Anda di halaman 1dari 243

BAB I

PENYAKIT JANTUNG

NAMA PENYAKIT : GAGAL JANTUNG KRONIK

1. Definisi :
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak sanggup memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolik, meskipun darah yang kembali dari vena (venous
return) adalah normal dan mekanisme kompensasi jantung telah dipergunakan.

2. Etiologi :
Penyakit jantung hipertensi
Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung rematik atau kelainan katup
Penyakit jantung bawaan
Penyakit jantung anemik
Penyakit jantung tiroid
Kardiomiopati
Korpulmonal dan lain-lain

3. Patofisiologi:
Beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami
dilatasi dan hipertrofi memungkinkan peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat
sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang
lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan
simpatik. Perangsangan ini menyebabkan peningkatan kadar katekolamin sehingga
memacu terjadinya takikardi dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah
jantung berkurang, maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na) melalui
pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar
venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia dan redistribusi cairan adalah mekanisme
kompensasi jantung. Bila semua mekanisme kompensasi ini telah dipergunakan namun
kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.

1
4. Bentuk klinis :
Ditinjau dari sudut klinis secara simptomatologis, dikenal gambaran klinis berupa:
- Gagal jantung kiri: Badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk. Tanda
objektif berupa takikardia, dispnea (dyspnea d’effort, orthopnoe, paroxysmal
nocturnal dispnoe), ronki basah halus di basal paru, gallop bunyi jantung III dan lain-
lain.
- Gagal jantung kanan: edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, ascites,
bendungan vena jugularis dll.
- Gagal jantung kongesti: merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal jantung
kiri dan kanan.
- Gagal jantung sistolik
- Gagal jantung diastolik

Berdasarkan dyspnoe dan fatique telah ditetapkan klasifikasi gagal jantung berdasarkan
New York Heart Association (NYHA) sebagai berikut:
Kelas I : tak ada keluhan
Kelas II : simptom pada pekerjaan biasa
Kelas III : simptom pada pekerjaan ringan
Kelas IV : simptom pada waktu istirahat

5. Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Laboratorium
- Elektrokardiografi
- Foto dada
- Ekokardiografi
- Angiografi, dll.
Diagnosis gagal jantung meliputi:
- Etiologi
- Anatomi
- Fisiologi

2
6. Penatalaksanaan :
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk:
- Menentukan dan menghilangkan sebab penyakit gagal jantung
- Memperbaiki daya pompa jantung
- Memperbaiki atau menghilangkan bendungan.

Tindakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:


1. Menentukan derajat payah jantung
2. Membatasi aktifitas
3. Mengobati faktor pencetus dan sebab penyakit jantung
4. diet rendah garam
5. Pemberian obat-obatan.

1. Menentukan derajat payah jantung


Berdasarkan keluhan dan tanda klinik, derajat gagal jantung dapat dibedakan:
- Ringan, sedang atau berat
- Akut atau kronik
- Gawat darurat atau tidak.

2. Membatasi aktifitas
Gagal jantung kelas III dan IV istirahat di tempat tidur. Gagal jantung kelas I dan II
tidak perlu istirahat di tempat tidur. Hindarkan tidur lama.

3. Mengobati factor pencetus dan sebab penyakit jantung.


Faktor pencetus seperti anemia, infeksi dan perdarahan harus diatasi. Demikian juga
penyebab/etiologi dari gagal jantung harus diperbaiki.

4. Diet rendah garam


- Mengurangi makanan yang asin
- Jika memakai diuretik tidak perlu membatasi garam secara ketat.

5. Obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai untuk gagal jantung adalah:
- Diuretika

3
- Digoksin
- Vasodilator

Diuretika:
- Loop diuretik: Furosemid 20-80 mg
- Golongan tiazid: HCT 12,5-25 mg/hari
- Hemat kalium: Spironolakton 25-50 mg
Bila respon tidak cukup baik (diuresis kurang dari 60 cc/jam), dosis diuretik dapat
dinaikkan, diberi diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid atau
kombinasi loop diuretik dan spironolakton
Digoksin:
Digoksin diberikan pada gagal jantung sistolik (disfungsi sistolik ventrikel kiri) dan
terutama jika disertai atrial fibrilasi. Loading dose 0,5-0,75 mg, bisa diulang 0,25-0,50
mg tiap 8 jam. Maintenance dose 0,125-0,25 mg/hari.

Vasodilator :
- Venodilator: Nitrogliserin, Isosorbide dinitrat.
- Arteridilator: Hidralazin, Minoksidil, Phentalamine.
- Balanced vasodilator: Nitropruside, Prazosin, Doksazosin.
- ACE Inhibitor: Captopril, enalapril, lisinopril, dll.
- ARB dapat digunakan jika terdapat kontraindikasi penggunaan ACEI
- Penyekat beta: bisoprolol, metoprolol dan carvedilol dapat digunakan pada keadaan
yang sudah stabil (NYHA klas II, III). Dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi
dalam beberapa minggu hingga dosis optimal tercapai.

Obat-obat lain:
- Antiaritmia: antiaritmia klas I tidak dianjurkan pada gagal jantung. Penyekat beta (klas
II) terbukti menurunkan angka kematian mendadak pada gagal jantung. Amiodaron
(klas III) terbukti bermanfaat untuk aritmia supraventrikel dan ventrikel. Pemakaian
rutin amiodaron pada gagal jantung tidak dianjurkan.
- Antiplatelet dapat ditambahkan terutama untuk gagal jantung yang disertai dengan
atrial fibrilasi dan disfungsi ventrikel kiri

4
- Antikoagulan perlu diberikan pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi kronik maupun
dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attack, thrombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel
- Jangan menggunakan antagonis kalsium untuk mengobati angina atau hipertensi pada
gagal jantung

7. Prognosis :
Prognosis gagal jantung ditentukan oleh status jantung (cardiac status):

Cardiac status: Prognosis:


Uncompromised Baik
Slightely compromised Baik dengan pengobatan
Moderately compromised Gagal dengan pengobatan
Severe compromised Quarde derpite therapy

NAMA PENYAKIT : EDEMA PARU AKUT

1. Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan
tekanan intravaskuler

2. Diagnosis
Anamnesis
Riwayat sesak nafas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai
gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan
Pemeriksaan Fisik:
 Sianosis sentral
 Sesak nafas dengan bunyi nafas seperti mukus berbuih
 Ronki basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru,
kadang-kandang disertai ronki kering dan ekspirasi memanjang akibat bronkospasme,
dahulu dikenal dengan asma kardiale
 Takikardia dengan gallop S3
 Murmur bila ada kelainan katup

5
Elektrokardiografi
 Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibirilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung
 Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri aatau aritmia bisa ditemukan.

Laboratorium
 Darah rutin, urinalisis, ureum/kreatinin, elektrolit
 Analisis gas darah
 Enzim jantung (CPK, CKMB, troponin T) dapat meningkat jika penyebabnya infark
miokard

Foto Toraks
Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian dapat meluas ke arah apeks paru.
Kadang-kadang ditemukan efusi pleura

Ekokardiografi
Dapat menggambarkan penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi ventrikel kiri
(hipertensi), segmental wall motion abnormality (penyakit jantung koroner). Pada
umumnya ditemukan dilatasi ventrikel dan atrium kiri.

3. Diagnosis Banding
 Edema paru akut non kardiak
 Emboli paru
 Asma bronkial

4. Penatalaksanaan
 Posisi ½ duduk
 Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit, bila perlu dengan msker. Jika memburuk:
pasiem semakin sesak, takipnu, ronki bertambah, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator/bipep
 Infus emergensi
 Monitor tekanan darah, EKG, oksimetri bila ada
 Morfin sulfat 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg

6
 Diuretik: furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip kontinyu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam
 Bila perlu (tekanan darah turun/terdapat tanda-tanda hipoperfusi): drip dopamin 2-5
ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit atau kombinasi keduanya, utuk
menstabilkan hemodinamik.
 Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard akut
 Atasi aritmia atau gangguan konduksi

5. Komplikasi
Gagal napas

6. Prognosis
Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respon terapi

NAMA PENYAKIT: ENDOKARDITIS INFEKTIF

1. Definisi:
Endokarditis infektif adalah infeksi mikroorganisme pada endokard atau katup jantung.

2. Etiologi:
Penyakit ini biasanya terjadi:
- Pada penderita penyakit jantung organic
- Pada penderita yang rentan terhadap infeksi.

Faktor pencetus:
- Ekstraksi gigi
- Kateter saluran kemih
- Tindakan obstetrik ginekologi
- Radang saluran napas
- Dan lain-lain.

7
Mikroorganisme penyebab:
- Sub akut : yang terbanyak adalah Streptokokus viridans (50%),
Stafilokokus aureus dan Streptokokus atau Stafilokokus yang lain,
jamur, ragi, virus dan Candida.
- Akut : terbanyak adalah Stafilokokus aureus.

3. Patofisiologi :
Port d’entre kuman yang paling sering adalah saluran napas bagian atas. Selain itu juga
melalui saluran kemih dan genital, saluran cerna, pembuluh darah dan kulit. Endokard
yang rusak dan tidak rata mudah terinfeksi, mikroorganisme menimbulkaqn vegetasi yang
terdiri dari trombosit dan fibrin. Kuman yang sangat patogen dapat menyebabkan
robeknya katub dan terjadi kebocoran. Infeksi miokard atau aneurisma nekrotik.
Pembentukan trombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari endokard
merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infektif. Emboli ini dapat menyangkut
di organ vital lain.

4. Bentuk klinis :
- Sub akut :
 Gejala umum :
Demam, lesu, lemah, keringat banyak, anoreksia, BB menurun, hepatomegali.
 Gejala emboli/vaskuler :
Splinter haemorrhagic, Osler node, petechial (roth’s spot) dan gejala organ lain.
 Gejala jantung :
Penyakit jantung yang mendasari, terdapat perubahan murmur, dll.
- Akut: yang menonjol adalah gejala infeksi.

5. Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya bentuk klinik seperti di atas, laboratorium,
ECG, Foto dada dan Ekokardiografi.

8
Kriteria klinis Duke untuk endokarditis infektif (EI) :
El Definite
 Kriteria Patologis
Mikroorganisme: ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang
mengalami emboli atau dalam suatu abses intrakardiak
 Kriteria klinis
Menggunakan definisi spesifik, yaitu : dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
tiga krteria minor atau lima krteria minor
Kriteria Mayor:
1. Kultur darah positif untuk endokarditis infektif (EI)
A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari dua kultur darah terpisah seperti di
bawah ini:
1) Streptococci viridas, streptococcus bovis atau grup HACEK atau
2) Community acquired staphylococcus aureus atau enterococci tanpa ada fokus
primer atau
B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten,
didefinisikann sebagai :
1) ≥ 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12 jam atau
2) Semua dari 3 atau mayoritas dari ≥ 4 kultur darah terpisah (dengan sampel
awal dan akhir diambil terpisah ≥ 1 jam)
2. Bukti keterlibatan endokardial
A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai:
1) Massa intrakardiak oscilating pada katup dan struktur yang menyokong, di
aliran jet regurgitasi atau pada material yang diimplikasikan tanpa ada
alternatif anatomi yang dapat menerangkan atau
2) Abses, atau
3) Tonjolan baru pada katup prostetik atau
B. Regurgitasi katup yang baru terjadi (memburuk atau berubah dari murmur yang ada
sebelumnya)

9
Kriteria Minor:
1. Predisposisi: pengguna obat intravena
2. Demam: suhu ≥ 38 OC
3. Fenomena vaskuler: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma
mikotik, perdarahan intrakaardial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway.
4. Fenomena immunologis: glomerulonefritis, Osler’s nodes, Roth spot, dan faktor
reumatoid positif
5. Bukti mikrobiologis: kultur darah positif tetapi tidak memnuhi kriteria mayor
seperti tertulis di atas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme
konsisten dengan EI
6. Temuan kardiografi: konsisten dengan endokarditis infektif tetapi tidak memenuhi
kriteria seperti di atas.

EI possible
Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memnuhi kriteria
rejected

EI rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau resolusi manifestasi
endokarditis dengan terapi antibiotik selama< 4 hari atau
Tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau otopsi setelah terapi
antibiotik > 4 hari.

6. Penatalaksanaan :
Pemilihan obat sesuai dengan uji resistensi. Endokarditis yang disebabkan oleh S.viridans
sensitif terhadap penisilin G 12-28 juta unit/hari iv kontinu atau 6 dosis terbagi terbagi
selama 4 minggu, seftriakson 2 gram iv sekali sehari selama 4 minggu , kombinasi
penisilin G dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB iv tiap 8 jam selama 2 minggu,
Vancomisin HCL 30mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak melebihi 2 gram/24
jam keculai kadar serum dipantau selama 4 mingu. Jamur dapat diberikan Amfoterisin B
0,5-1,2 gram/KgBB/hari IV dan Flusitosin 150 mg/KgBB/hari oral. Selain mengobati
infeksi, juga perlu diperhatikan penyakit yang menyertai endokarditis seperti gagal
jantung. Juga perlu dijaga keseimbangan air dan elektrolit, diet yang cukup kalori dan
vitamin

10
7. Komplikasi :
- Dapat menyebabkan gagal jantung.
- Emboli dapat menyangkut di organ lain seperti otak, ginjal, limfa, saluran cerna,
anggota gerak, kulit dan paru.
- Aneurisma nekrotik
- Gangguan neurologi
- Perikarditis.

8. Prognosis :
Dengan adanya antibiotika, kematrian karena penyakit ini dapat digunakan dari 100%
menjadi 25%.

Pronosis lebih buruk bilamana ada:


1. Payah jantuing
2. Mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotika
3. Pengobatan yang terlambat
4. Infeksi yang terjadi setelah pemasangan katub prostetik
5. Orang tua dan keadaan umum yang buruk
6. Adanya komplikasi seperti emboli otak, gagal ginjal dan lain-lain.

NAMA PENYAKIT: ANGINA PEKTORIS

1. Definisi :
Merupakan simptom komplek yang secara klasik berupa nyeri dada seperti dicekik atau
diperas berlangsung 1-10 menit yang biasanya timbul pada saat latihan dan menghilang
pada saat istirahat. Pada keadaan tertentu dapat terjadi pada keadaan istirahat dan
dicetuskan oleh faktor emosi. Ada beberapa angina pectoris yang kita kenal seperti
angina pektoris stabil, tidak stabil, variant yang penting dibedakan oleh karena prosedur
diagnosis, pengobatan dan prognosis yang berbeda.

11
2. Etiologi :
– Aterosklerosis koroner
– Stenosis aorta atau regurgitasi
– Spasme buluh koroner dengan atau tanpa kelainan buluh koroner.
– Kardiomiopati hipertropik dengan atau tanpa obstruksi
– Kardiomiopati dilatasi
– Gangguan reserve koroner pada hipertensi sistemik
– Mitral stenosis dengan hipertensi pulmonal berat.

3. Patofisiologi :
Iskemia miokard terjadi oleh karena ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai
oksigen pada miokard.

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen:


- Frekwensi jantung & meningkat pada keadaan rasa sakit stres serta rangsang simpatis.
- Tegangan intra miokard yang dipengaruhi oleh tekanan dan volume ventrikel kiri, serta
tebalnya dinding ventrikel.
- Status kontraktilitas miokard.

Faktor yang mempengaruhi suplai oksigen:


- Kandungan oksigen darah misalnya menurun pada anemia dan hipoksemia.
- Aliran darah koroner, menurun pada obstruksi dan vasokonstriksi.

4. Bentuk Klinis:
- Rasa tidak enak seperti berat dan tekanan
- Lokasi retrosternal, leher, lengan atau rahang.
- Dapat disertai nafas pendek, keringat banyak, cemas dan fatigue
- Dicetuskan oleh latihan, stres, marah, dingin dan meningkatnya kebutuhan metabolik.
- Berlangsung 3-10 menit , hilang pada istirahat atau nitrogliserin terjadfi sublingual.
- Kadang-kadang terjadi episode iskemia tersembunyi tanpa adanya keluhan angina.

12
ANGINA STABIL
Angina terjadi lebih dari 60 hari tanpa adanya perubahan dalam kekerapan, derajat, lamanya,
faktor pencetus & cara hilangnya.

ANGINA TIDAK STABIL


Merupakan angina dengan onset baru (dalam 60 hari) atau angina stabil dengan perubahan
berupa meningkatnya kekerapan, derajat (crescendo). Termasuk angina pada istirahat, angina
pada latihan minimal, atau angina yang timbul timbul setelah infark miokard.

ANGINA VARIANT
Merupakan angina yang terjadi pada waktu istirahat, biasanya dengan toleransi latihan yang
baik. Biasanya terjadi diurnal, spasme buluh koroner, walaupun biasanya juga terjadi pada
buluh koroner yang atherosklerosis obstruktif.

5. Diagnosis :
Pemeriksaan fisik :
Dapat saja normal, atau tergantung adanya faktor resiko seperti hipertensi, infark jantung
atau kelainan katub.
Pemeriksaan penunjang :
- Foto thorak biasanya normal, kecuali pada beberapa keadaan yang mendasari.
- Elektrokardiogram, dapat normal pada 50% pasien. Perubahan EKG berupa depresi
segmen ST , atau elevasi pada kejadian infark atau angina variant.
- EKG latihan dengan tredmil, bila EKG istirahat tidak menunjang.
- Ekhokardiografi, melihat gangguan gerakan secara segmental, dapat dilakukan pada
saat latihan.
- Skintigrafi thalium pada saat latihan.
- Kateterisasi/angiografi.

