Anda di halaman 1dari 19

Api di Bukit Menoreh (14), halaman 12/55

langsung dengan dirinya. Karena itu, maka wajah gadis itupun menjadi bertambah buram.
“Apakah Sidanti cukup berbahaya? Bukankah ia hanya seorang diri?”

Sedayu menyesal, bahwa ia telah menyebut nama itu. Dengan demikian ia telah membuat hati
Sekar Mirah menjadi cemas. Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan hati gadis itu,
“Jangan cemas. Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal Putung, ada beberapa orang yang
sanggup melawannya. Kakang Untara, paman Widura dan kini kakakmu Swandaru pun tidak lagi
dapat ditamparnya tanpa perlawanan.”

Dahi Sekar Mirah masih berkerut, katanya, “Tetapi aku dengar guru Sidanti adalah seorang hantu
yang sakti.”

“Jangan kau cemaskan pula” sahut Sedayu “guru kakakmu pun melampaui kesaktian hantu.”

Sekar Mirah terdiam. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan kecemasan hatinya.

“Sekarang, di mana ayahmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Di dalam. Apakah Kakang Sedayu akan menemuinya?”

“Ya,” sahut Sedayu

“Aku tidak mau memanggilkan untukmu.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Tetapi carilah sendiri.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sekali ini Kakang Untara
mempunyai keperluan yang penting. Aku agak tergesa-gesa.”

“Urusanku adalah menyediakan makanan buat kalian. Kalau kau tergesa-gesa mau makan,
makanlah. Aku sudah sedia.”

“Tolong, panggil ayahmu.”

“Kakang Sedayu setiap kali pasti hanya akan memberikan beberapa perintah. Sesudah itu pergi
lagi. Kau tidak pernah menyediakan waktu untuk beristirahat untuk berjalan-jalan menikmati senja
di kademangan ini atau melihat-lihat sawah yang hijau.”

“Masa ini adalah masa berprihatin, Mirah. Kalau semuanya telah lampau, maka aku pasti akan
berjalan-jalan melihat isi kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk melihat-lihat,
tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit.”

“Omong kosong,” sahut Sekar Mirah. “Dalam keadaan yang serupa, Sidanti dapat menyisihkan
waktunya untuk itu.”

Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Wajahnyapun tiba-tiba berubah. Dan tiba-tiba pula ia
menjawab, “Itulah bedanya. Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti dapat

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 13/55

menemanimu berjalan-jalan di sepanjang pematang dalam keadaan yang bagaimanapun juga.


Tetapi Agung Sedayu tidak.”

Sekar Mirah terkejut mendengar jawaban itu. Terasa bahwa kata-katanya telah terdorong
terlampau jauh. Karena itu maka katanya, “Maksudku, bahwa apabila diperlukan waktu itu dapat
diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti, karena Sidanti ternyata dapat juga menyediakan waktu
untuk itu.”

“Mudah-mudahan lain kali aku juga bisa,” sahut Sedayu. “Tetapi di mana ayahmu? Aku
tergesa-gesa. Mungkin Sidanti tidak pernah berbuat seperti aku, sebab ia acuh tak acuh saja
mengenai perkembangan dan kemajuan keadaan di Sangkal Putung.”

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia tidak menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan
tergesa-gesa ia melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi justru keluar regol
halaman.

Agung Sedayu sedianya tidak dapat berkata sesuatu. Namun kemudian ia mencoba memanggil,
“Mirah. Mirah.”

Sekar Mirah berpaling. Tetapi ia tidak berhenti. Agung Sedayu hanya mendengar gadis itu
berkata, “Aku akan pergi ke warung di ujung desa.”

“Bagaimana dengan Ki Demang ?”

“Masuklah,” jawabnya. “Katakanlah sendiri kepadanya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu memang terlampau manja. Sambil
menggelengkan kepalanya Agung Sedayu berdesis, “Terlalu anak itu.”

Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar suara tertawa berderai. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping pendapa.

Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Swandaru.

“Tidak apa-apa,” sahut Agung Sedayu.

Tetapi suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Katanya, “Kau marah kepadanya?”

“Terlalu adikmu itu,” desah Agung Sedayu.

“Begitulah tabiatnya. Jangan kaget,” sahut Swandaru.

Agung Sedayu tidak menyahut kata-kata itu, tetapi ia bertanya, “Dimana Ki Demang?”

“Di dalam, bukankah Sekar Mirah juga menjawab begitu?”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “aku ingin bertemu.”

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 14/55

“Marilah.”

Keduanya kemudian menaiki pendapa dan masuk ke pringgitan. Pringgitan itu sama sekali masih
seperti malam kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya. Sejenak kemudian Ki
Demang pun segera keluar dari ruang dalam. Sambil

tersenyum orang tua itu duduk di samping Agung Sedayu.

“Apakah Angger Untara belum sempat kembali ke kademangan?” bertanya Ki Demang.

“Belum hari ini, Ki Demang,” jawab Sedayu. “Mungkin besok atau lusa.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah masih ada


hal yang penting di banjar desa?”

“Orang-orang Jipang yang terluka itu Ki Demang.”

“Hem,” Demang Sangkal Putung itu menarik nafas dalam-dalam. “Angger Untara memang
mencari kesulitan dengan orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari momongan. Kenapa
tidak dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu? Biarlah kawan-kawannya sendiri yang
memelihara mereka. Dengan demikian pekerjaan Angger Untara tidak menjadi
bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi sendiri orang-orang Jipang itu supaya
mereka tidak mengkhianati kita. Tetapi juga supaya mereka tidak dibunuh oleh prajurit Pajang
sendiri.”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata, “Kalau bukan orang Pajang, orang
Sangkal Putung-lah yang akan membunuh mereka.”

