Anda di halaman 1dari 9

Api di Bukit Menoreh (14), halaman 21/55

“Apa perintahnya?”

“Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki Untara.”

“Bagus.”

Di malam menjelang hari penyerahan, Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga
tidak melengahkan diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan dengan
desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itupun telah diisi dengan beberapa
prajurit pilihan dan penghubung-penghubung berkuda. Bahkan tanda-tanda bahayapun telah siap
pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah
yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit Pajang yang berada
pada garis yang berhadapan dengan desa Benda.

Malam itu Untara tampak sibuk pula mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu,
dan beberapa orang lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang
gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh sehingga setelah
kejutan perasaannya mereda, maka apapun yang diperintahkan kepadanya, dilakukannya
dengan sebaik-baiknya.

“Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.

“Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada siapapun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing
pun tidak, apalagi Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Kau akan


membuat sebuah lelucon yang baik Untara.”

Malam menjelang hari yang ditentukan semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok
orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa
bersenjata. Mereka akan meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit Pajang-lah
kemudian yang akan mengambil senjata-senjata itu.

Besok pada tengah hari, tepat ketika matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari
prajurit Pajang akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh
beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima orang-orang Jipang itu.
Seterusnya, orang-orang Jipang akan ditempatkan di rumah-rumah yang telah disediakn di
bawah pengawasan yang kuat dari para prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang
itu tidak ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu.

Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan
diadili oleh para penjabat di Pajang.

Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan
Sumangkar pun dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi
ragu-ragu kembali. Apakah besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang
Pajang tidak akan mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok benar-benar orang Pajang
memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik menurut
ketentuan yang seharusnya berlaku? Apakah mereka kemudian tanpa persoalan tidak saja

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 22/55

digantung, di sepanjang jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang, sebagai
orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak, terhadap keturunan Sultan Trenggana.

Dengam sareh dan telaten Sumangkar mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal
yang dapat meringankan beban perasaan mereka.

“Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan
berarti. Kalian hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah
kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan kemenangan.
Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan kecil, merampas
harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa orang yang mencoba menentang kalian atau
perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya.

“Namun yang paling penting, kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan sejak
semula adalah salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak benar. Dan ini
adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”

Beberapa orana menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang
masih juga ragu-ragu.

“Ingat,” berkata Sumangkar, “kalian tidak boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah
merasa gagal. Maka itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu benar.
Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan, apa yang kalian cita-citakan,
itulah yang salah. Sehingga apabila kalian mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini,
maka kalian tidak berada di dalam kebenaran dan kalianpun masih harus tetap menyadari,
bahwa kalian bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini.

“Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap kebenaran adalah kekuasaan kalian.
Kekuasaan yang kalian dapatkan dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab
kalian telah menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada Pajang,
sepeninggal saudara-saudaranya.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan
keputusan mereka. Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang panjang
karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka menemukan jalan
kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus dipertanggungjawabkan. Namun
mereka akan mendapatkan batas waktu yang tertentu. Mungkin mereka harus melakukan kerja
paksa yang keras beberapa tahun lamanya, mungkin mereka akan disisihkan ke tempat-tempat
yang masih harus dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga buruan yang
disirik oleh masyrakat karena suaminya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.

Namun masih terasa di dalam perkemahan itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak.
Beberapa orang benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut saja
bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari
bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu dua kali Sumangkar
membuat mereka menjadi heran, orang tua itu mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki
Tambak Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan? Dan apakah cerita tentang
Sumangkar yang berhasil mengusir Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi
Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk meyakinkan mereka.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 23/55

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah
benar-benar Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar itu
hanya sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang
yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan mereka.

Demikianlah tiba-tiba dua orang di antara mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini
ditempati oleh Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu
membentak, “Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran besok, maka
beruntunglah hahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau besok akan membawa
kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan kau pasti akan puas melihat mayat-mayat
kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan dalam kota Pajang. Nah, sekarang
kau sebagai sumber dari bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan
penyerahan yang akan terjadi besok. Kau harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau
pula yang harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda
dan bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”

Sumangkar memandangi kedua orang itu dengan wajah yang muram. Seperti wajah seora ayah
yang melihat kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, “Jangan salah mengerti.
Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara kita, maka akulah orang yang
pertama-tama akan disembelih.”