6. Pengobatan:
Angina pektoris stabil.
- Nitroglycerin sublingual 0,4 mg dapat diulang tiga kali bila perlukan.
- Isosorbid dinitrate sublingual 5-20 mg beberapa kali sehari bila dibutuhkan. Yang oral
10-40 mg 2-3 kali sehari.

13
- Nitrogliserin topikal, salep atau semprot.
- Antagonis kalsium dapat berupa diltiazem atau nifedipin
- Antagonis beta
- Anti platelet

Angina tidak stabil :


- Dirawat sebagai infark di rumah sakit (ICCU)
- Pemakaian nitrat bila perlu intravena atau oral seperti di atas
- Heparin dapat diberikan intra vena
- Antagonis kalsium beta dan anti platelat seperti pada angina stabil

Angina variant :
- Nitrat dan antagonis kalsium dan sebaiknya tidak diberikan penyekat beta
- Pengobatan lain:
 Angioplasti dengan balon
 Operasi pintas koroner

7. Komplikasi:
- Aritmia
- Infark miokard
- Disfungsi ventrikel

8. Prognosis:
- Tergantung jumlah buluh koroner yang terlibat
- Adanya komplikasi
- Adanya faktor resiko
- Frewensi serangan iskemia

14
NAMA PENYAKIT : SINDROMA KORONER AKUT (SKA)

1. Definisi :
Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak
di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard.

Sindroma koroner akut mencakup:


 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
 Infark miokard akut tanpa selevasi segmen ST (NSTEMI)
 Angina Pektoris tak stabil (unstable angina pectoris, UAP)

2. Etiologi :
- Arterosklerosis buluh koroner
- Spasme buluh koroner
- Lain-lain

3. Patofisiologi :
Adanya gangguan metabolisme protein, fungsi platelet endotel makrofag dan proliferasi
otot polos buluh darah merupakan faktor penting dalam arterogenesis. Adanya plague dan
ateroma akan menimbulkan pembentukan trombus. Adanya penyempitan karena sklerosis
atau gabungan dengan trombus dapat menimbulkan pembentukan trombus. Adanya
penyempitan karena sklerosis atau gabungan dengan trombus dapat menimbulkan infark
miokard. Adanya kenaikkan tonus vasomotor pada salah satu segment buluh koroner
dapat menimbulkan sumbatan selain juga dapat menimbulkan trombus. Beberapa keadaan
seperti kelainan kongenital buluh koroner, arteritis, trauma, coronary dissection, keadaan
hiperkoagulasi, kasemuanya dapat menimbulkan kejadian infark.
4. Bentuk Klinis:
- Riwayat angina yang tidak stabil
- Rasa tidak enak retrosternal bisa ringan sampai berat, seperti tertekan, diperas,
biasanya menyebar ke leher, gigi, rahang, lengan dan tangan kiri. Dapat pula disertai
keadaan gelisah, lemah, sesak, diaphoresis, mual muntah, rasa mau buang air besar.
Keadaan ini berlangsung mulai setengah sampai beberapa jam.

15
- Kejadian ini dapat tanpa faktor pencetus atau dengan faktor pencetus seperti latihan,
pembedahan, tidur, marah, makan, udara dingin atau anemia.

5. Diagnosis :
Pemeriksaan fisik :
Dapat saja normal, kadang-kadang ditemui rangsangan simpatis berupa ansietas, gelisah,
takikardi, hipertensi. Dapat disertai tangan dingin, keringat banyak terutama pada infark
yang luas dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Dapat juga demam derajat rendah karena
nekrosis miokard. Suara jantung bisa melemah, S3, dapat terjadi murmur sistolik oleh
karena ruptur khorda atau septum, dan friksi perikard oleh karena inflamasi perikard.
Adanya gagal jantung kongestif tanpa sakit dada dapat terjadi pada infark dengan
penderita diabetes malitus.

Pemeriksaan radiologis :
Foto torak dapat membantu melihat adanya edema paru.

Elektrokardiogram :
Berupa elevasi segmen ST yang diikuti dengan inversi gelom,bang T dan terbentuknya
gelombang Q. Dapat juga disertai perubahan yang khas berupa depresi ST atai Inversi T
tanpa adanya Q.
Laboratorium :
Adanya kenaikan enzym jantung serum, yaitu CKMB, LDH, alpha HBDH dan SGOT.

6. Pengobatan :
Umum :
- Tirah baring total (ICCU), monitor ECG, tekanan darah, oksimetri
- Infus darurat
- Oksigen
- Bila sakit sekali morphin sulfat 2-5 mg IV dapat diulang 10 menit sampai rasa nyeri
hilang. Dapat pula diberikan Meperidin Hcl 25-50 mg IV setiap 15 menit bila perlu.
- Diet: puasa hingga bebas nyeri, kemudian diberikan diet jantung I-II dalam 24 jam
pertama
- Berikan pelunak feses, laktulosa (laxadin) 2 x 15 ml
- Dapat diberikan tranquilizer minor.

16
Khusus :
- Aspirin 160-345 mg sehari
- Bila alergi aspirin, intoleransi atau tidak resposif dapat diberikan tiklopidin atau
klopidogrel
- Nitrogliserin/isosorbid dinitrat sublingual, bila perlu intravena dalam 1-2 hari.
- Trombolisis: streptokinase 1,5 juta unit dalam 1 jam jika elevasi segmen ST >0.1 mV
pada dua atau lebih sandapan ekstremitas berdampingan, atau >0,2 mV pada dua atau
lebih sandapan prekordial berdampingan, waktu mulai nyari dada < 12 jam, usia < 75
tahun
- Penyekat beta dapat diberikan jika tidak ada kontraindikasi
- Penghambat ACE diberikan bila keadaan mengizinkan terutama pada infark miokard
akut yang luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi
- Antangonis kalsium: verapamil untuk infark miokard NSTEMI atau angina pektoris
tak stabil bila nyeri tidak teratasi
- Antikoagulan:

7. Komplikasi:
- Aritmia ringan sampai yang berat
- Ruptur septum atau aneurisma, ruptur korda
- Gagal jantung ringan sampai berat, syok kardiogenik
- Penyakit serebro vaskuler
- Perikarditis
- Dressler Syndrome
- Angina paska infark

17
NAMA PENYAKIT: ARITMIA

1. Definisi:
Aritmia adalah keadaan gangguan irama dengut jantung yang ditimbulkan akibat
gangguan sistem pacu (pacemaker) dan konduksi listrik jantung, baik akibat rangsangan
ektopik maupun reentry.
2. Etiologi:
Penyakit Jantung Koroner (Iskemia Miokard), Penyakit Jantung Katub, Penyakit Otot
Jantung, Gangguan keseimbangan elektrolit atau asam basa, degradasi sistem konduksi
(ASHD), gagal jantung, gangguan hormon, hipoksia, perdarahan akut masif, psikogen dan
atau faktor konstitusi.
3. Patofisiologi:
Sesuai etiologinya masing-masing, biasanya ditimbulkan oleh peningkatan kepekaan,
kelainan dan degenerasi sistem pacu/konduksi miokard.

4. Gambaran Klinis:
Dari asimptomatik, rasa berdebar-debar, denyut nadi tak teratur, chest discomfort, sinkop,
gagal jantung, syok kardiogenik, sampai henti jantung. Gambaran laboratorium sesui
etiologinya, tidak ada yang khas untuk aritmia. Demikian pula gambaran radiologiknya.

5. Pembagian Diagnosis secara klinis & EKG (Monitor):


a. Aritmia Supraventrikel: SVES< SVT< PAT< AF< Atrial Flutter, Irama Nodal,
Sindrom WPW
– Aritmia Ventrikel: VES,VT, VF, Ventricular Flutter, Torsades des Pointes
b. Gangguan Konduksi
– Tingkat Supraventrikel: sinus arrest, SA block, sinus bradikardia, Sick Sinus
Syndrome, Asistol (dengan atau tanpa escape beat/escape rhythm)
– Tingkat AV Node: AV Block (derajat I, derajat II = Moebitz I/tipe Wenckebach,
Moebitz II, 2:1 AV Block, 3:1 AV Block, derajat III = Total AV Block)
– Tingkat Ventrikel (Berkas His): RBBB, LBBB, LAHB, LPHB,
bifascular/trifascular block, idioventricular rhythm.

18
6. Penatalaksanaan :
Prinsip pengobatan aritmia ialah hanya simptomatis, sepanjang tidak ada keluhan atau
komplikasi yang membahayakan, aritmia tidak diterapi. Terapi terutama ditujukan kepada
penyebabnya, baru kemudian mengatasi dampak/komplikasi yang akan atau telah terjadi
(syok kardiogenik, gagal jantung dan sebagainya) untuk penyelamatan hidup seseorang.

Berikut adalah beberapa patokan terapi standard untuk beberapa jenis aritmia yang sering
dijumpa :

a. Ekstrasistol Supraventrikel (SVES, Premature Atrial Contraction)


SVES biasanya tidak diterapi kecuali simptomatis misalnya dengan sedatif
(diazepam) dan kalau perlu dengan sulfaschinidin atau disopiramid.

b. Fibrilasi Atrium (AF)


Klinis ditandai dengan temuan khas yaitu pulsus defisit. Indikasi perawatan ialah
AF dengan respons ventrikel yang cepat (lebih dari 100 x per menit) atau AF yang
timbul baru berkenaan dengan SKA. Terapi AF perlu dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu mengembalikan ke irama sinus (konversi) dan mencegah respons
ventrikel yang cepat (perlambatan respons ventrikel).
Konversi hanya diusahakan untuk mencegah terjadinya fenomena tromboemboli dan
biasanya dilakukan pada AF yang baru terjadi (6-8 minggu) misalnya pada SKA
atau sesudah operasi/koreksi katup mitral. Konversi dilakukan dengan sulfas
chinidin dari dosis awal 3-4 x 100 mg sampai maksimum 2000 mg/hari. Alternatif
lain dapat dipakai disopiramid 3-4 x 100 mg/hari. Konversi peroral ini dapat
dilakukan secara rawat jalan, dilihat hasilnya dalam dua minggu. Bila tidak berhasil
dilakukan defibrilasi (DC Shock) dengan dosis 75-100 Joule beberaqpa kali. Bila
AF sudah berlangsung lama tidak perlu dikonversi namun perlu dicegah terjadinya
fenomena tromboemboli dengan anti agregasi trombosit seperti asetosal dosis
rendah. Perlambatan respon ventrikel ditujukan untuk mencegah terjadinya gagal
jantung dilakukan dengan digitalis atau penyekat beta (propanolol, atenolol atau
metoprolol).

19
c. Takikardia Supraventrikel Paroksismal (PSVT)
Penderita biasanya dirawat. PSVT diobati untuk mencegah terjadinya gagal jantung
dan segera dilakukan penekanan bola mata (eye ball pressure) atau massage sinus
karotikus. Bila tidak berhasil dapat diberikan verapamil injeksi bolus i.v. 10-20 mg.
obat lain yang dapat dipakai: adenosin, digitalis, diltiazem atau penyekat beta secara
intravena. Bila obat-obatan tidak berhasil mengembalikan ke irama sinus dan
terdapat gangguan hemodinamik, dapat dilakukan defibrilasi 100-150 Joule.

d. Sindrom WPW
Ditandai dengan adanya interval PR yang memendek, gelombang delta dan
melebarnya QRS. Bila terjadi AF atau PSVT tidak boleh diberikan terapi seperti di
atas (verapamil, penyekat beta atau digitalis) melainkan diberikan disopiramid atau
defibrilasi. Ini disebabkan karena dengan obat golongan tersebut impuls fisiologis
melalui AV Node dapat ditekan tetapi sebagai kompensasinya, impuls dapat melalui
jalur asesoris yang patologis sehingga sampai di ventrikel menimbulkan takikardi
ventrikel yang ganas. Penderita dengan sindrom WPW yang tenang tidak dirawat.

e. Sick Sinus Syndrome


Sick Sinis Syndrome (SSS) dikarenakan degenerasi SA Node sehingga
Impuls tidak dapat diharapkan lagi timbul secara adekuat, maka untuk
membangkitkan kontraksi ventrikel biasanya dicoba dengan pemberian sulfas
atropine dari dosis ringan 0,25-2 mg sesering mungkin sampai respons denyut
jantung yang wajar (> 50x per menit), bila gagal perlu dipasang pacu jantung
permanent. Penderita yang sering mengalami sinkop perlu dirawat.

f. Ekstrasistol Ventrikel (VES, Premature Ventriculer Contraction)


Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang paling sering
ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal. VES yang ganas dapat
disebabkan oleh iskemia miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindroma QT
memanjang, prolaps katup mitral, CVA, keracunan digitalis, hipokalemia,
miokarditis, kardiomiopati. Kriteria VES ganas: bila VES > 10 x per menit ,
jenisnya multifokal, atau unifokal tetapi berupa kuplet, triplet, salvo atau sudah
menjadi VT paroksismal, unifokal tetapi tipe R on T, bigemini atau trigemini dan
VES yang berasal dari ventrikel kiri. Pengobatan diperlukan segera untuk mencegah

20
berubahnya VES menjadi VT atau VF yang fatal itu. Penderita dengan VES ganas
perlu dirawat. Obat yang paling sering digunakan adalah xilokain intravena dengan
dosis 1-2 mg/kgBB bolus, dilanjukan dengan infus 1-2 mg per menit. Dosis dapat
dinaikkan sampai 4 mg per menit. Obat lain yang dapat dipakai: amiodaron,
meksiletin, dilantin.

g. Takikardi Ventrikel (VT) dan Fibrilasi Ventrikel (VF)


VT dan VF harus cepat ditangani (gawat darurat) karena dapat menimbulkan henti
jantung. Segera diberikan bolus lidokain i.v. 50-100 mg dan drip dalam dextrose 5%
2 mg/menit sampai minimal 2 hari dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
meksiletin sampai maksimal 6 bulan. Bolus dan drip bisa juga dilakukan dengan
meksiletin atau disopiramid. Untuk pemeliharaan dapat juga dipakai obat golongan
penyekat beta seperti atenolol atau metoprolol (50-200 mg/hari) sampai beberapa
bulan. Bila dengan cara di atas belum juga berhasil atau dalam keadaan umum yang
kritis, segera harus dilakukan defibrilasi 200-300 Joule beberapa kali. Untuk VF
disetel defibrilasi unsynchronized. Bila terjadi komplikasi syok kardiogenik maka
diberikan drip Dopamin 2-10 mikrogram/Kg BB/menit.

h. Torsades des Pointes


Torsades des Pointes merupakan aritmia ventrikel yang ganas yang justru tidak
diobati dengan anti aritmia dan harus segera diberantas denga MgSO4 sedangkan
anti aritmia yang sedang diberikan harus dihentikan.

i. Blok AV Total
Pada Blok AV total impuls dari simpul SA dan AV tidak dapat diteruskan ke berkas
His sehingga ventrikel membuat otomatisasinya sendiri dengan akibat tidak
adekuatnya sistem kardiovaskuler. Bila keadaan hemodinamik masih dapat
ditoleransi, masih diusahakan perangsangan simpul SA dengan sulfas atropine 0,50-
2,00 mg i.v. sesering mungkin sampai dapat dipasang alat pacu jantung temporer
kemudian permanen. Penderitanya dirawat bila dalam konteks IMA atau sering
mengalami sinkop.

21
j. Henti Jantung
Henti jantung ditandai dengan hilangnya kesadaran, tekanan darah/nadi tak terukur,
tidak adanya pernapasan. Bila tidak secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru di
tempat kejadian maka pasien dapat meninggal dalam waktu yang singkat. Obat-
obatan yang diperlukan untuk resusitasi ini ialah antara lain adrenalin (kalau perlu
intrakardial), CaCL2 atau Ca glukonas, bikarbonas natrikus, sulfas atropine yang
semuanya diberikan secara bolus i.v. sampai keadaan hemodinamiknya teratasi.
Defibrilasi diberikan sesuai indikasi yang dinilai dari monitor EKGnya. Drip
dopamine diberikan langsung untuk mengatasi syock kardiogenik yang sedang
berlangsung. Seluruh penderita aritmia yang dirawat baru dipulangkan setelah
keadaan hemodinamiknya cukup stabil.

7. Komplikasi:
Telah disebutkan di atas yaitu sinkop, fenomena tromboemboli, gagal jantung, syok
kardiogenik, henti jantung dan mati mendadak.

8. Pemeriksaan Lanjutan:
Untuk menilai tingkat beratnya dan jenis aritmia perlu dilakukan pemeriksaan Holter
monitoring dan telaah elektrofisiologi berkas his melalui kateterisasi jantung.

9. Prognosis:
Dubia ad bonam bila ditangani secara tuntas.

LAMPIRAN:
Daftar Obat Untuk Aritmia
1) SVES: diazepam, sulfas kinidin, disopiramid.
2) AF, A.Flutter: digitalis, sulfas chinidin, atenolol, metoprolol, propanolol.
3) PSVT: verapamil, digitalis
4) Sindrom WPW: disopiramid
5) Sick Sinus: sulfas atropine, isoprenalin
6) VES: diazepam, meksiletin, prokainamid, difenilhidantoin, disopiramid, amiodaron,
atenolol, metoprolol, propanolol.
7) VT/VF: xilokain, meksiletin, disopiramid, amiodaron
8) Torsades d.Pointes: Mg SO4

22
9) Blok AV total: sulfas atropine, isoprenalin.
10) Henti Jantung: CaCl2/Ca glukonas, bikarbonas natrikus, sulfas atropine, adrenalin,
dopamine.

NAMA PENYAKIT: PENYAKIT JANTUNG KATUP

1. Definisi:
Penyakit jantung katup ialah kelompok penyakit pada katup jantung yang berupa
penyempitan (stenosis) atau kebocoran (regurgitasi = insufisiensi) baik secara anatomik
maupun fungsional.

2.Etiologi:
Biasanya disebabkan oleh sekuele demam reuma, degenerasi (proses penuaan). Penyebab
lain sangat jarang yaitu trauma ate congenital.

3. Patofisiologi:
Demam yang didasarkan pada reaksi autoimun menimbulkan peradangan pada seluruh
jaringan jantung (pankarditis) yang sembuh sendiri tetapi dapat meninggalkan sekuele
pada daun katub jantung berupa stenosis atau regurgitasi. Akibat stenosis/regurgitasi
katup jantung, maka curah jantung akan menurun, jantung berusaha mengkompensasi
dengan akibat hipertrofi dan dilatasi ruang-ruang jantung, gagal jantung kiri, kanan dan
keduanya (kongestif) dan bahkan hipertensi pulmoner. Selain itu gagal jantung akan
mempermudah terjadinya aritmia seperti VES, SVES, VT, VF. Aritmia yang sering ialah
AF meskipun belum terjadi gagal jantung.

4. Gambaran klinis secara umum :


Biasanya keluhan penyakit jantung katup timbul sehubungan dengan gagal jantung (lihat
bab gagal jantung) atau aritmia (lihat bab aritmia).

23
5. Gambaran klinis khusus/ EKG/ Rontgen/ Ekokardiografi menurut jenisnya :
Tergantung dari jenis katup yang terkena berikut adalah beberapa jenis kelainan katup
yang tersering:

1) Stenosis Mitral (MS):


Aktivitas RV meningkat, MI mengeras, P2 bisa mengeras, opening snap, murmur
middiastolik di apeks. EKG: bisa AF atau SR, aksis kanan, P mitral, RVH. Foto
toraks: kardiomegali, pinggang jantung (-), Aortic knob mengecil, bendungan paru
(+). Eko: diastolic dooming, EF slope mendatar, RV dilatasi, LA dilatasi, mungkin
ada thrombus, aortic root mengecil, ukuran area katup mitral menyempit (<3 cm2).
Meningkatnya pressure gradient melalui katup mitral (Doppler).

2) Regurgitasi/Insufisiensi Mitral (MI):


Aktivitas LV meningkat, jantung membesar ke kiri, MI melemah, murmur pansistolik
di apeks. EKG: aksis kiri, LVH. Foto toraks: kardiomegali, bendungan paru (+).
Eko: LV dilatasi, tanda volume overload LV. Systolic jet pada katup mitral dan LA
(Doppler).

3) Regurgitasi/Insufisiensi Aorta (I):


Hipertensi sistolik, homo palsans, Corrigan pulse, pulsus celer et magnus, Quineke
sign, pistol shot sign, aktivitas LV meningkat, jantung membesar ke kiri, A2 melemeh,
early diastolic murmur di parasternal. EKG: SR, aksis kiri, LVH. Rontgen:
kardiomegali. Eko: LV dilatasi, tanda volume overload, diastolic flutter/vibration
katup mitral, diastolic jet melalui katup aorta (Doppler).

4) Stenosis Aorta (AS):


Riwayat nyeri dada, hipotensi, pulsus tardus et parvus, aktivitas LV. meningkat,
jantung membesar ke kiri, A1 mengeras, systolic ejection click, harsh ejection
systolic,murmur di parasternal atas. EKG: SR, aksis kiri, LVH dengan LV strain.
Rontgen: kardiomegali, aorta melebar. Eko: LV hipertrofi/dilatasi, tanda pressure
overload, aortic root melebar, pembukaan aorta kecil, pressure gradient systolic di
aorta (Doppler).

24
5) Regurgitasi/Insufisiensi Trikuspid (TI):
JVP meningkat, aktivitas RV meningkat, murmur parasistolik di prekordial yang lebih
mengeras sewaktu inspirasi maksimal, hepatomegali dengan hepatojugular reflux.
EKG: SR, aksis kanan, RVH. Rontgen: kardiomegali. Eko: RV dilatasi, systolic jet
pada katub tricuspid (Doppler).

6) Regurgitasi/Insufisiensi Pulmonal (PI):


Biasanya merupakan kelainan fungsional pada MS/MI. Terdengar early diastolic
murmur di parasternal atas. EKG: aksis ke kanan, RVH. Eko: RV dilatasi, diastolic
jet pada katup pulmonal (Doppler).

6. Laboratorium:
Gambaran laboratorium biasanya untuk mencari faktor etiologik demam reuma yaitu
ASTO dan CRP yang positif.

7. Penatalaksanaan:
Penyakit jantung katup diobati bila penderita dalam fungsional NYHA kelas II ke atas.
Pengobatan biasanya untuk mencegah/mengobati gagal jantung seperti diuretik, digitalis,
vasodilator, venodilator, dsb. (lihat pengobatan gagal jantung). Komplikasi aritmia
diobati dengan anti aritmia (lihat pengobatan aritmia). Pengobatan medikamentosa ini
diberikan seumur hidup sebelum pengobatan definitif dapat diberikan. Untuk lebih
memastikan jenis tindakan yang akan diambil sebagai pengobatan definitif diperlukan
pemeriksaan final secara invasif yaitu kateterisasi jantung. Pengobatan yang definitif
ialah secara invasif dengan baloon valvuloplasty atau operatif dengan
valvuloplasty/valvulotomi/penggantian katub dengan prostetik. Akan tetapi terapi definitif
ini baru dilakukan bila perjalanan penyakit masih belum terlambat. Bila fungsi ventrikel
kiri sudah sedemikian buruk dan hipertensi pulmonal sudah sedemikian tingginya maka
terapi invasif atau bedah tidak perlu dilakukan lagi.

8. Komplikasi:
Telah disebutkan yaitu gagal jantung, aritmia, hipertensi pulmonal, fenomena
tromboemboli.

25
9. Tindak lanjut:
Penderita paska bedah jantung masih harus dikontrol rutin sebulan sampai tiga bulan
sekali untuk menurunkan dosis obat-obat yang pernah diberikan semasa pra bedah.
Khusus untuk penderita dengan katup prostetik harus diberikan obat anti koagulan oral
seumur hidup yaitu kumarin (sintrom) yang idealnya harus disesuaikan dosisnya setiap
dua minggu setelah dilakukan pemeriksaan trombotest.

10. Prognosis:
Dubia ad bonam menurut tepatnya pengobatan dan komplikasi yang terjadi.

26
BAB II
PENYAKIT PARU

NAMA PENYAKIT : PNEUMONIA

1. Definisi :
Infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, jamur, virus, parasit dan basil lainnya. Termasuk kelompok penyakit ini adalah :
abses paru, dan Piotoraks (Empisema).

2. Patofisiologi :
Infeksi biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas yang berlanjut ke saluran nafas
bawah. Pneumonia dapat terjadi di masyarakat (Community Acquired Pneumonia), terjadi
di Rumah Sakit (Hospital Acquired Pneumonia atau Pneumonia Nosokomia), Pneumonia
karena aspirasi, Pneumonia pada penderita mempunyai penyakit penyerta seperti PPOK,
DM dan Pneumonia terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh menurun.

3. Etiologi :
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri Aerob gram (+) Streptococcus pneumonia
(Pneumococcus), Staphylococcus, bakteri aerob gram (-) seperti Pseudomonas, Klebsiella,
Proteus, Haemophilus, Branhamella, Bakteri Anaerob, Jamur, Parasit, Basil lain terutama
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia dan Legionella.

4. Gejala Klinis :
Pneumonia ada 2 jenis yaitu Pneumonia Tipikal dan Pneumonia Atipikal.
Pneumonia Tipikal mempunyai gejala klinis yang klasik berupa panas tinggi, serangan
cepat dan akut, batuk dahak purulens, nyeri dada dan sesak nafas, foto toraks lesi
konsolidasi.
Pneumonia Atipikal biasanya panas tidak terlalu tinggi, serangan lebih lambat, batuk
kering atau dahak mukoid, sesak nafas tidak nyata, foto toraks lesi difus.
Pemeriksaan fisik bila ditemukan adanya infiltrat maka stremfremitus meningkat, perkusi
redup, vesikuler meningkat, ronkhii basah halus nyaring dan krepitasi.

27
Etiologi Pneumonia tipikal biasanya bakteri aerob gram (+), gram (-) dan bakteri anaerob.
Etiologi pneumonia atipikal biasanya, Mycoplasma, Chlamydia dan Legionella.

5. Laboratorium :
Ditemukan lekositosis, hitung jenis dominan PMN, bergeser ke kiri.
Khusus : Ditemukan mikroorganisme penyebab infeksi melalui biakan darah, sputum,
aspirasi transtrkheal, transbronkhial dan transtorakal.

6. Pemeriksaan Penunjang :
Foto toraks akan terdapat lesi konsolidasi atau difus pada lapangan paru, lesi
perselubungan untuk pleuropneumonia dan piotoraks, lesi air fluid level untuk abses paru.

7. Diagnosis :
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, pemeriksaan fisik, laboratorium dan foto
toraks. Diagnosis pasti bila ditemukan adanya mikroorganisme penyebab infeksi.

8. Komplikasi :
Berupa pneumonia toksik dengan gangguan kesadaran dan sesak nafas hebat kemudian
diikuti oleh adanya syok. Pneumonia tipikal sering menimbulkan komplikasi berupa
pleuropneumonia, piotoraks dan abses paru.

9. Penatalaksanaan / Terapi :
Pemberian cairan intra vena kira-kira 2-2, 5 L/hari dalam bentuk kalori dan elektrolit.
Oksigen 2 – 3 L / menit.
Diet dalam bentuk cairan / bubur.
Antibiotika berdasarkan etiologi penyebab infeksi, gabungan golongan Penicilin /
Cepalosporin dan Aminoglycosides bila hasil biakan dan tes resistensi belum didapat. Bila
klinik atipikal, sebaiknya diberikan golongan makrolides atau Quinolon.
Pneumonia kronik perlu diberikan infus Dexamethasone 4 x 8 mg.
Evaluasi / Follow up : meliputi klinik, diet dan hasil pengobatan. Prognosis umumnya
baik kecuali pneumonia toksisk dan keadaan umum yang jelek (syok)

28
NAMA PENYAKIT : PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KHRONIK
(PPOK)

1. Definisi :
PPOK adalah penyakit paru obstruksi khronik yang ditandai oleh uji arus ekspirasi
abnormal (perlambatan) dan tidak mengalami perubahan dalam observasi selama beberapa
bulan dan terdiri dari emfisema paru, bronchitis khronik dan penyakit saluran nafas
perifer.

2. Patofisiologi :
Terjadinya tahanan pada saluran nafas karena sempit akibat secret (pada bronchitis
khronik) dan penurunan elastisitas paru (pada emfisema dengan akibat resistensi saluran
nafas meningkat. Peningkatan resistensi ini akan menyebabkan gangguan ventilasi dan
difusi sehingga PAO2 menurun, PACO2 meningkat, kapiler paru spasme dan resistensi
pembuluh darah meningkat, terjadi hipertensi pulmonal dan berlanjut dengan kor
pulmonale.

3. Etiologi :
Iritasi khronik pada saluran nafas seperti rokok (bronchitis khronik, polusi debu dan
defisiensi alpha 1 antitripsin (emfisema).

4. Gejala klinik :
Batuk khronik dengan dahak (pada bronchitis kronik keadaan ini terjasi setiap hari selama
 3 bulan dalam 1 tahun pada sedikitnya 2 tahun berturut-turut, sesak nafas terutama
melakukan aktifitas, perjalanan penyakit khronik dan progresif selama hayat, sehingga
makin lama keluhan bertambah berat.

5. Pemeriksaan fisik :
Ditemukan tanda hiperflasi paru berupa toraks emfisematikus, peningkatan kerja otot
pernafasan, perkusi hipersonor, batas paru hati menurun, batas jantung mengecil, suara
nafas vesikuler melemah, dapat disertai bising mengi dan ronkhi kering.

29
6. Laboratorium :
Rutin adanya peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (Polisitemia sekunder).
Khusus : Defisiensi kadar alpha 1 antitripsin (congenital).

7. Pemeriksaan Penunjang :
Foto toraks PA dan lateral terdapat hiperlusensi regional dan gambaran bronkhovaskuler
kasar, gambaran jantung mengecil. Diafragma datar dan tenting (overinflasi).
Uji faal paru sangat berguna dan terdapat penurunan volume ekspirasi paksa satu detik
(VEP1) dan penurunan rasio VEP1 / KVP. Kelainan ini biasanya menetap (irreversible),
EKG sering ditemukan adanya pulmonal dan RV strain. Laboratorium darah untuk
menentukan adanya polisitemia sekunder.

8. Diagnosis :
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, padukan dengan pemeriksaan fisik, foto
toraks dan uji faal paru.

9. Komplikasi :
Pneumotoraks, Infeksi sekunder (eksaserbasi akut), Kor pulmonale, kelelahan otot
pernafasan.

10. Penatalaksanaan / Terapi :


Motivasi dan pendidikan meliputi : Penyakit tidak dapat sembuh, iritasi khronik seperti
rorok, debu dihindarkan.
Mobilisasi dahak dengan mukolitik dan ekspektoransia.
Mengatasi spasme bronkhus dengan obat-obat bronkodilator seperti aminofilin, agonis
beta 2 kalau perlu diberikan steroid.
Steroid digunakan prednison 30 mg/hari selama 2 – 4 minggu, bila tidak ada respons
dihentikan.
Mengobati infeksi sekunder dengan antibiotika seperti amoksisilin, kotrimoksazol,
erittromisin. Bila ada komplikasi seperti pneumotoraks, pasang WSD, Kor pulmonale
berikan diuretika furosemid tablet atau suntikan.
Kemoterapi sangat membantu terutama “abdominal breathing” dan terapi inhalasi untuk
mobilisasi dan mengencerkan dahak.

30
Terapi oksigen jangka panjang bila PO2 lebih kecil dari 60 mmHg setelah pengobatan
adekwat. Memberikan oksigen dosis rendah 1 – 2 L/menit sangat dianjurkan.

11. Follow up :
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan faal paru dengan pengobatan melalui uji
faal paru, in take cairan dan kalori, cegah infeksi nosokomial.
Setelah keluar rumah sakit berikan oksigen dosis rendah secara kontinu terutama setelah
aktifitas dan fisioterapi.

Indikasi rawat inap :


Bila mengalami eksaserbasi akut gagal nafas akut, kor pulmonale, komplikasi dan adanya
penyakit penyerta.

NAMA PENYAKIT : TUMOR GANAS PARU (CA. PARU)

1. Definisi :
Tumor ganas paru adalah : tumor ganas dari saluran nafas, parenkim paru.

2. Patofisiologi dan Etiologi :


Belum jelas, ada hubungan erat dengan kebiasaan merokok, zat-zat yang dikeluarkan dari
pabrik, industri yang menggunakan isotop radioaktif.

3. Gejala Klinis :
Batuk khronik tanpa dahak, dapat disertai dahak, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise. Pemeriksaan fisik : Ditemukan bendungan vena, stemfremitus
melemah, perkusi redup dan bising pokok vesikuler melemah bahkan menghilang, khas
adanya wheezing lokal pada daerah tumor, gejala-gejala yang khas tergantung dari lokasi
tumor dan ada atau tidaknya invasi ke organ sekitar dan penyebaran limfogen dan
hematogen (metastasis).

4. Laboratorium :
Rutin tidak ada yang khas, biasanya anemia hipochrom microcytair.
Khusus : Alfa foto protein dapat meningkat.

31
5. Pemeriksaan Penunjang :
Foto toraks PA dan lateral, Tomography, CT Scan terlihat adanya lesi padat tanpa
kalsifikasi. Patologi anatomi (PA) ditemukan adanya sel ganas dari bahan sputum,
Bronchial washing, biopsy. Bronkhoskopi terlihat massa tumor berdungkul intra
bronchial, rapuh mudah bersarah. Untuk diagnosis dilakukan : Bronchial washing,
Brushing dan biopsi (biopsy transtorakal, aspirasi jarum hilus transbronkhial dan
transkarinal).
Sputum sitologi pagi hari, 3 hari berturut-turut.

6. Diagnosis :
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi ditemukan sel-sel ganas.
Klasifikasi : Small Cell Lung Ca (SCLC), dan NSCLC (non small cell lung Ca) yang
meliputi Skuamosa cell Ca, Adeno Ca, Large cell Ca dan Bronkhioalveolar Ca.

7. Komplikasi :
Metastasis ke berbagai organ tubuh lainnya terutama hati, otak dan tulang.

8. Penatalaksanaan / Terapi :
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).
Kenyataannya pada saat pemilhan terapi, sering bukan hanya dihadapkan pada jenis
histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi nonmedis seperti fasiliti
yg dimiliki Rumah Sakit dan kemampuan ekonomis penderita juga merupakan faktor yang
amat menentukan.

Pembedahan

Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK (Kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil) stage I dan II. Pada penderita yang inoperabel maka
radioterapi dan atau kemoterapi dapat diberikan. Pembedahan juga merupakan bagian dari
combined modality therapy, misalnya didahului kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK
stage IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah,
seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superior berat.

Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan
KGB intrapulmoner, dengan lubektomi ataupun pneumonektomi. Segmentektomi atau
reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lubektomi.Tepi sayatan
diperiksa dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas
tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara
patologi anatomi.

32
Hal lain yang penting diingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui
toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi
penderita yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak
memungkinkan dapat dinilai dari hasil analisa gas darah (AGD).

Syarat untuk reseksi paru


- Risiko ringan untuk pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik dan VEP1>60%

- Risiko sedang untuk pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral ≥ 35% dan
VEP1>60%.

Radioterapi

Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif atau paliatif. Pada terapi kuratif,
radioterapi menjadi bagian dari kemoradioterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stage IIIA.
Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi pilihan terapi kuratif.

Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan
keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superior, nyeri tulang akibat invasi tumor
kedinding dada dan metastasis tumor di tulang atau otak.

Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor, yakni


- Stage penyakit

- Status tampilan

- Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui:

- Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan

- Penilaian batas sayatan oleh dokter spesialis patologi anatomi

Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000-6000 cGy, dengan cara pemberian
200 cGy/kali, 5 hari perminggu.

Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah

- Hb > 10 g%

- Trombosit > 100.000/dl

- Leukosit > 3000/dl

Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni

- Tampilan < 70

- Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan

- Fungsi paru buruk


33
Efektifiti radioterapi meningkat jika dikombinasi dengan kemoterapi. Pemberian
radioterapi sampai dosis penuh (full dose 5000-6000 cGy) sebelum pemberian kemoterapi
atau setelah siklus kemoterapi selesai (4-6 siklus) diberikan disebut radioterapi sekuensial.
Pada pemberian radioterapi dilakukan selang seling diantara siklus kemoterapi disebut
radioterapi alternating.

Hasil yang baik tetapi terkadang disertai efek samping yang tinggi adalah pemberian
radioterapi konkuren yaitu pemberian radioterapi bersamaan dengan pemberian
kemoterapi yang mengandung sifat sebagai radiosensitizer, seperti sisplatin, karboplatin,
golongan paklitaksel, dosetaksel dan gemsitabin.

Untuk mengurangi efek samping pada radioterapi konkuren dianjurkan menggunakan obat
antikanker golongan paklitaksel, dosetaksel, gemsitabin atau dengan dosis kecil yang
cukup untuk menimbulkan efek radiosensitizernya saja. Pengalaman di RS Persahabatan
obat antikanker dosis penuh dapat diberikan jika menggunakan rejimen karboplatin
etoposid atau sisplatin etoposid.

Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus ditentukan
jenis histologis tumor dan tampilan harus lebih dari 60 menurut skala karnosfky atau 2
menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat
antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan satu
jenis obat antikanker dapat dilakukan.

Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah:

- Platinum based therapy (sisplatin atau karboplatin)

- Respon obyektif satu obat antikanker ≥ 15%

- Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO

- Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 3 siklus pada penilaian terjadi
progresif tumor.

Rejimen untuk KPKBSK adalah:

- CAP II (sisplatin, adriamisin, siklofosfamid)

- PE (sisplatin atau karboplatin+etoposid)

- Paklitaksel+sisplatin atau karboplatin

- Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin

- Doksetaksel + sisplatin atau karboplatin

- Gefitinib oral (digunakan sebagai terapi adjuvan)

34
Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi

- Tampilan ≥ 70-80. Bila tampilan < 70 atau usia lanjut, dapat diberikan obat antikanker
dengan regimen tertentu dan atau jadwal tertentu.

- Hb ≥ 10g% , pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb < 10 g%
tidak perlu tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan penyebab anemia

- Granulosit ≥ 1500 /mm3

- Trombosit ≥ 100.000/mm3

- Fungsi hati baik

- Fungsi ginjal baik (creatinin clearance > 70ml/menit)

Dosis obat anti kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan farmakologik masing-
masing. Ada yang menggunakan rumus antara lain, mg/kgbb, mg/luas permukaan tubuh
(BSA), atau obat yang menggunakan rumusan AUC (area under the curve) yang
mengunakan CCT untuk rumusnya.

Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan menggunakan parameter tinggi badan dan
berat badan, lalu dihitung dengan normogram.

LPB= BB x TB / √3600.

Untuk obat antikanker yang menggunakan AUC (misal AUC 5), maka dosis dihitung
dengan menggunakan rumus atau nomogram.

Dosis (mg)= (target AUC) x (GFR + 25)

Nilai GFR dihitung dari kadar kreatinin dan ureum darah penderita.

Evaluasi hasil pengobatan

Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 siklus/sekuen, bila penderita menunjukan


respon yang memadai. Evaluasi respon terapi dilakukan dengan melihat perubahan ukuran
tumor pada foto toraks PA setelah pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau
memungkinkan menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian.

Evaluasi dilakukan terhadap

- Respons subyektif yaitu penurunan keluhan klinik

- Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan dan bertambahnya berat badan

- Respons obyektif

- Efek samping obat

35
Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan

- Respons komplit (complete response, CR): bila pada evaluasi tumor hilang 100% dan
keadaan ini menetap lebih dari 4 minggu.

- Respons sebagian (partial response, PR): bila pengurangan ukuran tumor > 50% tetapi
< 100%.

- Menetap (stable disease, SD): bila ukuran tumor tidak berubah atau mengecil >25%
tetapi <50%.

- Tumor progresif (progresive disease, PD): bila terjadi pertambahan ukuran tumor
>25% atau muncul tumor/lesi baru di paru atau ditempat lain.

Targeted therapi

Beberapa jenis kemoterapi dengan target kerja yang selektif atau tergeted therapi mulai
digunakan untuk KPKBSK. Kelebihan dari obat-obat itu adalah pemberian yang lebih
sederhana yaitu per oral. Jenis yang mulai digunakan adalah obat yang bekerja sebagai
inhibitor pada reseptor epidermal growth factor (EGFR), antara lain gefitinib, erlotinib,
cetuximab. Obat golongan ini di indikasikan pemberiannya sebagai adjuvant yaitu
diberikan setelah pemberian terapi definitif selesai diberikan.

Imunoterapi

Hasil penelitian menunjukan ada jejak imunologi pada penderita kanker paru. Berdasarkan
itu telah beredar luas di pasaran beberapa tehnik dan obat komplenmen (misalnya keladi
tikus, buah merah, ramuan cina, dll) yang diyakini dapat mengobati kanker dengan cara
memperbaiki atau meningkatkan sistem imun tubuh, tetapi belum ada hasil penelitian
yang secara bermakna dapat menyokong manfaatnya. Penggunaan IL-2 sebagai
imunoterapi mulai dikembangkan dalam uji klinik yang terbatas.

Hormonoterapi

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian di
Indonesia yang menyokong manfaatnya.

Terapi gen

Tehnik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian.


Protokol pemberian panduan obat Paklitaksel dan karboplatin tiap 3 minggu.

Dosis:
- Paklitaksel: 175 mg/m2

- Karboplatin: AUC-5

36
Hari ke-1
Pukul Rincian

00.00 - Nacl 0,9 1 kolf + Neurobion5000 1 ampul, infus 20 tts/menit

- Deksametason 2 ampul iv

07.30 - Antiemetik 1 ampul iv

- Dipenhidramin 1 ampul im

08.00 - Paklitaksel .... mg dilarutkan dalam 500 ml Nacl 0,9% botol kaca

- Infus dihabiskan dalam 3 jam

11.00 - Karboplatin ... mg dilarutkan dalam 500 ml Nacl 0,9 %

- Infus dihabiskan dalam 3 jam

14.00 - Antiemetik 1 ampul

- Nacl 0,9% 5%, infus 1 kolf selama 6 jam

9. Follow up :
Selama di RS : mengikuti respons terapi melalui evaluasi klinik dan radiology
Setelah keluar RS : meneruskan jadwal pemberian obat sitostatika dan radioterapi.

10. Indikasi Rawat Inap :


Untuk menegakkan diagnosis pasti dari penderita yang dicurigai tumor ganas paru melalui
berbagai pemeriksaan penunjang.

ASMA BRONKIAL & PENYAKIT PARU OBSTRUKSIF KHRONIK (PPOK)


Terdiri dari EMFISEMA PARU dan BRONKHITIS KHRONIK
Dexamethasone 4 mg (suntikan)
Prednison 5 mg (oral)
Aminofilin (suntikan dan oral)
Beta 2 Aginis (Salbutamol/Terbutalin/sejenisnya)
Bromheksin (oral)
Amoksisilin (oral)
Co-Trimoksazol (oral)

37
NAMA PENYAKIT : ASMA BRONKIALE

1. Definisi :
Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi
menyebabkan saluran nafas cenderung untuk menyempit yang dapat sembuh spontan atau
dengan pengobatan dan adanya inferaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan.

2. Patofisiologi :
Terjadinya penyempitan saluran nafas disebabkan hiperreaktifitas bronkhus karena
rangsangan berbagai faktor pencetus dan aggravator. Akibat hiperreaktifitas ini terjadi
peradangan dari saluran nafas menebal, mukosa edema, lumennya terisi sel-sel yang lepas
akibat peranan sel eosinofil dan hipersekresi mukus sehingga lumen saluran nafas
menyempit kadang-kadang dapat menyempit total yang berakhir dengan kematian.

3. Etiologi :
Tidak diketahui secara langsung etiologi penyebab asma, akan tetapi peranan genetik dan
faktor pencetus menyebabkan terjadinya serangan asma bronkhial.

4. Gejala klinis :
Sesak nafas disertai nafas berbunyi secara akut maupun secara berkala merupakan keluhan
utama terjadinya serangan asma. Serangan asma lebih sering terjadi pada malam hari.
Faktor pencetus dan aggravator sangat berperan terjadinya serangan asma. Faktor
pencetus seperti infeksi, allergen inhalasi/makanan, olahraga, polusi udara, iritan seperti
asap rokok, bau-bauan, obat-obatan dan emosi. Faktor aggravator seperti rhinitis, sinusitis
dan refleks asam lambung.
Pemeriksaan fisik : Nafas cepat dan dangkal, gelisah, fase ekspirasi panjang, bising mengi
difus pada kedua lapangan paru.

5. Laboratorium :
Rutin : Berupa hitung jenis eosinofil meningkat.
Khusus : Tes kulit dan kadar IgE meningkat.

38
6. Pemeriksaan Penunjang :
Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversible setelah pengobatan atau menggunakan
peak flow meter. Uji provokasi bronkhial untuk mengukur reaktivitas bronkhus dengan
inhalasi methakolin, inhalasi histamin dengan dosis yang makin tinggi atau melalui
latihan jasmani.

7. Diagnosis :
Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah pengobatan dengan
bronkhodilator.

8. Komplikasi :
Serangan asma berat dapat meniumbulkan kematian. Asma kronik persisten dapat
menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Khronik (PPOK) dan penyakit jantung paru (Kor
Pulmonale).

9. Penatalaksanaan / Terapi :
- Oksigen 4 – 5 liter/menit
- Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti salbutamol 2,5 mg tiap 20 menit sebanyak 3
kali.
- Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4x200 mg IV ata Dexametasone 4x10
mg atau Prednisolone 40 mg/hari dalam dosis terbagi.
- Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
- Suntikan aminofilin (240 mg/10 ml) dengan dosis bila telah mendapat aminofilin
dalam 12 jam sebelum serangan, berikan dosis awal 2-3 mg/kg BB intra vena
perlahan-lahan, teruskan dengan dosis pemeliharaan 0,5 – 1 mg/kgBB/jam.
- Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis intra vena 2 – 3 liter/24 jam.
- Antibiotika bila ada infeksi sekunder.

10. Follow up :
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan secara klinik dan uji faal paru atau peak
flow meter. Cairan factor pencetus terjadinya serangan akut asma. Setelah keluar rumah
sakit perlu dihindari factor pencetus dan obat pemeliharaan hanya diberikan pada
penderita dengan asma khronik persistens.

39
11. Indikasi Rawat Inap :
Bila penderita mengalami serangan asma akut berat (status asmatikus)

NAMA PENYAKIT : TB PARU & TB EKSTRA PARU

1. Definisi :
Tb Paru dan Tb ekstra Paru adalah infeksi kronik pada paru dan jaringan tubuh lainnya
yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, ditandai dengan pembentukan
granuloma dan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat

2. Patofisiologi :
Infeksi ditularkan melalui saluran nafas berupa “Droplet Infection” dan masuk kedalam
parenkim paru membentuk sarang primer dan kemudian menyebar secara per
kontinuitatum, hematogen dan limphogen ke jaringan tubuh lainnya.

3. Etiologi :
Mycobacterium Tuberculosis

4. Gejala Klinis :
Batuk kronik (lebih dari 3 minggu) dapat disertai darah, malaise (badan lesu, lemah, tidak
semangat), nafsu makan menurun, berat badan menurun, demam tidak terlalu tinggi,
keringat pada sore menjelang malam, rasa flu yang tidak sembuh.

5. Pemeriksaan Fisik :
Terutama ditemukan kelainan pada lapangan atas kedua paru atau pada segmen
apikobasalis, bila terdapat infiltrat yang luas maka ditemukan stemfremitus meningkat,
perkusi redup, bunyi pokok vesikuler meningkat dan adanya bunyi tambahan ronkhi halus
nyaring dan krepitasi. Bila ada kavitas dapat terdengar bunyi amphorik.
6. Laboratorium :
- Rutin berupa LED meningkat, hitung jenis dominan limphosit.
- Sputum BTA 3 kali, dapat dahak setiap pagi atau dahak SPS (sewaktu, pagi &
sewaktu). Dikatakan BTA positif bila  2 sediaan memberikan hasil positif.
- Khusus : Tes mantoux (+), sputum BTA (+), biakan dari M. Tbc (+), pemeriksaan
PCR, ELISA, dll.
40
7. Pemeriksaan Penunjang :
- Foto toraks PA relevans untuk Tb paru seperti adanya infiltrat, eksudat, caseosa,
cavitas dinding tipis (non sklerotik), milier.
- Untuk kasus lama perlu perbandingan serial foto.

8. Diagnosis :
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, foto toraks PA relevans untuk Tb paru dan
sputum BTA. Diagnosis berdasarkan Kategori WHO (Depkes).

Terminologi diagnosis dibagi atas :


a. TB Paru BTA positif
- Sputum BTA positif  2 kali
- Sputum BTA positif  1 kali, kultur positif.
- Sputum BTA positif  1 kali, klinis / rsdiologis sesuai dengan TB Paru.
-
b. TB Paru BTA negatif
- Klinis & radiologis sesuai dengan TB Paru
- Sputum BTA negatif
- Kultur negatif atau positif

c. Bekas TB Paru
- Sputum & klinik negatif
- Gejala klinis tidak menunjang
- Radiologis menunjukkan gambaran tak aktif.

Berdasarkan tipe penderita, kasus tuberkulosis dapat dibagi atas :


a. Kasus baru
Penderita TB yang belum pernah mendapat OAT, atau pernah mendapat OAT < 1
bulan.
b. Kasus kambuh
Penderita TB BTA (+) yang sudah sembuh, kini datang lagi dengan pemeriksaan BTA
memberikan hasil (+).

41
c. Kasus gagal
Penderita TB BTA (+) yang mendapat OAT, tapi BTA tetap (+) pada 1 bulan sebelum
akhir pengobatan (AP) dan pada AP.
Penderita TB BTA (-) yang mendapat OAT, tapi BTA justru menjadi positif pada
akhir pengobatan fase awal.
d. Kaus lalai / putus berobat
Penderita TB yang menghentikan pengobatan ( 2 bulan) datang kembali dengan BTA
(+).

9. Komplikasi :
Dapat terjadi batuk darah massif (lebih dari 500 ml/hari), pleuritis eksudativa Tb (pleura
effusion), pneumotoraks Tb, empiema Tb, Tb ekstra paru lain seperti meningitis Tb, dll.

10. Penatalaksanaan / Terapi :


- Motivasi dan pendidikan meliputi Tb paru, merupakan penyakit menular, dapat
disembuhkan, makan obat secara teratur paling sedikit 6 bulan, adanya efek samping
obat, bahaya terjadinya batuk darah.
- Istirahat kerja tergantung derajat lesi Tb dari ringan – lanjut, perlu istirahat 1 – 3
bulan.
- Diet tinggi kalori tinggi protein, kecuali ada penyakit penyerta seperti diabetes dan
lainnya. Konsistensi dari bubur sampai dengan nasi biasa.
- Tidak merokok.
- Obat anti tuberkulosa tergantung kategori.
-
TB PARU dan TB EKSTRA PARU
Streptomisin 1 gr (suntikan)
Rifampisin 450 mg dan 600 mg (oral)
INH 400 mg (oral)
Pyrazinamid 500 mg (oral)
Ethambutol 500 mg dan 250 mg (oral)
Vitamin B Complex (oral)
Obat batuk hitam (oral)

42
a. Prinsip pemberian OAT
- Pengobatan minimal dengan 2 OAT
- Paduan yang diberikan sebaiknya jangka pendek, yaitu paduan yang mengandung
Rifampisin diberikan selama 6 sampai 9 bulan.
- Pengobatan dibagi atas 2 fase

1. Fase awal
- Diberikan setiap hari selama 1 sampai 3 bulan
- Efek yang ingin dicapai adalah efek bakterisidal.
2. Fase lanjutan
- Diberikan tiap hari / berkala selama 4 – 11 bulan
- Efek yang ingin dicapai adalah efek sterilisasi.
- Pemberian dosis sebaiknya berdasarkan BB.
b. Kategori OAT (WHO / Depkes)

Kategori Kriteria Penderita Pilihan regimen pengobatan


Fase awal Fase lanjutan
I - Kasus baru BTA (+) 2 RHZE (RHZS) 6 EH
- Kasus baru BTA (-) Ro” (+) 2 RHZE (RHZS) 4 RH
sakit berat
- Kasus TBEP berat 2 RHZE (RHZS)* 4 R3H3*
II Kasus BTA positif 2 RHZES / 1 RHZE 5 RHE
- Kambuh 2 RHZES / 1 RHZE* 5 R3H3E3*
- Gagal
- Putus berobat
III - Kasus baru BTA (-) 2 RHZ 6 EH
- TBEP ringan 2 RHZ 4 RH
2 RHZ* 4 R3H3*
IV - Kasus kronik Obat-obat sekunder

Note : * Diterapkan di Indonesia


 2 RHZE : diberikan RHZE setiap hari selama 2 bulan
 4 R3H3 : diberikan R dan H 3x/minggu selama 4 bulan

43
11. Evaluasi Pengobatan :
1. Evaluasi klinik & efek samping obat
2. Evaluasi foto toraks pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan
3. Evaluasi BTA

Kategori I II III

Waktu - Akhir bulan kedua - Akhir bulan ke 3 Akhir bulan ke


evaluasi - Akhir bulan ketiga - Akhir bulan ke 4 2
(sisipan) - Sebulan sebelum
- Sebulan sebelum AP AP
- Akhir pengobatan - Akhir pengobatan

12. Indikasi Rawat Inap :


- Bila penderita mengalami batuk darah massif (lebih dari 500 ml/24 jam), sesak nafas,
dehidrasi low intake dan adanya komplikasi.
- Bila ditemukan adanya TB EKSTRA Paru seperti :
a. Pleuritis Eksudativa TB
Gejala klinik :
Seperti TB Paru
Bila cairan banyak adanya sesak nafas, tidur miring kearah sisi yang sakit.
Pemeriksaan fisik :
Letak paksa pada satu sisi
Takhipneu
Stemfremitus melemah/menghilang, perkusi redup-pekak, vesikuler
melemah/menghilang, bising tambahan (-), terdapat tanda pendorongan
mediastinum/jantung kearah sisi yang sehat.
Sarana Bantu :
Foto toraks PA adanya perselubungan putih dan tanda pendorongan dari jantung.
Pungsi cairan, warna kuning jernih, tes rivalta (+) dan analisa cairan untuk BJ,
Protein, glukosa, LDH, hitung jenis, BTA, biakan M.Tbc.
Biopsi pleura untuk patologi, a danya tanda-tanda lesi spesifik.
Diagnosis pasti :
44
Ditemukan biakan M. Tbc (+) dari cairan pleura.
Biopsi pleura : tanda spesifik (+)

Penatalaksanaan :
OAT Kategori I
Prednison 1 mg/kg BB tiap hari selama 2 minggu, lalu dosis diturunkan secara
tapering off.
Bila sesak nafas lakukan pungsi cairan.

b. Hematoraks
Seperti pleuritis eksudativa Tb
Penatalaksanaan seperti pleuritis eksudativa Tb, hanya tidak diberikan obat
prednison.

c. Empiema Tb
Seperti Pleuritis eksudativa Tb
Biasanya ada nyeri tekan obat prednison
Penatalaksanaan :
Seperti Tb Paru
Pasang Water Seal Drainage (WSD) sela iga 6 atau 7
Bilas dengan cairan povidone lodine dan NaCl 0,9% dengan perbandingan 1 : 20
tiap hari sampai bersih.
Antibiotika bila ada infeksi sekunder.

d. Pneumotoraks Tb
Gejala klinik :
Seperti Tb paru
Biasanya didahului oleh batuk-batuk hebat, kemudian terjadi sesak nafas dan nyeri
dada akut.
Pemeriksaan fisik :
Penderita gelisah dan takhipneu
Stemfremitus melemah/menghilang, perkusi hipersonor vesikuler
melemah/menghilang, bising tambahan (-), terdapat tanda pendorongan dari
mediastinum/jantung.

45
Sarana Bantu :
Foto toraks PA adanya perselubungan hitam (‘Hair Line’) dan tanda pendorongan
jantung.
Penatalaksanaan :
Seperti Tb paru
Pasang Water Sela Drainage (WSD) lapangan atas sampai pneumotoraks hilang.
Bantu dengan tiup balon melalui mulut supaya paru lebih cepat mengembang.
Dapat dipasang Low Continous Suction.

e. Hidropneumotoraks Tb
Seperti pneumotoraks Tb, tetapi pemasangan WSD dilakukan pada lapangan
bawah, sela iga 6 atau 7.

NAMA PENYAKIT : TB EKSTRA PARU


Tb Ekstra Paru yang lain seperti Limpadenitis Tb, Tb kulit, Tb tulang dan lainnya.
Penatalaksanaannya sama seperti Tb Paru.

46
BAB III
PENYAKIT HATI DAN SALURAN CERNA

NAMA PENYAKIT : REFLUKS ESOFAGITIS

1. Definisi :
Terjadinya peradangan mukosa esofagus akibat kontak dengan asam lambung, pepsin
dan empedu.

2. Etiologi :
Akibat lemahnya sfinkter esofagus bagian bawah, ada 2 penyebab :
a. Kelainan anatomis : sliding hernia
b. Kelainan funsional : kelainan hormonal, kelainan neurologis, obat- obatan, diet yang
salah, rokok, alkohol, dll.

3. Patofisologi :
Kontak terus-menerus dengan cairan lambung dan duodenum menyebabkan proses
peradangan dari mukosa esofagus bagian distal. Kelainan dapat berupa radang ringan,
erosi, ulkus, sampai terjadi perdarahan atau stiktur.

4. Gejala klinis :
Nyeri retro sternal, heartburn, regurgitasi, nyeri sewaktu menelan, hematemetis melena.

5. Diagnosis :
a. Gejala klinis
b. Pemeriksaan endoskopi
c. Pemeriksaan histopatologi
d. Foto barium esofagus
e. Pemeriksaan pH

6. Penatalaksanaan :
a. Kurangi berat badan
b. Diit rendah lemak, pantang rokok, kopi, alkohol, coklat dan lain-lain.
c. Obat-obatan : Antasida, H2RA, obat golongan prokinetik, sitoprotektif, PPI.

47
7. Komplikasi :
Striktura esofagus.

8. Tindak lanjut :
- Dilatasi
- Operasi

9. Prognosis :
Baik.

NAMA PENYAKIT : AKALASIA

1. Definisi :
Suatu keadaan tidak didapatkan peristaltik dari korpus esofagus dan kegagalan sfinkter
esofagus bagian bawah untuk relaksasi secara sempurna. Akibatnya terjadi statis
makanan dan terjadi pelebaran esofagus.

2. Etiologi :
a. Primer : tidak diketahui
b. Skunder :
- Infeksi (penyakit chagas)
- Tumor intra dan ekstra luminer
- Obat-obatan anti kolinergik
- Paska vagotomi
- Neurophatik chronic intestinal pseudo-obstruction sindrom.

3. Patofisiologi :
Tingginya tekanan sfinkter esofagus dan aperistaltik corpus esofagus menyebabkan
makanan tidak dapat masuk ke lambung dan terjadi dilatasi dari esofagus.

4. Gejala klinis :
Disfagia yang makin lama makin berat, regurgitasi terutama pada malam hari dan posisi
berbaring, nyeri dada, nyeri epigastrium (heart burn) dan berat badan turun

48
5. Diagnosis :
- Esofagogram
- Endoskopi
- Manometri esofagus

6. Penatalaksanaan :
- Medikamentosa :
- nitrogliserin 0,3 – 0,6 mg SL
- ISDN 2,5 – 5 mg SL atau 10 – 20 mg per oral
- Nifedipin 10 – 20 mg per oral atau SL
- Dilatasi mekanik
- Operasi

7. Prognosis :
Umumnya baik

NAMA PENYAKIT : GASTRITIS EROSIF

1. Definisi :
Peradangan dan erosi akut dari mukosa lambung.

2. Etiologi :
a. Obat golongan salisilat dan OAINS lain.
b. Alkohol
c. Zat kimia korosif
d. Infeksi bakteri stafilokokus : food poisoning
e. Infeksi virus, dll

3. Patofisiologi :
Terjadi kerusakan dari mukosa lambung akibat kontak dengan zat-zat tersebut.

4. Gejala klinis :
Nyeri akut epigastrium, mual, muntah, hematemesis melena.

49
5. Diagnosis :
Endoskopi dan foto barium lambung.

6. Penatalaksanaan :
Diet : cairan dan lunak.
IVFD kalau perlu
Obat-obatan : antasida, trankuilizer, spasmolitik, H2RA, obat golongan
sitoprotektif, antibiotika bila perlu, PPI.

7. Komplikasi :
Anemia, ulkus, perforasi jarang.

8. Tindakan :
Transfusi darah.

NAMA PENYAKIT : TUKAK PEPTIK

1. Definisi :
Terjadi kerusakan lokal dari dinding lambung, dapat terbatas pada mukosa atau lebih
dalam sampai lapisan otot akibat pengaruh asam lambung, pepsin atau cairan empedu
dengan batas yang jelas dan bersifat jinak .

2. Etiologi :
Faktor genetik, makanan, obat-obatan, faktor lingkungan, stress, kuman H. Pylori, dll.

3. Patogenesis :
Ketidak-seimbangan antara faktor defensif (resistensi mukosa lambung) dan faktor
agresif (asam, pepsin dan cairan empedu).

4. Gejala klinis :
Rasa nyeri epigastrium, rasa terbakar, nyeri spontan tengah malam, mual, muntah, berat
badan menurun, hematemesis melena.

50
5. Diagnosis :
- Foto barium lambung dan duodenum
- Endoskopi.

6. Penatalaksanaan :
a. Non medikamentosa :
- Istirahat
- Hindari stress
- Hindari merokok, minuman keras, kopi, makanan merangsang seperti cabe,
merica, cuka, dll.
- Diit : makan lunak dengan porsi kecil-kecil dan sering makanan yang
mengandung susu, biskuit, dll.
b. Medikamentosa .
- Psikofarmaka
- Antasida, antikolinergik, H2RA, sitoprotektor, inhibitor pompa proton, eradikasi
kuman H. Pylori, dll.
7. Komplikasi :
Perdarahan, perforasi .
8. Tindak lanjut :
Operasi.
9. Prognosis :
Sering relaps.

NAMA PENYAKIT : KOLESISTITIS

1. Definisi :
Kolesistitis adalah peradangan dari saluran empedu dan kantong empedu, ada 2 tipe,
yaitu : akut dan kronik

2. Etiologi :
Sebagian besar disebabkan adanya obstruksi pada duktus sistikus oleh batu,
sedangkan kurang dari 10% tanpa disertai batu.

51
3. Patofisiologi :
Timbulnya proses peradangan dan infeksi dari saluran empedu.

4. Gejala klinis :
Gejala klasik adalah nyeri hilang timbul abdomen kanan atas terutama setelah
makan makanan yang mengandung lemak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri
perabaan didaerah kantong empedu, dapat disertai dengan peritonitis lokal. Ikterus
terjadi bila ada hambatan dari aliran empedu.

5. Diagnosis :
- Pemeriksaan USG
- Plain foto abdomen dan kolesistografi oral
- CT-Scan
- ERCP

6. Penatalaksanaan :
- Istirahat.
- Pemberian makanan parenteral, diit ringan tanpa lemak.
- Obat : - Penghilang rasa nyeri, antispasmodik, petidin
- Antibiotika
- Bedah : kolesistektomi.

7. Komplikasi :
- Perforasi saluran empedu
- Ikterus obstruksif
- Sepsis

8. Tindak lanjut :
- Operasi
- Atasi sepsis

9. Prognosis :
baik

52
NAMA PENYAKIT : PANKREATITIS

1. Definisi :
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pankreas dimana enzym pankreas melalui
autodigesti pada kelenjar itu sendiri. Pankreatitis bilier akut adalah pankreatitis akut yang
disebabkan oleh adanya sumbatan batu atau studge di saluran empedu.
Mekanisme terjadinya obstruksi sfingter oddi akibat batu atau studge masih belum jelas,
tetapi melibatkan peningkatan tekanan saluran bilier.

2. Etiologi :
Pankreatitis dapat terjadi ketika faktor yang mempengaruhi hemeostosis seluler menjadi
tidak seimbang. Hal yang memulai proses tersebut dapat berupa apa saja yang merusak sel
asinar dan mempengaruhi sekresi granul zimogen seperti pada penggunaan alcohol, batu
empedu dan beberapa macam obat.

3. Diagnosis :
Gejala dan Tanda Klinis :
- Nyeri perut atas biasanya di epigastrium, dapat juga di sebelah kanan atau kiri,
tergantung sisi pankreas yang terkena. Nyeri bersifat mendadak yang intersitasnya
meningkat dan akhirnya menetap. Nyeri dapat menyebar ke punggung, dada, pinggang
belakang dan abdomen bawah.
- Deman
- Takikardi
- Mual dan muntah
- Anoreksia
- Kebanyakan pasien disertai ikterus
- Distensi abdomen
- Dising usus menghilang
- Asites (terjadi karena ruptore pankreas)
- Dispneu (terjadi karena iritasi diafragma, efusi pleura,
- Hemodinamik tidak stabil (syok)
- Tanda cullen dapat positif (warna kebiruan disekitar umbilitus akibat
hemeperitoneum)

53
- Tanda grey – turnue dapat positif ( warna merah ke coklatan di daerahk flank karena
infiltrasi darah retroperitoneal diantara jaringan).
- Dapat dijumpai nodul aritematosa pada kulit karena nekrosis lemak subrutan.
Biasanya ukurannya tidak lebih dari 1 cm dan terletak di kulit bagian ekstensor.
- Dapat di jumpai poliartritis.

4. Pemeriksaan laboratorium
- Amilase dan lipase serum sangat meningkat lebih dari 3 x nilai normal
- Periksaan kadar SGOT, SGPT, bilirubin dan alkoli pesfatase untuk mendukung batu
saluran empedu sebagai etrologi pankreatitis
- Kalsium serum (biasanya terjadi hiperkalsemi akibat saponifikasi lemak di
retroperitoneum)
- Periksa kadar elektrolit, ureum, cnatimin, glukosa
- Adanya hemokonsentrasi merupakan pemeriksaan yang sensitif, yang menunjukkan
penyakit yang berat
- CRP dapat diperiksa 24 – 48 jam setelah omset gejala.. CRP 150 mg/ dl menunjukkan
pankreatitis berat.
- Analisis gas darah diperlukan bila pasien mengalami dispneu

5. Pemeriksaan Pencitraan
 USG abdomen : edema pankreas, asites, batu / studge saluran empedu, dilatasi saluran
empedu (rutin dikerjakan)
 CT Scan abdomen : untuk membedakan antara pankreatitis interstisia atau pankreatitis
rekrotikans ( dilakukan pada kasus yang tidak jelas)
 Rontgen toraks : efusi pleura
 MRI – MRCP : untuk pasien yang terdapat kontraindikasi pada pemeriksaan CT Scan
dengan kontras
 Endosonegrafi : untuk mendapatkan gambaran pankreas dan saluran bilier yang lebih
jelas ( bila tersedia)
 ERCP : untuk evaluasi saluran bilier dan pankreas. ERCP digunakan sebagai alat
diagnosis sekaligus terapi.

54
6. Diagnosis Banding
- Kolelistrasis
- Ulkus yang mengalami perfurasi
- Apendisitis akut
- Is mesenterika
- Obstruksi usus
- Trauma
- Pankreatitis akibat obat, konsumsi alkohol akut
- Kelainan paru, jantung, ginjal.
- Hipetriglisendemia
- Hiperkalsemia
- Porfiria akut

7. Tatalaksana
a. Pankreatitis ringan
- Rehidrasi agresif
- Penghilang rasa nyeri : golongan OAINS
- Asupan makanan oral jika nyeri membaik
- Pantau hasil laboratorium dan pemerikssan pencitraan

b. Pankreatitis berat
- Dianjurkan perawatan intensif (ICU)
- Terapi cairan agresif
- Terapi nutrisi ( Nutrisi anreral lebih baik)
- Penghilang rasa nyeri ( morfin bila perlu)
- Lakukan ERCP segera
- Indentifikasi proses nekrosis
- Antibiotik bila terdapat infeksi
Catatan :
1. Larutan IV NACL 0,9% atau RL diberikan dengan memperhatikan hemodinamik
pasien. Setelah balans cairan seimbang, cairan kristaloid diberikan 35 ml / kg / hari)
2. Bila kadar glukosa darah > 250 g / dl berikan insulin
3. Transfusi darah diperlukan bila kadar HT < 25 %
4. Saturasi O2 arteri > 95 %

55
5. Antibiotik diberikan bila ada tanda – tanda infeksi
6. Indikasi ERCP segera ( dalam waktu 24 jam setelah pasien masuk)

8. Kompikasi
Pbeurudokesta pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar,
pembentukan fistula, ulkus duadinum, interus obstruksi, osites, sepsis.

NAMA PENYAKIT : HEPATITIS VIRUS AKUT

1. Definisi :
Hepatitis virus akut adalah peradangan hati yang disebabkan oleh virus
hepatotropik.

2. Etiologi : Virus hepatitis A, B, Non A Non B, D, E,G

3. Patofisiologi :
Virus tersebut bersifat hepatotropik menimbulkan radang dan nekrosis dari hati, berat
ringannya tergantung jumlah dari virus.

4. Gejala klinis :
a. Fase prodromal : panas, lesu, malaise, nyeri epigastrium, muntah. Gejala ini timbul
beberapa hari.
b. Fase ikterus : timbul ikterus bervariasi dari ringan sampai berat, terlihat pada mata,
mukosa dan kulit. Pada beberapa pasien terjadi gambaran kolestasis disertai
gatal pada kulit dan ikterus berlangsung lebih lama dapat mencapai sampai 4
bulan. Setelah timbul ikterus gejala prodromal menghilang, demam tidak ada lagi dan
nafsu makan timbul kembali.
c. Fase penyembuhan : ikterus berangsur-angsur menghilang. Lama ikterus lebih kurang
1-6 minggu, pasien sembuh baik secara klinis maupun laboratorium. Kurang dari
0,5 % penderita dapat menjadi fulminant dan fatal.

56
5. Diagnosis :
Ditegakkan dengan pemeriksaan serologis dari masing-masing jenis virus, dan
ditemukan kelainan LFT, dimana kelainan SGOT dan SGPT lebih menonjol.

6. Penatalaksanaan :
a. Tirah baring sampai kadar bilirubin darah kurang dari 2 mg %.
b. Diet : selama ada mual, diet lunak, miskin lemak, miskin protein, tinggi hidrat arang.
Kalori 1500-2000 sehari. Setelah mual hilang tinggi kalori dan tinggi protein.
c. Makanan parenteral diberikan bila anoreksia berat dan muntah-muntah.
d. Penderita pulang bila kadar bilirubin kurang dari 2 mg%, tetap istirahat sampai LFT
normal kembali.
e. Pantang olahraga 3-6 bulan, pantang alkohol ½ -1 tahun.

7. Komplikasi :
Hepatitis fulminant, Hepatitis kronis

8. Prognosis :
Virus hepatitis A mempunyai prognosis baik, sembuh secara sempurna. 10% virus
hepattits B, Non A Non B dapat menjadi kronik, dan menjadi sirosis hepatitis atau
hepatoma.

NAMA PENYAKIT : SIROSIS HEPATIS

1. Definisi :
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan proses
peradangan, nekrosis sel hati, usaha regerasi dan penambahan jaringan ikat difus, dengan
terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati.

2. Etiologi :
a. Hepatitis virus B dan Non A Non B.
b. Alkohol.
c. Gangguan metabolik: DM, hemokromatosis, penyakit Wilson, galaktosemia, defisiensi
alpha 1 anti tripsin

57
d. Penyumbatan saluran empedu intra atau ekstra hepatik yang lama.
e. Bendungan vena hepatica.
f. Gangguan imunitas seperti pada hepatitis lupoid.
g. Toksin obat-obatan, umpama obat sitostatika.
h. Malnutrisi.
i. Infeksi parasit kronis, seperti skistosomiasis.
j. dll.

3. Patofisiologi :
Nekrosis sel hati meliputi daerah yang luas akan memicu pembentukan jaringan ikat
kolagen dan terbentuk parut. Terbentuknya jaringan parut akan membentuk septaparut.
Usaha-usaha regenerasi yang timbul mengganggu pula susunan jaringan. Akhirnya
akan terbentuk pseudo lobulus .

4. Gejala klinis :
Pada tingkat awal, gejala umumnya samar-samar dan tidak khas, umumnya
penderita merasakan tidak fit seperti biasanya, penderita merasa lebih cepat letih.
Pada tingkat lanjut timbul ikterus, asites, edema, spider naepi, palmar eritema,
ginekomastia, atropi testis , varises esofagus, koma hepatikum, dll.

5. Diagnosis :
a. Gejala klinis
b. Kelainan LFT
c. Ultrasonografi
d. Foto esafagus dan endoskopi untuk melihat varises esofagus.

6. Penatalaksanaan :
a. Istirahat yang cukup.
b. Diit yang adekuat dan seimbang
c. Medikamentosa diberikan sesuai dengan gejala yang timbul asites
diberikan diuretik, spironolakton 100 mg / hr PO (selama maximal 60 mg / hari),
Furosemid 40 – 80 mg / hari PO/IV (selama maximal 240 mg / hr), monitor BR urin
output, NA.K. Creatinin

58
7. Komplikasi :
a. Pecahnya varises esofagus
b. Koma hepatikum

8. Tindak lanjut :
a. Skleroterapi
b. Bedah pintas

9. Prognosis :
Tergantung derajat berat ringannya sirosis, serta ganggguan fungsi hati yang
ditimbulkannya.

NAMA PENYAKIT : HEPATITIS FULMINANT

1. Definisi :
Kegagalan faal hati akut yang diakibatkan oleh nekrosis massif sel hati yang
timbulnya mendadak.

2. Etiologi :
- Hepatitis viral
- Obat-obatan : halotan, MAO inhibitor, INH, parasetamol.
- Fatty liver

3. Gejala klinik :
- Badan panas, lemah, mual yang disusul dengan timbulnya ikterik
- Ikterik prognosif dalam waktu relatif singkat, yaitu 4-16 hari
- Kesadaran menurun
- Gelisah, flapping tremor, fetor hepatikum
- Kekakuan ekstremitas, yaitu timbul hiperpronasi dan ekstensi lengan, ekstensi tungkai.
- Sering timbul edema cerebral yang menyebabkan timbulnya gangguan sirkulasi dan
respirasi.

59
4. Laboratorium :
- Serologis hepatitis viral, cytomegalovirus, Ebstein barr, adenovirus.
- Kadar bilirubin total 18,9 – 27,4 mg% dengan rata-rata 23,7 mg%.
- Alkaliphospatase > 2 kali normal
- SGOT rerata 305,3 U/L
- SGPT rerata 351,4 U/L

5. Penatalaksanaan :
- Follow Up vital sign
- Follow Up intake dan output cairan
- Evaluasi EKG, EEG dan foto thorak
- Pasang infus dekstrose 10% , martos 10

6. Penatalaksanaan penderita koma :


- Pasang NGT : laktulosa
- Neomisin/kanamisin 4 x 1 gr
- Lavement tiap hari
- Infus yang mengandung asam amino rantai cabang.
- Bila timbul edema serebral, infus manitol hipertonik 50 – 100 ml dengan jumlah 400 ml
tiap hari, maksimum 200 ml/jam.
- Bila perdarahan : vitamin K 10 mg (iv), fresh frozen plasma, transfusi darah segar.
- Hipoglikemia : glukosa 40 % 100 cc bila BSS < 90 mg/dl
- Bila gagal ginjal : hemodialisis
- Bila terjadi aritmia jantung : anti aritmia
- Imbalance elektrolit (hipokalemia) : infus KCL

7. Komplikasi :
Edema serebral, perdarahan, septikemia, hipoglikemia, gangguan pernafasan dan
gangguan faal ginjal.

60
NAMA PENYAKIT : ENSEFALOPATI HEPATIKUM (EH)

1. Definisi :
Sindrom neuropsikiatrik kompleks yang reversibel dan merupakan komplikasi penyakit
hati akut atau kronik, berhubungan dengan gangguan fungsi hepato seluler atau akibat
printisan portosistemik atau kombinasi keduanya.

2. Etiologi
- Peningkatan suplai protein intestinal : diet tinggi protein., perdarahan saluran cerna
- Peningkatan katabolisme protein : difisiensi albumin, deman, operasi, infeksi
- Mekanisme detoksifikasi : intoksikasi alkohol, toksin, endotoksin, infeksi obsdipasi
- Peningkatan tumor nocrosis factor
- Peningkatan ikatan ke resepror GABA : bnrzodiazepin, barbiturate, fenotiazim,
sedative, tranquilizer
- Gangguan metabolik : asidosis, ezotemia, hipoglikemia
- Gangguan elektolit : hipokalemia, hipehatremia, hipomagnesemia
- inhibisi sintesa area : diuretik, kadar zinc yang rendah
- Hepatitis virus akut, perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim
fulminan
3.Diagnosis:
Gambaran klinis sesuai derajat ensefalopati hepatikum (EH) :
 Derajat 0 - tanpa gejala, tes psikometrik negatif / subklinis / minimal : klinis dan
status mental normal, terdapat gangguan memori / neuromuskutor minimial, test
psikometrik positif
 Derajat I : euforia, cemas, bingung ringan, depresi, gangguan bicara, gangguan
siklus tidur
 Derajat II : letargi, bingung meningkat, mengantuk, perubahan kepribadian nyata,
perubahan perilaku, disorientasi minimal waktu dan ruangan
 Derajat III : bicara kacau, sangat bingung, rasa kantuk berat, disorientasi waktu dan
tempat berat, tidak dapat melaksanakan aktivitas mental
 Derajat IV : koma

61
4. Penatalaksanaan :
a. Atasi factor pencetus
b. Mengurangi produksi amonia pada saluran cerna :
- Laktulosa enema : 200 ml laktulosa dengan 700 ml air
- Laktulosa 0 ml : 3 x 10-30 ml / hari
c. Mengatur diet protein 1,5 g. kgBB / hari, jumlah kebutuhan kalori 1800 – 2500 k kal / hari
d. Memperbaiki ketidakseimbangan asam amino BCAA ( Branhed Chain Amino Acids) 0,5 g
/ kgBB / hari ( 3 x 10 gr / hari).
e. Memberikan antibiotika :
- Neomisin : 2 – 4 gr / hari
- Metronidazole : 3 x 400 mg / hari
- Venkomisin : 4 x 500 g / hari
f. Meningkatan detoksifikasi amonia ekstra saluran cerna :
L-ormika, L-aspartat : 20 gr ( 4 ampul) / hari untuk keadaan prakoma, 40 gr ( 8 ampul)/ hari
untuk keadaan koma, LOLA oral diberikan 3 x 3-6 gr / hari
g. Memberikan antoganis resepror benzodiazepin : flusiazenil 0,2 – 0,3 mg IV boleh diikuti
dengan 5 mg IV per jam ( infus).

5. Komplikasi :
- Edemi serabri
- Hermiasi otak
- Koma progresif yang irreversible
- Kerusakan neurologik permanen ( serebral kronik)
- Resiko sepsis, peritonitis baktenalis spontan, sindrom hepatorenal, syok.

6. Prognosis :
Prognosis tergantung pada keparahan ensefalopati hepatikum (EH) / gagal hati dan lamanya
waktu dapat dilihat berdasarkan MELD / Child turcotte pugh pasien dengan gagal hati berat
30 % meninggal karena ensefalopati hepatikum(EH)
Ensefalopati hepatikum akut dengan koma atau gagal hati fulminan 80% akan berakhir
dengan kematian.

62
NAMA PENYAKIT : PERDARAHAN VARICES ESOFAGUS

1. Definisi :
Pecahnya varices esofagus pada hipertensi portal.

2. Penatalaksanaan :
Dibagi dalam 3 bagian :
1. Suportif
- IVFD NaCL, ringer laktat atau plasma ekspander.
- Transfusi darah sampai Hb 10 gr% dengan whole blood, bila hemodinamik
terganggu dengan PRC dan dapat disertai FFP.
- Pasang NGT
- Bilas lambung dengan air es atau NaCL
- Klisma tinggi
Medikamentosa :
- Injeksi Vitamin K dan asam traneksamid
- Antasida oral, sukralfat dan injeksi penyekat receptor H2, PPI.
- Sterilisasi usus : Neomisin dan laktulosa
2. Definitif
- Sengstaken Blakemore Tube (SB Tube)
- Vasopressin : Bolus 20 unit per 20 cc Dekstrose 5% dalam waktu 20 menit atau
20 unit dalam 200 cc Dekstrose 5% per drip dalam 2 jam dan dapat diulang setelah
4 - 6 jam bila masih berdarah.
- Skleroterapi darurat.
3. Operatif
Pemantauan hasil pengobatan. NGT, Hemotakrit, HB dipantau tiap 6 jam

63
NAMA PENYAKIT : ABSES HATI

1. Definisi :
Terbentuknya rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati
akibat infeksi bakteri atau amuba histolitika.

2. Etiologi :
- Entamoeba histolitika bentuk minuta, kista, vegetatif (aktif)
- Bakteri piogenik

3. Patogenesis :
- Melalui sistem vena porta
- Melalui sistem limfatik
- Secara langsung menembus dinding dinding usus fleksura hepática kolon
asenden.

4. Gejala klinis :
Bervariasi, dapat timbul mendadak atau perlahan-lahan.
Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut amubiasis intestinal atau berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh.
- Gejala subjektif : Nyeri perut kanan atas, demam, anorexia, mual, muntah,
menggigil, nyeri bila ditekan atau pada waktu bergerak,
biasanya penderita miring ke sisi kanan untuk mengurangi
sakit.
- Gejala objektif : Pembesaran hati, nyeri tekan, fluktuasi, ikterik ringan dan
terjadi, distensi abdomen.

5. Diagnosis :
- Klinis
- USG
- Serologis terhadap amuba
- Adanya pus pada punksi percobaan
- Kultur dan resistensi tes.

64
6. Penatalaksanaan :
- Istirahat
- Diet TKTP
- Terhadap amuba : metronidazole 4 x 500 mg selama 5 – 10 hari
- Bila diameter abses > 7 cm terapi diteruskan dengan nivaquin 3 x 10 mg selama 3
minggu.
- Terhadap bakteri : broad spektrum antibiotika atau sesuai hasil tes resistensi selama 2
– 4 minggu.
- Kombinasi metronidazole dan antibiotika bila disangka abses campuran.

Tindakan : Aspirasi cairan pus, terutama bila abses akan pecah atau kurang respon dengan
pengobatan.

7. Komplikasi :
- Perforasi intra torakal
- Perforasi intra peritoneal

8. Tindak lanjut :
Operasi

9. Prognosis :
Bila tanpa komplikasi umumnya baik.

65
BAB IV
PENYAKIT GINJAL DAN HIPERTENS1

NAMA PE NYAKIT : HIPERTENSI

1. Definisi :
Meningkatnya tekanan darah secara tetap di atas normal (>140/90 mmHg)

2. Pembagian :
 Menurut etiologi
a. Primer (essensial) – 90%
b. Sekunder : renal/renovaskuler, feokromositoma, hiperaldosteronisme, pil KB, dll
 Pre Hipertensi
Tekanan sistolik 120-139 mmHg atau
Tekanan diastolik 80- 89 mmHg
 Hipertensi Stage I

Tekanan sistolik 140 mmHg atau


Tekanan diastolik 90 mmHg
 Hipertensi Stage 2

Tekanan sistolik 160 mmHg atau


Tekanan diastolik 100 mmHg

3. Patofisiologi :
Pada hipertensi essensial/primer, berbagai-hagai faktor mengakibatkan meningkatnya
tahanan pembuluh darah periiar (artiole), ini sekuncup jantung, volume cairan intra-
vaskuler.

Gejala-gejala ;

Anemnesis
 Sering tidak ada keluhan, tetapi bila ada biasanya berupa rasa sakit pada kepala
bagian belakang pada pagi hari
 Riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga

66
4. Diagnosis
Tekanan darah > 140/90 mmHg pada 3 kali pengukuran dalam Interval waklu 1-2
minggu atau 2 hari berturut-turut apabila penderita dirawat

5. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:


 Laboratoriurn :
- darah/urine rutin
- kimia darah
• Ureum, kreatinine
• BSN / BSPP
• Profil lipid
• Asam urat
 Na +, K+
 RO foto : Thorax PA
 ECG
 Funduscopi mata
 Ekokardiografi kalau perlu
 USG ginjal/saluran kemih

6. Beberapa bentuk klinik

Hipertensi krisis
 Hipertensi ensefalopati
 Hipertensi meligna
 Hipertensi dengan dekompensasio kordis

7. Komplikasi
 CVD (Cerebro Vascular Disease) .
 HHD (Hypertensive Heart Disease)
 PJK (Penyakit Jantung Koroner)

8. Pengobatan
a. Non Farmakologik
 Diet rendah garam

67
 Menurunkan BB
 Menghindari stress ,
b. Farmakolagik
 Diuretik atau B blocker, a Blocker, ACEI, Ca-antagonis, ARB
 Kombinasi dari diuretik & salah satu pilihan
 Kombinasi dari diuretik & 2 pilihan obat lain
 Pada krisis hipertensi dipilih abat yang bekerja cepat dengan menggunakan obat-
obat injeksi

NAMA PENYAKIT : PENYAKIT GINJAL KRONIK

1. Definisi :
 Menurunnya faal ginjal secara progresif dan menahun
 Umumnya irreversibel

2. Pembagian :
 Insufisiensi ginjal : klirens kreatinin sampai > 90 ml/menit
 PGK Ringan : klirens kreatinin sampai 60 – 89 ml/menit
 PGK sedang : klirens kreatinin sampai 30 - 59 ml/menit
 PGK berat : klirens kreatinin sampai 15 – 25 90 ml/menit
 PGK terminal : klirens kreatinin sampai < 15 /dialysis ml/menit

3. Etiologi :
a. Glomerulonefritis
b. Penyakit ginjal interstitial ; pielonefritis k.ronik, pemakaian obat-obat analgetik/ NSAID
c. Penyakit ginjal obstruktif dan infoktif
d. Penyakit metabolik : DM, Gout .
e. Hipertensi
f. Penyakit otoimun
g. Akibat radiasi dan penggunaan kontras
h. Penyakit ginjal herediter

68
4. Patofisiologi :
Dengan rusaknya sejumlah besar nefron, maka akan timbul gangguan pada fungsi ekresi
ginjal sehingga mengakibatkan gangguan hemeostasis cairan tubuh. Selain dari pada itu juga
terjadi gangguan sistem ondokrin dan metabolik serta sistem tubuh yang lain.

5. Gejala Klinis :
 Pada insufisiensi ginjal/PGK ringan tidak dijumpai adanya keluhan apa apa
 Pada PGK sedang/ berat dapat dijumpai
Keluhan : rasa lemah, cepat, lemah, nafsu makan kurang, mual-mual/muntah - muntah,
sukar tidur, gangguan konsentrasi, kejang- kejang
Kelainan jasmani : pucat, kulit kering, hipertensi sampai kedecompensasio kordis,
pernafasan kusmual, fetor uremikum, kesadaran menurun, sampai coma.

6. Diagnosis :
 Berdasarkan adanya gejala-gejala klinik
 Laboratorium :
Rutin
Kimia darah : - ureum, kretinin, asam urat, calcium, fosfar
Gangguan elektrolit dan asam basa
 Pemeriksaan penunjang
- Ro foto : Thorax, BNO
- USG ginjal/ saluran kemih
- EKG
- Ekokardiografi
- Klirens kreatinin

7. Komplikasi :
 Kardiovaskuler : hipertensi, decomp, kordis, perikarditis
 Paru : oedema paru/uremic lung
 Gastropati : gastritis, ulcus pepticum, perdarahan
 Hematologi : - anemia,gangguan perdarahan
 Endokrin : - hiperparatiroidi sekunder
- resistensi insulin
 Elektrolit/keseimbangan asam basa :

69
- hiponatremia, hiperkalemia, asidasis metabalik
 Tulang : renal osteodistrofi

8. Penatalaksanaan :
A. Konservatif apabila klirens kreatinin iebih dari 10 ml/mnt
Umum :
 Diet rendah protein 0,6-0,75 gr/kgBB/hari, rendah fosfat cukup kalori
 Intake cairan : jumlah urin sehari sebelumnya ditambah 500 cc
 Vitamin-vitamin yang mengandung B compleks, B 12, 131, B6
 Usahakan untuk menemukan serta mermperbaiki faktor-faktor yang
memperburuk faal ginjal seperti infeksi obstruksi, gangguan elektrolit,
keseimbangan asam basa, dehidrasi, kelainan kardiovaskuler.
Bila ada komplikasi :
 GIT : - metoclopramide/procholoferazine bila ada mual
- gol proton pump/ PPI bila ada gastritis/ulkus
 Anemia: - preparat Fe, B12, asam falat
- eritopoeitin
- transfusi darah
 Hipertensi : pembatasan cairan, obat antihipertensi calcium antagonis,
alfa blocker, beta blocker clonidine
 Gagal jantung : - batasi cairan, diuretik, dialisa

Penatalaksanaan
 Bila ada komplikasi
 Gangguan tulang : - diet rendah fosfat, calcium calsitrial (1,25 - dihydrasi vit
D)
 Metabolik asidosis : - Bicarbonat Natrium tablet atau infus
 Hiperkalemia :- batasi intake kalium dengan pemberian catian
exchange resin ba/K polysterene sulfonat
- Jika terjadi aritmia Bicarbonat Natrium IV, Ca
glukonas 10% (10-20 cc) IV diberikan secara drip
 Gatal-gatal : diet rendah fosfat, antihistonnin

70
B. Terapi substitusi ; Bila klirens kreatinin < 5 ml/mnt atau < 10 ml/mnt dengan adanya
komplikasi
 Hemodalisis, peritoneal dialisis, transplantasi ginjal

NAMA PENYAKlT : PENYAKIT GINJAL AKUT

1. Definisi .
Penurunan secara tiba-tiba dari fungsi ginjal sehingga mengakibatkan kenaikan dari
kadar ureum dan kreatinine dalam darah dengan atau tanpa adanya oliguria.

2. Patofisiologi :
Menurunnya perfusi daraii ke glomerulus mengakibatkan gangguan fungsi filtrasi
glomerulus dan juga fungsi tubulus. Eksresi glomerulus dan reabsorbsi tubulus
mengalami gangguan, sehingga terjadi gangguan pada homeostasis cairan tubuh.

3. Pembagian :
 PGA prerenal : dapat timbul pada keadaan-keadaan perdarahan, kehilangan cairan
tubuh, diare, muntah-muntah, dehidrasi, sepsis, decompensasio kordis
 PGA renal : kelanjutan dari PGK prerenal nekrosis tubuler akut (NTA), zat nefrotik :
prefarat Hg, CCL 4, ammoglikosid
 PGA post renal : batu saluran kemih, hipartropi prostat, tumor -alat kandungan.

4. Gejala-gejala klinis :
 Oliguria/ anuria
 Sindrom uremik : mual, rnuntah, penurunan kesadaran sampai coma, kejang-kejang,
pernafasan kussmaul bila sampai asidosis

5. Diagnosis :
 Berdasarkan penemuan gejala-gejala klinik dan adanya faktor penyebab dari terjadinya
PGA pada anamnesa
 Pemeriksaan laboratorium :

71
B. urine < 1010

Urine : - rutin
- kadar Na + urine jika ada fasilitas
Da rah : - rutine
Kimia : ureum, kreatinin, asam urat, Na + K+
 Pemeriksaan penunjang : RO " BNO, USG ginja1/saluran kemih

6. Perjalanan Penyakit :
 PGA prerenal & post renal baik bila faktor etiolagi dapat diatasi
 PGA renal terdapat 3 fase, fase oliguria, poliur a dan fase konvalesens

7. Komplikasi PGA renal/ NTA :


 Infeksi
 Hipertensi, decompensatio cordis
 Asidosis metabolik
 Coma uremicum
 Gangguan elektrolit : hiperkalemia, hipokalemia, hiponatremia

8. Penatalaksanaan :
 Tentukan jenis PGA
 Atasi faktor etilogi
 PGA renal/NTA .
- Fase oliguria manitor 20% sebanyak 100-200 cc perdrip atau furosemid 80 mg IV
untuk mencoba diuresis
- Infus cairan : Nacl 0,9% : dextrose 5%. Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan
jumlah urine sehari sebelumnya ± 500 cc
 Diet rendah protein 0,6 - 0,75/kg B.B/hari
 Jumlah kalori secukupnya
 Garam dibatasi
 Monitor intake -output cairan tiap hari
 Bila disertai komplikasi
 Hiperkalemia (K +y b meq/l : Bic Natrium IV, Ca gluconas 10% IV
 RI 5-8 unit dalam dextrose 40% 1 flash bolus pelan-pelan
 Cation exchange resin
72
 Na/Ca polisterene sulfonat
 Dialisis
 Hipertensi
- Batasi intake cairan
- Obat antihipertensi : B blocker. Alfa blocker, Ca-antagonis, clonidine, Acel (hati-
hati)/ dilantin (difenil hidantoin)
- Kejang-kejang : Valium 10 mg IV
- Infeksi : antibiotik ampisilin/amoksilin/sefalosporin
- Gagal jantung : furosemid IV
- Hemodialisis bila konservatif gagal / kondisi memburuk
- Fase poliuria : jaga keseimbangan cairan & elektrolit

9. Prognosis tergantung penyebab


 PGA prerenal
 PGA renal/NTA bisa sembuh
 PGA post renal hilangkan penyebab

NAMA PENYAKIT : PIELONEERITIS AKUT

1. Definisi :
Infeksi akut dari jaringan ginjal

2. Etiologi :
 Escherichia coli (85 %)
 Kuman-kuman lain : Klebsiela, proteus mirabilis, pseudomonas Aeruginosas,
Enterobacter
3. Patogenesis :
Mikroorganisme dari daerah perineum/periureten secara ascending sampai ke jaringan
ginjal secara hematigen dari tempat hin

4. Gejala-gejala Klinis :
 Sakit di daerah pinggang
 Demam, sering disertai menggigil
 Palpasi abdomen : - nyeri tekan di daerah lumbal
- nyeri ketok costo-vertebral
73
5. Diagnosis :
 Berdasarkan gajala-gejala klinik
 Laboratorium rutin : darah lekositosis, urin sedimen lekosit banyak
 Khusus : biakan urin terdapat bakteriuri bermakna ( > 100.00 kuman/cc)

6. Pemeriksaan penunjang :
RO " BNO, USG ginjal/saluran kemih

7. Penatalaksanaan :
 Istirahat
 Minum banyak  2000 - 3000 cc/24 jam
 Bakteriologi urine / kultur dan resistensi test urine
 Antibiotik secara empiris

8. Follow-up :
 Ulang urine kultur 1 minggu setelah pengobatan selesai
 Pada keadaan infeksi berulang-ulang perlu pemeriksaan lanjutan berupa : RO" foto
IVP, USG ginjal/sal. Kemih

9. Prognosis :

Bisa sembuh sempurna

NAMA PENYAKIT : SINDROMA NEFRITIS AKUT

1. Definisi :
Suatu keadaan yang bersifat akut & difus dari glomerulus atas dasar terjadinya suatu
reaksi imunologik

2. Patogenesis :
Reaksi imunologik terjadi setelah adanya suatu infeksi oleh kuman-kuman
streptococurs, virus maupun parasit; maupun setelah vaksinasi
Selain dari pada itu dapat merupakan bagian dari suatu penyakit autoimun (SLE)
Reaksi umum yang terjadi dapat berupa suatu kompleks imun yang mengendap pada
membran basalis ginjal sendiri. Bisa juga merupakan bagian dari suatu serum sickness
74
3. Gejala klinis :
 Edema pada kelopak mata terutama pagi hari, biasa disertai edema tungkai
 Buang air kecil sedikit, berwarna kemerah-merahan seperti air cucian daging
 Kadang-kadang ada hipertensi

4. Laboratoris
 Rutin

Da rah : LED meningkat


Urine : - proteinuria (+) = (++), hematuria RBC > 3/Ipb, silinder grabular/ eri rosit
 Khusus : liter ASTO > 160 IU, HBS Ag positif

5. Diagnosis :
 Berdasarkan gejala klinik dan laboratarium rutin
 Pemeriksaan khusus titer ASTO, Hbs Ag dan adanya riwayat penyakit parasit
(malaria) pada masa lampau, menunjang diagnosis

6. Komplikasi :
 Terjadi gagal ginjai akut
 Terjadi penurunan faal ginjal secara progresip (rapidly progresip glomerulonefritis)
 Hipertensi krisis berupa hipertensi ensefalopati dan hipertensi dengan gagal jantung

7. Perjalanan Penyakit :
Sebagian besar penderita sembuh (90%)
Sebagian kecil bisa jatuh kepada gagal ginjal kronik, sindroma nefrotik, glomerulonefritis
kronik

8. Penatalaksanaan / terapi :
 Istirahat (tidak total)
 Diet rendah garam III, cukup kalori protein dibatasi 0,8 g/kgBB/hari
 Diuretik : HCT/furosemid bila ada edema
 Antihipertensi bila ada hipertensi

75
9. Follow- up
 Selama dalam perawatan penderita diawasi terhadap kemungkinan timbulnya
komplikasi-komplikasi
 Urine rutin dan ureum/kreatinine serta elektrolit Na +, K+ diperkirakan seminggu
sekali atau dua kali tergantung respon klinis
 Setelah keluar rumah sakit secara berkala diperiksa urine rutin (1x se bulan} dan uji
faal ginjal tiap 6 bulan

10. Prognosis :
 Baik untuk sebagian besar panderita ( > 90%)

NAMA PENYAKlT : SISTITIS


1. Definisi
Infeksi kantong kemih oleh mikroorganisme

2. Etiologi
 Escherchia colui 80-90%
 Lain-lain : Klebsiella, enterobacter, proteus, Pseudomonas Aeruginosa,
Staphylococcus Epidermidis, Enterrococci, Candida Albicans, Staphylococcus
Aureus

3. Patogenesis :
 Mikro, organisme dari daerah periureter/perineum secara ascending sampai ke
vesica urinaria

4. Gejala-gejala klinis :
 Berdasarkan gejala klinis
 Pemeriksaan laboratarium : urine : proteinuria, sedimen banyak lekosit, penentuan
penunjang : faktor urine "

76
5. Diagnosis :
 Berdasarkan gejaia klinis
 Pemeriksaan laboratorium : urine : proteinuria, sedimen banyak lekosit, penentuan
penunjang : faktor urine
 Kultur urin

6. Pena talaksanaan :
 Minum banyak
 Antibiotik selama 3 hari : amoksisilin 3x 500, kotromoksasol 2x2 tablet, golongnan
quinolonh (ciprofloksasin 2 x 500 mg, levofloksasim 1 x 500 mg)
 Antibiotik sesuai kultur

7. Prognosis
 Baik
 Masih terjadi relaps

NAMA PENYAKIT : SINDROMA NEFROTIK

1. Definisi :
Suatu kumpulan gejala yang terdiri atas protein!.rria masif, edema anasarka, hipo
albuminuria. .

2. Patofisiologi :
Akibat kerusakan pada membran basalis terjadilah proteinuria pasif yang bila
berlangsung terus mengakibatkan timbulnya hipoalbuminemia. Keadaan hipo
albuminemia mengakibatkan perpindahan cairan intravaskuler ke ruang inter sitium
sehingga timbul edema. Akibat hipovolemia intra vaskuler akan merangsang sistim lain
seperti aldosteron dan A DH.

3. Etiologi :
Primer (idiopatic) 75 - 80%
Sekunder :
 Glomerulonefrltis post infeksi
 Penyakit sistemik, DM, SLE

77
 Keganasan
 Toxsin-toxsin spesifik

4. Gejala Klinis :
Edema anasarka

5. Diagnosis :
 Berdasarkan gejala klinis
 Laboratoriurn : urine - protenurua +++/++++ > 3g/24 jam
 Secara kuantitatif; darah - hipoalbumin /hiperkolesterolemia

6. Pemeriksaan penunjang :
 Elopsi ginjal
 Laboratorium - elektrolit
- Lipid
- Protein urin Esbach
7. Komplikasi :
 Infeksi sekunder
 Atherosclerosis
 Penyakit ginjal kronik

8. Penatalaksanaan/ terapi :
 Bila oedema berat penderita dirawat di RS
 Diet:
- Protein dibatasi 0,8 g/kgBB/hari
- Kalori 35 kcal/kgBB/hari
- Garam dibatasi
 Obat
- Diuretik : furosemid, Spiranolactone
- Kortikosteorid : prodnisone/ methylbednisolon
- Sitostatik
- Endoxan bila steroid resisten atau sering relaps
- Mecofenolat

78
9. Follow-up :
Selama Perawatan
 Tiap hari : diukur intake-out-put cairan
 Tiap minggu :
- urine protein
- ureum, creatinin
- N a +, K+
- BB
 Tiap 2 minggu :
- albumin serum
- cholesterol
- setelah keluar RS
 2 minggu sekali diperiksa protein urin

79
BAB V
TROPIK – INFEKSI

NAMA PENYAKIT : DEMAM TIFOID

PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi

DIAGNOSIS
 Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore / malam hari, sakit
kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
 Pemeriksaan Fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri abdomen, roseolae
(jarang pada orang Indonesia).
 Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia,
limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal >4 kali lipat setelah
satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis
khas menyokong diagnosis.

Hepatitis Tifosa
Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosla (1990) : hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium (antara lain : bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan
indeks PT), kelainan histopatologi.

Tifoid Karier
Ditemukannya kuman Salmonella typhi dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa
tanda klinis infeksi atau pada seseornag setelah 1 tahun pasca-demam tifoid.

80
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, malaria

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah parifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)

TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak randah serat
Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba :
Pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatof lain :
Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
Sepalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula
diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon2 x 1 gram
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal
langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan
deksametason 3 x 5 mg.
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
renjatan septik.
Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami
renjatan septik dengan dosis 3 x 5 mg

81
Kasus tifoid karier
Tanpa kolelitiasis → pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari
Dengan kolelitiasis → kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau
kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
- Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada taksus urinarius → eradiksi Schistosoma
haematobium :
Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu
Setelah eradiksi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier sepertidi atas

Perhatian : Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimaksazol tidak boleh digunakan.


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada
trimester I. Obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan
sefalosporin generasi III (sefriakson)

KOMPLIKASI
Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.

Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis,


tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia,
empiema, pleuritis), hepatobilier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis,
pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis),
neuropsikiatrik (toksik tifoid)

PROGNOSIS
Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat,
prognosis meragukan / buruk

82
WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen Bedah digestif
 RS non pendidikan : Departemen Bedah

NAMA PENYAKIT : DEMAM BERDARAH DENGUE

PENGERTIAN
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta
memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah dengue (DBD).