Sedayu terkejut mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Swandaru. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada saat ia
pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan ini, maka yang mula-mula ditemuinya
adalah Ki Demang itu. Dari mulut Ki Demang ia mendengar, betapa orang tua itu mengutuk
perang dan segala macam akibatnya. Kini tiba-tiba sikapnya menjadi terlampau keras
menghadapi lawan.

Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk mengerti dan memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal
Putung benar-benar mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang Jipang. Hampir
setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu diburu oleh kecemasan, ketakutan dan
kegelisahan. Setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu dibakar oleh kemarahan yang
menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap anak muda Sangkal Putung setiap hari selalu
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling pahit
sekalipun.

Ki Demang Sangkal Putung adalah seorang Demang yang dekat sekali dengan hati rakyatnya.
Setiap hari ia mendengar apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut merasakan
apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya, maka semuanya itu telah merubah sedikit demi
sedikit tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas kekerasan yang dihadapinya. Setiap hari ia
selalu didorong untuk menyadari bahwa untuk menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 15/55

orang-orang Jipang, maka Sangkal Putung perlu mempergunakan kekuatan dan kekerasan.

Sehingga akhirnya, Ki Demang itu terdorong semakin jauh ke dalam sikapnya yang sekarang.
Betapa ia setiap hari menjadi semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala
macam kegelisahan, kecemasan dan ketakutan.

Tetapi Agung Sedayu tidak boleh hanyut pula ke dalam sikap yang demikian. Ia sejak semula
sependapat dengan sikap kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan
orang-orang Jipang yang terluka terbaring di padang-padang rumput atau di pategalan yang
kering sampai mereka mati dengan sendirinya. Perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang
melanggar perikemanusiaan. Sejak ia berada di Sangkal Putung, para prajurit Pajang selalu
bersikap jantan terhadap lawan-lawan mereka yang terluka. Namun kali ini agaknya telah
menjadi jauh berbeda. Korban yang cukup banyak di pihak Pajang sendiri, telah mendorong
orang-orang Pajang untuk menjadi bertambah membenci dan mendendam.

Apalagi anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung. Mereka setiap saat merasa terancam
nyawa dan miliknya.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak berani menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang.
“Biarlah Kakang Untara sendiri yang mengatakannya,” katanya dalam hati. Sehingga yang
terloncat dari bibirnya adalah, “Ki Demang, Kakang Untara kini tidak dapat meninggalkan banjar
desa. Mungkin sampai besok atau lusa. Tetapi Kakang Untara sangat ingin bertemu dengan Ki
Demang. Apakah Ki Demang dapat pergi ke banjar desa?”

Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Namun ia


menyadari, bahwa meskipun bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin tertinggi, tetapi
Untara adalah seorang senapati dari Pajang, yang bahkan mempunyai kedudukan lebih tinggi
dari Widura, penguasa Pajang di daerah Sangkal Putung. Dalam keadaan seperti saat itu, di
mana Sangkal Putung diliputi oleh suasana perang, maka kedudukan penguasa prajurit adalah
melampui kekuasaan demang itu sendiri.

Karena itu, maka permintaan Untara itu sebenarnya adalah perintah baginya, bahwa ia harus
datang ke banjar desa.

Ki Demang itupun kemudian menjawab, “Baiklah Ngger. Aku akan segera datang ke banjar desa,
setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira keperluan Angger Untara
memanggil aku?”

Agung sedayu ragu-ragu sesaat. Tetapi ia tidak berani mendahului kakaknya. Maka jawabnya,
“Aku kurang tahu, Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang dan Adi Swandaru
diharap menemuinya di banjar desa.

“Baiklah,” sahut Ki Demang kemudian, “aku akan segera pergi, setelah aku menyelesaikan
beberapa pekerjaan di sini.”

Agung Sedayu pun kemudian mohon diri mendahului bersama Swandaru Geni. Mereka bersama
ingin juga bertemu dengan guru mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka lakukan hari
itu.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 16/55

Di halaman mereka bertemu dengan Sekar Mirah. Gadis itu sama sekali tidak pergi ke warung.
Sehingga karena itu maka Agung sedayu berkata, “Mirah, ternyata kau tidak pergi ke warung.”

Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. Jawabnya, “Tidak. Aku memang tidak ke warung.”

“Tetapi kau bilang, bahwa kau akan pergi ke warung.”

“Tak ada kawan yang mengantarkan aku,” jawabnya.

Swandaru tertawa sampai tubuhnya terguncang-guncang. Katanya, “Sebaiknya kau berterus


terang Mirah. Bukankah kau ingin Kakang Agung Sedayu mengantarkanmu.”

“Siapa bilang? Siapa bilang?” sahut Sekar Mirah cepat-cepat.

Swandaru masih tertawa, katanya seterusnya, “Itupun kau belum berterus terang. Seharusnya
kau berkata kepada Kakang Agung Sedayu untuk mengantarkanmu berjalan-jalan. Tidak ke
warung atau ke mana saja.”

“Bohong! Bohong!” teriak Sekar Mirah.

Swandaru tertawa puas. Tetapi Agung Sedayu berdesis, “Kau selalu mengada-ada Adi
Swandaru.”

Tapi Swandaru itupun kemudian terpekik kecil ketika Sekar Mirah mencubit lengannya.

“Awas kau Kakang Swandaru. Aku tidak mau menyisihkan brutu ayam untukmu lagi.”

