Anda di halaman 1dari 22

HUBUNGAN KINERJA GURU, SIKAP NASIONALISME DAN

KESADARAN SEJARAH DENGAN PRESTASI BELAJAR

Fahruddin dan Sugiyono


Pendidikan Sejarah PPs UNY, Universitas Negeri Yogyakarta
cakrudin.cool@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui tingkat kualitas kinerja guru, sikap
nasionalisme, kesadaran sejarah, dan prestasi belajar; dan mengetahui hubungan kinerja guru,
sikap nasionalisme, kesadaran sejarah dengan prestasi belajar. Metode yang digunakan adalah
survei. Sampel yang dibutuhkan adalah 166 siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan
angket sebagai instrumen pokok, lembar observasi dan dokumentasi sebagai instrumen
tambahan. Pengujian validitas menggunakan rumus product moment, sedangkan pengujian
reliabilitas menggunakan rumus alfa cronbach’s. Pengujian hipotesis menggunakan korelasi
product moment dan regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: kualitas kinerja
guru dalam kriteria baik; sikap nasionalisme dalam kriteria sangat baik; kesadaran sejarah
dalam kriteria sangat baik; prestasi belajar dalam kriteria sangat baik; terdapat hubungan
positif, sangat lemah, dan signifikan antara kinerja guru dengan prestasi belajar; terdapat
hubungan positif, sangat lemah, dan signifikan antara sikap nasionalisme dengan prestasi
belajar; terdapat hubungan positif, sangat lemah, dan signifikan antara kesadaran sejarah
dengan prestasi belajar; terdapat hubungan positif, lemah, dan tidak signifikan antara kinerja
guru, sikap nasionalisme, dan kesadaran sejarah dengan prestasi belajar.
Kata Kunci: Kinerja guru, Sikap nasionalisme, Kesadaran sejarah, Prestasi belajar.

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE TEACHER PERFORMANCE, NATIONALISTIC


ATTITUDE, AND HISTORICAL AWARENESS AND THE LEARNING ACHIEVEMENT
Abstract
This study aims to find out: the quality of the performance of history teachers,
students’ nationalistic attitude, students’ historical awareness, and students’ learning
achievement; the magnitude of the relationship between the teacher performance, student’s
nationalistic attitude, students’ historical awareness and the learning achievement. The study
used the survey research method. The required sample consisted of 166 students. The data
were collected by a questionnaire as the main instrument and an observation sheet and
documentation as additional instruments. The validity was assessed by expert judgment and a
field tryout. The validity was assessed using the product moment formula. The reliability was
assessed using Cronbach’s alpha formula. The hypotheses were tested using the product
moment correlation and multiple regression. The results of the study showed that: the quality
of the teacher performance was good; the quality of the nationalistic attitude was very good;
the quality of the historical awareness was very good; the quality of the learning achievement
was very good; there was a significant, very weak, positive relationship between the teacher
performance and the learning achievement; there was a significant, very weak, positive
relationship between the nationalistic attitude and the learning achievement; there was a
significant, very weak, positive relationship between the historical awareness and the learning
achievement; and there was an insignificant, weak, positive relationship between the teacher
performance, nationalistic attitude, and historical awareness and the learning achievement.
Keywords: teacher performance, nationalistic attitude, historical awareness, learning
achievement

1
PENDAHULUAN
Pendidikan diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang
atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan
(Rohman, 2009, p. 5-6). Aspek pendidikan yang dijadikan sebagai alat ukur keberhasilannya
adalah prestasi belajar.Prestasi belajar merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pembelajaran. Peserta didik diharapkan mencapai prestasi belajar yang tinggi karena dapat
menggambarkan kualitas pendidikan. Hidayah & Sugiarto (2015, p. 25) mengemukakan
prestasi belajar mengambarkan sejauh mana tingkat pengetahuan peserta didik terhadap
materi yang dipelajari.
Yogyakarta merupakan kota yang banyak dijadikan tujuan untuk belajar. Persaingan
prestasi tingkat SMA di Yogyakarta berjalan ketat baik di bidang akademik maupun non
akademik. Terkhusus di bidang akademik program IPS, SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8
Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta termasuk dalam peringkat atas jika dibandingkan
dengan yang lainnya. Peringkat tersebut bisa dilihat melalui perolehan hasil nilai UN SMA di
regional Yogyakarta. Data yang peneliti dapatkan dari DIKPORA menjelaskan peringkat nilai
UN SMA bidang IPS di regional Yogyakarta sebagai berikut.
Tabel 1. Data Prestasi UN (IPS) SMA di Yogyakarta
2013 2014 2015 2016 2017
N
Sekolah Rerata Ran Rerata Rerata Rerata Rerata
o Rank Rank Rank Rank
UN k UN UN UN UN
SMAN 1
1 Yogyakart 83,31 1 83,00 2 83,11 2 84,12 1 82,91 3
a
SMAN 8
2 Yogyakart 83,25 2 82,85 3 82,77 4 83,74 3 81,05 5
a
SMAN 5
3 Yogyakart 82,71 4 81,34 5 82,84 3 83,54 4 82,34 4
a

Tingkat integelensi peserta didik yang tinggi pada prakteknya belum mampu
mengantarkan peserta didik pada prestasi yang lebih tinggi padahal tingkat intelegensi dari
masing-masing peserta didik termasuk dalam kategori tinggi. Data prestasi di atas
menunjukkan ketidak-stabilan (naik-turun) prestasi peserta didik dari tahun ke tahun. Untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas selain faktor intelegensi peserta didik
juga dipengaruhi guru. Guru diartikan oleh Rodriguez, dkk (2014, p. 401) penanggungjawab
dalam memberikan bimbingan belajar untuk peningkatan prestasi peserta didik.
Guru menjadi komponen yang harus ada dalam pelaksanaan pendidikan. Melalui guru
proses transfer ilmu pengetahuan dapat diimplementasikan. Siswoyo (2011, p. 128)

2
mengatakan guru adalah orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan
dengan sasaran peserta didik, sehingga dalam kegiatan belajar mengajar guru berperan sangat
penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Belo dan Jakada (2017, p. 1) menyatakan
semakin baik kinerja guru, maka akan semakin baik prestasi belajar peserta didik.
Muncul masalah ketika pemahaman mengenai urgensi kinerja guru sebagaimana yang
dijelaskan di atas tidak dipahami dengan baik. Masalah tersebut disebabkan oleh rendahnya
pemahaman yang dimiliki oleh guru. Observasi yang dilakukan peneliti pada tanggal 24
Oktober 2017 di SMAN 1 Yogyakarta membuktikan media pembelajaran yang diterapkan
tidak menyesuaikan dengan latar belakang masing-masing peserta didik menjadikan peserta
didik kurang tertarik melaksanakan pembelajaran. Strategi pembelajaran yang seharusnya
disiapkan oleh guru, tidak lagi dilakukan oleh guru. Hal tersebut membuktikan rendahnya
kinerja guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran, sehingga standar
capaian peserta didik tidak mampu dicapai dengan lebih maksimal dan tampak tidak stabil
(naik-turun) padahal di sisi lain tingkat intelegensi peserta didik termasuk kategori tinggi.
Sikap nasionalisme termasuk dari variabel yang dibutuhkan dalam usaha peningkatan
prestasi belajar peserta didik. Yasa (2012, p. 12-13) menjelaskan, indikator sikap
nasionalisme antara lain: saling menghargai, menahan diri, menerima perbedaan, saling
membantu, peduli sesama, rela berkorban, kesadaran akan kewajiban, patuh pada aturan dan
hukum dan mencintai produk dalam negeri. Indikator-indikator di atas dibutuhkan dalam
ranah praktek pembelajaran dan tentu dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik.
Adetiba & Rahim (2012, p. 662) menyatakan mengenai urgensi sikap nasionalisme untuk
peningkatan prestasi belajar, maka sikap nasionalisme perlu diaplikasikan dalam lingkungan
pendidikan di sekolah. Brian Barry dalam (Stilz, 2009, p. 258) menambahkan bahwa
peningkatan sikap nasionalisme dapat meningkatkan prestasi belajar.
Masalah rendahnya sikap nasionalisme terjadi disebabkan minimnya usaha
mengaplikasikan moral di lingkungan belajar. Peserta didik yang seharusnya mampu bersikap
saling menghargai dan toleran, pada prakteknya seringkali terjadi kasus pertengakaran antar
pelajar, tawuran antar sekolah, beserta kasus-kasus lainnya. Masalah juga muncul disebabkan
rendahnya pemahaman guru mengenai implementasi sikap nasionalisme dalam ranah prestasi
belajar. Berdasarkan wawancara pada tanggal 11 November 2017 di SMAN 8 Yogyakarta
menemukan adanya pemahaman guru mengenai sikap nasionalisme itu hanya berhubungan
dengan ranah afektif dan psikomotorik saja dengan menafikan aplikasinya dalam ranah
kognitif. Pemahaman seperti itu tidak disadari akan berdampak pada prestasi belajar peserta

