Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu
dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di antaranya kepulauan
di Indonesia hingga bagian utara Australia.
Pada daerah tropis dan Subtropis, penyakit DBD adalah endemik yang muncul
sepanjang tahun, terutama saat musim hujan ketika kondisi optimal nyamuk berkembang
biak. Biasanya sejumlah besar orang akan terinfeksi dalam waktu singkat(wabah)
Keempat virus dengue menginfeksi manusia di daerah Afrika dan Asia Tenggara
sejak 100-800 tahun yang lalu. Virus dengue berkembang pesat pada perang dunia ke-2
dimana penyebaran nyamuk terjadi secara massal bersama dengan pengiriman barang
yang berperan dalam penyebaran global DBD
Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang
DBD menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, di antaranya adalah Afrika,
Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, Amerika, Asia Tenggara
dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1.2 juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2.3
juta kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebanyak 2.35 juta kasus di
Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DBD berat
Saat ini bukan hanya peningkatan jumlah kasus DBD, tetapi penyebaran di luar
daerah tropis dan subtropis, contohnya Eropa, transmisi lokal pertama kali dilaporkan di
Perancis dan Kroasia pada tahun 2010. Pada tahun 2012, terjadi lebih dari 2000 kasus
DBD pada lebih dari 10 negara di Eropa. Setidaknya 500.000 penderita DBD
memerlukan rawat inap setiap tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian besar adalah
anak-anak dan 2,5% di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk, jumlah penderitadan luas daerah penyebarannya semakin
bertambah. Di Indonesia, demam berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada
tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal
dunia, dengan Angka Kematian (AK) mencapai 41,3%. Sejak saat itu, penyakit ini
menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 2015. Tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia, dan 1229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak
907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan
iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.1
Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk lebih mengetahui tentang demam berdarah dengue.
TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.2
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavovirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi
silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese
encehphalitis dan West Nile virus.
Dalam labolatorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kalelawar dan primata.2

Epidemiologi

Epidemi demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1779 hingga
tahun 1780 di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Terjadinya wabah secara simultan di 3 benua
menunjukkan bahwa virus melalui vektor nyamuk yang mempengaruhi distribusi penyakit
deman dengue di seluruh dunia yang beriklim tropis dalam kurung waktu 200 tahun.3

Demam berdarah adalah penyakit virus disebabkan oleh nyamuk yang paling cepat
menyebar di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian telah meningkat 30 kali lipat seiring
dengan meningkatnya ekspansi geografis Ke negara-negara baru dan, dalam 10 tahun ini, dari
daerah perkotaan hingga pedesaan. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun
dan kira-kira 2,5 miliar orang tinggal di negara-negara endemik dengue.4

Wabah demam berdarah di daerah perkotaan yang dipenuhi A. aegypti mungkin menjadi
ledakan hingga 70-80% populasi mungkin terlibat. Ketika demam berdarah menjadi endemik,
anak-anak dan orang asing yang rentan mungkin satu-satunya orang-orang untuk
mendapatkan penyakit yang jelas, orang dewasa biasanya kebal.5

Saat ini sekitar 2,5 miliar orang, atau 40% populasi dunia tinggal di daerah yang berisiko
terkena virus dengue. Demam berdarah endemik setidaknya pada 100 negara di Asia, Pasifik,
Amerika, Afrika, dan Karibia. WHO memperkirakan bahwa 50 sampai 100 juta infeksi terjadi
setiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan 22.000 kematian, biasanya pada anak-anak.6

Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995);
dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada
tahun 1998, sedangkan mortilitas DBD senderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun
1999.2
DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun terakhir.
Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota dari 2 provinsi dan
2 kota, menjadi 34 privinsi dan 436 (85%) kabupaten /kota pada tahun 2015. Terjadi juga
peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus menjadi 126.675 kasus pada
tahun 2015. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut dapat disebabkan oleh
mobilitas penduduk yang tinggi , perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim,
perubahan kapadatan dan distribusi penduduk dan faktor epidemiologi lainnya yang masih
memerlukan penelitian yang lebih lanjut.

Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) DBD sangat tinggi, yaitu sebesar 41,4% pada
awal kasus DBD merebak di Indonesia. Namun, kemudian menurun menjadi 24% pada tahun
1969 sampai sebesar 0,97% pada tahun 2015. Penurunan CFR tersebut dimungkinkan karena
tatalaksana penanganan kasus semakin baik dan kewaspadaan dini masyarakat terhadap DBD
semakin meningkat. Pada tahun 2015, provinsi dengan CFR DBD tertinggi adalah Gorontalo
(6,06%), Maluku (6%) dan Papua Barat (4,55%), sedangkan CFR yang paling rendah adalah
NTT (0,0%), Sulawesi Barat(0%) dan Jawa Barat (0,07%). Terdapat 13 provinsi dengan CFR
yang masih cukup tinggi (di atas 1%).