Orang yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Katanya, “Sekarang kalimat itu
dapat kau ucapkan. Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami, maka
kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke tiang gantungan. Atau
untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas landasan sepotong kayu atau tunggak
pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedang-pedang mereka besok akan menebas leher
kami sehingga kepala kami akan terpotong dari tubuh kami.”

“Sebuah gambaran yang mengerikan,” desis Sumangkar.

“Bukankah demikian yang selalu dilakukan oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah
mendengar, bagaimana tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang
melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang. Dan bukankah kau
sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang kranjang?”

“Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?”

“Pasti,” sahut salah seorang daripadanya. “Orang Pajang.”

“Namanya?” Bertanya Sumangkar pula.

“Sidanti.”

“Kau tahu, siapakah Sidanti itu?”

Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.

“Nah, apakah kalian ingin bersama-sama dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 24/55

kalian menjadi semakin pandai mencincang?”

Kedua orang itu masih terdiam.

“Pertimbangkanlah baik-baik,” berkata Sumangkar, “kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat
dengan mata kepala sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang
terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian terhadap kawan-kawan
sendiri, apalagi lawan kita?”

Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi mereka masih belum melepaskan keragu-raguan
mereka. Namun dengan penuh kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi
kalimat. Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang itupun kemudian menundukkan
kepala-kepala mereka sambil bergumam, “Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku masih tetap
dicengkam oleh keraguan itu.”

“Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang
mengingkari janjinya, maka aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”

Wajah kedua orang itu masih tetap memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar
berkata, “Mungkin kau curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang
menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu ribut-ribut menyelenggarakan
penyerahan. Aku Dapat membunuh kalian malam tadi, atau malam nanti dengan memberi
kesempatan prajunit Pajang menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi.”

Kedua orang Jipang itu masih saja terbungkam. Dan Sumangkar pun berkata terus seperti orang
ayah menasehati anak-anaknya. “Memang permusuhan selalu menumbuhkan prasangka di
kedua belah pihak. Meskipun kedua belah pihak ingin menghentikannya dengan jujur, namun
pertimbangan-pertimbangan yang timbul kemudian kadang-kadang amat meragukan.
Masing-masing mencurigai pihak yang lain. Malam ini aku kira bukan saja kalian berdua yang
menjadi ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang pun menjadi ragu-ragu. Pasti ada di antara
mereka yang menyangka bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk
memasuki Sangkal Putung dengan cara yang licik. Kita besok pasti akan dijemput dengan
pasukan segelar sepapan lengkap dengan segala macam bentuk senjata. Apabila demikian,
kalian jangan terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun itu adalah suatu sikap
curiga. Permusuhan yang telah tumbuh ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas. Setiap
persoalan yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang kelak, pasti segera akan
mengungkat kembali permusuhan ini. Kalau ada salah seorang saja dari orang-orang Jipang
yang berbuat curang, maka segera kebencian orang Pajang yang akan bertambah. Sebaliknya
kalau ada seorang Pajang yang berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti akan
berkata bahwa orang Pajang telah mengingkari janjinya dan berbuat sewenang-wenang.
Sehingga dengan demikian, keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam noda-noda
yang kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang baik. Yakinlah bahwa kalian telah
kembali, bukan saja dalam bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk jasmaniah, tetapi yang
penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apapun yang kalian alami secara badaniah, maka apabila
kalian hayati dengan kesadaran atas nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan menemukan
ketenteraman, kalian akan menemukan hiburan dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa
dalam bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun tangan kalian telah berlumuran
darah tetapi pintu pengampunan tertingi tidak pernah akan ditutup apabila kita
bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk mendapatkannya. Bersungguh-sungguh, tekad

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 25/55

dan perbuatan.”

Kedua prajurit itu semakin tertunduk. Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga
mereka menjadi yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Kiai.” Dan di dalam
hatinya ia berkata, “Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang akan aku alami
secara badaniah pasti tidak akan banyak berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya.”

Ketika kedua orang itu kemudian kembali ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu
didiami, mereka segera tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena
keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari penyerahan mereka
kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara rohaniah, mereka
menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah
terbuka. Dari celah-celahnya seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah pernah
terjadi dan apa yang akan dilakukannya.

Sumangkar sendiri kemudian mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua
orang Jipang yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendekur karena
perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan.

Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertangguhg jawab akan terselenggaranya penyerahan
besok.

Meskipun demikian, apa yang dikatakannya kepada kedua peajurit itu telah sedikit
menenteramkan hatinya sendiri pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan
kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan kebenaran sikapnya.