3
didik. Peserta didik yang cenderung bersikap kurang menghargai dan kurang peduli dengan
teman sekelasnya tidak mendapatkan asupan moril dari gurunya.
Ketidakfahaman adanya hubungan antara sikap nasionalisme dengan prestasi belajar
juga dialami oleh peserta didik. Tentu masalah rendahnya sikap menghargai dan peduli
dengan teman sekelasnya sangat berpengaruh pada rendahnya keseriusan peserta didik dalam
belajar. Peserta didik tidak peduli pada materi yang belum difahaminya, enggan bertanya pada
teman, sehingga menyebabkan prestasi belajar sejarah peserta didik tidak meningkat secara
maksimal. Padahal sebagaimana telah dijelaskan Thran & Boehnke (2014, p. 196) bahwa
nilai-nilai nasionalisme merupakan prinsip dasar dalam menjalani kehidupan di lingkungan
belajar. Sehingga nilai-nilai tersebut dapat membantu meningkatkan prestasi belajar (Alfaqi,
2015, p. 111).
Faktor penting lainnya dalam usaha meningkatkan prestasi belajar peserta didik
adalah tertanamnya kesadaran sejarah pada diri peserta didik. Kesadaran sejarah menurut
Aman (2011, p. 140) memiliki makna penting yang betujuan agar peserta didik dapat
mengerti bagaimana sejarah bangsa dan mampu memikirkan bagaimana perkembangan
kehidupan di masa depan. Wiharyanto (2008, p. 23) menambahkan tentang pentingnya
kesadaran sejarah untuk peningkatan prestasi belajar peserta didik. Robert Thorp (2014, p. 73)
juga menyampaikan mengenai kesadaran sejarah yang memiliki peranan pokok dalam usaha
meningkatkan prestasi belajar sejarah.
Masalah kesadaran sejarah tampak ketika pemahaman mengenai kebermanfaatan
kesadaran sejarah bagi peningkatan prestasi belajar dinilai kurang berperan. Wawancara pada
tanggal 15 Oktober di SMAN 5 Yogyakarta membuktikan bahwa guru memahami kesadaran
sejarah hanya sampai pada taraf sikap keseharian peserta didik. Kesadaran sejarah dianggap
hanya bisa dibuktikan melalui sikap peserta didik yang disiplin, turut aktif dalam upacara,
selalu hadir dalam peringatan hari bersejarah dan sederet pemahaman lainnya dengan tanpa
ada tela’ah mendalam mengenai keterhubungan kesadaran sejarah dalam ranah kognitif yang
dapat meningkatan prestasi belajar sejarah peserta didik.
Potensi akademik peserta didik yang seharusnya mampu dikembangkan melalui
pembelajaran sejarah, pada prakteknya tidak mampu mengarahkan pada capaian prestasi
belajar yang lebih tinggi. Kesenjangan tersebut muncul disebabkan pemahaman yang sempit
oleh banyak guru sebagaimana diterangkan di atas. Kecerdasan peserta didik dalam
menela’ah peristiwa sejarah dan daya kritis yang tajam dalam menanggapi kompleksitas
sumber sejarah, pada prakteknya menjadi sia-sia dan tidak mampu mengantarkan peserta

4
didik pada prestasi belajar sejarah yang lebih tinggi. Berdasarkan masalah-masalah di atas,
penulis tertarik untuk mengkaji keterhubungan antara kinerja guru, sikap nasionalisme, dan
kesadaran sejarah dengan prestasi belajar sejarah peserta didik.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah Survey Method, yakni metode penelitian yang
digunakan untuk mendeskripsikan keadaan alami, mengidentifikasi secara terukur keadaan
sekarang, dan menentukan hubungan sesuatu yang hidup diantara kejadian spesifik (Sukardi,
2009, p. 193). Mempertimbangkan masalah yang diteliti adalah gejala sosial, maka
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan analisis kuantitatif berdasarkan informasi
statistik juga digunakan pendekaan analisis kualitatif untuk menginterpretasi terhadap hasil-
hasilnya. Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8
Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta. Waktu pelaksanaan ini berlangsung selama lima
bulan, dimulai dari bulan Oktober 2017 hingga bulan Februari 2018. Populasi merupakan
keseluruhan subjek penelitian yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu dan dapat
ditarik kesimpulan dari hasil penelitian (Arikunto, 2010, p. 115). Adapun populasi dalam
penelitian ini adalah peserta didik kelas X, XI dan XII program IPS di SMAN 1 Yogyakarta,
SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta yang berjumlah 293. Sampel adalah sebagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2010, p. 81). Adapun
sampel dalam penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan perhitungan
rumus Isacc dan Michael adalah sebanyak 166 peserta didik.
Terdapat empat variabel dalam penelitian ini yaitu tiga variabel bebas dan satu
variabel terikat. Variabel independen (bebas) adalah variabel yang menjelaskan atau
mempengaruhi variabel yang lain, sedangkan variabel dependen (terikat) adalah variabel yang
dijelaskan atau yang dipengaruhi oleh variabel independen (Umar, 2003, p. 63). Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah kinerja guru (X1), sikap nasionalisme (X2) dan kesadaran
sejarah (X3). Sedangkan variabel terikatnya adalah prestasi belajar sejarah (Y).
Observasi telah dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2017 di SMAN 1 Yogyakarta
pukul 08.15-12.30 WIB, pada tanggal 11 November 2017 di SMAN 8 Yogyakarta pukul
08.00-12.30 WIB, dan pada tanggal 15 Oktober 2017 di SMAN 5 Yogyakarta pukul 07.30-
12.30 WIB. Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan data respon peserta
didik mengenai kinerja guru, sikap nasionalisme dan kesadaran sejarah. Lembar oservasi
digunakan untuk mendapatkan data praktek kinerja guru di sekolah meliputi perencanaa,