“Oh,” Swandaru itupun tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Ditariknya lengan Agung Sedayu
dengan tergesa-gesa. “Mari ikut aku.”

“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.

Swandaru tidak menjawab, tetapi ditariknya saja tangan Agung Sedayu.

“Mau kemana kalian?” bertanya Sekar Mirah.

Swandaru tidak juga menjawab. Bahkan ditariknya Agung Sedayu semakin cepat.

“Kemana?” sekali lagi Agung Sedayu bertanya.

Namun Swandaru masih saja berdiam diri. Tetapi Agung Sedayu kemudian mengerti dengan
sendirinya maksud Swandaru itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu dapur.

“Kau pasti belum makan. Nah, daripada kau menunggu rangsum dikirim ke banjar desa, ayo,
akupun belum makan.”

Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu ketika ia melihat ibu Swandaru, Nyai Demang Sangkal
Putung. “Marilah Ngger, makanlah,” ia mempersilahkan.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 17/55

“Jangan malu-malu,” desis Swandaru yang segera membuka tenong. “Di mana brutu ayamku?”

Yang datang kemudian sambil berlari-lari adalah Sekar Mirah. Masih di pintu ia berteriak, “Jangan
ditunjukkan.”

Tetapi Sekar Mirah menjadi kecewa, sebab Swandaru telah menggenggam sepotong brutu
goreng.

“Setan,” desah Sekar Mirah. “Kau tahu juga tempatnya.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi tangannya telah memegang semangkuk nasi. Dituangkannya
seirus sayur ke dalamnya dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi sesuap.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat seperti Swandaru yang berada di rumah sendiri. Ia
masih saja duduk sambil mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah enaknya.
Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti telur raksasa.

“Silahkan Ngger,” ibu Swandaru mempersilahkan. “Mirah,” katanya kepada anak gadisnya,
“kenapa kau tidak segera mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah mangkok
dan layanilah.”

Sambil bersungut-sungut Sekar Mirah melakukan perintah ibunya. Namun dengan sengaja
dituangkannya sayur lombok banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu. Sehingga ketika
Agung Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera mengalir dari segenap Iubang-lubang kulitnya.
“Terlalu benar Sekar Mirah,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah
katapun.

Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu kepedasan, maka kembali suara tertawanya berderai
memenuhi dapur. “Minumlah. Di tlundak itu ada kendi,” katanya.

Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia tidak segera berdiri.

Demikianlah setelah mereka selesai makan, segera berdiri pergi ke banjar desa. Ternyata
Swandaru tidak terlalu lama menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang pun segera
datang pula.

Dipersilahkannya mereka berdua memasuki ruangan dalam. Di dalam ruangan itu telah duduk
menunggu Untara, Widura, Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka, Agung
Sedayu.

Sesaat Untara menjadi ragu-ragu untuk mengatakan maksudnya. Apakah waktunya sudah tepat,
apabila Ki Demang itu diajaknya berbincang-bincang mengenai orang-orang Jipang? Tetapi
Untara tidak mempunyai waktu terlampau lama. Lima hari sejak pembicaraannya dengan
Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana. Semakin cepat bagi Untara sebenamya semakin
baik. Juga bagi Sumangkar, semakin cepat semakin baik. Apabila Sumangkar harus menunggu
terlampau lama, maka segala kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa bagian dari
orang-orangnya berubah pendirian, mungkin mereka akan mengalami kekurangan makan dan
mungkin Sanakeling dengan orang-orang Ki Tambak Wedi yang mendendam akan datang
menghancurkan mereka.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 18/55

Karena itu, maka dengan sangat hati-hati akhirnya Untara menyampaikan maksudnya pula.

Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan setiap kata-kata Untara dengan penuh perhatian.
Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak
berkerut-kerut. Swandaru yang duduk di samping ayahnya tiba-tiba menjadi gelisah.

“Jalan itu, bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, Ki Demang,” berkata Untara itu kemudian,
“kecuali sejalan dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah cara yang paling
hemat bagi kami. Korban akan dapat dibatasi, dan tugas kitapun akan segera selesai.”

Yang pertama-tama menjawab adalah Swandaru. “Kakang Untara, bukankah laskar Jipang itu
telah terpecah-belah? Apalagi sepeninggal Macan Kepatihan, tidak ada orang yang dapat
mengantikan kedudukannya. Bukankah dengan demikian kita akan lebih mudah
menghancurkannya dengan kekerasan? Mula-mula kita hancurkan laskar Jipang yang
bersembunyi di dalam hutan, kemudian kita datangi padepokan Ki Tambak Wedi.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sareh ia menjawab, “Swandaru, kenapa


mesti dengan kekerasan?”

“Kita berada di pihak yang kuat Kakang,” sahut Swandaru, “kenapa kita mesti menerima
persetujuan itu? Dengan mengorbankan beberapa kemungkinan yang akan dapat mengangkat
nama Kakang Untara sendiri sebagai seorang senapati? Dengan menerima persetujuan itu,
seolah-olah kita tidak cukup mampu untuk menghancurkan sisa-sisa laskar Jipang itu dengan
kekerasan.”

“Ya,” Untara mengulangi, “kenapa mesti dengan kekerasan? Adi Swandaru, yang penting bagi
Pajang adalah penyelesaian atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa ini dapat
diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka kenapa kita mesti mempergunakan
kekerasan?”

“Jadi apakah kita harus menyerah saja terhadap orang-orang Jipang itu?” bertanya Swandaru.
“Dengan demikian kita akan menghindarkan pertumpahan darah.”

Untara menggigit bibirnya. Dengan cepat Ki Demang Sangkal Putung berkata, “Maksudnya
Ngger, maksud Swandaru, kalau perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan. Bukankah
korban telah banyak yang jatuh? Di saat-saat terakhir, ketika kita seakan-akan tinggal menginjak
kekuatan mereka di bawah telapak kaki kita, kita menerima mereka dengan kedua belah tangan,
seolah-olah kita harus melupakan saja apa yang telah pernah terjadi?”

“Bukan begitu Ki Demang,” sahut Untara. Sekilas ia memandangi wajah pamannya. Namun
Widura menundukkan kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata Untara.

“Kita tidak membebaskan mereka dari segenap tanggung jawab,” kata Untara kemudian, “tetapi
kita menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan
apapun, kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak membuat jaminan
apapun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan mereka seperti seharusnya bagi
prajurit-prajurit lawan yang menyerah.”

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 19/55

“Mereka tidak pernah berpikir sedemikian baik, Ngger,” berkata Ki Demang. “Coba, apakah yang
telah mereka lakukan pada saat pertentangan ini meledak? Tanpa disangka-sangka, maka
Sunan Prawata terbunuh. Kemudian Pangeran Hadiri. Bahkan Adipati Adiwijaya sendiri
hampir-hampir terbunuh pula. Sesudah itu ratusan korban berjatuhan.”

“Itulah bedanya, Ki Demang,” sahut Untara. “Itulah bedanya. Orang-orang itu berbuat tanpa
pengekangan diri, seolah-olah mereka dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita
adalah orang-orang yang beradab. Kita merasa bahwa perbuatan kita harus kita
pertanggungjawabkan. Tidak saja terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada Sumber
kekuatan kita. Tuhan Yang Maha Esa.

“Namun demikian Ki Demang. Mereka yang tidak mau menyerahkan dirinya dalam kesempatan
ini seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa bagian dari laskarnya, maka mereka
pasti akan kita hancurkan. Hancur dalam pengertian yang sebenar-benarnya.”

Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab. Ketika Untara melihat wajahnya, Ki Demang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengerti,” berkata
Untara di dalam hatinya. Namun yang bertanya kemudian adalah Swandaru. “Lalu bagaimana
sikap kita terhadap mereka yang menyerah? Apakah mereka kita biarkan saja kembali ke tempat
mereka, atau kita biarkan sekehendak hati mereka, apapun yang akan mereka lakukan?”

“Tentu tidak, Swandaru,” sahut Untara. “Mereka berada dalam pengawasan. Jasmaniah dan
rohaniah.”

Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing mencoba memandang persoalan itu menurut
segi dan kepentingan masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari pendirian
Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal Putung.

Meskipun demikian, masih terdengar Swandaru berdesis, “Kita terlampau baik hati. Mereka suatu
ketika akan menelan kita kembali.”

“Para perwira Wira Tamtama akan memperhitungkan persoalan itu Swandaru,” sahut Untara.
“Mudah-mudahan hal itu tidak akan sempat terjadi.”

Kembali mereka yang duduk di ruangan itu terdiam. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang wajah Widura,
namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung itu masih menundukkan kepalanya. Berbagai
persoalan berkecamuk di dalam kepalanya. Meskipun kemudian ia sependapat dengan Untara,
bahwa apa yang dilakukan itu setidak-tidaknya akan mengurangi pekerjaannya, namun telah
terbayang di dalam angan-angannya, suatu pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya. Ki
Tambak wedi, Sidanti, Sanakeling dan laskarnya.

Kemudian, ketika tidak ada persoalan yang dibicarakan lagi mengenai dasar-dasar penyerahan
orang-orang Jipang itu, maka sampailah mereka pada perjalan pelaksanaan dari penyerahan.
Meskipun Ki Demang pada dasarnya dapat mengerti pikiran Untara, namun bagaimanapun juga
ia masih dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan. Karena itu maka ia berkata, “Angger Untara.
Aku tidak berkeberatan Sangkal Putung menjadi tempat menerima orang-orang Jipang itu, tetapi
tidak di induk Kademangan. Aku tidak dapat membayangkan, apakah rakyatku akan dapat
menahan luapan perasaannya melihat orang-orang Jipang yang mereka anggap sumber dari

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 20/55

segala macam bencana. Karena itu, aku minta agar Angger menerima orang-orang Jipang itu
tidak di induk Kademangan ini. Aku menyediakan sabuah desa kecil. Benda, yang barangkali
tepat untuk melakukan penerimaan orang-orang Jipang itu.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali ia mengheIa nafas dalam-dalam. Namun


iapun dapat mengerti keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Ki Demang
masih dibayangi oleh kecemasannya menghadapi orang-orang Jipang. Mungkin Ki Demng masih
mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba mengamuk di induk Kademangan.

Karena itu maka segera Untara menjawab, “Terima kasih Paman Demang. Di manapun juga,
maka pelaksanaan itu dapat dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan parmintaan lain. Aku
ingin meminjam satu atau dua buah rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu sebelum
mereka dibawa ke Pajang.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Baiklah Ngger. Aku akan


menyediakan. Di Benda hanya ada beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat
penyerahan itu, penduduk Benda akan aku singkirkan ke Kademangan ini lebih dahulu.”

Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih Ki Demang. Kita


tinggal menunggu pelaksanaan dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan dengan
lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari keadaannya dengan jujur.”

Sejak hari maka berita tentang penyerahan orang-orang Jipang itu segera tersebar di seluruh
Kademangan. Sebagian besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar sikap
Untara yang menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa Untara tidak mengerahkan saja segenap
kekuatan di Sangkal Putung untuk menghancur-lumatkan mereka di sarang mereka? Tetapi tidak
seorang pun yang berani mempersoalkannya dengan terang-terangan. Mereka hanya
memperbincangkannya di gardu-gardu dan di perempatan-perempatan jalan apabila mereka
duduk di sore hari menjelangg senja. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa Demng mereka,
dan pimpinan laskar Sangkal Putung, Swandaru Geni, telah menyetujuinya pula.

Demikianlah dari hari ke hari, rakyat Sangkal Putung menjadi semakin tegang. Mereka masih
belum dapat melupakan. bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan meraka, dan
bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari membuat hati mereka menjadi cemas. Sehingga
tanpa disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan itu maka setiap anak muda di Sangkal
Putung telah mempersiapkan dirinya pula, seperti apabila mereka harus menghadapi sergapan
Macan Kepatihan beberapa waktu yang lalu. Hampir setiap anak muda tidak melepaskan pedang
dari lambung mereka. Hampir setiap malam gardu-gardu menjadi kian penuh.

Dan lima hari itu adalah hari-hari yang tegang.

Dalam pada itu Kiai Gringsing telah mendatangi Sumangkar di dalam sarangnya sebagai utusan
Untara untuk menjelaskan pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan Untara
ke Pajang pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.

“Bagaimana dengan pesanku?” bertanya Untara.

“Telah diterima langsung oleh Ki Ageng Pemanahan,” sahut utusannya.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 21/55

“Apa perintahnya?”

“Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki Untara.”

“Bagus.”

Di malam menjelang hari penyerahan, Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga
tidak melengahkan diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan dengan
desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itupun telah diisi dengan beberapa
prajurit pilihan dan penghubung-penghubung berkuda. Bahkan tanda-tanda bahayapun telah siap
pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah
yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit Pajang yang berada
pada garis yang berhadapan dengan desa Benda.

Malam itu Untara tampak sibuk pula mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu,
dan beberapa orang lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang
gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh sehingga setelah
kejutan perasaannya mereda, maka apapun yang diperintahkan kepadanya, dilakukannya
dengan sebaik-baiknya.

“Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.

“Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada siapapun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing
pun tidak, apalagi Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Kau akan


membuat sebuah lelucon yang baik Untara.”

Malam menjelang hari yang ditentukan semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok
orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa
bersenjata. Mereka akan meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit Pajang-lah
kemudian yang akan mengambil senjata-senjata itu.

Besok pada tengah hari, tepat ketika matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari
prajurit Pajang akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh
beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima orang-orang Jipang itu.
Seterusnya, orang-orang Jipang akan ditempatkan di rumah-rumah yang telah disediakn di
bawah pengawasan yang kuat dari para prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang
itu tidak ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu.

Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan
diadili oleh para penjabat di Pajang.

Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan
Sumangkar pun dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi
ragu-ragu kembali. Apakah besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang
Pajang tidak akan mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok benar-benar orang Pajang
memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik menurut
ketentuan yang seharusnya berlaku? Apakah mereka kemudian tanpa persoalan tidak saja

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 22/55

digantung, di sepanjang jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang, sebagai
orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak, terhadap keturunan Sultan Trenggana.

Dengam sareh dan telaten Sumangkar mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal
yang dapat meringankan beban perasaan mereka.

“Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan
berarti. Kalian hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah
kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan kemenangan.
Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan kecil, merampas
harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa orang yang mencoba menentang kalian atau
perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya.

“Namun yang paling penting, kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan sejak
semula adalah salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak benar. Dan ini
adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”

Beberapa orana menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang
masih juga ragu-ragu.

“Ingat,” berkata Sumangkar, “kalian tidak boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah
merasa gagal. Maka itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu benar.
Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan, apa yang kalian cita-citakan,
itulah yang salah. Sehingga apabila kalian mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini,
maka kalian tidak berada di dalam kebenaran dan kalianpun masih harus tetap menyadari,
bahwa kalian bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini.

“Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap kebenaran adalah kekuasaan kalian.
Kekuasaan yang kalian dapatkan dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab
kalian telah menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada Pajang,
sepeninggal saudara-saudaranya.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan
keputusan mereka. Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang panjang
karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka menemukan jalan
kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus dipertanggungjawabkan. Namun
mereka akan mendapatkan batas waktu yang tertentu. Mungkin mereka harus melakukan kerja
paksa yang keras beberapa tahun lamanya, mungkin mereka akan disisihkan ke tempat-tempat
yang masih harus dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga buruan yang
disirik oleh masyrakat karena suaminya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.

Namun masih terasa di dalam perkemahan itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak.
Beberapa orang benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut saja
bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari
bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu dua kali Sumangkar
membuat mereka menjadi heran, orang tua itu mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki
Tambak Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan? Dan apakah cerita tentang
Sumangkar yang berhasil mengusir Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi
Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk meyakinkan mereka.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 23/55

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah
benar-benar Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar itu
hanya sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang
yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan mereka.

Demikianlah tiba-tiba dua orang di antara mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini
ditempati oleh Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu
membentak, “Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran besok, maka
beruntunglah hahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau besok akan membawa
kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan kau pasti akan puas melihat mayat-mayat
kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan dalam kota Pajang. Nah, sekarang
kau sebagai sumber dari bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan
penyerahan yang akan terjadi besok. Kau harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau
pula yang harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda
dan bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”

Sumangkar memandangi kedua orang itu dengan wajah yang muram. Seperti wajah seora ayah
yang melihat kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, “Jangan salah mengerti.
Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara kita, maka akulah orang yang
pertama-tama akan disembelih.”

Orang yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Katanya, “Sekarang kalimat itu
dapat kau ucapkan. Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami, maka
kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke tiang gantungan. Atau
untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas landasan sepotong kayu atau tunggak
pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedang-pedang mereka besok akan menebas leher
kami sehingga kepala kami akan terpotong dari tubuh kami.”

“Sebuah gambaran yang mengerikan,” desis Sumangkar.

“Bukankah demikian yang selalu dilakukan oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah
mendengar, bagaimana tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang
melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang. Dan bukankah kau
sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang kranjang?”

“Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?”

“Pasti,” sahut salah seorang daripadanya. “Orang Pajang.”

“Namanya?” Bertanya Sumangkar pula.

“Sidanti.”

“Kau tahu, siapakah Sidanti itu?”

Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.

“Nah, apakah kalian ingin bersama-sama dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 24/55

kalian menjadi semakin pandai mencincang?”

Kedua orang itu masih terdiam.

“Pertimbangkanlah baik-baik,” berkata Sumangkar, “kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat
dengan mata kepala sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang
terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian terhadap kawan-kawan
sendiri, apalagi lawan kita?”

Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi mereka masih belum melepaskan keragu-raguan
mereka. Namun dengan penuh kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi
kalimat. Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang itupun kemudian menundukkan
kepala-kepala mereka sambil bergumam, “Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku masih tetap
dicengkam oleh keraguan itu.”

“Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang
mengingkari janjinya, maka aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”

Wajah kedua orang itu masih tetap memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar
berkata, “Mungkin kau curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang
menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu ribut-ribut menyelenggarakan
penyerahan. Aku Dapat membunuh kalian malam tadi, atau malam nanti dengan memberi
kesempatan prajunit Pajang menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi.”

Kedua orang Jipang itu masih saja terbungkam. Dan Sumangkar pun berkata terus seperti orang
ayah menasehati anak-anaknya. “Memang permusuhan selalu menumbuhkan prasangka di
kedua belah pihak. Meskipun kedua belah pihak ingin menghentikannya dengan jujur, namun
pertimbangan-pertimbangan yang timbul kemudian kadang-kadang amat meragukan.
Masing-masing mencurigai pihak yang lain. Malam ini aku kira bukan saja kalian berdua yang
menjadi ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang pun menjadi ragu-ragu. Pasti ada di antara
mereka yang menyangka bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk
memasuki Sangkal Putung dengan cara yang licik. Kita besok pasti akan dijemput dengan
pasukan segelar sepapan lengkap dengan segala macam bentuk senjata. Apabila demikian,
kalian jangan terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun itu adalah suatu sikap
curiga. Permusuhan yang telah tumbuh ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas. Setiap
persoalan yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang kelak, pasti segera akan
mengungkat kembali permusuhan ini. Kalau ada salah seorang saja dari orang-orang Jipang
yang berbuat curang, maka segera kebencian orang Pajang yang akan bertambah. Sebaliknya
kalau ada seorang Pajang yang berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti akan
berkata bahwa orang Pajang telah mengingkari janjinya dan berbuat sewenang-wenang.
Sehingga dengan demikian, keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam noda-noda
yang kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang baik. Yakinlah bahwa kalian telah
kembali, bukan saja dalam bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk jasmaniah, tetapi yang
penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apapun yang kalian alami secara badaniah, maka apabila
kalian hayati dengan kesadaran atas nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan menemukan
ketenteraman, kalian akan menemukan hiburan dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa
dalam bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun tangan kalian telah berlumuran
darah tetapi pintu pengampunan tertingi tidak pernah akan ditutup apabila kita
bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk mendapatkannya. Bersungguh-sungguh, tekad

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 25/55

dan perbuatan.”

Kedua prajurit itu semakin tertunduk. Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga
mereka menjadi yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Kiai.” Dan di dalam
hatinya ia berkata, “Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang akan aku alami
secara badaniah pasti tidak akan banyak berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya.”

Ketika kedua orang itu kemudian kembali ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu
didiami, mereka segera tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena
keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari penyerahan mereka
kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara rohaniah, mereka
menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah
terbuka. Dari celah-celahnya seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah pernah
terjadi dan apa yang akan dilakukannya.

Sumangkar sendiri kemudian mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua
orang Jipang yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendekur karena
perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan.

Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertangguhg jawab akan terselenggaranya penyerahan
besok.

Meskipun demikian, apa yang dikatakannya kepada kedua peajurit itu telah sedikit
menenteramkan hatinya sendiri pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan
kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan kebenaran sikapnya.

Ketika angin malam manembus lubang-lubang dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit
anjing-anjing liar berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam
sambil bergumam lirih, “Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing liar itu, mereka bersama-sama
berangkat dari satu sarang, bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama menyerang
dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka saling membunuh di antara sesama apabila
mereka sudah berebut hasil buruannya itu.”

Dan suara anjing-anjing liar itu semakin lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar
menjadi semakin tidak mungkin lagi dapat memejamkan matanya.

Orang tua itupun kemudian bangkit dari pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari
halaman. Ia masih melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di
sudut-sudut perkemahan.

Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata, “Besok kau akan bebas dari
pekerjaan semacam ini.”

Orang itu menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka menjawab, “Kiai, rasa-rasanya


kami akan memasuki sebuah goa yang maha gelap.”

“Kenapa?” bertanya Sumangkar.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 26/55

“Kami tidak tahu, apa yang berada di dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang
indah ataukah kami akan terjerumus kedalam neraka yang paling laknat.”

Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu.


Bahkan secara jujur hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya
kepada Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan Widura atas
anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan
penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap bahwa orang-orang
Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya penyerahan itu dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya Sumangkar itupun menjawab, “Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita
ini benar. Telah sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”

“Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”

“Karena itulah, maka marilah kita mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat
berkembang. Seperti anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka kemudian
anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula
aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti aku menemukan
kesadaran itu.”

Para penjaga itupun mengangguk-angukkan kepala mereka. Dan Sumangkar pun kemudian
berjalan meninggalkan orang itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga kemudian
ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya, tetapi di samping gardu di ujung
halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang silir telah membelainya, seperti tangan
seorang ibu membelai anaknya tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan
nyenyaknya. Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.

Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi
sibuk. Beberapa orang bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi.
Mereka cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah orang-orang
Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara untuk mengelabuhi
kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.

Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap menyandang senjata masing-masing, sedang para
prajurit Pajang pun telah bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi
Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap kampung halaman
mereka.

“Seandainya orang-orang Jipang itu benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi
mereka makan? Kami juga, orang-orang Sangkal Putung,” gerutu salah seorang anak muda
Sangkal Putung.

Tetapi ia terkejut ketika didengarnya jawaban sareh. “Memberi makan mereka adalah jauh lebih
baik daripada kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan
rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”

Ketika anak-anak muda itu berpaling dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 27/55

Dengan serta merta mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. “Ya. Ya
Tuan. Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih cukup sampai
musim menuai yang akan datang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun


bentuknya asal tidak mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur
dan berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena gangguan keamanan
segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki. Bukan begitu?”

“Ya, ya tentu Tuan. Tentu,” sahut mereka tergagap.

Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun
sepeninggal Agung Sedayu anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil berkata,
“Anak itu bukan anak Sangkal Putung.”

“Aku membenarkan kata-katanya.”

Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu berkata, “Aku membenarkan
kata-katanya.”

Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya, “Kenapa kau membenarkannya?”

“Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih
dewasa berpikir itu.

“Tentu.”

“Coba katakan maksud kata-katanya.”

“Bukankah ia mengatakan bahwa lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan
sawah-sawah kami masih dapat ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri?
Berapa banyak beras yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang berada di sini,
sekarang ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini membuat bencana di
kampung halaman kami.”

Kawannya itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah
tergesa-gesa mengangguk dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu sambil tersipu-sipu.

“Dengarkan, aku akan mencoba mengulangi,” berkata kawannya. “Agung Sedayu itu berkata
bahwa lebih baik memberi makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat menanami
sawah dan ladang. Bukankah sawah-sawah dan ladang kita banyak yang bera tidak dapat
ditanami karena kita ketakutan? Sawah-sawah kita yang jauh dari induk desa ini dan
ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil? Saluran-saluran air menjadi kering, karena kita
tidak sempat memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah tidak berkelahi lagi, maka semua itu akan
dapat kita lakukan dengan baik. Hasilnya, dibandingkan dengan beras yang akan kita berikan
untuk memberi orang-orang Jipang itu makan, masih cukup banyak. Bukankah begitu?”

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 28/55

Anak muda itu merenung. Sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian ia tidak mau
kalah. “Tetapi berapa nilai dari kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?”

“Itu adalah banten. Tawur bagi kesejahteraan kampung halaman.”

Anak muda itu terdiam. Kawan-kawannya yang lainpun terdiam pula. Ada sedikit pengertian di
otaknya, namun hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu untuk mendamaikan
hati dan otaknya sendiri.

Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lagi. Semakin pagi semakin banyak anak-anak muda yang
berdatangan di banjar desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap
kemungkinan.

Prajurit-prajurit Pajang pun telah bersiaga pula. Mereka benar-benar dalam kesiap-siagaan
tertinggi. Bahkan Widura telah memerintahkan untuk menyiapkan rontek di Banjar desa.
Umbul-umbul dan panji-panji pun dipersiapkannya pula. Pusat pimpinan prajurit Pajang kini
dengan serta merta telah berpindah dari kademangan ke banjar desa.

Ki Demang sendiri tidak mengerti kenapa demikian. Kenapa tiba-tiba rontek dan segala macam
tanda kebesaran telah dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura memberikan perintah
kepada prajuritnya untuk bersiap di alun-alun di hadapan banjar desa itu, tidak di halaman banjar
desa.

Beberapa orang menjadi heran. Kenapa halaman banjar desa itu sengaja dikosongkan? Juga
anak-anak muda Sangkal Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.

“Kenapa kita harus keluar dari banjar desa?” bertanya salah seorang kepada sesama mereka.

Kawannya menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”

“Bukankah banjar desa itu kita punya?”

“Ya. Tetapi Ki Demang sendiri tidak berbuat apa-apa. Swandaru pun berdiam diri saja.”

Merekapun terdiam pula. Tetapi pertanyaan itu melingkar-lingkar di kepalanya.

Apalagi ketika kemudian mereka melihat beberapa prajurit Pajang berkuda, berpacu sepanjang
jalan kademangan mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi semakin heran.

Ketika matahari telah menjenguk dari punggung bukit, maka Kademangan Sangkal Putung itupun
menjadi cerah. Ujung-ujung rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan menjadi kian
cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi. Dalam belaian angin yang lembut panji-panji dan
umbul-umbul itu bergetar perlahan-lahan, seperti anak-anak yang melambaikan tangannya
menyambut kedatangan ibunya.

Banjar Desa Sangkal Putung, pagi itu benar-benar memancarkan kesegaran dan kebesaran
meskipun terbatas dalam kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu.

Bahkan kemudian beberapa orang bertanya-tanya, “Apakah di sini nanti Untara akan menerima

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 29/55

orang-orang Jipang di Benda tengah hari nanti?”

“Tidak,” jawab yang lain. “Ki Demang telah menentukan, bahwa Untara akan menerima
orang-orang Jipang di Benda, tengah hari nanti.”

“Lalu untuk apa banjar desa di rengga-rengga dengan segala macam rontek dan umbul-umbul?”

Kawannya mengeleng. Perlahan-lahan ia menggeser mendekati seorang prajurit Pajang yang


berdiri di alun-alun itu pula. “Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji itu?”

Prajurit Pajang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”

“Apakah itu suatu kehormatan bagi orang-orang Jipang?”

Mata prajurit itu terbelalak, katanya, “Pasti tidak. Kami sendiri tidak pernah mendapat sambutan
dengan tanda-tanda kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah sekarat.”

Anak muda itu menganguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Prajurit Pajang sendiri
agaknya tidak senang melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka lebih senang
membinasakannya di medan-medan peperangan.”

Tetapi ternyata kemudian Untara sendiri tidak dapat merahasiakan teka-teki itu kepada para
pemimpin kelompoknya. Beberapa orang dipanggilnya, dan diberitahukan kepada mereka apa
yang harus dilakukan. Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam. “Oh,” katanya di
dalam hati. “Aku sudah berdebar-debar.”

Untara tersenyum melihat sikap beberapa orang pembantu-pembantu Widura itu. Katanya,
“Kalian tidak usah berdebar-debar. Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung.”

“Bukan saja Ki Demang,” sahut Hudaya. “Aku juga terkejut. Tetapi apakah maksud Angger
Untara hanya supaya Ki Demang terkejut?”

“Ya.”

“Tidak ada maksud lain?”

“Maksud lain tidak terkandung dalam persoalan yang kau dengar ini.”

Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Ya. Dalam hal tidak
diberitahukan, mungkin Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi maksud
kedatangannya kemari?”

“Tentu,” jawab Untara, “kau telah dapat merabanya sendiri.”

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.

“Beberapa orang telah aku perintahkan untuk menyongsongnya dan membawanya ke banjar
desa ini,” berkata Untara pula. “Menurut ketentuan mereka akan datang pagi-pagi.”

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013


Api di Bukit Menoreh (14), halaman 30/55

“Mereka berangkat tengah malam,” sela Widura.

“Ya, mereka berangkat tengah malam,” sahut Untara.

Sesaat mereka kemudian terdiam. Beberapa orang masih juga mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Hari ini akan menjadi hari yang penting bagi Sangkal Putung. Bahkan hari yang tak akan
dapat dilupakan oleh anak-anak mudanya. Peristiwa demi peristiwa akan berpuncak di hari ini.
Namun apa yang terjadi masih juga menjadi pertanyaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung
dan bahkan para prajurit Pajang sendiri.

Dalam pada itu, lima orang penghubung telah mendapat perintah khusus dari Untara dan Widura
untuk menjemput tamu yang akan datang. Tamu yang akan mendapat penyambutan yang
khusus, yang akan mengejutkan hati setiap orang di Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang
di Sangkal Putung pula.

Tetapi yang tidak mereka perhitungkan, bahwa pada saat ini, hantu lereng Merapi yang mereka
takuti, ternyata membuat perhitungan tersendiri. Ternyata Ki Tambak Wedi mendengar pula
bahwa hari ini, Untara akan menerima Sumangkar dengan orang-orangnya yang menyerahkan
diri.

Sesaat setelah ia mendengar berita itu, beberapa hari yang lalu, orang tua itu tersenyum di dalam
hatinya. Dipanggilnya Sidanti dan Sanakeling. Sambil memilin-milin kumisnya ia berkata, “Nah,
apa rencana kalian menghadapi hari yang ditentukan itu?”

Dengan serta-merta Sanakeling menjawab, “Kita hancurkan Sumangkar dan orang-orangnya.”

Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, “Jangan terlampau bernafsu hendak memusnahkan


kawan-kawan itu sendiri dengan tanganmu. Belum lagi dapat dipastikan kita akan dapat
memenangkan pertempuran itu, meskipun sebagian besar dari para pemimpin Jipang berada di
sini. Tetapi Sumangkar dan mungkin Kiai Gringsing akan dapat mengganggu rencana ini.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Kemudian dengan tenangnya ia berkata, “Lalu apa yang
sebaiknya kita kerjakan Kiai?”

Ki Tambak Wedi tersenyum. Hidungnya yang melengkung tampak bergerak-gerak. Dijawabnya,


“Kita hancurkan mereka dengan meminjam tangan orang lain.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Bagaimana mungkin?”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya yang bernama


Sidanti sambil bertanya, “Apa rencanamu?”

Sidanti menggeleng, “Aku belum memikirkannya guru.”

“Alangkah bodohnya kalian,” berkata orang tua itu. “Kita akan mendapat kesempatan yang baik
sekali menghadapi saat penyerahan itu. Penyerahan itu akan terjadi di tengah hari. Kita harus
mengingat-ingat saat itu.”

“Ya. Tengah hari. Tetapi bagaimana dengan meminjam tangan orang lain itu?” desak Sanakeling.

http://www.agusharis.net/cerita/index.php?id_serial=2&seri=14 didownload pada Selasa, 24 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai