Anda di halaman 1dari 5

“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah.

Dan Allah dialah yang Maha Kaya


(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (surat Al-Fathir:15)
Muddimah
Maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathhir al-qalbi bi’i-kulliyati‘an ma siwa
‘llah”, yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain tuhan. Yang dituju
dengan konsep fakir sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia,
sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada
Zat Tuhan saja di sepanjang keadaan.

Faqir bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqir sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi
keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka
faqir berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah,
kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.

Pengertian Faqr ?
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang menurut terminologi
tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.[9]
Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat Al-
Fathir:15
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup
bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan mewah
sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan keutamaan faqr adalah hadis
yang merupakan doa Rasulullah ini:
ّ  .‫المساكين‬ ‫زمرت‬ ‫في‬ ‫واحشرني‬ ‫مسكينا‬ ‫وتوفّني‬ ‫مسكينا‬ ‫أحيني‬ ‫الله ّم‬ :‫سعيد‬ ‫أبي‬ ‫عن‬
‫فقرال‬ ‫عليه‬ ‫اجتمع‬ ‫من‬ ‫أألشقياء‬ ‫أشقى‬ ‫وإن‬
‫اآلخرة‬ ‫وعذاب‬ ‫دنيا‬
. (‫حاكم‬ ‫)رواه‬
“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin.
Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya orang yang
celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-Hakim)

Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan
keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua makhluk yang ada pada fuqara (orang-
orang yang fakir). Sampai-sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup dan tidak
mengusai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi umatnya dalam sifat
fakir.
Klasifikasi Faqr ?

Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan menjadi
3:[10]
a. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang tidak meminta dan
menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak mau mengambil. Strata ini
adalah maqam muqarrabin.
b. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan, atau memohon pada
siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini adalah maqam Al-siddiqin.
c. Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan
keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan senang
dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka, sesungguhnya memecahkan
permasalahannya merupakan nilai shadaqah.
Al Faqr ala Sufi ?
Secara harfiah al Faqr atau fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,
butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta
lebih dari apa yang telah ada dalam diri kita dan tidak meminta rizki kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban.
Para sufi kemudian meluaskan konsep fakir mutlak sedemikian jauh, sehingga Nabi
Isa yang menjadi lambang idealnya kemiskinan bagi para sufi generasi awal masih dianggap
kurang sempurna, karena kemana-mana beliau masih membawa jarum yang berarti belum
putus dengan dunia. Bahkan menurut para sufi india seseorang dianggap zahid jika ia telah
fakir.[1][5]
Kefakiran adalah suatu ibarat tidak adanya hal-hal yang dibutuhkan, adapun tidak
adanya hal-hal yang dibutuhkan, maka ia tidak disebut fakir, apabila yang dibutuhkan itu
wujud dan ia mampu padanya, maka yang dibuhtuhkan itu tidak fakir. Dalam konteks sejarah
islam baik zuhud maupun fakir di satu sisi berposisi sebagai maqam, yang berarti
hilangnya kehendak kecuali untuk bertemu Allah SWT. Dunia dan harta hanyalah
penghalang untuk pertemuan itu serta dianggap sebagai dikotomi dengan-Nya. Dalam hal ini
zuhud dan fakir bersifat doktrinal dan historis.
Disisi tertentu sebagai maqam, zuhud dan fakir berarti bahwa seseorang tidak boleh
merancang masa depannya dan harus menjauhi dunia dan harta, karena inti keduanya adalah
kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia dan harta. Orang hanya boleh memilikinya
sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Namun disisi lain terdapat fenomena yang menarik, yaitu ketika keduanya (zuhud dan
fakir) dipandang sebagai moral (akhlak) islam, maka yang harus dimiliki setiap muslim
dalam menghadapi dunia materi, yaitu sikap Adam Al-Raghbah (tidak tertarik) dan Adam Al-
Milki (tidak memiliki). Wujud zuhud dan fakif disini ialah kehidupan yang sederhana,
wajar, integeratif,  inklusif dan aktif di berbagai kehidupan, seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah dan para sahabat.
Zuhud dan fakir juga pernah menjadi suatu gerakan protes sosial dalam hal ini
rumusannya berbeda-beda sesuai dengan kondisi zamannya dan konteks sosialnya. Disini
keduanya bersifat historis dan sosiologis yaitu gerakan protes atas ketimpangan sosial pada
setiap masanya. Dalam mengekspresikan pola hidup sederhana para sufi
menggunakan terminologi fakir, yaitu sebuah sikap yang selalu menggantungkan diri kepada
Dzat Yang Maha Kaya, sikap fakir pada kenyataanya akan membawa seorang sufi pada
tekanan psikologis bahwa ia sangat kecil dan remeh dihadapan-Nya. Dalam kondisi yang
sedemikian dunia tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Dunia bagi sufi adalah
peringatan Tuhan, karena itu perlu uluran tangan-Nya untuk lepas dari cengkraman duniawi.
Secara lahiriah seorang sufi memang bergelimang harta, tetapi pada hakikatnya
seorang sufi putih dan tidak dikuasai oleh hartanya.
Ikhtitam
Dalam tasawuf,faqr berarti senantiasa merasa butuh kepada Alloh.Seorang hamba
menyatakan diri tidak memiliki sesuatu,bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal
duniawi,merasakan kebutuhan dan ketidakberdayaan dihadapan Alloh.H al ini sesuai dengan
firman Alloh, “Wahai manusia,kamulah yang fakir(butuh) kepad“Hai manusia, kamulah
yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (surat Al-Fathir:15)

Muddimah
Maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathhir al-qalbi bi’i-kulliyati‘an ma siwa
‘llah”, yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain tuhan. Yang dituju
dengan konsep fakir sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia,
sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada
Zat Tuhan saja di sepanjang keadaan.

Faqir bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqir sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi
keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka
faqir berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah,
kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.

Pengertian Faqr ?
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang menurut terminologi
tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.[9]
Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat Al-
Fathir:15
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup
bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan mewah
sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan keutamaan faqr adalah hadis
yang merupakan doa Rasulullah ini:
ّ  .‫المساكين‬ ‫زمرت‬ ‫في‬ ‫واحشرني‬ ‫مسكينا‬ ‫وتوفّني‬ ‫مسكينا‬ ‫أحيني‬ ‫الله ّم‬ :‫سعيد‬ ‫أبي‬ ‫عن‬
‫فقرال‬ ‫عليه‬ ‫اجتمع‬ ‫من‬ ‫أألشقياء‬ ‫أشقى‬ ‫وإن‬
‫اآلخرة‬ ‫وعذاب‬ ‫دنيا‬
. (‫حاكم‬ ‫)رواه‬
“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin.
Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya orang yang
celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-Hakim)

Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan
keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua makhluk yang ada pada fuqara (orang-
orang yang fakir). Sampai-sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup dan tidak
mengusai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi umatnya dalam sifat
fakir.
Klasifikasi Faqr ?

Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan menjadi
3:[10]
a. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang tidak meminta dan
menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak mau mengambil. Strata ini
adalah maqam muqarrabin.
b. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan, atau memohon pada
siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini adalah maqam Al-siddiqin.
c. Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan
keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan senang
dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka, sesungguhnya memecahkan
permasalahannya merupakan nilai shadaqah.
Al Faqr ala Sufi ?
Secara harfiah al Faqr atau fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,
butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta
lebih dari apa yang telah ada dalam diri kita dan tidak meminta rizki kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban.
Para sufi kemudian meluaskan konsep fakir mutlak sedemikian jauh, sehingga Nabi
Isa yang menjadi lambang idealnya kemiskinan bagi para sufi generasi awal masih dianggap
kurang sempurna, karena kemana-mana beliau masih membawa jarum yang berarti belum
putus dengan dunia. Bahkan menurut para sufi india seseorang dianggap zahid jika ia telah
fakir.[1][5]
Kefakiran adalah suatu ibarat tidak adanya hal-hal yang dibutuhkan, adapun tidak
adanya hal-hal yang dibutuhkan, maka ia tidak disebut fakir, apabila yang dibutuhkan itu
wujud dan ia mampu padanya, maka yang dibuhtuhkan itu tidak fakir. Dalam konteks sejarah
islam baik zuhud maupun fakir di satu sisi berposisi sebagai maqam, yang berarti
hilangnya kehendak kecuali untuk bertemu Allah SWT. Dunia dan harta hanyalah
penghalang untuk pertemuan itu serta dianggap sebagai dikotomi dengan-Nya. Dalam hal ini
zuhud dan fakir bersifat doktrinal dan historis.
Disisi tertentu sebagai maqam, zuhud dan fakir berarti bahwa seseorang tidak boleh
merancang masa depannya dan harus menjauhi dunia dan harta, karena inti keduanya adalah
kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia dan harta. Orang hanya boleh memilikinya
sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Namun disisi lain terdapat fenomena yang menarik, yaitu ketika keduanya (zuhud dan
fakir) dipandang sebagai moral (akhlak) islam, maka yang harus dimiliki setiap muslim
dalam menghadapi dunia materi, yaitu sikap Adam Al-Raghbah (tidak tertarik) dan Adam Al-
Milki (tidak memiliki). Wujud zuhud dan fakif disini ialah kehidupan yang sederhana,
wajar, integeratif,  inklusif dan aktif di berbagai kehidupan, seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah dan para sahabat.
Zuhud dan fakir juga pernah menjadi suatu gerakan protes sosial dalam hal ini
rumusannya berbeda-beda sesuai dengan kondisi zamannya dan konteks sosialnya. Disini
keduanya bersifat historis dan sosiologis yaitu gerakan protes atas ketimpangan sosial pada
setiap masanya. Dalam mengekspresikan pola hidup sederhana para sufi
menggunakan terminologi fakir, yaitu sebuah sikap yang selalu menggantungkan diri kepada
Dzat Yang Maha Kaya, sikap fakir pada kenyataanya akan membawa seorang sufi pada
tekanan psikologis bahwa ia sangat kecil dan remeh dihadapan-Nya. Dalam kondisi yang
sedemikian dunia tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Dunia bagi sufi adalah
peringatan Tuhan, karena itu perlu uluran tangan-Nya untuk lepas dari cengkraman duniawi.
Secara lahiriah seorang sufi memang bergelimang harta, tetapi pada hakikatnya
seorang sufi putih dan tidak dikuasai oleh hartanya.
Ikhtitam
Dalam tasawuf,faqr berarti senantiasa merasa butuh kepada Alloh.Seorang hamba
menyatakan diri tidak memiliki sesuatu,bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal
duniawi,merasakan kebutuhan dan ketidakberdayaan dihadapan Alloh.H al ini sesuai dengan
firman Alloh, “Wahai manusia,kamulah yang fakir(butuh) kepada Alloh,sedangkan Alloh
Maha Kaya Lagi Terpuji.”(QS.Fathir:15)

Jadi,faqir  bukan orang yang tidak punya bekal hidup,tapi orang yang merasa bersih atau
kosong hatinya dari keinginan duniawi.Ini juga bermakna bahwa faqir itu adalah orang yang
hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan Alloh.

Anda mungkin juga menyukai