Patofisiologi

Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancment (ADE)

Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6 dan IL-10.

Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsoniasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
oleh makrofag.

Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum
tulang dan dekstruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi(<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakatiopoesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapat antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan
petanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivitas faktor Xia namun tidak melalui kontak (kalikrein C1-inhibitor complex)2
Manifestasi Klinis

Fase demam
Penderita biasanya mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini
biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan wajah memerah, eritema kulit, nyeri
badan, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin sakit tenggorokan, faring
dan suntikan. Anoreksia, mual dan muntah biasanya dijumpai. Sulit membedakan dengue
secara klinis dari penyakit demam berdarah non-DBD pada fase demam dini. Uji tourniquet
positif pada fase ini akan meningkatkan kemungkinan demam berdarah. Oleh karena itu
memperhatikan warning sign dan parameter klinis lainnya sangat penting untuk mengenali
kemajuan pada fase kritis.

Fase kritis
Saat suhu turun menjadi 37,5-38˚C atau kurang dan tetap di bawah tingkat ini,
biasanya pada hari 3-7 penyakit, peningkatan kapiler permeabilitas secara paralel dengan
peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Tanda ini awal fase kritis. Periode dengan gejala
klinis kebocoran plasma secara signifikan biasanya berlangsung 24-48 jam.
Leukopenia progresif diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya
terjadi sebelumnya kebocoran plasma. Pada titik ini pasien tanpa peningkatan permeabilitas
kapiler akan membaik, sementara yang dengan permeabilitas kapiler yang meningkat menjadi
lebih buruk sebagai hasil volume plasma yang hilang. Tingkat kebocoran plasma bervariasi.
Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada tingkat kebocoran
plasma dan volume terapi cairan. Oleh karena itu rontgen dada dan ultrasound perut bisa
bermanfaat sebagai alat untuk diagnosis. Tingkat kenaikan di atas hematokrit dasar sering
mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma.
Shock terjadi saat volume kritis plasma hilang melalui kebocoran. Hal ini sering
terjadi didahului dengan warning sign. Suhu tubuh mungkin subnormal saat syok terjadi.
Dengan syok berkepanjangan, akibatnya hasil hipoperfusi organ dalam gangguan organ
progresif, asidosis metabolik dan koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini pada gilirannya
menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun parah syok. Sebagai
gantinya leukopenia biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah total sel darah
putih dapat meningkat pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu, kerusakan organ
berat seperti hepatitis, ensefalitis atau miokarditis berat dan / atau perdarahan hebat juga
dapat terjadi tanpa adanya kebocoran atau kejutan plasma yang jelas.
Mereka yang membaik setelah penurunan suhu badan sampai yg normal dikatakan
memiliki dengue non-berat. Beberapa pasien maju ke fase kritis kebocoran plasma tanpa
penurunan suhu badan sampai yg normal dan, pada pasien ini, perubahan dalam hitung darah
lengkap harus digunakan untuk memandu awal fase dan plasma kebocoran kritis.
Fase pemulihan
Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi cairan kompartemen
ekstravaskular berlangsung dalam 48-72 jam berikut. Kenaikan keadaan umum, kembalinya
nafsu makan, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan diuresis terjadi
kemudian. Beberapa pasien mungkin mengalami ruam "isles of white in the sea of red".
Beberapa mungkin mengalami pruritus yang umum. Bradycardia dan perubahan
elektrokardiografi biasanya umum terjadi pada tahap ini.
hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan diserap. Jumlah
sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah defervescence namun pemulihan
jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada jumlah sel darah putih.
Gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang besar akan terjadi kapan saja
jika cairan intravena berlebihan diberikan. Selama fase kritis dan / atau pemulihan, terapi
cairan berlebihan dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.4

Diagnosis
Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:
 Nyeri kepala
 Nyeri retro-orbital
 Mialgia / artralgia
 Ruam kulit
 Manifestasi perdarahan ( petekie atau uji bendung positif)
 Leukopenia2
Diagnosis banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis2.
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportifyang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan paling penting
dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap terjaga terutama cairan oral.
Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka kebutuhan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.2

Prognosis
Prognosis demam berdarah dapat dipengaruhi oleh antibodi pasif diperoleh atau oleh
infeksi virus sebelumnya yang merupakan predisposisi perkembangan demam berdarah
dengue.
Kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, namun dengan kematian
perawatan intensif yang memadai harus terjadi pada <1% kasus. Kelangsungan hidup
berhubungan langsung dengan pengobatan suportif dini dan intens. Tak jarang, ada sisa
kerusakan otak akibat berkepanjangan shock atau kadang-kadang untuk perdarahan
intrakranial.5

Anda mungkin juga menyukai