juga
merupakan factor penting dalam perkembangan ekonomi. Selain itu, jumlah penduduk
juga akan memengaruhi pangsa pasar menjadi luas, karena jika jumlah penduduk lebih
banyak maka akan mendorong meningkatkan sisi permintaan. Nah, hal tersebut akan
mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya.

3. Barang Modal dan Tingkat teknologi

Barang modal menjadi hal penting dalam perkembangan ekonomi krena dengan
barang modal sebagian produk dari berbagai industry dihasilkan. Barang modal dapat
mempertinggi efisiensi pertumbuhn ekonomi. Jumlah barang akan menentukan jumlah
produk yang akan dihasilkan. Selain itu kemajun teknologi juga memberikan peran yang
sangat penting dalam memproduksi barang atau produk secara efisien. Teknologi
memberikan banyak pengaruh positif yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
suatu Negara. Teknologi mampu membantu mengefisienkan suatu produksi dan
mampu menghasilkan barang dengn mutu tinggi yang brnilai ekonomi tinggi.

4. Sistem Sosial dan Sikap Masyarakat

Di beberapa Negara berkembang, system social dan sikap masyarakat menjadi


penghambat perkembangan ekonomi yang cukup serius. Beberapa kebiasaan atau
adat-istiadat yang secara tradisional dianut oeh masyarakatnya menolak untuk
menggunakan cara atau alat produksi yang lebih produktif dan efisien. Hal itu akan
menghambat perkembangan ekonomi pada suatu Negara. Namun di beberapa Negara
juga memiliki masyarakat dengan sikap yang dapat memberikan dorongan yang kuat
terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat pada
masyarakat yang hemat dan gemar menabung untuk berinvestasi.

D. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Jepang.

Ekonomi jepang tumbuh stabil sebesar 1,0% yoy pada TW2-18. net eksopor
yang menjadi kontribusi utama kinerja ekonomi pada TW2-18 yang mengonpensasi
aktivitas konsumsi yang masih stagnan, pengeluaran pemerintah yang termoderasi,
serta investasi- tetap yang terkoreksi cukup dalam.Kinerja ekspor terakselerasi ditopang
depresiasi yen dan meningkatnya ekspor semikonduktor ke Tiongkok seiring
pengetatan supply dari AS ke Tiongkok. Sementara itu, lemahnya konsumsi
masyarakat disebabkan faktor aging population, menurunnya kedatangan wisatawan
mancanegara dan faktor temporer (cuaca buruk, bencana alam), sehingga juga
menyebabkan penurunan aktivitas produksi. Pengetatan pasar tenaga kerja yang
meningkatkan upah hingga 3% juga belum mampu meningkatkan konsumsi.

Tekanan inflasi melemah dan semakin jauh dari target 2%, akibat penurunan
harga makanan, listrik, dan komunikasi. Bank of Japan (BOJ) merespons
perkembangan tersebut dengan mempertahankan stance kebijakan akomodatif melalui
Qualitative and Quantitative Easing with Yield Curve Control. Di sisi fiskal, konsolidasi
berlanjut secara moderat. Pemerintah juga memundurkan pencapaian target
keseimbangan primer ke tahun 2025, dari target semula 2020. Selain itu,pemerintah
meluncurkan stimulus pajak bagi korporasi untuk mendorong investasi dan
produktivitas, serta mengafirmasi bahwa kenaikan pajak konsumsi akan berlaku efektif
pada 1 Oktober 2019.

Ekspansi ekonomi diperkirakan berlanjut secara moderat pada 2018 ditopang


kondisi keuangan yang akomodatif, stimulus fiskal, dan persiapan penyelenggaraan
Olimpiade 2020. Namun kinerja ekonomi Jepang diprediksi tertahan pada 2019, karena
adjustment investasi dan implementasi kenaikan pajak konsumsi. Sejumlah risiko perlu
diwaspadai karena dapat menghambat kinerja ekonomi Jepang ke depan. Penuaan
usia penduduk, tingginya utang pemerintah, akselerasi inflasi yang belum firm, dan
kenaikan pajak konsumsi, merupakan faktor risiko yang perlu diperhatikan dari dalam
negeri. Dari sisi eksternal, risiko yang perlu diantisipasi adalah dinamika dan kebijakan
ekonomi AS, kenaikan FFR, konflik perdagangan, perkembangan ekonomi dan
rebalancing Tiongkok, tensi geopolitik, serta kenaikan harga minyak dunia.