Ketika angin malam manembus lubang-lubang dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit
anjing-anjing liar berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam
sambil bergumam lirih, “Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing liar itu, mereka bersama-sama
berangkat dari satu sarang, bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama menyerang
dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka saling membunuh di antara sesama apabila
mereka sudah berebut hasil buruannya itu.”

Dan suara anjing-anjing liar itu semakin lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar
menjadi semakin tidak mungkin lagi dapat memejamkan matanya.

Orang tua itupun kemudian bangkit dari pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari
halaman. Ia masih melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di
sudut-sudut perkemahan.

Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata, “Besok kau akan bebas dari
pekerjaan semacam ini.”

Orang itu menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka menjawab, “Kiai, rasa-rasanya


kami akan memasuki sebuah goa yang maha gelap.”

“Kenapa?” bertanya Sumangkar.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 26/55

“Kami tidak tahu, apa yang berada di dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang
indah ataukah kami akan terjerumus kedalam neraka yang paling laknat.”

Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu.


Bahkan secara jujur hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya
kepada Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan Widura atas
anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan
penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap bahwa orang-orang
Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya penyerahan itu dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya Sumangkar itupun menjawab, “Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita
ini benar. Telah sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”

“Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”

“Karena itulah, maka marilah kita mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat
berkembang. Seperti anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka kemudian
anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula
aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti aku menemukan
kesadaran itu.”

Para penjaga itupun mengangguk-angukkan kepala mereka. Dan Sumangkar pun kemudian
berjalan meninggalkan orang itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga kemudian
ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya, tetapi di samping gardu di ujung
halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang silir telah membelainya, seperti tangan
seorang ibu membelai anaknya tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan
nyenyaknya. Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.

Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi
sibuk. Beberapa orang bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi.
Mereka cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah orang-orang
Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara untuk mengelabuhi
kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.

Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap menyandang senjata masing-masing, sedang para
prajurit Pajang pun telah bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi
Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap kampung halaman
mereka.

“Seandainya orang-orang Jipang itu benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi
mereka makan? Kami juga, orang-orang Sangkal Putung,” gerutu salah seorang anak muda
Sangkal Putung.

Tetapi ia terkejut ketika didengarnya jawaban sareh. “Memberi makan mereka adalah jauh lebih
baik daripada kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan
rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”

Ketika anak-anak muda itu berpaling dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 27/55

Dengan serta merta mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. “Ya. Ya
Tuan. Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih cukup sampai
musim menuai yang akan datang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun


bentuknya asal tidak mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur
dan berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena gangguan keamanan
segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki. Bukan begitu?”

“Ya, ya tentu Tuan. Tentu,” sahut mereka tergagap.

Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun
sepeninggal Agung Sedayu anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil berkata,
“Anak itu bukan anak Sangkal Putung.”

“Aku membenarkan kata-katanya.”

Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu berkata, “Aku membenarkan
kata-katanya.”

Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya, “Kenapa kau membenarkannya?”

“Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih
dewasa berpikir itu.

“Tentu.”

“Coba katakan maksud kata-katanya.”

“Bukankah ia mengatakan bahwa lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan
sawah-sawah kami masih dapat ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri?
Berapa banyak beras yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang berada di sini,
sekarang ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini membuat bencana di
kampung halaman kami.”

Kawannya itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah
tergesa-gesa mengangguk dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu sambil tersipu-sipu.

“Dengarkan, aku akan mencoba mengulangi,” berkata kawannya. “Agung Sedayu itu berkata
bahwa lebih baik memberi makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat menanami
sawah dan ladang. Bukankah sawah-sawah dan ladang kita banyak yang bera tidak dapat
ditanami karena kita ketakutan? Sawah-sawah kita yang jauh dari induk desa ini dan
ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil? Saluran-saluran air menjadi kering, karena kita
tidak sempat memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah tidak berkelahi lagi, maka semua itu akan
dapat kita lakukan dengan baik. Hasilnya, dibandingkan dengan beras yang akan kita berikan
untuk memberi orang-orang Jipang itu makan, masih cukup banyak. Bukankah begitu?”

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 28/55

Anak muda itu merenung. Sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian ia tidak mau
kalah. “Tetapi berapa nilai dari kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?”

“Itu adalah banten. Tawur bagi kesejahteraan kampung halaman.”

Anak muda itu terdiam. Kawan-kawannya yang lainpun terdiam pula. Ada sedikit pengertian di
otaknya, namun hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu untuk mendamaikan
hati dan otaknya sendiri.

Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lagi. Semakin pagi semakin banyak anak-anak muda yang
berdatangan di banjar desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap
kemungkinan.

Prajurit-prajurit Pajang pun telah bersiaga pula. Mereka benar-benar dalam kesiap-siagaan
tertinggi. Bahkan Widura telah memerintahkan untuk menyiapkan rontek di Banjar desa.
Umbul-umbul dan panji-panji pun dipersiapkannya pula. Pusat pimpinan prajurit Pajang kini
dengan serta merta telah berpindah dari kademangan ke banjar desa.

Ki Demang sendiri tidak mengerti kenapa demikian. Kenapa tiba-tiba rontek dan segala macam
tanda kebesaran telah dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura memberikan perintah
kepada prajuritnya untuk bersiap di alun-alun di hadapan banjar desa itu, tidak di halaman banjar
desa.

Beberapa orang menjadi heran. Kenapa halaman banjar desa itu sengaja dikosongkan? Juga
anak-anak muda Sangkal Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.

“Kenapa kita harus keluar dari banjar desa?” bertanya salah seorang kepada sesama mereka.

Kawannya menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”

“Bukankah banjar desa itu kita punya?”

“Ya. Tetapi Ki Demang sendiri tidak berbuat apa-apa. Swandaru pun berdiam diri saja.”

Merekapun terdiam pula. Tetapi pertanyaan itu melingkar-lingkar di kepalanya.

Apalagi ketika kemudian mereka melihat beberapa prajurit Pajang berkuda, berpacu sepanjang
jalan kademangan mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi semakin heran.

Ketika matahari telah menjenguk dari punggung bukit, maka Kademangan Sangkal Putung itupun
menjadi cerah. Ujung-ujung rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan menjadi kian
cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi. Dalam belaian angin yang lembut panji-panji dan
umbul-umbul itu bergetar perlahan-lahan, seperti anak-anak yang melambaikan tangannya
menyambut kedatangan ibunya.

Banjar Desa Sangkal Putung, pagi itu benar-benar memancarkan kesegaran dan kebesaran
meskipun terbatas dalam kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu.

Bahkan kemudian beberapa orang bertanya-tanya, “Apakah di sini nanti Untara akan menerima

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 29/55

orang-orang Jipang di Benda tengah hari nanti?”

“Tidak,” jawab yang lain. “Ki Demang telah menentukan, bahwa Untara akan menerima
orang-orang Jipang di Benda, tengah hari nanti.”

“Lalu untuk apa banjar desa di rengga-rengga dengan segala macam rontek dan umbul-umbul?”

Kawannya mengeleng. Perlahan-lahan ia menggeser mendekati seorang prajurit Pajang yang


berdiri di alun-alun itu pula. “Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji itu?”

Prajurit Pajang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”

“Apakah itu suatu kehormatan bagi orang-orang Jipang?”

Mata prajurit itu terbelalak, katanya, “Pasti tidak. Kami sendiri tidak pernah mendapat sambutan
dengan tanda-tanda kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah sekarat.”

Anak muda itu menganguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Prajurit Pajang sendiri
agaknya tidak senang melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka lebih senang
membinasakannya di medan-medan peperangan.”

Tetapi ternyata kemudian Untara sendiri tidak dapat merahasiakan teka-teki itu kepada para
pemimpin kelompoknya. Beberapa orang dipanggilnya, dan diberitahukan kepada mereka apa
yang harus dilakukan. Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam. “Oh,” katanya di
dalam hati. “Aku sudah berdebar-debar.”

Untara tersenyum melihat sikap beberapa orang pembantu-pembantu Widura itu. Katanya,
“Kalian tidak usah berdebar-debar. Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung.”

“Bukan saja Ki Demang,” sahut Hudaya. “Aku juga terkejut. Tetapi apakah maksud Angger
Untara hanya supaya Ki Demang terkejut?”

“Ya.”

“Tidak ada maksud lain?”

“Maksud lain tidak terkandung dalam persoalan yang kau dengar ini.”

Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Ya. Dalam hal tidak
diberitahukan, mungkin Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi maksud
kedatangannya kemari?”

“Tentu,” jawab Untara, “kau telah dapat merabanya sendiri.”

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.

“Beberapa orang telah aku perintahkan untuk menyongsongnya dan membawanya ke banjar
desa ini,” berkata Untara pula. “Menurut ketentuan mereka akan datang pagi-pagi.”

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai