Pengertian Khotbahh
Pengertian Khotbahh
Sudah tujuh tahun Onesimus melayani Tuhan sebagai pendeta di sebuah gereja dan selama itu
hampir setiap minggu ia berkhotbah di gereja yang digembalakannya. Mungkin, buat kebanyakan
hamba Tuhan hal seperti itu sangat berat, tetapi tidak bagi Pendeta Onesimus. Pelayanan mimbar
baginya merupakan pelayanan yang sangat menyenangkan karena ia merasa bahwa Tuhan
memberinya talenta khusus dalam bidang ini. Jemaat pun berpendapat demikian. Karenanya, ia
tidak pernah merasa stres dengan tugas berkhotbah setiap minggu, bahkan tidak jarang ia
berkhotbah dua tiga kali seminggu dengan khotbah yang berbeda.
Tetapi akhir-akhir ini, ia merasa bosan dengan pola khotbahnya. Selama tujuh tahun ia
telah berkhotbah secara topikal, entah sudah berapa ratus topik ia khotbahkan, atau juga secara
tekstual dengan mengangkat satu dua ayat sebagai dasar khotbahnya. Kadang ia ingin berkhotbah
secara ekspositori, sayangnya ia sendiri tidak memahami dengan jelas apa khotbah ekspositori itu.
Seingat dia, pada waktu di bangku kuliah teologi, dosennya pernah berkata bahwa khotbah dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu khotbah topikal, tekstual, dan khotbah ekspositori. Dua macam
khotbah yang pertama itu jelas bagi dia, tetapi yang terakhir masih samar-samar. Hanya kesan dia,
khotbah ekspositori itu rumit dan banyak penjelasannya seperti seorang dosen yang mengajar di
ruang kuliah. Ia juga telah berusaha membeli beberapa buku dan mencari informasi tentang
khotbah ekspositori di internet. Walaupun usaha itu sedikit banyak telah membantu pengertiannya,
sejujurnya ia masih bingung dengan arti sebenarnya khotbah ekspositori itu.
Apa yang dialami oleh Pendeta Onesimus merupakan pengalaman kita bersama. Kita telah
mendengar istilah khotbah ekspositori, mungkin, jauh sebelum kita menjadi pengkhotbah. Bahkan
kita mungkin juga telah mengikuti pelatihan-pelatihan tentang khotbah ini. Tetapi bila kita diminta
untuk
mendefinisikan apakah khotbah ekspositori itu, maka mungkin akan ada keraguan dalam diri kita.
Salah satu sebabnya adalah karena khotbah ekspositori oleh para ahli homiletik telah didefinisikan
dengan beragam cara menurut sudut pandang dan kriteria masing-masing sehingga tidak jelas
definisi mana yang benar. Hal ini juga diamati oleh Harold T. Bryson, seorang profesor khotbah dan
direktur dari Institute of Christian Ministry di Mississippi College di Amerika. Namun kemudian, dia
dengan cermat mengklasifikasi definisi-definisi yang ada dalam tiga macam pendekatan, yaitu
berdasarkan etimologi, morfologi, dan substansi.[1]
(2) Pengambilan teks secara seri atau berurutan dari satu kitab sebagai dasar khotbah.
Beberapa ahli homiletik, seperti William M. Taylor dan F. B. Meyer, memahami khotbah ekspositori
sebagai khotbah yang mengkhotbahkan teks-teks Alkitab dalam satu kitab secara berurutan setiap
minggunya.
(3) Perlakuan terhadap teks. Ahli homiletik lainnya, seperti Charles W dan Nolan Howington,
berpendapat bahwa khotbah ekspositori adalah khotbah yang berpusat pada teks dan setiap poin
dan sub-poin dalam kerangkanya diperoleh dari teks yang sedang dikhotbahkan.
(4) Tafsiran yang berjalan. Sebagian ahli homiletik memahami khotbah ekspositori sebagai
khotbah yang mempunyai format seperti sebuah buku tafsiran di mana khotbah berjalan dari kata ke
kata dan ayat ke ayat tanpa menghiraukan kesatuan amanat, kerangka, dan dorongan persuasif yang
ada di dalam teks tersebut. Di dalam sejarah khotbah, beberapa pengkhotbah yang sangat luar
biasa, seperti John Chrysostom, Martin Luther, Ulrich Zwingli, dan John Calvin, menggunakan
pendekatan ini.[6]
Berdasarkan Substansi. Menurut pendekatan ini bukan etimologi atau morfologi yang penting,
melainkan substansi. Substansi dalam khotbah ekpositori adalah bahwa berita khotbah harus
bersumber dari amanat teks Alkitab sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulisnya.[7] John A.
Broadus, yang termasuk dalam kelompok ini, mendefinisikan khotbah ekspositori
sebagai:
Khotbah yang terutama diisi atau didominasi dengan eksposisi Alkitab. . . . Teks yang diambil bisa
berupa perikop yang panjang, atau yang sangat pendek, bahkan bisa hanya sebagian kalimat. Selain
itu bisa juga teks yang diambil berupa satu seri, atau satu bagian yang berdiri sendiri.[8]
Merrill F. Unger dalam bukunya Principles of Expository Preaching mendukung pendekatan
substansi. Bagi Unger, kriteria yang menentukan sebuah khotbah dapat digolongkan dalam khotbah
ekspositori bukan panjang-pendeknya teks, melainkan cara pengkhotbah menafsirkan teks tersebut.
Bila pengkhotbah menafsirkannya sedemikian rupa sehingga ia dapat menemukan makna yang
sesungguhnya sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan pendengar masa
John W. R. Stott juga berpandangan yang sama. Dalam bukunya yang klasik, Between Two
World, ia menyatakan bahwa dalam khotbah ekspositori,
teks yang dikhotbahkan bisa saja hanya satu ayat, atau satu kalimat, atau bahkan hanya satu kata.
Itu tak berbeda dengan satu paragraf, atau satu pasal, atau satu kitab penuh. Panjang-pendeknya
teks tidak penting, sejauh teks itu adalah teks Alkitab. Yang penting adalah apa yang kita lakukan
dengan teks itu. Entah teks itu panjang atau pendek, tanggung jawab kita sebagai ekspositor adalah
mengungkapkannya sedemikian rupa sehingga amanatnya[10] berbicara dengan jelas, apa adanya,
akurat, relevan, tanpa tambahan, pengurangan atau perubahan.[11]
Haddon Robinson, dalam bukunya yang sangat populer, yakni Biblical Preaching yang terbit
pertama kali pada tahun 1980, berada pada jalur pemikiran yang sama dengan Unger dan Stott. Ia
sama sekali tidak melihat khotbah ekspositori dari sudut bentuk (morfologi). Baginya, “khotbah
ekspositori pada hakikatnya adalah lebih berupa suatu filsafat daripada suatu metode.”[12] Karena
itu, ia mendefinisikan khotbah ekspositori sebagai:
Khotbah yang “mengkomunikasikan suatu konsep alkitabiah, yang diperoleh dari dan disampaikan
melalui penyelidikan historis, gramatikal, dan kesusastraan suatu teks di dalam konteksnya, di mana
Roh Kudus pertama-tama menerapkannya kepada kepribadian dan pengalaman pengkhotbah,
kemudian melalui pengkhotbah, menerapkannya kepada para pendengar.”[13]
Pada dasarnya, definisi khotbah ekspositori Robinson, demikian juga Unger dan Stott,
menekankan pada cara penafsiran teks yang mengutamakan penemuan amanat yang sebenarnya
dari penulis teks. Namun, ia melangkah lebih maju dengan memberi penambahan pada unsur
peranan Roh Kudus dan pengkhotbah sebagai pribadi yang pertama-tama harus taat pada
kebenaran firman yang ia akan sampaikan dan juga sebagai komunikator yang harus mempersiapkan
aplikasi-aplikasi yang sesuai dan mengena kepada para pendengarnya. Belakangan ini, para pakar
homiletik lebih cenderung mengakui
pengertian khotbah ekspositori berdasarkan substansi; substansi jauh lebih penting daripada
etimologi dan morfologi. Khotbah ekspositori dapat mengambil bentuk yang bermacam-macam,
tetapi substansinya tidak boleh berubah.
Unsur-unsur Penting Khotbah Ekspositori
Pemahaman tentang khotbah ekspositori berdasarkan substansi akan menjadi lebih jelas
ketika kita memahami unsur-unsur yang ada di dalam substansinya. Unsur-unsur itu adalah amanat
teks, eksegese, dan relevansi.
Amanat teks Alkitab menjadi dasar satu-satunya berita khotbah. Setiap pengkhotbah wajib
memulai khotbahnya dengan membaca teks Alkitab dan dilanjutkan dengan menjelaskan amanat
dari teks yang dibacanya. Dengan begitu, dalam persiapannya, seorang pengkhotbah harus
mempunyai disiplin yang kuat untuk menjaga agar berita khotbahnya murni bersumber dari amanat
teks yang sedang diselidikinya, bukan dari luar teks Alkitab. Ide-ide lain – ide pengkhotbah, teolog,
filsuf, psikolog, politisi, atau lain-lainnya – bisa saja dipakai sebagai tambahan argumen pendukung,
tetapi tidak layak untuk menjadi dasar berita khotbah. “Referensi ayat-ayat Alkitab dari bagian yang
lain hanya digunakan untuk mengkonfirmasi, mendukung, atau menguraikan prinsip-prinsip yang
tampak jelas dalam
Seorang pengkhotbah, menurut Robinson, perlu jujur menjawab pertanyaan, “Apakah Anda,
sebagai seorang pengkhotbah, sedang berusaha keras untuk menundukkan pikiran Anda kepada
Alkitab, atau Anda sedang menggunakan Alkitab untuk mendukung pikiran Anda?”[15] Tiap
pengkhotbah dituntut untuk taat dan setia pada amanat dari teks yang diselidikinya; ia tidak berhak
menggantinya dengan amanatnya sendiri. Sebagaimana tugas utama seorang duta adalah
menyuarakan amanat yang diterimanya dari orang yang mengutusnya, demikian pula seorang
pengkhotbah. Sebagai duta Allah, tugasnya hanyalah menyampaikan amanat teks yang pernah
dipercayakan kepada para penulis Alkitab.
Eksegese
Eksegese teks secara cermat dan akurat dengan menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang
sehat merupakan tindakan yang harus dilakukan pengkhotbah untuk memperoleh amanat teks.
Fokus utama pengkhotbah pertama-tama adalah mendapatkan amanat yang sebenarnya dari teks
yang akan dikhotbahkannya. Perlu selalu diingat bahwa setiap teks Alkitab ditulis karena adanya
suatu kejadian atau peristiwa sejarah yang melibatkan baik penulis Alkitab maupun para
pembacanya. Itu sebabnya, amanat teks hanya bisa ditemukan jika pengkhotbah
mempertimbangkan konteksnya dengan saksama. Pengabaian konteks membuat setiap orang dapat
menafsirkan ayat-ayat Alkitab sesuai dengan keinginannya. Setiap teks dapat dijadikan khotbah apa
pun sesuai dengan kehendak pengkhotbah. Tak berlebihan jika ada orang yang mengatakan
bahwa context is the king. Konteks menentukan segalanya. Dalam khotbah ekspositori, eksegese
yang objektif dalam menemukan amanat teks merupakan
Relevansi
Amanat teks tersebut diberitakan kembali oleh pengkhotbah kepada para pendengar masa
kini dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan membuat aplikasi-aplikasi yang
relevan.
Amanat teks yang telah diperoleh merupakan firman Tuhan yang pernah dikatakan Tuhan kepada
umat Allah pada masa lalu, pada zaman Alkitab. Kita menyakini bahwa firman itu bersifat kekal
untuk semua manusia pada segala zaman. Itulah sebabnya, tugas pengkhotbah adalah membawa
berita kekal itu untuk kembali berbicara kepada manusia masa kini. Untuk melaksanakan tugas itu
dengan efektif, tentunya pengkhotbah tidak boleh mengabaikan kebutuhan-kebutuhan
pendengarnya agar dapat membuat aplikasi yang mengena dari firman yang disampaikan tersebut.
Khotbah ekspositori yang mengabaikan aplikasi yang relevan bagi pendengarnya bukanlah khotbah
ekspositori, bahkan bukan khotbah sama sekali.
Untuk melengkapi pengertian kita tentang khotbah ekspositori, ada baiknya kita membahas
apa yang bukan khotbah ekspositori itu. Cara ini pertama kali dikembangkan oleh Faris D. Whitesell
dalam karyanya Power in Expository Preaching.[16] Kemudian, dikembangkan oleh para ahli
homiletik
lainnya. Di bawah ini, kita akan melihat pemahaman yang salah tentang khotbah ekspositori.
sebagai landasan khotbah tidak menentukan apakah khotbah itu khotbah ekspositori atau bukan.
Khotbah ekspositori sering kali dianggap sebagai khotbah yang menguraikan teks Alkitab dari
ayat ke ayat secara berurutan[19] dan menjelasan kata-kata penting, baik dari sudut artinya maupun
dari sudut gramatika dan struktur sastranya. Pandangan ini sama sekali tidak benar, karena khotbah
ekspositori ditandai bukan oleh soal apakah pengkhotbah memberi penjelasan ayat per ayat dan
kata per kata, melainkan apakah pengkhotbah menyampaikan amanat teks yang terkandung dalam
teks yang dibahasnya. Robinson menegaskan bahwa kata-kata dan frasa-frasa tidak pernah berhenti
dalam dirinya sendiri. Kata-kata hanya akan menghasilkan suatu amanat bila dihubungkan dengan
kata-kata lainnya.[20] Amanat itu muncul dalam bentuk konsep, atau pesan dari penulis Alkitab
kepada pembaca atau
Seorang ekspositor mengkomunikasikan suatu konsep . . . . Karena itu, di dalam pendekatan kita
terhadap Alkitab, perhatian kita pertama-tama bukan diarahkan pada arti kata per kata, melainkan
pada maksud para penulis Alkitab dalam menggunakan kata-kata itu. Dengan kata lain, kita tidak
dapat mengerti konsep-konsep yang ada dalam sebuah perikop hanya dengan menganalisis kata-
kata yang ada di dalamnya secara terpisah-pisah. . . . Jika kita ingin mengerti Alkitab untuk
mengkomunikasikan amanatnya, kita harus memahaminya dalam tataran ide-ide.[21]
Jelaslah, khotbah ekspositori bukanlah khotbah yang berisi penjelasan ayat per ayat dan kata per
kata tanpa menghiraukan amanat teks sebagai kesatuan pesannya.
Tidak benar bahwa khotbah ekspositori itu harus mempunyai kerangka yang berbentuk
poin-poin (deductive model), atau yang lebih dikenal dengan sebutan three-point sermon.
Kesalahpahaman ini membuat bentuk khotbah ekspositori menjadi monoton, membosankan, dan
tidak kreatif. Padahal,
bentuk khotbah ekspositori dapat bervariasi, kadangkala bisa dalam bentuk deduktif, induktif (di
mana salah satu bentuknya adalah narasi), atau kombinasi keduanya. Penggunaan poin-poin dan
subpoin hanyalah salah satu cara dalam mengkomunikasikan amanat suatu khotbah dan cara itu
sangat tepat bila struktur teks itu sendiri mempunyai pola demikian, tetapi tentu saja tidak semua
teks Alkitab seperti itu.[22] Bila teks Alkitab yang digunakan oleh pengkhotbah berasal dari surat-
surat, penggunaan model deduktif dengan memakai poin-poin dan subpoin sangat tepat, karena
pada umumnya teks-teks yang berbentuk surat terbagi dalam pokok-pokok pikiran yang jelas. Tetapi,
bila teks yang diambil berbentuk narasi, maka penggunaan model deduktif akan membuat teks
narasi itu kehilangan sebagian kekuatannya. Dalam kasus ini, model induktif lebih tepat
dipergunakan. Karenanya, pengkhotbah perlu belajar untuk melepaskan diri dari keharusan
bentuk three-point sermon. Kesimpulannya, khotbah ekspositori
bukanlah khotbah yang selalu ditandai dengan adanya poin-poin dalam kerangkanya.
Walaupun dari sudut etimologinya istilah ekspositori didominasi oleh pengertian penjelasan
atau penguraian,[23] namun tidak tepat bila kemudian dianggap bahwa khotbah ekspositori itu
semata-mata harus dipenuhi dengan penjelasan-penjelasan eksegese tanpa aplikasi yang relevan
bagi pendengar. Memang khotbah seperti itu akan terlihat sangat akademis, tetapi itu tidak berarti
banyak bagi para pendengar. Yang dibutuhkan mereka bukan sebuah ceramah tentang fakta-fakta
Alkitab, melainkan sebuah khotbah yang menyatakan apa yang Tuhan ingin katakan kepada mereka
secara pribadi.
Karenanya, yang utama bagi seorang pengkhotbah ekspositori adalah membuat amanat teks yang
telah berbicara kepada orang-orang percaya pada masa lalu kembali berbicara kepada umat Allah
pada masa kini. Amanat teks itu tidak akan berdampak apa-apa sampai pengkhotbah
mengaplikasikan kebenarannya ke dalam hidup para pendengar. Perlu untuk diingat bahwa khotbah
ekspositori bukanlah khotbah yang melulu berisi penjelasan alkitabiah.
Dalam memahami khotbah ekspositori secara lebih menyeluruh, kita perlu mengetahui apa
manfaatnya khotbah ekspositori itu. Pada kenyataannya, khotbah ekspositori mempunyai banyak
manfaat baik bagi pengkhotbah maupun bagi jemaat. Berikut ini kita akan melihat manfaatmanfaat
bagi keduanya.
Bagi Pengkhotbah
Otoritas yang paling kuat dari seorang pengkhotbah bukan terletak pada dirinya sendiri,
melainkan pada amanat khotbah yang dibawanya. Bila amanat khotbah yang akan disampaikannya
itu sungguh-sungguh amanat teks firman Tuhan, maka pengkhotbah boleh yakin bahwa Roh Kudus
yang sama, yang telah menginspirasikan penulis untuk menulis teks tersebut, akan bekerja
mendukung firman-Nya sendiri. Paulus mempunyai keyakinan seperti itu ketika ia berkata kepada
jemaat Korintus, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata
hikmat yang menyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1Kor. 2:4). Yang mampu
mengubah hati manusia bukanlah hikmat dan kekuatan manusia, tetapi kekuatan Roh Kudus yang
bekerja melalui firman-Nya. Dengan pemahaman demikian, seorang pengkhotbah ekspositori,
betapapun sederhana khotbah yang disampaikannya, dapat berdiri dengan keyakinan yang tak
tergoyahkan.
Perangkap yang sering menjerat seorang pengkhotbah adalah mengkhotbahkan hanya teks-
teks atau topik-topik tertentu dari Alkitab yang disukai atau dikuasainya. Hal ini jelaslah akan
merugikan bukan hanya jemaat, melainkan juga pengkhotbah sendiri. Kecenderungan itu
menghambat pertumbuhan pengkhotbah dalam pengetahuan dan pemahaman firman Tuhan.
Khotbah ekspositori mendorong pengkhotbahnya untuk menggali dengan serius kekayaan teks yang
akan dikhotbahkan dengan kesadaran
bahwa setiap teks mempunyai amanat dan latar belakang yang unik. Pengkhotbah diajak untuk
melihat apa yang selama ini mungkin belum pernah diminati atau diperhatikannya. Hasilnya, cepat
atau lambat pengetahuan dan pemahaman Alkitabnya akan bertumbuh lebih holistis dan dalam.
Seorang pengkhotbah ekspositori tidak akan pernah kehabisan bahan khotbah sebab di
dalam Alkitab ada puluhan ribu teks Alkitab yang mempunyai konteks yang berbeda-beda. Itu
berarti, materi penjelasan dan amanat setiap teks yang dikhotbahkan tidak akan pernah sama.
Sekarang, yang menjadi tantangan pengkhotbah bukanlah soal mencari bahan-bahan khotbah,
tetapi soal menggali teks-teks itu dan membuat beritanya dirasakan lagi oleh orang-orang zaman
kini.
Menentukan topik khotbah, terlebih lagi bagi seorang gembala yang berkhotbah tiap-tiap
minggu di depan jemaatnya, sering kali menimbulkan tekanan yang tidak ringan. Adakalanya
beberapa hari menjelang berkhotbah, ia masih belum dapat menemukan topik yang akan ia
khotbahkan, atau mungkin juga ia sudah beberapa kali mengganti topik tanpa kepastian. Bila
waktunya makin mendekat, stresnya pun akan makin meningkat. Dalam keadaan demikian, hampir
dapat dipastikan khotbah yang dihasilkan adalah khotbah yang tidak “matang.” Sejatinya,
pengkhotbah dapat menghindari stres yang demikian ini dengan menyampaikan khotbah
ekspositori. Ia hanya perlu menentukan teks apa yang akan ia khotbahkan, bukan topiknya,
kemudian ia menggalinya dengan setia dan tekun. Akan lebih memudahkan lagi bila gereja
menentukan khotbah seri dari suatu kitab. Dari Senin pengkhotbah sudah mengetahui perikop apa
yang akan dikhotbahkannya pada minggu depan. Persiapan bisa dilakukan segera dan waktu yang
tersedia baginya cukup untuk menyusun khotbah yang baik.
Bagi Pendengar
Seumpama makanan, khotbah ekspositori bukanlah camilan, melainkan makanan sehat yang
kandungan gizinya mampu memenuhi kebutuhan yang diperlukan bagi pertumbuhan rohani jemaat.
Jemaat akan mendengar khotbah-khotbah alkitabiah dan relevan yang merupakan makanan rohani
yang murni yang berasal dari firman Tuhan. Ini akan menjamin adanya pertumbuhan iman jemaat,
sebagaimana Paulus tuliskan bahwa iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman
Kristus (Rm. 10:17).
Karena khotbah ekspositori memfokuskan pemberitaannya pada amanat teks Alkitab, maka
perhatian jemaat selama khotbah diarahkan terusmenerus pada apa yang dikatakan oleh Alkitab.
Jemaat akan melihat kekayaan dan keunikan Alkitab sebagai firman Allah yang tidak ada
habishabisnya bagi mereka. Wajarlah jika kesan pendengar setelah mereka mendengar khotbah
ekspositori adalah perasaan kagum pada keindahan dan kuasa firman Tuhan, bukan pada diri
pengkhotbah. Kendati tidak dapat dipungkiri bahwa seorang pengkhotbah ekspositori yang baik akan
dikagumi oleh jemaatnya, tetapi yang utama dan pertama adalah kekaguman dan kecintaan jemaat
pada firman Tuhan.
Walaupun pada umumnya khotbah ekspositori telah diajarkan di banyak sekolah tinggi
teologi, seminari, atau juga pada pelatihan-pelatihan khotbah, kenyataannya tidak banyak
pengkhotbah yang mempraktikkan pendekatan ini dengan konsisten. Penyebabnya bukan karena
mereka tidak mengakui bahwa pendekatan khotbah ekspositori sangat baik, melainkan lebih karena
kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi saat mempersiapkan khotbah ekspositori ini. Kesulitan-
kesulitan inilah yang melahirkan kritikan-kritikan pada khotbah ekspositori. Biasanya kritikan-kritikan
itu berkisar pada persoalan bahwa khotbah ekspositori membutuhkan waktu persiapan yang
panjang, kurang aplikatif, dan monoton. Sebenarnya, dalam pembahasan sebelumnya kita telah
melihat bahwa khotbah ekspositori tidak memiliki kelemahan-kelemahan seperti itu. Sekali lagi,
kritikan-kritikan seperti itu bukan dikarenakan pada hakikat khotbah ekspositori, melainkan pada
masalah kesulitan-kesulitan pribadi yang melaksanakannya. Untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, berikut ini akan dibahas tujuh langkah menyusun khotbah
ekspositori.
[1]Harold T. Bryson, Expository Preaching: The Art of Preaching Through a Book of the Bible (Nashville:
Broadman & Holman Publisher, 1995), 15-25.
[2]Etimologi adalah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan
makna (Kamus Besar Bahasa Indonesia [edisi ketiga; Balai Pustaka, 2002]), 309.
[3] Bryson, Expository, 15-17.
[4] Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang berkaitan dengan satuan bentuk bahasa yang dipakai. Disarikan
dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, 755.
[6] Bryson, Expository, 18-22.
[7] Ibid, 22-26.
[8] John A. Broadus, On the Preparation and Delivery of Sermons (ed. J. B. Weatherspoon; NewYork: Harper and
Row, 1944), 303.
[10] Dalam bahasa Inggris kata yang sering dipakai untuk menunjukkan pesan yang ingin disampaikan penulis
dalam suatu teks adalah message. Dalam bahasa Indonesia kata ini sering diterjemahkan dengan pesan, berita, pengertian,
gagasan, atau ide. Tetapi, dalam buku ini dipergunakan kata “amanat” dengan pertimbangan bahwa kata amanat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar.” Pengertian ini lebih sesuai dengan makna kata message dalam bahasa Inggris.
[11] John W. R. Stott, Between Two Worlds: The Art of Preaching in the Twentieth Century (Grand Rapids:
Eerdmans, 1997), 126.
[13] Ibid., 20.
[14] Bryan Chapell, Christ-Centered Preaching: Redeeming the Expository Sermon (Grand Rapids: Baker, 1994),
131.
[15] Robinson, Biblical, 22.
[16] Faris D. Whitesell, Power in Expository Preaching (Westwood, N. J. : Fleming H. Revell Co., 1967), vii.
[17] Blackwood, Expository, 13.
[18] Chapell, Christ, 52-53.
[19] Cara pendekatan khotbah seperti ini lebih dikenal dengan sebutan homili (running commentary) atau
tafsiran berjalan.
[20] Robinson, Biblical, 23.
[21] Ibid.
[22] Bryson, Expository, 32.
[23] Penekanan ini juga terlihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan kata eksposisi
sebagai uraian atau paparan yang bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan, khususnya yang bersangkut paut dengan
suatu karangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 290).