Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER ANTROPOLOGI HUKUM

Diaz Krisnayoga
11010116130393
Kelas A
EMY HANDAYANI, SH, M.Hum

1. Bagaimanakah L. Pospisil memandang masyarakat Suku Kapauku memiliki pendekatan


empiris. Jelaskan dengan contoh yang relevan
Pendekatan antropologi hukum yang paling cocok digunakan dalam masyarakat
Suku Kapauku seperti yang dikemukakan oleh L. Pospisil adalah Pendekatan Empiris karena
lebih menitik-beratkan pada kenyataankenyataan hukum yang nampak dalam situasi atau
peristiwa hukum (law in actions) tidak hukum dalam peraturan perundangan tertulis (law in
book). Dan bicara suku, maka kita harus langsung turun ke lapangan untuk mengetahui
secara nyata.

CONTOH:
Proses pembuatan keputusan pada suku Kapauku dari Lembah Kamu di Irian Jaya.
Pada orang Kapauku “proses hukum” biasanya dimulai dari percekcokan. “Penggugat”
menuduh “tergugat” bahwa dia melakukan tindakan yang merugikan “tergugat”. Tergugat
mengingkarinya atau mengemukakan alasan pembenaran bagi tindakannya. Percekcokan itu
biasanya diramaikan oleh teriakan-teriakan yang menarik perhatian umum sehingga mereka
berkumpul. Kerabat-kerabat akrab dari kedua pihak menyatakan dukungannya dan
mengajukan pendapat dan kesaksian melalui pidato-pidato yang penuh emosi atau dengan
jeritan-jeritan. Kalau jenis perkelahian ini, yang dikenal dengan istilah mana koto tidak
terkendalikan, maka percekcokan biasanya berubah menjadi perkelahian dengan tongkat-
tongkat atau menjadi perang. Tapi pada umumnya, orang-orang penting dari suku-suku serta
dari klen bagan yang bersahabat atau dari klen besar datang menengahi.
Mula-mula mereka duduk-duduk saja di antara penonton dan mendengarkan
alasan-alasan dari kedua belah pihak. Bila perdebatan dengan menggunakan kekerasan,
maka kepala adat yang kaya mengangkat suara. Dia menyerukan supaya kedua pihak
bersabar, dan dia melancarkan pertanyaan-pertanyaan kepada “penggugat” maupun
“tergugat”. Dia mencari bukti-bukti di rumah “tergugat” atau di tempat perkelahian itu, yang
akan dapat mendukung bahwa tergugat bersalah. Tindakan kepala adat itu dinamakan boko
petai, yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “mencari pembuktian”.
Setelah ada kepastian mengenai bukti itu, pemegang otoritas mulai dengan tindakan
yang oleh rakyat dinamakan boko duwai, yaitu proses membuat keputusan dan mendorong
kedua pihak untuk mengikuti/melaksanakan keputusan itu. Pemegang otoritas
mengucapkan pidato yang panjang di mana dia merangkum bukti-bukti yang ditemukan,
kemudian mengutip suatu aturan di masyarakat itu, dan akhirnya menyatakan pada kedua
pihak apa saja yang harus dilakukan untuk menghentikan perselisihan itu.
Kalau kedua pihak tidak mau menerima, pemimpinnya menjadi emosional dan mulai
menyalahkan mereka. Dia mengucapkan pidato yang panjang dimana dijalinkan bukti-bukti,
aturan-aturan, keputusan-keputusan sebelumnya, supaya kedua pihak terdorong menerima
keputusannya. Malahan ada pemimpin yang sampai menarikan wainai atau tari gila, atau
yang tiba-tiba merubah taktik dengan menangis menunjukkan kepahitan hatinya, karena
kelakuan “tergugat” yang tidak pantas dan tidak mau menurut itu.
2. Dalam mempelajari Kebudayaan suatu masyarakat adat yang berkaitan dengan budaya
sakral dan memiliki nilai filosofis, apa yang akan dilakukan jika tradisi masyarakat tersebut
melanggar ketentuan hukum pidana
Hukum pidana adalah hukum modern atau juga hukum negara hasil kodifikasi yang
menyamaratakan keberlakuannya bagi setiap masyarakat. Sedangkan tradisi masyarakat
adalah suatu nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam bentuk kepatuhan ataupun kegiatan
aktif.
Manusia dalam hidup bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan
menjunjung tingi nilai-nilai budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam
masyarakat tertentu harus dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga
masyarakat lain. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial,
yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku
pada waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial. Norma-norma sosial
sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau
lembaga sosial yang semuanya lebih mempermudah manusia mewujudkan perilaku yang
sesuai dengan tuntutan masyarakatnya atau yang sesuai dengan gambaran ideal mengenai
cara hidup yang dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup atau cetak
biru, yang merupakan kebudayaan dari masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara
hidup warga masyarakat, dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat
supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.
Sehingga Negara wajib mengakui dan melindungi setiap nilai-nilai yang hidup di
tengah-tengah masyarakat dengan segala keragamannya, yang berformulasi dalam bentuk
tradisi.
Contoh = Carok, tradisi carok yang dimiliki dan masih dijalankan oleh sebagian besar
masyarakat Madura. Carok merupakan tradisi bertarung yang disebabkan karena alasan
tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar
klan dengan menggunakan senjata (biasanya celurit).
Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan
yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku
Madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik yang sangat
esensial seperti saat kehormatan diinjak-injak dan dicemarkan.
Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku
Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut
masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian
besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).
Carok berada dipersimpangan jalan antara tradisi yang harus dilakukan demi
membela harga diri dan carok sebagai suatu bentuk kejahatan dengan kekerasan yang
sangat meresahkan masyarakat, sekaligus tindakan yang tidak akan dibenarkan oleh negara
karena tergolong tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).
Perbedaan carok dengan pembunuhan biasa adalah adanya unsur membela
kehormatan diri dan keluarga, karena unsur itulah maka pihak yang kalah maupun yang
menang akan mendapatkan kehormatan dan sanjungan karena dia dianggap sebagai
pahlawan keluarga karena menyelamatan keluarga dari suatu kenistaan, carok sebagai
perkelahian menggunakan senjata tajam untuk membela dan mempertahankan
kehormatan, martabat dan nama baik keluarga serta masalah harga diri.
Tujuan utama dari hukum adalah keadilan. Keadilan bersifat kontekstual. Sehingga
masyarakat madura memiliki keadilannya sendiri, penegakan hukum pidana ditengah-
tengah masyarakat madura yang memiliki hukumnya sendiri yang efektif, sama saja dengan
sadar menegakkan ketidakadilan, hal tersebut bukanlah tujuan dari hukum.

3. Jelaskan wujud kebudayaan yang berkaitan dengan kebudayaan fisik, berikan contohnya
dikaji dengan pendekatan komparatif antropologi hukum

Kebudayaan fisik adalah salah satu wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat


yang diilustrasikannya melalui lingkaran keempat dalam berbagai lingkaran wujud
kebudayaan. Kebudayaan Fisik memiliki wujud fisik berupa benda-benda fisik, antara lain
bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak dan semua benda hasil karya manusia
yang bersifat konkret dan dapat diraba serta difoto

Contoh wujud kebudayaan fisik yang dikaji melalui pendekatan komparatif


antropologi hukum:

Perbandingan Komparatif antara Candi Kenteng Songo dan Candi Arjuna.


Sebagaimana diketahui bahwa candi merupakan bangunan suci bagi pemeluk agama Hindu
dan Budha. Namun secara fisik orang awam sulit untuk membedakannya dilihat dari sisi
ornamennya. Salah satu kesamaan ornamen tersebut adalah pemanfaatan ornamen Kala
yang ditempatkan di atas pintu gerbang candi.

Pengamatan sekilas menunjukkan bahwa ornamen Kala yang ada di semua candi
tampak sama. Apakah memang benarbenar sama ataukah ada perbedaan? Mestinya
visualisasi bentuk ornamen Kala ini memiliki perbedaan, karena dimungkinkan dibuat oleh
orang yang tidak sama, meskipun latar belakang dan inspirasi boleh jadi sama.

Kompleks Candi Gedongsongo ini terdapat kemiripan atau kesejajaran dengan


kompleks Candi Dieng yang berdiri di pegunungan Dieng wilayah Wonosobo dan
Banjarnegara. Kemiripan dan kesejajaran ini dapat dilihat persebaran candi yang tidak
mengelompok dalam satu kesatuan. Jika kompleks Candi Gedongsongo dapat diidentifikasi
kompleks candi 1, 2, 3, 4 dan 5, kompleks Candi Dieng diidentifikasi dengan menggunakan
nama-nama wayang tokoh Mahabarata dalam versi Jawa. Kompleks Candi Dieng ini dikenal
dengan kompleks candi Arjuna, Gatutkaca, Bima, dan Dwarawati. Gugusan candi yang cukup
banyak dibanding dengan yang lain adalah kompleks candi Arjuna yang terdiri atas candi
Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra.

 Kesamaan antara Kala kompleks Candi Gedongsongo dan Dieng adalah penempatan
Kala pada gawangan pintu bilik/ruang, dan relung candi. Perbedaannya di kompleks
Candi Dieng tidak ditemukan Kala yang berfungsi, sebagai dwarajala dan kala yang
ditempatkan pada pinggiran pipi tangga masuk kanan kiri candi.
 Dalam hal bentuk, antara kala kompleks Candi Gedongsongo dan Dieng dijumpai
adanya Kala bermahkota, berornamen mirip tanduk, dan Kala yang berahang bawah.
Perbedaannya dijumpai bentuk yang relatif beragam di Dieng dilihat dari komposisi
unsur terutama terlihat dari proporsi pipi/muka yang lebih luas dan terkesan tidak
garang bahkan lucu (sebagaimana ditemukan di candi Srikandi dan Bima).
 Dalam hal unsur, secara umum antara Kala kompleks Candi Gedongsongo dan Dieng
memiliki unsur yang sama, yakni mata melotot, hidung besar, berahang yang tumbuh
gigi seri dengan jumlah yang bervariasi dan bertaring, bertelinga dan ada yang
memiliki tanduk. Perbedaannya pada kompleks Candi Dieng terdapat Kala yang
memiliki unsur kumis, lidah, dan lonceng yang digantungkan pada akhir mulut/rahang
atasnya.

4. Jelaskan hubungan hukum dan kebudayaan, berikan analisa saudara disertai dengan
contoh masyarakat adat (Suku Bali/Suku Minang/Suku Sasak)
Hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam hidup bermasyarakat telah
dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tigngi nilai-nilai budaya tertentu
Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus dijunjung
tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilai-nilai budaya tercakup
secara lebih konkret dalam norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga
masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai
peranan dalam berbagai situasi sosial.
Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial
lainnua dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal yang berkenaan dengan kekerabatan,
seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke tempat tinggal kerabat
dari suaminya (patrilokal), norma sosial yang lain, harta dari seorang ayah diwariskan pada
anaknya yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya bergabung menjadi suatu lembaga atau
pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga keluarga.
Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota masyarakat, bila
ada anggota masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu, maka ini berarti nilai budaya
yang mendasarinya diingkari dan jika pelanggaran itu sering terjadi, maka nilai budaya yang
mendasarinya, lama-lama akan memudar dan terancam hilang.
Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang konkret
yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi wewenang untuk
itu. Sebagai contoh, ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti suami ke tempat tinggal
kerabatnya, amaka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan
Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang tercermin dalam norma sosial juga
dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena perlindungannya tejradi melalui proses
hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya dengan sanksi hukum, dibandingkan dengan
norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.
Menurut Kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang
sangat penting. Nilai utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai
pengubung dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang
mempertimbangkan garis keturunannya melalui ayah.
Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial
lainnya dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal yang berkenaan dengan kekerabatan,
seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke tempat tinggal kerabat
dari suaminya (patrilokal), norma sosial harta dari seorang ayah diwariskan pada anaknya
yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya bergabung menjadi suau lembaga atau pranata
sosial, yaitu pranata atau lembaga keluarga. Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku
oleh semua anggota masyarakat, bila ada anggota masyarakat tidak mengindahkan norma
sosial itu, maka ini berarti nilai budaya yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu
sering terjadi, maka nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan
terancam hilang. Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi
yang konkret yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi
wewenang untuk itu
CONTOH=ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti suami ke tempat tinggal kerabatnya,
maka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang
tercermin dalam norma sosial jug dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena
perlindungannya terjadi melalu proses hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya
dengan sanksi hukum dibandingkan dengan norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.

5. Jelaskan Secara Singkat:


a. Tonowi:
Tonowi adalah sebutan bagi tokoh yang sudah mapan, kaya dan memiliki banyak
pengikut, sehingga Tonowi memiliki otoritas di mata masyarakat Suku Kapauku. Setiap
wilayah dalam Suku Kapauku memiliki Tonowi-nya masing-masing.
Otoritas yang dimaksud adalah misalnya ketika terjadi sengketa antar masyarakat
yang berbeda wilayah di dalam Suku Kapauku, maka Tonowi dari kedua pihak menyelesaikan
sengketa tersebut dengan memberikan kewajiban/hak kepada para pihak dan memberikan
sanksi. Sanksi yang efektif adalah mempermalukan yang bersalah di depan umum seperti
berdiri di dekat jalan raya dengan dicemooh oleh orang lewat.
Penyelesaian yang sudah ditentukan oleh para Tonowi, biasanya merumuskan
semacam yurisprudensi, atau keputusan yang berlaku untuk kasus-kasus yang sama untuk
selanjutnya
b. Fase Perkembangan Antropologi Hukum:

Awal pemikiran antropologi tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang


dilakukan oleh kalangan ahli antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal
kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine
yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia
dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi
teori evolusionistik mengenai masyarakat dan hukum. Secara umum tema kajian/teori-
teori antropologi hukum dapat dikelompokkan dalam 3 fase, yaitu Fase Evolusionisme,
Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.

 Pada fase evolusionisme. menurut Maine, Menurut Maine, pada masyarakat


purba, masyarakatnya masih disibukkan dengan urusan makanan dan
melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada waktu itu belum ada hukum.
Kemudian masyarakat suku menyadari bahwa mereka berasal dari keturunan yang
sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan darah yang disebut masyarakat
suku (tribal society). Pada masyarakat suku ini, kata Maine pada dasarnya masih
belum ada hukum, tetapi dikatakan ada hukum jika huku tersebut berlaku secara
kontinyu bukan secara insidental. Kemudian masyarakat suku timbul kesadaran
baru bahwa suku-suku yang ada bertempat tinggal pada teritorial bersama,
sehingga terbentuk masyarakat wilayah bersama. Pada masyarakat ini sudah
terbentuk pemerintahan baik monarki maupun republik. Perkembangan hukum
pada masyarakat ini dibedakan menjadi dua, masyarakat wilayah bersama yang
statis (diluar Eropa dan Amerika Utara) hukumnya masih sederhana, sedangkan
pada masyarakat wilayah bersama yang dinamis, bentuk hukumnya sudah
kompleks dan modern.

 Selanjutnya pada fase fungsionalisme ini, terjadi perdebatan apa itu hukum,
apakah hukum ada pada semua masyarakat. Tokoh-tokoh yang
memperdebatkannya adalah A.R Radcliffe Brown, Bronislaw Malinowski, Paul
Bohanan dan Leopold Pospisil.

 Fase pluralisme hukum masih berlaku hingga sekarang, karena tidak dapat
dipungkiri sekarang terdapat banyak sistem hukum yang berlaku disetiap
masyarakat, baik masyarakat antar daerah maupun antar negara. Pada fase ini
muncul terori Semi Autonomous Social Field dari Sally Falk Moore dan juga John F.
Griffiths yang mengataka bahwa pluralisme hukum pada dasarnya dibedakan
menjadi dua macam, yaitu pluralisme hukum kuat dan lemah
c. Hukum:
Hukum adalah suatu sistem yang mengatur tingkah laku manusia secara individu
maupun berkelompok, melalui norma-norma yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai
yang hidup di dalam masyarakat agar terciptanya keadilan, kemanfaatan dan
kepastian.
Apabila berbicara hukum dalam perspektif antropologi hukum, maka dapat dilihat
berbagai pengertian yang disampaikan oleh beberapa ahli:
- Leo Pospisil:
Hukum sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara menyeluruh, hukum
dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek
kebudayaan (politik, ekonomi, ideologi, religi, dll.
- Lewelyn dan Hoebel:
Mempelajari hukum sebagai perilaku sosial
- Moore:
Hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam masyarkat

d. Suku Ifugao:
Suku Ifugao adalah suku yang terletak di pegunungan Filipina. Ifugao adalah nama
kolektif dari beberapa kelompok etnis Austronesia di Filipina, yang tinggal di wilayah
pegunungan Luzon.
Suku Ifugao memiliki kebiasaan unik, yakni sewaktu salah seorang kerabat mereka
wafat, mayat kerabat yang wafat tersebut akan didudukan di kursi depan rumahnya.
Lengan dan kaki diikat untuk menetapkan posisi agar tidak berubah. Seakan akan mayat
tersebut masih hidup dengan duduk dikursinya. Mata pada mayat ditutup yang
digambarkan agar jasad sudah tidak perlu lagi untuk melihat penderitaan orang yang
masih hidup. Setelah itu, sepanjang delapan hari beberapa orang di desa bakal
berkabung serta melakukan ritual peralihan untuk menolong jiwa almarhum meraih
tempat paling akhir. Uniknya orang-orang yang hadir disana sekalipun tak terganggu
dengan bau busuk yang disebarkan mayat, bahkan mereka menganggapnya sebagai hal
yang sudah biasa.
Masyarakat Suku Ifugao memiliki kemiripan dengan masyarakat suku yang terletak
di Indonesia, yakni Suku Minahasa. Dengan paruh burung di topi, ornamen tengkorak
binatang di dada, kain khas kabasaran yang berwarna merah, serta penarinya
memegang daun Tawaang, Suku Ifugao juga memiliki kuburuan mirip Waruga. Secara
fisik juga mirip, yakni merkulit putih serta bertmata sedikit sipit.

Anda mungkin juga menyukai