Ekspansi ekonomi Jepang berlanjut pada triwulan kedua 2018 secara moderat.
PDB tumbuh stabil sebesar 1,0% yoy (first estimate), relatif sama dengan kinerja pada
TW1-18, dan di bawah ekspektasi (1,1%).

Kinerja ekonomi pada TW2- 18 ditopang net ekspor, sementara konsumsi


stagnan, pengeluaran pemerintah termoderasi, dan investasi terkoreksi cukup dalam.
Net ekspor berkontribusi cukup signifikan sebesar 0,4%, seiring kinerja ekspor yang
lebih baik daripada impor. Sementara konsumsi rumah tangga, pembentukan modal
tetap bruto (GFCF), dan belanja pemerintah masing-masing berkontribusi sebesar
0,1%.

Sementara ditinjau dari akselerasinya, pertumbuhan konsumsi swasta pada


TW2-18 stagnan di level 0,1% yoy, akibat kontraksi belanja non-durable goods.
Pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation) hanya tumbuh 0,6%,
dari 1,5% pada TW1-18 –terendah dalam sembilan kuartal terakhir. Akselerasi investasi
nonresidensial yang meningkat (4% dari 2,9%), belum dapat mengompensasi kontraksi
investasi residensial dan investasi pemerintah.

Aktivitas konsumsi pada TW2-18 masih lemah karena faktor cuaca, bencana
alam, dan menurunnya kedatangan turis –di samping karena faktor aging population.
Penjualan ritel dan belanja rumah tangga termoderasi menjadi 1,3% dan -2,1% (dari
1,4% dan 0,1% pada TW1-18). Moderasi penjualan ritel terutama terjadi pada makanan
dan minuman, tekstil dan pakaian, serta permesinan. Sementara penurunan belanja
rumah tangga terjadi pada seluruh komponen, khususnya utilities –seiring penurunan
tarif energi surya, transportasi dan komunikasi, serta harga makanan. Lemahnya
konsumsi turut disebabkan berkurangnya kunjungan wisatawan.

Konsumsi domestik yang lemah menyebabkan output industri menurun. Rata-


rata produksi industri tumbuh melambat ke 2,0% yoy pada TW2-18 (dari 2,3% -35 pada
TW1-18) sehingga utilisasi kapasitas termoderasi (0,2% yoy dari 0,7%). Aktivitas
produksi lebih diprioritaskan untuk pengiriman ekspor–khususnya kapal, integrated
circuits, baja, dan alat transportasi.

Sentimen bisnis tetap tinggi – meski sedikit tertahan– sehingga outlook investasi
tetap positif. Hasil survei Tankan BOJ periode TW2-18 menunjukkan indeks. Business
Conditions turun ke level 16 dari 17 pada survei TW1-18. Penurunan indeks disebabkan
melemahnya sentimen bisnis pada pemanufaktur besar yang bergerak dalam industri
minyak dan batubara, produk kayu, kendaraan bermotor, logam nonbesi, dan mesin.
Meski menurun, indeks Tankan tersebut masih berada pada level yang tinggi secara
historis, didorong tren profit nominal yang masih baik.

Pasar tenaga kerja semakin ketat sehingga mendorong kenaikan upah. Angka
pengangguran pada Juni 2018 turun menjadi 2,4%, dari 2,5% pada Maret 2018. Tingkat
partisipasi kerja juga meningkat hingga 61,7% –tertinggi sejak pertengahan 2003 (dari
61,2% pada Maret 2018). Ketatnya pasar tenaga kerja turut terindikasi pada jobs-to-
applicants ratio yang naik menjadi 1,62, dari 1,59. Upah nominal dan upah riil pada
TW2-18 juga meningkat pesat, masing-masing sebesar 2,1% dan 1,3% dari 1,4% dan
-0,2% pada TW1-18.
Konsumsi yang belum solid turut terindikasi pada inflasi yang masih lemah.
Inflasi headline pada Juni 2018 turun menjadi 0,7% yoy, jauh di bawah inflasi Maret
2018 (1,1%). Pelemahan inflasi dikontribusi penurunan harga makanan khususnya
sayuran) dan utilities (terutama listrik) karena menurunnya biaya utilities di tingkat
produsen61, serta deflasi biaya komunikasi. Harga makanan menurun seiring pasokan
yang membaik pasca musim dingin ekstrim.

Berlawanan dengan inflasi di tingkat konsumen, harga di tingkat produsen justru


meningkat. Indeks harga produsen (IHP) Juni 2018 naik menjadi 2,8% yoy dari 2,1%
pada Maret 2018 didorong kenaikan harga minyak dan logam non- ferrous. IHP input
Juni 2018 naik signifikan ke level 5,8% yoy dari 2,5% (Maret 2018), namun tidak
diimbangi dengan kenaikan IHP output (3,1% dari 1,3%)

Konsolidasi fiskal pada TW2- 18 (kuartal pertama FY18) berlanjut. Konsolidasi


tercermin dari pengeluaran pemerintah yang terkontraksi -1,7% yoy dari 3,3% akibat
kontraksi belanja pertahanan dan penurunan belanja jaminan sosial. Sementara itu,
penerimaan pemerintah terkontraksi -2,5% yoy dari -2,4%, karena moderasi
penerimaan pajak serta kontraksi penerimaan dari penerbitan obligasi –sejalan dengan
diturunkannya target penerbitan JGB pada FY18.

Pemerintah mengafirmasi implementasi kenaikan pajak konsumsi sebesar 2%


menjadi 10% sesuai rencana (1 Oktober 2019). Dalam rangka mengantisipasi
pelemahan ekonomi sebelum dan sesudah kenaikan pajak, pemerintah akan
menempuh kebijakan “extraordinary” pada FY19-FY20. Pemerintah akan memberikan
potongan pajak pembelian kendaraan dan rumah (big-ticket purchases) serta
pendidikan anak usia dini (PAUD) gratis.

Pemerintah meluncurkan stimulus pajak bagi korporasi untuk mendorong


kenaikan upah, investasi, dan produktivitas. Mulai 1 April 2018 hingga 31 Maret 2021,
korporasi diberi potongan pajak 15% apabila menaikkan upah sedikitnya 3% dan
melakukan investasi aset-aset yang depreciable (bangunan, mesin, dan peralatan
produksi) di dalam negeri dengan nilai minimal 90% dari beban depresiasi.
Kinerja perekonomian diperkirakan berlanjut di atas output potensial selama
FY18. Konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat, seiring perbaikan
ketenagakerjaan dan upah, kondisi keuangan yang masih akomodatif, stimulus fiskal,
serta penyaluran kredit lembaga keuangan. Investasi swasta diprediksi tetap firm
didorong profit yang tinggi dan sentimen bisnis yang positif, suku bunga negatif,
kebutuhan teknologi yang bersifat labor-saving untuk mengatasi kebutuhan tenaga
kerja, akselerasi ekonomi global, serta persiapan menjelang Olimpiade 2020.

Inflasi diprediksi meningkat secara moderat, seiring kenaikan harga energi dan
ketatnya keseimbangan demand- supply. Di satu sisi, output gap yang positif akan
mendorong perusahaan untuk menaikkan upah dan harga, yang selanjutnya dapat
memengaruhi ekspektasi harga dan perilaku konsumsi. Di sisi lain, lemahnya inflasi
selama TW2-18 mengindikasikan perlu waktu lebih lama untuk mencapai target inflasi.

Ekonomi ke depan masih dihadapkan pada sejumlah risiko yang mengarah pada
downside. Risiko domestik berasal dari persoalan aging population, kekhawatiran
sustainabilitas kebijakan fiskal, akselerasi inflasi yang belum firm, serta perubahan
sentimen konsumsi terkait kenaikan pajak konsumsi. Sementara risiko eksternal yang
membayangi outlook ekonomi Jepang –sebagai ekonomi dengan ketergantungan yang
tinggi terhadap ekspor– berasal dari konflik perdagangan, dinamika dan kebijakan
ekonomi AS, kenaikan FFR, kenaikan harga minyak dunia, ketidakpastian negosiasi
Brexit, proses rebalancing Tiongkok, serta risiko geopolitik.

E. Pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia.

Sebagian besar negara mengalami perlambatan ekonomi efek perang dagang.


Hanya Amerika Serikat yang pertumbuhannya tetap meningkat. Pada triwulan I tahun
2019, perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh lebih cepat sebesar 3,2 persen
(YoY). Pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi masyarakat yang tumbuh mencapai
2,7 persen (YoY), khususnya konsumsi barang (2,9 persen, YoY). Impor tumbuh lebih
lambat (1,6 persen, YoY).
Perekonomian Tiongkok tumbuh stabil pada triwulan I tahun 2019 sebesar 6,4
persen (YoY). Penyelesaian perang dagang yang belum mencapai kesepakatan,
menahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Namun kondisi tersebut diimbangi dengan
stimulus moneter yang diberlakukan sehingga perekonomian dapat tetap tumbuh.
Perlambatan ekonomi juga terjadi di kawasan Eropa. Negara-negara di kawasan
tersebut seperti Spanyol dan Perancis mengalami perlambatan pertumbuhan masing-
masing sebesar 1,1 dan 2,4 persen.

Akibat perekonomian global yang masih belum stabil, sebagian besar negara
berhati-hati dengan menahan tingkat suku bunganya. Di sisi lain, harga komoditas
internasional bergerak turun selama triwulan I tahun 2019. Meski begitu, harga minyak
mentah justru mengalami peningkatan. Hal ini merupakan keberhasilan bagi negara-
negara yang tergabung dalam OPEC+ yang sepakat menurunkan produksinya untuk
kembali menaikkan harga minyak.

Ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2019 itumbuh sebesar 5,07 persen
(YoY), sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan I tahun 2018. Pertumbuhan tersebut
merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, menunjukkan adanya penguatan
ekonomi domestik. Secara kewilayahan, hampir semua kawasan mengalami
pertumbuhan positif, kecuali kawasan Maluku dan Papua. Perkembangan
perekonomian domestik banyak dipengaruhi oleh kondisi geopolitik global, harga
komoditas internasional, agenda nasional, yakni Pemilihan Umum, serta perubahan
musim panen.

Perkembangan sektor fiskal, digambarkan dengan realisasi penerimaan


perpajakan, dimana hingga akhir triwulan I tahun 2019 mencapai Rp350,1 triliun,
meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski demikian,
realisasi terhadap target APBN relatif menurun. Pendapatan Negara dan Hibah turun
dibandingkan tahun sebelumnya, disebabkan oleh turunnya harga komoditas. Di sisi
lain, realisai Belanja Negara turun dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer
ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
Sementara itu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan tingkat
suku bunga BI7DRR pada level 6,00 persen. Langkah tersebut merupakan upaya untuk
mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik yang diharapkan menjaga
stabilisasi nilai tukar Rupiah. Sepanjang triwulan I tahun 2019, nilai tukar Rupiah
cenderung menguat didukung oleh kinerja ekonomi domestik yang membaik. Di sisi
lain, normalisasi kebijakan Amerika Serikat mendorong masuknya portofolio ke negara-
negara berkembang. Inflasi dalam negeri berada dalam rentang ±3,5 persen, dan
mencapai tingkat terendah dalam sepuluh tahun terakhir yang didorong oleh turunnya
harga komoditas dan pangan.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I tahun 2019 surplus sebesar
USD2,4 miliar, menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai
USD5,4 miliar. Kinerja tersebut lebih baik dari triwulan I tahun 2018 yang defisit.
Surplus yang terjadi didorong oleh turunnya defisit neraca transaksi berjalan serta
tingginya surplus transaksi modal dan finansal. Sementara itu, neraca perdagangan
membaik , ditopang oleh neraca perdagangan nonmigas yang meningkat serta defisit
migas yang menurun. Penerapan kebijakan terkait kerjasama energi berhasil membawa
dampak positif pada defisit neraca migas.

Perekonomian global kedepannya, diprediksi masih akan tumbuh melambat. Hal


ini ditandai dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi oleh beberapa negara
besar. Perlambatan ini masih dibayangi oleh isu perang dagang yang masih belum
menemukan titik temu. Sementara perekonomian Indonesia diprediksi masih tumbuh
positif dan stabil pada 5,2 persen. Pertumbuhan didorong oleh konsumsi rumah tangga
seiring stabilnya tingkat inflasi dan meningkatnya bantuan sosial. Konsumsi LNPRT
akan tumbuh melambat pada sisa triwulan 2019 terkait dengan pelaksanaan pemilu
nasional. Selain itu, investasi juga akan melambat, pengaruh tahun politik. Ekspor dan
impor juga diprediksi melambat terkait lemahnya kondisi perekonomian global. Di sisi
lain, sektor Pertanian pada triwulan II tahun 2019 diprediksi meningkat seiring dengan
pergeseran masa panen.

Meski diperkirakan menguat, perekonomian domestik dibayangi beberapa risiko


negatif yang dapat membuat realisasi pertumbuhan ekonomi meleset. Beberapa risiko
utamanya adalah eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, harga
komoditas internasional yang menurun, realisasi pendapatan negara yang lebih rendah
dari target, ketidakpastian pasca pemilu nasional, dan kinerja sektor migas yang belum
pulih.

F. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Tiongkok

Ekonomi Tiongkok mengalami perlambatan pertumbuhan, di tengah


meningkatnya eskalasi konflik perdagangan dengan Amerika Serikat. Pada TW2-18,
ekonomi tumbuh melambat menjadi 6,7% yoy, dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 6,8%. Perlambatan terutama dipengaruhi oleh menurunnya kontribusi net
ekspor terhadap PDB. Sementara, kontribusi konsumsi dan investasi relatif stabil,
dengan peranan konsumsi yang masih mendominasi kinerja perekonomian Tiongkok.
Sementara secara sektoral, perlambatan ekonomi Tiongkok dipengaruhi oleh
menurunnya kontribusi sektor jasa (tersier) akibat kebijakan deleveraging pemerintah
untuk mengatasi tingginya utang yang berdampak pada kinerja sektor keuangan. Meski
menurun, sektor jasa masih mendominasi, yang sejalan dengan proses reformasi
struktural.

Inflasi mengalami penurunan dan masih 11 di bawah target pemerintah (3,0%).


Inflasi CPI Juni 2018 sebesar 1,9%, menurun dari Maret 2018 sebesar 2,1%
terpengaruh berkurangnya permintaan bahan makanan pasca perayaan Imlek.
Menimbang ketidakpastian kondisi global dan masih tingginya financial risk, stance
kebijakan Bank Sentral belum berubah menjadi lebih longgar meski inflasi telah lebih
rendah dari target. Selama TW2-18, People’s Bank of China (PBoC) mempertahankan
suku bunga kebijakan. Tekanan pada likuiditas keuangan domestik akibat kenaikan
suku bunga 7DRR sebesar 5 bps pada Maret 2018, direspons dengan menurunkan
Giro Wajib Minimum (GWM) pada April dan Juni 2018.

Moderasi ekonomi Tiongkok diperkirakan berlanjut pada 2018 dan 2019. IMF
dan Consensus Forecast memprediksi ekonomi Tiongkok 2018 akan tumbuh sebesar
6,6%, menurun dibandingkan 2017 yang sebesar 6,9%. Pertumbuhan ekonomi 2019
diprediksi akan kembali melambat menjadi 6,4%. Peningkatan tensi konflik
perdagangan terutama dengan AS menjadi risiko utama yang membayangi
pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Selain itu, Tiongkok juga perlu mewaspadai risiko
kebijakan moneter the Fed yang cenderung bias ketat (menaikkan FFR dan
mengurangi pembelian aset), kenaikan harga minyak dan meningkatnya tensi geopolitik
terutama di semenanjung Korea.

Ekonomi Tiongkok mengalami perlambatan akibat penurunan kinerja ekspor neto


seiring dengan meningkatnya eskalasi konflik perdagangan dengan AS. Pertumbuhan
PDB TW2-18 melambat ke level 6,7% yoy, dibandingkan TW1-18 (6,8%).

Peranan konsumsi dalam pertumbuhan PDB yang relatif stabil tersebut


dipengaruhi oleh terjadinya perbaikan konsumsi sebagai imbas inflasi rendah, yang
terkompensasi oleh tertahannya belanja akibat penurunan penyaluran kredit.
Sementara, stabilnya kontribusi investasi dipengaruhi oleh relaksasi implementasi
pollution control oleh pemerintah –yang menahan aktivitas investasi untuk memperbaiki
kondisi udara– dan peningkatan investasi properti untuk program social housing
(pembangunan rumah rakyat), yang diimbangi oleh tertahannya investasi infrastruktur
untuk pengendalian utang yang sudah tinggi.

Secara sektoral, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok disebabkan oleh


penurunan kontribusi sektor jasa (tersier). Kontribusi sektor jasa pada TW2-18
termoderasi menjadi 4,1% (dari 4,2% pada TW1-18) akibat kebijakan deleveraging
pemerintah yang berdampak pada perlambatan kinerja sektor keuangan.

Konsumsi masyarakat Tiongkok terakselerasi didukung keyakinan terhadap


kenaikan pendapatan dan tekanan inflasi yang menurun. Rata-rata total penjualan ritel
TW2-18 tumbuh 10,4% yoy, meningkat dari TW1-18 sebesar 9,6%. Peningkatan
penjualan ritel terjadi pada barang kebutuhan rumah tangga (consumer goods) yang
tumbuh 8,6%, dari 7,5% pada triwulan sebelumnya, serta penjualan kendaraan yang
meningkat menjadi 6,8% (dari 1,5% pada TW1-18).
Di tengah berlangsungnya penyesuaian struktur ekonomi, pertumbuhan investasi
mengalami penurunan. Rata-rata fixed assets investment (FAI) TW2-18 tumbuh 6,4%
yoy, termoderasi dari TW1-18 sebesar 7,5%.

Sebaliknya FAI sektor sekunder (manufaktur) mengalami akselerasi dengan


tumbuh sebesar 2,9% (dari 2,5% pada TW1-18). Peningkatan investasi sektor
manufaktur terutama terjadi pada industri berat, seperti otomotif dan energi. Akselerasi
kinerja sektor manufaktur juga tercermin dari produksi industri yang tumbuh sebesar
6,6% (dari 6,1% pada TW1-18).

Di sisi eksternal, kinerja perdagangan internasional Tiongkok mengalami


penurunan. Pertumbuhan ekspor TW2-18 tercatat sebesar 11,8%, menurun dari 17,0%
pada TW1-18. Penurunan ekspor Tiongkok disebabkan penurunan permintaan global
seiring peningkatan tensi konflik perdagangan.

Peningkatan surplus perdagangan Tiongkok tersebut mampu mengompensasi


defisit transaksi jasa. Defisit transaksi jasa Tiongkok terutama terjadi pada sektor jasa
pariwisata dan logistik, seiring peningkatan minat masyarakat Tiongkok untuk berwisata
ke luar negeri dan masih banyaknya penggunaan angkutan logistik asing.

Peningkatan tensi konflik perdagangan dengan AS menyebabkan kinerja


perdagangan Tiongkok dengan negara tersebut menurun. Pada TW2-18, ekspor
Tiongkok ke AS tumbuh melambat menjadi 11,2%, dari 17,2% pada triwulan
sebelumnya. Penurunan tersebut diduga disebabkan kebijakan Pemerintah AS yang
mengenakan tarif impor terhadap produk baja dan alumunium yang berlaku efektif mulai
23 Maret 2018.

Nilai tukar yuan melemah tajam terutama pasca AS mengumumkan daftar final
produk Tiongkok yang dikenakan tarif senilai USD50 miliar pada 15 Juni 2018. Nilai
tukar yuan terhadap USD (CNY/USD) pada akhir Juni 2018 tercatat sebesar CNY6,62
per USD, melemah 5,5% ptp dibandingkan level akhir Maret 2018 (CNY6,28 per USD).
Nilai tukar efektif yuan terhadap beberapa mata uang (CFETS, CNY/Basket of
currencies) pada Juni 2018 juga terdepresiasi sebesar 1,1% ptp dibandingkan Maret
2018.
Pelemahan yuan pada TW2-18 menyebabkan penurunan cadangan devisa
Tiongkok. Cadangan devisa per Juni 2018 menurun menjadi USD3,11 triliun,
dibandingkan Maret 2018 sebesar USD3,14 triliun. Meski menurun, level cadangan
devisa tersebut masih memadai untuk memenuhi 17,8 bulan impor, jauh di atas
ambang kecukupan sebesar tiga bulan impor.