5
pelaksanaan, dan evaluasi. Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data kinerja guru,
sikap nasionalisme, kesadaran sejarah, dan prestasi belajar sejarah peserta didik SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 5 Yogyakarta tahun ajaran 2017/2018. Data
prestasi meliputi rata-rata nilai ulangan harian semester ganjil pada bulan Juli-Desember
2017, nilai Prestasi Tengah Semester (PTS) yang dilaksanakan pada bulan September 2017,
dan nilai Prestasi Akhir Sekolah (PAS) yang dilaksanakan pada Desember 2017.
Uji coba instrumen dilakukan pada peserta didik kelas X, XI, dan XII program IPS
SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 5 Yogyakarta tahun ajaran 2017/2018
dengan jumlah sebanyak 60 peserta didik. Hasil uji coba dengan bantuan komputer
memperoleh hasil uji validitas dari 26 pernyataan instrumen variabel kinerja guru terdapat 5
pernyataan yang tidak valid atau gugur, pada variabel sikap nasionalisme dari 28 pernyataan
terdapat 1 pernyataan yang tidak valid atau gugur, dan pada variabel kesadaran sejarah dari 29
pernyataan terdapat 2 pernyataan yang tidak valid atau gugur. Dalam penelitian ini, uji
reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Formula Alpha Cronbach. Berdasarkan
hasil uji coba instrumen yang dilaksanakan pada 60 peserta didik dengan bantuan komputer
diperoleh hasil perhitungan reliabilitas instrumen kinerja guru sebesar (Cronbach Alpha on
0,811). Hasil perhitungan reliabilitas pada instrumen sikap nasionalisme sebesar (Cronbach
Alpha on 0,86). Sedangkan hasil perhitungan reliabilitas pada instrumen kesadaran sejarah
sebesar (Cronbach Alpha on 0,834).
Sebelum analisis data dilakukan uji persyaratan terlebih dahulu untuk mengetahui
apakah data yang akan dianalisis memenuhi syarat atau tidak guna menentukan langkah
selanjutnya. Uji persyaratan dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas untuk
mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Rumus yang digunakan dalam uji
normalitas adalah rumus Chi Kuadrat. Uji persyaratan selanjutnya adalah uji linearitas yang
bertujuan untuk mengetahui apakah garis regresi antara variabel X dengan Y membentuk
garis linear atau tidak. Pengujian yang digunakan dalam uji hipotesis linearitas adalah
menentukan harga-harga dari masing-masing variabel meliputi: JK(T), JK(a), JK(bIa), JK(S),
JK(G), dan JK(TC) kemudian dilanjutkan dengan Uji F.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebelum dilakukan analisis statistik, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis
yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas Uji normalitas dilakukan untuk menyelidiki
apakah data variabel penelitian berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan pada

6
keempat variabel penelitian yaitu kinerja guru, sikap nasionalisme, dan kesadaran sejarah.
Pengujian normalitas dianalisis menggunakan komputer program Microsoft Excel.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Chi Kuadrat hitung x 2h= 10,03 untuk kinerja
guru sebesar 10,81; sikap nasionalisme sebesar 10,15; kesadaran sejarah sebesar 8,65; dan
prestasi belajar sejarah sebesar 10,03. Dapat dinyatakan bahwa data setiap variabel
berdistribusi normal karena nilai signifikansi masing-masing variabel lebih kecil (>) daripada
x 2t =¿ 11,070. Pada variabel kinerja guru 10,03 > 11,070, variabel sikap nasionalisme 10,15 >
11,070, kesadaran sejarah 8,65 > 11,070, dan prestasi belajar sejarah 10,03 > 11,070.
Uji linearitas variabel kinerja guru (X1) dengan variabel prestasi belajar sejarah (Y)
diperoleh hasil Fhitung lebih kecil daripada Ftabel (0,79<1,55). Artinya dapat dinyatakan
hubungan antar variabel kinerja guru (X1) dengan variabel prestasi belajar sejarah (Y) adalah
linear. Uji linearitas variabel sikap nasionalisme (X2) dengan variabel prestasi belajar sejarah
(Y) diperoleh hasil Fhitung lebih kecil daripada Ftabel (0,89<1,55). Artinya dapat dinyatakan
hubungan antar variabel sikap nasionalisme (X2) dengan variabel prestasi belajar sejarah (Y)
adalah linear. Uji linearitas variabel kesadaran sejarah (X3) dengan variabel prestasi belajar
sejarah (Y) diperoleh hasil Fhitung lebih kecil daripada Ftabel (0,71<1,55). Artinya dapat
dinyatakan hubungan antar variabel kesadaran sejarah (X3) dengan variabel prestasi belajar
sejarah (Y) adalah linear.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Tingkat kualitas kinerja guru SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan
SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian, terbukti bahwa rata-rata kualitas kinerja guru SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta mencapai 78,72% dari yang
diharapkan. Jika dikategorikan dalam interprestasi, kinerja guru SMAN 1 Yogyakarta, SMAN
8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta tergolong dalam kriteria baik, penilaian kualitas
kinerja guru ini dibatasi pada indikator-indikator yang memuat aspek perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran yang diperluas melalui butir-butir instrument antara
lain: (1) pengembangan bahan pembelajaran, (2) kesesuaian metode, (3) pembuatan media,
(4) kesesuaian prosedur penilaian, (5) kesesuaian pelaksanaan RPP, (6) manajemen waktu, (7)
metode yang menunjang kreatifitas, (8) kesesuain metode dengan karakter sisiwa, (9)
kesesuaian media dengan tujuan belajar, (10) kesesuaian media dengan materi ajar, (11)
alokasi waktu untuk bertanya, (12) fasilitas menuangkan gagasan, (13) informasi materi

7
berikutnya, (14) penentuan aspek evaluasi, (15) pengembangan instrumen evaluasi, dan (16)
kesesuaian prosedur evaluasi dengan KKM, (17) perbaikan proses pembelajaran, (18)
administrasi evaluasi, (19) analisis hasil evaluasi, (20) pemanfaatan hasil evaluasi untuk
metode, dan (21) Peningkatan kualitas belajar.

Peningkatan kualitas belajar


Pemanfaatan hasil evaluasi untuk metode
6.86
Analisis hasil evaluasi 7.35
Administrasi evaluasi 6.59
Perbaikan proses pembelajaran 8.06
Kesesuaian prosedur evaluasi dengan KKM 7.46
Pengembangan instrumen evaluasi 8.14
Penentuan aspek evaluasi 6.94
Informasi materi berikutnya 7.31
Fasilitas menuangakan gagasan
8.33
Alokasi waktu untuk bertanya
8.23
Kesesuaian media dengan materi belajar
Kesesuaian media dengan tujuan belajar 9.40
kesesuaian metode dengan karakter siswa
8.23
Metode yang emnunjang kreatifitas
7.96
7.19
Manajemen waktu
Kesesuaian pelaksanaan RPP 8.40
Kesesuaian prosedur penilaian
7.80
Pembuatan media 8.82
Kesesuaian metode 8.23
Pengembangan bahan pembelajaran 8.80
7.39
0
2 7.84
4
6
8
10

Gambar 1. Histogram Kualitas Kinerja Guru


Berdasarkan hasil penelitian survei ini melalui instrument angket, terdapat butir yang
menjadi perhatian dari sampel penelitian ini yaitu analisis hasil evaluasi. Mengacu pada hasil
analisis butir variabel kinerja guru, terbukti bahwa kualitas butir analisis hasil evaluasi
termasuk dalam kategori paling rendah dengan skor 6,59 atau 65,90% dibandingkan dengan
butir yang lain. Rendahnya analisis hasil belajar dibandingkan dengan yang lain dikarenakan
terdapat guru yang enggan melakukan analisis hasil belajar peserta didik. Guru menganggap
analisis cukup dilakukan satu kali dalam satu semester, hasil penilaian per-KD tidak perlu
dianalisi dengan serius, karena terlalu banyak KD yang harus diajarkan dan dinilai.
Berdasarkan data yang didapatkan dari observasi dan dokumentasi (16 Januari 2018)
terdapat aspek pembelajaran yang tampak lebih rendah dibandingkan dengan aspek yang
lainnya, aspek tersebut terdapat pada perencanaan pembelajaran. Aspek ini menghasilkan
rata-rata 6,9 atau 69%. Rendahnya skor aspek ini dikarenakan rendahnya kesadaran guru

8
dalam melakukan perencanaan pembelajaran. Padahal sebagaimana dijelaskan oleh
Armstrong (2015, p. 9) bahwa aspek perencanaan menjadi aspek pokok dalam praktek
pelaksanaan pembelajaran setelahnya.
Hasil analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan guru yang tidak membuat
silabus dan RPP sesuai dengan kurikulum yang sudah diberlakukan, terdapat pula guru yang
membuat RPP hanya dengan menyalin RPP ditahun sebelumnya tanpa melakukan
penyesuaian dengan tujuan pembelajaran, pengembangan materi, dan penyesuaian terhadap
kemampuan peserta didik. Faktor-faktor inilah yang menjadikan rendahnya skor perencanaan
pembelajaran. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dislen (2013, p. 43) bahwa seringkali
permasalahan kinerja guru terdapat pada aspke perencanaan. Temuan-temuan tersebut
membuktikan rendahnya kesadaran guru dalam melakukan perencanaan pembelajaran.
Adapun butir tertinggi dalam kinerja guru terdapat pada butir alokasi waktu untuk
bertanya dengan skor 9,40 atau 93,98% dan termasuk dalam kategori sangat tinggi. Hasil
analisis observasi dan dokumentasi juga menemukan indikator tertinggi dalam kinerja guru
yaitu menyesuaikan aktivitas pembelajaran dengan kondisi kelas dengan skor 9,71 atau 97%,
memberi kesempatan bertanya, mempraktikkan dan berinteraksi dengan skor 9,71 atau 97%,
dan mengatur aktivitas pembelajaran secara sistematis dengan skor 9,71 atau 97%. Hasil
tersebut memberikan kesimpulan bahwa indikator-indikator dalam pelaksanaan pembelajaran
lebih tinggi dibandingkan dengan aspek lainnya, hasil tersebut membuktikan dalam variabel
kinerja guru aspek pelaksanaan dilaksanakan dengan baik oleh guru.
Pengambilan data dalam observasi dan dokumentasi ini mengacu pada lembar
observasi yang telah dibuat dan dinilai dengan skala likert. Skor masing-masing indikator
antara lain menyusun silabus sesuai dengan kurikulum, merancang RPP, mengembangkan
materi pembelajaran, mendesain materi sesuai tujuan pembelajaran, dan memilih materi
sesuai tingkat kemampuan peserta didik menghasilkan skor yang sama yaitu 6,86 atau 69%.
Aspek perencanaan pembelajaran ini menghasilkan skor rata-rata 6,86 atau 69%, artinya
dalam perencanaan pembelajaran guru hanya melaksanakan 69%.
Pada aspek pelaksanan pembelajaran, skor tertinggi terdapat pada indikator mengatur
aktivitas pembelajaran secara sistematis dengan skor 9,71 atau 97%, menyesuaikan aktivitas
pembelajaran dengan kondisi kelas dengan skor 9,71 atau 97%, dan memberi kesempatan
bertanya, mempraktikkan dan berinteraksi dengan skor 9,71 atau 97%. Sedangkan skor
terendah terdapat pada indikator aktivitas pembelajaran sesuai dengan RPP dengan skor 7,14

9
atau 71%. Aspek pelaksanaan pembelajaran ini menghasilkan skor rata-rata 7,27 atau 73%,
artinya dalam pelaksanaan pembelajaran guru hanya melaksanakan 73%.
Pada aspek evaluasi pembelajaran, skor tertinggi terdapat pada indikator memanfatkan
hasil penilaian sebagai bahan penyusunan RPP dengan menghasilkan skor 8,29 atau 83%.
Sedangkan skor terendah terdapat pada indikator menyusun alat penilaian sesuai dengan
tujuan pembelajaran dengan menghasilkan skor 7,14 atau 71%. Aspek evaluasi pembelajaran
ini menghasilkan skor rata-rata 6,86 atau 69%, artinya dalam pelaksanaan evaluasi
pembelajaran guru hanya melaksanakan 69%. Berdasarkan keterangan di atas, dapat dibuat
diagram lingkaran skor variabel kinerja guru sebagai berikut.

Pelaksanaan
Perencanaan 35%
33%

Evaluasi
33%

Gambar 2. Skor kinerja guru melalui observasi dan dokumentasi


2. Tingkat kualitas sikap nasionalisme SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan
SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian, terbukti bahwa rata-rata kualitas sikap nasionalisme
SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta mencapai 84,28% dari
yang diharapkan. Jika dikategorikan dalam interprestasi, sikap nasionalisme SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta tergolong dalam kriteria sangat
baik, penilaian sikap nasionalisme ini dibatasi pada butir-butir antara lain: (1) menghargai
pendapat teman, (2) menerima perbedaan persepsi, (3) mendengar pendapat teman, (4)
menimbang pendapat teman, (5) mengganggap semua teman sama, (6) adaptasi dengan teman
lain daerah, (7) adil terhadap teman, (8) tidak menimbang teman sedaerah, (9) mengerjakan
tugas sejarah bersama, (10) tidak memberikan contekan, (11) patuh memberitahu adanya PR,
(12) memberi pertolongan, (13) peduli dengan lingkungan, (14) memberikan solusi, (15)
peduli dengan sesama, (16) memperhatikan penjelasan guru, (17) bertanya mengenai materi
belajar, (18) mempelajari materi selanjutnya, (19) mengerjakan PR, (20) datang ke sekolat
tepat waktu, (21) mengumpulkan pr tepat waktu, (22) rajin mengerjakan tugas, (23) bangga

10
dengan hasil kerja sendiri, (24) jujur saat ujian, (25) patuh pada aturan sekolah, (26) rapi
dalam berseragam, dan (27) tidak suka melanggar aturan.

Tidak suka melanggar aturan


8.25
Rapi dalam berseragam
7.99
Patuh pada aturan sekolah
Jujur saat ujian 8.76
Bangga dengan hasil kerja sendiri 9.06
Rajin mengerjakan tugas 7.60
Mengumpulkan PR tepat waktu 7.60
Datang ke sekolat tepat waktu 8.20
Mengerjakan PR 8.48
Mempelajari materi selanjutnya 8.39
Bertanya mengenai materi belajar 7.63
Memperhatikan penjelasan guru 7.65
Peduli dengan sesama 8.67
Memberikan solusi 9.10
Peduli dengan lingkungan 8.57
Memberi pertolongan 8.86
Memberitahu adanya PR 8.99
Tidak memberikan contekan 8.77
Mengerjakan tugas sejarah bersama 8.10
Tidak menimbang teman sedaerah 8.10
Adil terhadap teman 8.93
Adaptasi dengan teman lain daerah 7.80
Mengganggap semua teman sama 8.78
Menimbang pendapat teman 8.17
Mendengar pendapat teman 8.80
Menerima perbedaan persepsi 8.87
Menghargai pendapat teman 8.43
0 9.02
2
4
6
8
10

Gambar 3. Histogram Kualitas Sikap Nasionalisme


Mengacu pada hasil analisis butir variabel sikap nasionalisme, terbukti bahwa kualitas
butir rajin mengerjakan tugas termasuk dalam kategori paling rendah 7,60 atau 76%
dibandingkan dengan butir yang lain meskipun termasuk dalam kategori tinggi. Adapun butir
dengan skor tertinggi terdapat pada butir peduli dengan sesama dengan skor 9,10 atau 91%
dari yang diharapkan. Beberapa analisis dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti melalui
visi dan misi sekolah, peraturan sekolah, slogan, mading, even-even sekolah, dan
dokumentasi lainnya membuktikan masing-masing butir variabel sikap nasionalisme
diimplementasikan dengan baik di SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5
Yogyakarta sikap nasionalisme.

11
Berdasarkan observasi dan analisis dokumentasi (18 Januari 2018) membuktikan
tingginya sikap nasionalisme di SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5
Yogyakarta disebabkan adanya perhatian yang tinggi dari pimpinan sekolah melalui
peraturan-peraturan yang diterapkannya. Disiplin dan patuh pada aturan sekolah menjadi
dasar nilai yang dipegang teguh, dibuktikan dengan minimnya peserta didik yang telat datang
di sekolah, tidak ada peserta didik yang keluar masuk kelas maupun sekolah tanpa izin, bagi
peserta didik yang tidak hadir disekolah diwajibkan menyetorkan poto copy KTP dan
menanda tangani surat peringatan yang diwakilkan oleh orang tua peserta didik. Sebagaimana
dijelaskan oleh Wang & Hoffman (2016, p. 3) bahwa kedisiplinan menjadi aspek pokok
dalam upaya peningkatan sikap nasionalisme, bukti peserta didik memiliki sikap nasionalisme
yang tinggi adalah disiplin dalam melakukan segala kegiatan di sekolah.
Setiap hari sebelum dilaksanakan pembelajaran dan diakhir pembelajaran seluruh guru
dan peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta
wajib berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Sekolah sekolah juga memberikan
kesempatan seluasnya kepada peserta didik untuk mengadakan kegiatan yang bernuansa bela
bangsa seperti peleton inti, serta mengikuti even kebangsaan mulai dari tingkat regional
sampai nasional. Dua tahun berturut-turut salah satu peserta didik SMAN 1 Yogyakarta lolos
dalam seleksi PASKIBRA nasional untuk bertugas di istana presden saat upacara peringatan
kemerdekaan Indonesia. Data-data tersebut membuktikan usaha-usaha yang baik dalam
mengusahakan implementasi sikap nasionalisme di lingkungan sekolah. Sebagaimana
dijelaskan oleh Talin (2014, p. 52) perlu diupayakan usaha-usaha maksimal mengenai
indikator-indikator sikap nasionalisme dalam upaya meningkatkan sikap nasionalisme pada
peserta didik.
3. Tingkat kualitas kesadaran sejarah SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan
SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hsil penelitian, terbukti bahwa rata-rata kualitas kesadaran sejarah SMAN
1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta mencapai 87,36% dari yang
diharapkan. Jika dikategorikan dalam interprestasi, kesadaran sejarah SMAN 1 Yogyakarta,
SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta tergolong dalam kriteria sangat baik,
penilaian kualitas kesadaran sejarah ini dibatasi pada butir-butir antara lain: (1) memahami
pentingnya belajar sejarah, (2) memahami sejarah untuk hidup yang baik, (3) mengambil
hikmah materi sejarah, (4) memahami manfaat sejarah bagi kehidupan, (5) memahami hukum
sebab akibat, (6) memahami aplikasi hukum kausalitas, (7) memahami pentingnya keterkaitan

12
masa, (8) menjadikan sejarah untuk cerminan bersikap, (9) memahami tentang orang lain,
(10) memahami budaya daerah lain, (11) mengenal bangsa sendiri dengan utuh, (12)
mengenal karakteristik budaya masyarakat, (13) memberikan keleluasaan pelestarian budaya,
(14) mengetahui nilai positif kebudayaan, (15) semangat memperhatikan penjelasan guru,
(16) memahami sejarah melalui media, (17) memahami sejarah melalui presentasi, (18) serius
mempelajari sejarah, (19) berusaha berprestasi, (20) melestarikan cagar budaya, (21) bangga
dengan peninggalan sejarah, (22) merasa memiliki warisan sejarah, (23) mengunjungi tempat
bersejarah, (24) melestarikan budaya melalui agenda sekolah, (25) membenci perusakan
warisan sejarah, (26) memberikan solusi pelestarian warisan sejarah, dan (27) menjaga situs
sejarah.
Menjaga situs sejarah
Memberikan solusi pelestarian warisan sejarah
9.34
Membenci perusakan warisan sejarah
8.80
Melestarikan budaya melalui agenda sekolah
9.28
Mengunjungi tempat bersejarah
8.89
Merasa memiliki warisan sejarah
Bangga dengan peninggalan sejarah 8.95
Melestarikan cagar budaya 9.30
Berusaha berprestasi 9.36
Serius mempelajari sejarah 8.98
Memahami sejarah melalui presentasi 8.12
Memahami sejarah melalui media 8.14
Semangat memperhatikan penjelasan guru 8.20
Mengetahui nilai positif kebudayaan 8.57
Memberikan keleluasaan pelestarian budaya 7.95
Mengenal karakteristik budaya masyarakat 8.77
Mengenal bangsa sendiri dengan utuh 8.59
Memahami budaya daerah lain 8.24
Memahami tentang orang lain
8.89
Menjadikan sejarah untuk cerminan bersikap
8.80
Memahami pentingnya keterkaitan masa 8.70
Memahami aplikasi hukum kausalitas 8.45
Memahami hukum sebab akibat 8.66
Memahami manfaat sejarah bagi kehidupan 8.54
Mengambil hikmah materi sejarah 8.37
Memahami sejarah untuk hidup yang baik
9.12
Memahami pentingnya belajar sejarah 8.89
0 8.94
2
4 9.04
6
8
10

Gambar 4. Histogram Kualitas Kesadaran Sejarah

Mengacu pada hasil analisis butir variabel sikap nasionalisme, terbukti bahwa kualitas
butir semangat memperhatikan penjelasan guru termasuk dalam kategori paling rendah yaitu

13
7,95 atau 79,52% dibandingkan dengan butir yang lain meskipun termasuk dalam kategori
tinggi. Adapun butir dengan skor tertinggi terdapat pada butir bangga dengan peninggalan
sejarah dengan skor 9,36 atau 93,61% dari yang diharapkan. Beberapa analisis dokumentasi
yang dilakukan oleh peneliti melalui metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru, peneliti
menemukan usaha-usaha guru sejarah SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan
SMAN 5 Yogyakarta dalam menumbuhkan kesadaran sejarah peserta didik.
Mengacu pada hasil observasi yang dilakukan (22 Januari 2018), peneliti menemukan
metode pembelajaran guru yang tidak hanya menyampaikan materi sejarah saja, tetapi peserta
didik juga diarahkan agar mampu merefleksikan setiap materi sejarah yang sedang diajarkan.
Guru mengajak peserta didik agar mampu mengambil hikmah dari materi yang diajarkan.
Guru juga memberikan tugas kepada peserta didik yang bernuansa mengenal terhadap
lingkungan sekitarnya seperti menulis sejarah desa yang ditempati.
Selain metode pembelajaran di atas, untuk memenuhi indikator kesadaran sejarah
berupa merasa memiliki hasil kebudayaan bangsa, bangga atas hasil kebudayaan bangsa, dan
turut menjaga hasil kebudayaan bangsa, guru mengajak peserta didik untuk mengunjungi
museum, candi, benteng, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Nasrikin, dkk (2016, p. 199) bahwa untuk dapat meningkatkan kesadaran
sejarah guru perlu mengajak peserta didiknya untuk melaksanakan kegiatan pengenalan
terhadap peninggalan di masa lampau. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka diperoleh
skor kesadaran sejarah yang masuk dalam kategori sangat tinggi.
4. Tingkat kualitas prestasi belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8
Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hsil penelitian, terbukti bahwa rata-rata kualitas prestasi belajar peserta
didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta mencapai
87,36% dari yang diharapkan. Jika dikategorikan dalam interprestasi, prestasi belajar peserta
didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta tergolong dalam
kriteria sangat baik. Berdasarkan hasil analisis data frekuensi prestasi peserta didik, nilai yang
didapatkan dari UH, UTS, dan UAS semester ganjil di atas KKM (78) mencapai 88% peserta
didik, sedangkan sisanya 2% masih di bawah KKM.
Adapun skor tertinggi diperoleh peserta didik atas nama Fadia Nisya P. dari XI IPS
SMAN 1 Yogyakarta dengan skor sebesar 9,20 atau 92,00% dari yang diharapkan. Sedangkan
skor prestasi belajar peserta didik terendah dari SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta,
dan SMAN 5 Yogyakarta diperoleh peserta didik atas nama Shafa Rifda A. dari X IPS 2

14
SMAN 5 Yogyakarta. dengan perolehan skor 7,43 atau 74,33% dari persentase yang
diharapkan.
Berdasarkan analisis dokumentasi (28 Februari 2018), peneliti menemukan perolehan
nilai yang tinggi dari masing-masing peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8
Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta membuktikan tingkat intelegensi peserta didik yang
tinggi. Intelegensi yang tinggi disebabkan input peserta didik yang baik. Rata-rata minimal
UN SMP dari peserta didik yang diterima di SMAN 1 Yogyakarta adalah sebesar 3,75,
peserta didik yang diterima di SMAN 8 Yogyakarta memiliki rata-rata UN di atas 3,50, dan
peserta didik yang diterima di SMAN 5 Yogyakarta memiliki rata-rata nilai UN SMP di atas
3,35. Kebijakan memberlakukan minimal rata-rata UN SMP inilah yang menjadikan baiknya
input peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta.
5. Hubungan kinerja guru dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta,
SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian, terbukti adanya hubungan yang positif antara kinerja
guru dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan
SMAN 5 Yogyakarta. Melalui analisis korelasi product moment dihasilkan harga korelasi
sebesar 0,163. Harga tersebut membuktikan bahwa korelasi antara kinerja guru dengan
prestasi peserta didik bernilai positif, karena hasil korelasi tidak berangka negatif. Jika
diinterprestasikan, tingkat hubungan korelasi ini sangat lemah karena berada pada interval
koefisien 0,00 – 0,199.
Selain hasil korelasi kinerja guru dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta menunjukkan angka positif,
juga menghasilkan hubungan yang signifikan. Signifikansi diketahui melalui membandingkan
dengan harga rtabel dari sampel 166. rtabel menunjukkan harga 0,148 dengan dengan taraf
kesalahan 5%. Terbukti harga rhitung lebih besar daripada rtabel: (0,163 > 0,148), artinya
hubungan korelasi antara kinerja guru dengan prestasi belajar sejarah bernilai signifikan dan
dapat digeneralisasikan pada populasi.
Hasil hubungan yang positif dan signifikan menunjukkan arti bahwa jika angka varibel
kinerja guru ditingkatkan, maka angka variabel prestasi belajar juga akan meningkat, begitu
juga sebaliknya, jika angka varibel kinerja guru diturunkan, maka angka variabel prestasi
belajar juga akan menurun, dan hasil ini bisa diberlakukan kepada populasi. Oleh karena itu,
perlu pimpinan sekolah sekolah SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5
Yogyakarta memantau kinerja guru sejarah agar selalu dalam taraf yang baik. Pernyataan

15
tersebut diperkuat oleh Morgan, dkk (2014, p. 4) bahwa stabilitas kinerja guru perlu untuk
selalu dipantau oleh kepala sekolah. Perlu adanya penilaian kinerja terhadap guru dalam
tempo waktu tertentu.
Berkaitan dengan kinerja guru, Supardi (2013, p. 45) berpendapat bahwa kinerja guru
merupakan kamampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran di sekolah dan
bertanggung jawab atas peserta didik di bawah bimbingannya dengan meningkatkan prestasi
belajar peserta didik. Sejalan dengan pendapat tersebut, kinerja guru diartikan oleh Rodriguez,
Capelleras, & Garcia (2014, p. 401) sebagai penampilan kerja guru dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya dalam memberikan bimbingan belajar yang berisi pengetahuan dan
keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi peserta didik. Ivancevich (2010,
p. 251) menambahkan bahwa prestasi peserta didik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru.
Bagi pihak guru yang bertugas mengajar harus berkinerja dengan maksimal baik dari
dalam aspek perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pendapat Seeker (Sulaeman Zen, 2007, p. 3) yang menyatakan bahwa proses manajemen
kinerja guru terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi. Pelaksanaan
adalah tahapan guru merencanakan pelaksanaan pembelajaran secara sistem dan terukur, yang
sesuai dengan kurikulum. Pelaksanaan adalah proses penyampaian materi pembelajaran guru
di kelas. Evaluasi adalah kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui tercapai atau tidaknya
tujuan pembelajaran dan juga proses pembelajaran yang telah dilakukan (Burhanudin, 2007,
p. 105).
6. Hubungan sikap nasionalisme dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian, terbukti adanya hubungan yang positif antara sikap
nasionalisme dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8
Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta. Melalui analisis korelasi product moment dihasilkan
harga korelasi sebesar 0,161. Harga tersebut membuktikan bahwa korelasi antara sikap
nasionalisme dengan prestasi peserta didik bernilai positif, karena hasil korelasi tidak
berangka negatif. Jika diinterprestasikan, tingkat hubungan korelasi ini sangat lemah karena
berada pada interval koefisien 0,00 – 0,199.
Selain hasil korelasi sikap nasionalisme dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta menunjukkan angka positif,
juga menghasilkan hubungan yang signifikan. Signifikansi diketahui melalui membandingkan
dengan harga rtabel dari sampel 166. rtabel menunjukkan harga 0,148 dengan dengan taraf

16
kesalahan 5%. Terbukti harga rhitung lebih besar daripada rtabel: (0,161 > 0,148), artinya
hubungan korelasi antara sikap nasionalisme dengan prestasi belajar sejarah bernilai
signifikan dan dapat digeneralisasikan pada populasi.
Hasil hubungan yang positif dan signifikan menunjukkan arti bahwa jika angka varibel
sikap nasionalisme ditingkatkan, maka angka variabel prestasi belajar juga akan meningkat,
begitu juga sebaliknya, jika angka varibel sikap nasionalisme diturunkan, maka angka
variabel prestasi belajar juga akan menurun, dan hasil ini bisa diberlakukan kepada populasi.
Oleh karena itu, perlu pimpinan sekolah sekolah SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta,
dan SMAN 5 Yogyakarta untuk menerapkan aturan-aturan sekolah yang terintegrasi dengan
nilai-nilai nasionalisme antara lain: (1) saling menghargai, (2) menerima perbedaan, (3) saling
membantu, (4) peduli sesama, (5) berusaha berprestasi, (6) kesadaran akan kewajiban, dan (7)
patuh pada aturan yang berlaku (Yasa, 2012, p. 12-13).
Pendapat yang disampaikan oleh Nasrikin, dkk (2016, p. 199) berdasarkan
penelitiannya bahwa sikap nasionalisme dapat ditunjukan oleh para peserta didik melalui
beberapa cara antara lain: 1) mengikuti upacara bendera, 2) mengikuti kegiatan keagamaan, 3)
gotong royong di lingkungan sekolah sehingga tercipta kebersamaan, saling menghargai,
interaksi aktif, 4) mengadakan kegiatan yang melestarikan kebudayaan, dan 5) bakti sosial
sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jain
(2014, p. 2) bahwa sikap nasionalisme dapat ditunjukkan oleh tindakan-tindakan peserta didik
dalam melaksanakan kegiatan di sekolah.
Kewajiban untuk mengupayakan peningkatan nilai nasionalisme pada peserta didik
juga diemban oleh guru yang mengampu mata pelajaran sejarah. Transfer pengetahuan dari
guru tentu ditujukan pada peserta didik. Selain itu, dalam setiap pembelajaran khususnya mata
pelajaran sejarah, tujuan pembelajaran yang diterapkan harus bertujuan pada terwujudnya
sikap nasionalisme pada peserta didik dengan cara menanamkan semangat berbangsa dan
bertanah air (Aman, 2011, p. 2).
7. Hubungan kesadaran sejarah dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian, terbukti adanya hubungan yang positif antara kesadaran
sejarah dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan
SMAN 5 Yogyakarta. Melalui analisis korelasi product moment dihasilkan harga korelasi
sebesar 0,157. Harga tersebut membuktikan bahwa korelasi antara kesadaran sejarah dengan
prestasi peserta didik bernilai positif, karena hasil korelasi tidak berangka negatif. Jika

17
diinterprestasikan, tingkat hubungan korelasi ini sangat lemah karena berada pada interval
koefisien 0,00 – 0,199.
Selain hasil korelasi kesadaran sejarah dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1
Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta menunjukkan angka positif,
juga menghasilkan hubungan yang signifikan. Signifikansi diketahui melalui membandingkan
dengan harga rtabel dari sampel 166. rtabel menunjukkan harga 0,148 dengan dengan taraf
kesalahan 5%. Terbukti harga rhitung lebih besar daripada rtabel: (0,157 > 0,148), artinya
hubungan korelasi antara kesadaran sejarah dengan prestasi belajar sejarah bernilai signifikan
dan dapat digeneralisasikan pada populasi.
Hasil hubungan yang positif dan signifikan menunjukkan arti bahwa jika angka varibel
kesadaran sejarah ditingkatkan, maka angka variabel prestasi belajar juga akan meningkat,
begitu juga sebaliknya, jika angka varibel kesadaran sejarah diturunkan, maka angka variabel
prestasi belajar juga akan menurun, dan hasil ini bisa diberlakukan kepada populasi. Oleh
karena itu, peserta didik perlu untuk dibimbing agar kesadaran sejarahnya semakin
meningkat. Guru sejarah memiliki peran yang penting untuk selalu memantau dan
meningkatkan kesadaran sejarah peserta didik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Jiri Subrt
(2013, p. 42) bahwa kesedaran sejarah tidak boleh diabaikan, dan berguna untuk meninjau
pembelajaran sejarah di sekolah yang terbukti berguna.
Untuk dapat memantau dan meningkat kesadaran sejarah pada peserta didik, guru
sejarah harus memahami idikator-indikator kesadaran sejarah yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini antara lain: (1) memahami manfaat sejarah untuk kehidupan, (2) memahami
hubungan sebab akibat, (3) mengenal lingkungan masyarakat, (4) mengenal karakter budaya
masyarakat, (5) meningkatkan semangat mempelajari materi sejarah, (6) berusaha berprestasi
dalam pelajaran sejarah, dan (7) turut merasa memiliki hasil kebudayaan bangsa, (8) bangga
atas hasil kebudayaan bangsa, dan (9) turut menjaga hasil kebudayaan bangsa (Hroch M.,
2010, p. 63).
Sebagai upaya menumbuhkan kesadaran sejarah, maka penekanan terhadap sejarah
nasional sangat diperlukan. Glencross (2010, p. 23) menyatakan bahwa sejarah nasional
menjadi tonggak utama dalam usaha peningkatan kesadaran sejarah pada peserta didik. Hal
tersebut bertujuan agar peserta didik tidak kehilangan identitas sebagai bagian dari bangsa dan
pengajaran sejarah nasional di sekolah termasuk usaha untuk turut berkontribusi dalam
memperkuat rasa identitas nasional. Peserta didik yang mempelajari dan mampu memaknai
sejarah bangsanya sendiri, pada hakekatnya telah menumbuhkan kesadaran sejarah. Oleh

18
karena itu, penerapan kesadaran sejarah penting untuk diterapkan dalam kegiatan belajar
mengajar (Smith, 2007, p. 97).
8. Hubungan kinerja guru, sikap nasionalisme, dan kesadaran sejarah dengan prestasi
belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5
Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian, terbukti adanya hubungan yang positif antara kinerja
guru, sikap nasionalisme, dan kesadaran sejarah dengan prestasi belajar peserta didik SMAN
1 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta. Melalui analisis korelasi
ganda 3 prediktor dihasilkan harga korelasi sebesar 0,207. Harga tersebut membuktikan
bahwa korelasi antara kinerja guru, sikap nasionalisme, dan kesadaran sejarah dengan prestasi
peserta didik bernilai positif, karena hasil korelasi tidak berangka negatif. Jika
diinterprestasikan, tingkat hubungan korelasi ini lemah karena berada pada interval koefisien
0,20 – 0,399.
Hasil korelasi ganda 3 prediktor antara kinerja guru, sikap nasionalisme, dan
kesadaran sejarah dengan prestasi belajar peserta didik SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 8
Yogyakarta, dan SMAN 5 Yogyakarta menunjukkan angka positif, tetapi menghasilkan
hubungan yang tidak signifikan. Uji signifikansi diketahui melalui uji F dan dihasilkan nilai
sebesar 2,426, kemudian dibandingkan dengan harga Ftabel yang didasarkan pada dk
pembilang = 3 dan dk penyebut (166-3-1) = 162. Untuk taraf kesalahan 5% : F tabel = 2,65.
Karena Fhitung lebih kecil daripada Ftabel, maka koefisien korelasi yang diuji adalah tidak
signifikan dan tidak dapat digeneralisasikan pada populasi.
Hasil hubungan yang positif tetapi tidak signifikan menunjukkan arti bahwa jika angka
varibel kesadaran sejarah ditingkatkan, maka angka variabel prestasi belajar juga akan
meningkat, begitu juga sebaliknya, jika angka varibel kesadaran sejarah diturunkan, maka
angka variabel prestasi belajar juga akan menurun, tetapi hasil ini tidak dapat diberlakukan
kepada populasi. Artinya hasil yang positif tersebut hanya berlaku bagi sampel saja.
Aspek di luar variabel penelitian ini juga perlu mendapat perhatian besar untuk
meningkatkan prestasi belajar peserta didik ke arah yang positif. Aspek tersebut meliputi
aspek internal dan eksternal sekolah. Faktor internal yang perlu mendapatkan perhatian dari
sekolah adalah pemenuhan sumber bacaan bagi peserta didik. Sebab dari sumber bacaanyang
lengkap peserta didik akan semakin banyakwawasan yang dibaca dan tentunya dapat
meningkatkan kemampuan intelegensinya (Burridge, N., Buchanan, J., & Chodkiewicz, A,
2014, p. 20). Semakin lengkap sumber bacaan, maka dapat meningkatkan kualitas

19
pembelajaran peserta didik dan pada tahap akhirnya dapat meningkatkan prestasi peserta
didik.
Faktor eksternal sekolah adalah pengawasan belajar dari lingkungan keluarga dan
lingkungan. Lewis, Robinson & Hayes (2011, p. 75) menjelaskan sarana-sarana lain seperti
keluarga dapat menunjang peserta didik meningkat prestasi belajarnya di sekolah. Perhatian
yang baik dari pihak keluarga dalam mengatur kegiatan belajar dirumah dan pengawasan
terhadap lingkungan pertemanan peserta didik menjadi aspek yang penting untuk
dilaksanakan. Kedisiplinan peserta didik dalam mengatur waktu belajar di rumah dan bergaul
dengan lingkungan pertemanan, dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik di sekolah.

DAFTAR REFERENSI

Adetiba, T. C. & Rahim, A. (2012). Between ethnicity, nationality and development in


Nigeria. International Journal of Development and Sustainability, 1(3). Retrieved
from https://isdsnet.com/ijds-v1n3-4.pdf.

Alfaqi, M. Z. (2015). Memahami Indonesia Melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas


serta Solidaritas. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28 (2).
Retrieved from http://journal.um.ac.id/index.php/jppk/article/view/5451.

Aman. (2011), Model Evaluasi Pembelajaan Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Arif Rohman. (2009). Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang
Mediatama Yogyakarta.

Arikunto, S. (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Armstrong, M. (2015). Amstrong’s handbook performance management: An evidence-based


guide to delivering high performance (5th ed). London: Kogan Page.

Belo, G.B & Jakada, M.B. (2017). Monetary Reward and Teacher’s Performance in Selected
Public Secondary Schools in Kano State. Journal of Education and Practice. Vol. 8,
No.7. Retrieved from https://eric.ed.gov/?id=EJ1137525.

Burhanudin, Y. (2007). Administrasi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Burridge, N., Buchanan, J., & Chodkiewicz, A. (2014). Human Rights and History Education:
An Australian Study. Australian Journal of Teacher Education, 39(3). Retrieved from
http://ro.ecu.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=2266&context=ajte.

Dislen, G. (2013). The Reasons of Lack of Motivation from the Students and Teachers
Voices. The Journal of Academic Social Science, 1(1), 35-45. Retrieved from
www.asosjournal.com/Makaleler/121323120_13%20-%20Gökçe%20Dişlen.pdf.

20
Glencross, A. (2010). Historical Consciousness InInternational Relations Theory: A
HiddenDisciplinary Dialogue. Paper prepared for Millennium Conference. Scotland:
University of Aberdeen.
Hidayah, L., & Sugiarto. (2015). Model of independent working group of teacher and its
effectiveness towards the elementary school teacher’s ability in conducting
mathematics learning. Procedia Social and Behavioral Sciences, 214, 43-50. DOI:
10.1016/j.sbspro.2015.11.591.

Hroch M. (2010). Historické vědomí a potíže s jeho výzkumem dříve i nyní, [in:] Historické
vědomí jako předmět badatelského zájmu: Teorie a výzkum, ed. J. Šubrt, Nezávislé
centrum pro studium politiky: Kolín.

Ivancevich, J, M., dkk. (2008). Perilaku dan Manajemen Organisasi, jilid 1 dan 2 Jakarta:
Erlangga.

Jain, V. (2014). 3D Model Attitude. International Journal of Advanced Research in


Management and Social Sciences, 3 (3). Retrieved from
http://garph.co.uk/IJARMSS/Mar2014/1.pdf.

Lewis, S. V., Robinson, E. H., & Hayes, B. G. (2011). Implementing an aunthentic


character education curriculum. Childhood Education, Vol. 87 (4), 227-231.
Retrieved from wwtandfonline.com/doi/abs/.../00094056.2011.10523183.

Morgan, Grant B.,et.al, (2014). The stability of teacher performance and effectiveness:
implications for policies concerning teacher evaluation. Jurnal of education policy
analysis archive. Vol.22, No.95. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.14507/epaa.v22n95.2014.

Nasrikin, H.T. & Nanik S. Rr. (2016). Peran karang taruna dalam pembentukan sikap
nasionalisme remaja Desa Pulorejo Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto.
Kajian Moral dan Kewarganegaraan, Volume 1, No.4, 186-200. Retrieved from
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-
kewarganegaraa/article/view/14300/18269.

Rodriguez, A. M., Capelleras, J. L., & Garcia, V. G. (2014). Teaching Performance:


Determinants of the student assessment. Academia Revista Latinoamericana de
Administraction, III (27), 401-418. Retrieved from https://doi.org/10.1108/ARLA-11-
2013-0177.

Siswoyo, D., dkk. (2013). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

Subrt, J. (2013). Historical consciousness and the teaching of history in the Czech Republic.
Journal Studia Edukacyjne No. 24. pp. 195-223. Adam Mickiewicz University Press.
Retrieved from
https://repozytorium.amu.edu.pl/bitstream/10593/6855/1/studia_eduk_24_s_195-
224.pdf.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, & RND. Bandung: Alfabeta.

21
Sukardi. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta :
PT. Bumi Aksara.

Smith, M. M. (2007). Producing Sense, Consuming Sense, Making Sense: Perils and
Prospects For Sensory History. Columbia: University of South Carolina.

Stilz, A. (2009). Civic nationalism and language policy. Philosopy & Public Affairs, No.3,
257-292. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/40468467.

Supardi. (2013). Kinerja Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Talin, R. (2014). The teaching of history in secondary school. International Journal of Social
Science and Humanities Research, Vol. 2, 72-78. Retrieved from
www.researchpublish.com/download.php?...THE%20TEAC

Thran, M. & Boehnkc, L. (2014). The value-based nationalism of pegida. Journal for
deradicalization. Vol. 15, No. 3, hlm. 178-209. Retrieved from
journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/view/21.

Thorp, R. (2014) Historical Consciousness and Historical Media-A History Didactical


Approach to Educational Media, Journal Education Inquiry, 5:4, 24282. DOI:
10.3402/edui.v5.24282.

Umar, H. (2003). Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Wang, C & Hoffman, D. M. (2016). Are WE the World? A Critical Reflection on Selfhood in
U.S. Global Citizenship Education. Jurnal Educational Policy Analysis Archives,
24(56). Retrieved from http://www.redalyc.org/pdf/2750/275043450044.pdf.

Wiharyanto, K. (2008). Indonesia dan Kesadaran Sejarah. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat.

Yasa, I M. S. (2012). Pengembangan alat ukur sikap nasionalisme pada siswa RSBI SMA
Negeri 1 Gianyar tahun pelajaran 2011-2012. Jurnal Penelitian Pascasarjana
UNDIKSHA, Vol. 2, 1-17. Retrieved from pasca.undiksha.ac.id › Home › Vol 2, No 2
(2012) › YASA.

Zen, S. (2007). Konsep Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

22

Anda mungkin juga menyukai