Inflasi Consumption Price Index (CPI) mengalami penurunan dan berada di


bawah target pemerintah (3,0%). Inflasi CPI Juni 2018 sebesar 1,9%, menurun dari
Maret 2018 sebesar 2,1% terpengaruh berkurangnya permintaan bahan makanan
pascaperayaan Imlek. Inflasi bahan makanan Juni 2018 menurun menjadi 0,3% (dari
2,1% pada Maret 2018) terutama disebabkan penurunan tajam harga kelompok hasil
perikanan menjadi hanya 0,3% (dari 5,6% pada Maret 2018).

Inflasi yang lebih rendah dari target pemerintah tidak serta merta
mengubah stance kebijakan moneter menjadi lebih longgar, menimbang ketidakpastian
kondisi global dan masih tingginya financial risk. PBoC akan berupaya
menyeimbangkan antara tekanan eksternal (FFR hike dan konflik perdagangan), serta
upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan reformasi struktural, dengan
tetap mengelola financial risk. Selama TW2-18, People’s Bank of China (PBoC)
mempertahankan suku bunga kebijakan (7-Days Reverse Repo Rate/7DRRR).

PBoC merespons pengetatan likuiditas tersebut dengan menurunkan Giro Wajib


Minimum (GWM) sebanyak dua kali sejak April 2018. Penurunan GWM pertama pada
25 April 2018 dilakukan masing-masing sebesar 100 bps menjadi 16% (dari
sebelumnya 17%) untuk bank besar, dan menjadi 14% (dari 15%) untuk bank yang
lebih kecil. Bank-bank tersebut juga merupakan bank yang aktif memanfaatkan Medium
Term Lending Facility (MLF) dari PBOC.

Penurunan kedua dilakukan pada 24 Juni 2018. PBoC kembali menurunkan


GWM sebesar 50 bps secara targeted dalam dua bagian. Kebijakan yang baru berlaku
efektif pada 5 Juli 2018 tersebut dilakukan untuk mendukung reformasi di perusahaan
milik negara serta pengembangan UKM dan kredit mikro sebagai sektor yang paling
terkena dampak dari konflik perdagangan.
Pengetatan regulasi guna melanjutkan proses financial deleveraging terus
diperkuat oleh China Banking and Insurance Regulatory Agency (CBIRC). Monetary
Condition Index(MCI) berada pada level 72,0 pada Juni 2018, menurun dari 79,7 pada
Maret 2018.

Kebijakan fiskal cenderung konsolidatif, sebagai bagian dari upaya menekan


risiko keuangan dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Penerimaan
pemerintah tercatat sebesar 8,0% dari PDB pada TW2-18, meningkat dari TW1-18
sebesar 7,0% dari PDB. Sementara itu sisi pengeluaran mencapai 7,7% dari PDB, lebih
rendah dari realisasi triwulan sebelumnya (11,0% dari PDB).

Moderasi ekonomi Tiongkok secara gradual diperkirakan berlanjut pada 2018


dan 2019. IMF dalam WEO Juli 2018 memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok
2018 akan melambat ke 6,6% yoy, termoderasi dibandingkan pencapaian selama 2017
yang mencapai 6,9%. Guna menjaga pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target yang
ditetapkan, pemerintah menekankan peranan ekpansi fiskal untuk mendorong demand
domestik dan menjaga momentum pertumbuhan.

Intensitas proses reformasi struktural berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi


Tiongkok pada 2019. IMF dan CF memproyeksikan ekonomi akan tumbuh melambat
menjadi 6,4% yoy. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama bersumber dari
langkah-langkah pengetatan regulasi di bidang keuangan, perumahan dan fiskal.

Konflik perdagangan menjadi risiko utama bagi perekonomian Tiongkok. Pada


semester II-2018, ekspor berpotensi tertahan seiring termaterialisasnya kebijakan tarif
impor oleh AS. Presiden Trump menetapkan tarif sebesar 25% untuk sekitar 1.333
produk impor Tiongkok senilai USD50 miliar.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/perkembangan-ekonomi-
indonesia-dan-dunia-triwulan-i-tahun-2019/

Anda mungkin juga menyukai