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memnuhi :
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
 Terdapat minimal satu dari menifestasi pendarahan berikut ini :
- Uji torniquet positif (>20 petkie dalam 2,54 cm2)
- petekie, ekimosis, atau purpura
- perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan,atau tempat lain
- hematemesis atau melena
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage:
hematokrit meningkat >20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan
populasi yang sama
hematokrit turun hingga >20 % dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan terdapat efusi
pleura, efusi prikard, asites, dan hipoproteinemia

83
Derajat
I : demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi, perdarahan
hanya berupa uji torniquet positif dan/ atau mudah memar
II : Derajat I disertai perdarahan spontan
III : terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit
dingin dan lembab serta gelisah
IV : Renjatan : tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan Iv
digolongkan dalam sindrom renjatan dengue

DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, lekosit, trombosit, serologi dengue

TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak
Farmakologis:
simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam
tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiranprotokol tatalaksana DBD cairan intravena :
Ringer laktat atau ringer asetat4-6 jam/kolf koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III
dan IV bila diperlukan Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi Pertimbangan
heparinisasi pada DBD stadium III atau IV dengan koagulasi intravaskuler diseminata (KID)

KOMPLIKASI
Renjata, perdarahan, KID

PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

84
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, PMI

NAMA PENYAKIT : MALARIA

PENGERTIAN
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium falsiparum,
plasmodium vivax, plasmodium ovale, atau plasmodium malariae dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles

DIAGNOSIS
Anamnesis : riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah
endemik malaria, trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian
timbul keringat yang banyak ; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin tidak ada,
diare dapat merupakan gejala utama)

Pemeriksaan Fisis : konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali

Laboratorium : sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+)
[sebagai penunjang]

Malaria berat : ditemukan P.falcifarum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala
berikut :
1. malaria serebral : joma dalam yang tak dapat / sulit dibangunkan dan bukan
disebabkan oleh penyakit lain
2. anemia berat (normositik) pada keadaan hitung parasit > 10.000/ul; (Hb<5 g/dl atau
hematokrit <15%)

85
3. gagal ginjal akut (urin <400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml/kgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin>3 mg/dl)
4. Edema paru/acute respiratory distress syndrome (ARDS)
5. hipoglikemia (gula darah <400 mg/dl)
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau
perbedaan temperatur kulit-mukosa >1oC)
7. Perdarahan spontan dari lubang hidung, gusi, saluran cerna, dan/atau disertai
gangguan koagulasi intravaskuler
8. kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/l)
10. Hemoglobinuria makroskopik oleh kerena infeksi malaria akut (bukan karena efek
samping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD)
11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P. Falciparum yang padat pada
pembuluh darah kapiler jaringan otak

Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran
klinis daerah setempat :
Gangguan kesadaran
kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan)
hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria
ikterus (bilirubin >3 mg/dl)
Hiperpireksia (suhu rektal >40oC)

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula
darah, UL, AGD, elektrolit, hemostatis, rontgen toraks, EKG

86
TERAPI
Infeksi P. vivax atau P. ovale
Daerah sensitif klorokuin :
Klorokuin basa 150 mg :
Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian),
Hari II dan III : 2 tablet atau
Hari I dan II : 4 tablet,
Hari III : 2 tablet
Terapi radikal : ditambah primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari.
Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7
hari
Daerah resisten klorokuin
Kina 3 x 400-600 mg selama 7 hari
Terapi radikal : ditambah primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari

Infeksi P. falciparum ringan / sedang, infeksi campur P.falciparum dan P. Vivax


 Artemisin
Hari I : 4 tablet (200 mg)
Hari II : 4 tablet (200 mg)
Hari III : 4 tablet (200 mg)
 Amodiaquin
Hari I : 4 tablet (600 mg)
Hari II : 4 tablet (600 mg)
Hari III : 2 tablet (600 mg)
 Klorikuin basa 150 mg :
Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian),
Hari II : 2 tablet
Hari III : 2 tablet atau
Hari I : 4 tablet
Hari II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet
 Bila perlu ditambah terapi radikal : ditambah primakuin 45 mg ( 3 tablet)
(dosis tunggal) ; infeksi campur : primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari → bila

87
resisten dengan pengobatan tersebut : SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina
sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari

Malaria berat
 Artesunate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-0, 12, 24, dilanjutkan
satu kali per hari
 Drip kina HCl 500 mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500 ml D5% diberikan dalam
6-8 jam (maksimum2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula darah
tiap 8-12 jam sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung
parasit malaria sesuai target (total pemberian parenteral dan per oral selama 7
hari dengan dosis per oral 10 mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari)
 Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin 94 mg/kgBB
diberikan 4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari

Perhatian SP tidak boleh pada bayi dan ibu hamil. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu
hamil, bayi, dan penderita defisiensi G6PD. Klorokuin tidak boleh diberikan dalam keadaan
perut kosong. Pada pemberian kina paranteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam tetapi
belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka dosis selanjutnya
diturunkan sampai 30-50%. Kortikosteroid merupakan kontra indikasi pada malaria serebral.

Pemantauan pengobatan : hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1
50% H0 dan H3 <25% H0. pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit
malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut.

Pencegahan : klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu diminum tiap mingu
sejak 1 minggu sebelum mesuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah
meninggalkan daerah endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari
sebelum pergi ke daerah endemis malaria hingga 4 minggu setelah meninggalkan daerah
endemis

88
KOMPLIKASI
malaria berat, renjatan, gagal nafas, gagal ginjal akut

PROGNOSIS
Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale : bonam. Malaria berat :
Dubia ad malam

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Depertemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi pulmonologi dan Departemen
Neurologi
 RS non pendidikan : Bagian Neurologi

NAMA PENYAKIT : SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

PENGERTIAN
Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi
Renjatan (syol) septik : sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS <90 mmHg
atau penurunan >40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang dapat
menurunkan TD
Sepsis berat : gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan
kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik

89
DIAGNOSIS SEPSIS
SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
Suhu badan >38 oC atau 36 oC
Frekuensi denyut jantung >90x/menit
Frekuensi pernafasan >24x/menit atau PaCO2 <32
Hitung leukosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau adanya >10% sel batang
Ada fokus infeksi yang bermakna

DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit,kultur darah dan infeksi
fokal (urin, pus, sputum, dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba,
foto toraks

TERAPI
 Eradikasi fokus infeksi
 Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman
penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi
ginjal dan fungsi hati

antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba
dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme
 Suportif : resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi
(sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya
Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan
kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis
(respons terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung,
kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan
kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan
tekanan vena jugularis, ronki, galop S3, san penurunan saturasi oksigen). Sebaiknya

90
dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 8-12 mmHG), dengan mempertimbangkan
kebutuhan kalori perhari.
Oksigenasi sesuian kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif,
hiperkapnia, gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernafasan
Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mancapai
tekanan darah sistolik >90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan >30
ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8
μg/kgBB/menit, neropinefin 0,03-1,5 μg/kgBB/menit, fenilefrin 0,5-8 μg/kgBB/menit,
atau epinefrin 0,1-0,5 μg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat
digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-28 μg/kgBB/menit, dopamin 3-
8 mcg/kgBB/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinon dan milrinon).
Tranfusi komponen darah sesuai indikasi
Koreksi gangguan metabolik : elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik (secara
empiris dapat diberikan bila pH<7,2, atau bikarbonat serum <9 mEg/l, dengan disertai
upaya perbaikan hemodinamik)
Nutrisi yang adekuat
Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin
dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus
kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya

KOMPLIKASI
Gagal nafas, gagal gianjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel

PROGNOSIS
Dubia ad malam

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam danPPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
91
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologi-onkologi, dan medical
high care / ICU
RS non pendidikan : ICU

NAMA PENYAKIT : DIARE

PENGERTIAN
Diare menurut WHO adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya
atau lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi lembek atau cair dan bersifat mendadak
datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu.
Ada dua bentuk diare akut yaitu tipe disenteriform dan choleriform. Tipe disenteriform
biasanya disebabkan oleh Shigella sp, sedangkan tipe choleriform disebabkan oleh Vibrio
cholera.

DIAGNOSIS
 Anamnesis : BAB encer, mual, muntah, dengan atau tanpa demam dan nyeri perut,
rasa haus, bibir kering
 Pemeriksaan fisik : keadaan umum, tanda-tanda dehidrasi seperti rasa haus, mata
cekung, ubun-ubun besar cekung (pada anak), bibir kering, turgor perut kurang, air
mata kurang, asidosis metabolik (pernapasan Kussmaul).
 Laboratorium : darah perifer lengkap, ureum, creatinin, elektrolit (Na, K dan Cl),
analisa gas darah, Imunoassay (toksin bakteri, antigen virus dan antigen protozoa) dan
feses lengkap serta biakan dan resistensi feses.

Penyebab Diare Akut :


1. diet yang tidak sesuai
2. obat-obatan laksatif
3. keracunan makanan dalam 6 – 24 jam terakhir
4. infeksi saluran cerna
5. alergi

92
TERAPI
1. Rehidrasi sebagai pengobatan utama, tergantung pada :
 Jenis cairan yang digunakan
 Jumlah cairan yang diberikan
 Jalan masuk atau cara pemberian cairan

2. Memberikan terapi simtomatik


 Koreksi gangguan asam basa
 Antimikroba hanya diberikan bila disebabkan oleh infeksi Vibrio cholera
tetrasiklin dosis 50 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis selama 3 hari. Bila
disebabkan oleh Shigella diberikan kotimoksazol 2 x 960 mg/hari selama 3
hari.
 Obat spasmolitik tidak dianjurkan pada diare yang disebabkan infeksi.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : -
 RS non pendidikan : -

NAMA PENYAKIT : AIDS/HIV (SIDA)

PENGERTIAN
Pasien dinyatakan terbukti terinfeksi HIV dari pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS
Adanya faktor risiko penularan
Diagnosis HIV : tes ELISA 3 kali reaktif dengan reagen yang berbeda
Stadium WHO :
 Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
 Stadium 2
- Berat badan turun < 10 %

93
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus
oral rekuren, cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas rekuren
 Stadium 3
- Berat badan turun > 10 %
- Diare yang tidak diketahui penyebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) > 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
 Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau KGB (mis:retinitis CMV)
- Infeksi hespes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
- Progressive multifocal leucoencephalopathy
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esofagus, trakea dan bronkus
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septikemia salmonela non tiposa
- Tuberkulosis ekstrapulmoner
- Limfoma
- Sarkoma kaposi
- Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit imunodefisiensi primer

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Anti HIV ELISA
 Anti HIV western blot
 Antigen p-24
 Hitung CD4 < 200 sel/mm3
 Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
 Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik

TERAPI
 Konseling
 Terapi suportif
 Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik

94
 Vaksinasi pada penerita HIV/AIDS
 Terapi pasca paparan HIV (post exposure prophylaxis)
 Terapi antiretrovirus kombinasi, yang paling sering dipakai di Indonesia adalah
kombinasi antara Zidovudin (ZDV) 300 mg/Lamivudin (3TC) 150 mg 2 x 1 tablet
(nama dagang Duvirzl) dan Nevirapin (NVP) 200 mg 1 x 1 tablet (nama dagang
Neviral)

Obat ARV (antiretroviral) direkomendasikan pada :


1. Semua pasien yang telah menunjukkan gejala sesuai kriteria diagnosis AIDS
atau menunjukkan gejala yang berat tanpa melihat jumlah limfosit CD4.
2. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4 < 200 sel/mm3.
3. Pasien asimtomatik dengan limfosit CD4 200 – 350 sel/mm3 ditawarkan untuk
memulai terapi.
4. Pasien asimtomatik dengan CD4 > 350 sel/mm3 dan viral load ≥ 100.000
kopi/ml (dapat juga ditunda).

KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV dan manifestasi HIV pada organ lain

PROGNOSIS
Tergantung stadium penyakit

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Alergi-Imunologi, Kardiologi, ICU/Medical
High Care, Kelompok Studi Khusus HIV/AIDS
 RS non pendidikan : ICU

95
NAMA PENYAKIT : HELMINTIASIS

PENGERTIAN
Infeksi cacing yang disebabkan oleh nematoda saluran cerna. Penularan dapat terjadi melalui
2 cara yaitu infeksi langsung atau larva yang menembus kulit. Infeksi cacing yang tersering
menyerang manusia adalah jenis Ascaris lumbricoides (cacing tambang), Oxyuris
vermicularis (cacing kremi), Ancylostoma spesies (cacing gelang) dan Trichuris trichiura.

ASKARIASIS
 Anamnesis : panas, batuk, batuk darah dan sesak napas, mual, nafsu makan berkurang,
diare atau konstipasi, gatal-gatal dan gejala ileus.
 Pemeriksaan penunjang : eosinofilia pada foto toraks tampak infiltrat yang mirip
pneumonia viral yang menghilang dalam waktu 3 minggu (sindrom Loeffler).
 Diagnosis banding : urtikaria, asma dan pneumonia
 Komplikasi : reaksi alergi yang berat, pneumonia

OKSIURIASIS
 Anamnesis : rasa gatal pada anus (pruritus ani) yang timbul pada malam hari, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, sukar tidur dan gelisah, nyeri perut, mual,
muntah dan mencret.
 Pemeriksaan laboratorium : eosinofilia, swab perianal ditemukan telur atau cacing
dewasa.
 Komplikasi : apendisitis, vaginitis

ANKILOSTOMIASIS
 Anamnesis : rasa gatal di kaki, ruam makulopapular, batuk darah, rasa tidak enak
diperut, kembung, sering mengeluarkan gas, mencret.
 Pemeriksaan fisik : anemia, bising usus meningkat
 Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, telur cacing dan larva dalam tinja dan
sputum, esosinofilia, hipoalbuminemia.
 Komplikasi : dermatitis, anemia berat, bronkhitis, bronkhopneumonia

TRIKURIASIS
 Anamnesis : nyeri perut, sukar buang air besar, mencret, kembung, sering flatus, mual,
muntah, ileus dan turunnya berat badan
 Pemeriksaan fisik : anemia, bising usus normal atau meningkat
 Laboratorium : anemia hipokrom, eosinofilia dan telur atau cacing dalam tinja
 Komplikasi : perforasi usus atau prolaps rekti

96
TERAPI
a. Terapi Umum
1. Perbaikan gizi dengan pemberian nutrisi tinggi kalori dan protein,
multivitamin dan mineral.
2. Preparat besi (sulfas ferosus) 3 x 200 mg/hari dapat diberikan untuk
mengatasi anemia, bila Hb < 5 g/dl dapat dikoreksi dengan transfusi darah.

b. Terapi Spesifik
1. Antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal-gatal
2. Obat-obat cacing :
 Pirantel pamoat dosis 10 mg/kg BB sebagai dosis tunggal
 Mebendazol dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu
 Albendazol dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2 minggu
 Piperazin sitrat dosis 2 x 1 gr selama 7 hari berturut-turut, dapat diulang
interval 7 hari
 Heksiresorsinol 0,2 % 500 ml dalam bentuk enema dalam waktu 1 jam

PROGNOSIS
Dalam pengobatan yang adekuat, prognosis baik.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi
 RS non pendidikan : -

97
NAMA PENYAKIT : TETANUS
PENGERTIAN
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu eksotoksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.

DIAGNOSIS
 Anamnesis : kejang setelah mengalami luka atau trauma yang terkontaminasi dengan
tanah, kotoran binatang atau logam berkarat. Kaku kuduk, nyeri tenggorok, dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal tetanus

 Pemeriksaan Fisis : compos mentis, rigiditas, spasme otot dan disfungsi otonomik,
risus sardonicus
Klasifikasi beratnya tetanus :
Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa
gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang namapak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi napas > 30 kali,
disfagia ringan.
Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi napas > 40 kali, serangan apnea, disfagia berat dan
takikardi > 120
Derajat IV (sangat berat) : derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskuler.

 Laboratorium : leukosit mungkin meningkat, perubahan non spesifik dapat dijumpai


pada EKG, enzim otot meningkat.

DIAGNOSIS BANDING
Mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus seperti abses alveolar, keracunan
striknin, reaksi obat distonik (fenotiazin dan metoklopramid), meningitis/ensefalitis dan
rabies.

TERAPI
1. Isolasi (terhindar dari rangsang cahaya dan suara)
2. menghilangkan infeksinya :
- antibiotik (penisilin prokain 2 x 1,5 jt unit)
- perawatan luka (wound toilet)
- hiperbarik oksigenasi (kuman anaerob)
3. Menetralisasi eksotoksin  ATS
- dosis awal ATS 20.000 IU IM, dan 20.000 IU IV
- selanjutnya 10.000 IU IM/hari, sampai gejala hilang
4. mengatasi kejang dapat diberikan diazepam 2 amp dalam 500 cc D5 % 20 tetes/
hari, dosis diazepam dapat dinaikkan sampai 4 amp dalam 500 cc sesuai klinik
5. mencegah terjadinya efek samping, misalnya pada otot jantung dan otot
pernapasan

98
Catatan :
1. Matinya penderita tetanus sering karena miocardiotoksis
2. Perawatan penderita dilakukan multidisiplin
3. Sebaiknya dirawat di ICU, untuk mengantisipasi bila terjadi gagal jantung atau gagal
napas.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Bagian Neurologi, Bagian Bedah
 RS non pendidikan : Bagian neurologi, Bagian Bedah

NAMA PENYAKIT : FILARIASIS

PENGERTIAN
Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda dari superfamili Filarioidea,
yang menyerang sistem getah bening dan jaringan subkutan.

DIAGNOSIS
 Anamnesis : demam, menggigil dan berkeringat, nyeri kepala, mual, muntah, fotofobi,
nyeri otot, dan pembengkakan tungkai.
 Pemeriksaan fisik : fase akut radang saluran getah bening, orchitis, limfadenitis,
splenomegali, infiltrat paru-paru milier.
 Laboratorium : eosinofilia dan ditemukannya mikrofilaria dalam darah

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan sediaan tetes tebal darah dari cuping telinga yang diambil pada malam
hari (jam 21.00 – 02.00)
 Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat tetapi dapat membantu diagnosis, misal :
IHA, bentonite flocculation, tes IFA FA
99
TERAPI
 Dietilkarbamzin merupakan satu-satunya obat pilihan, dosis 2 mg/kgBB tiga kali
sehari selama 3 – 4 minggu
 Reaksi alergi terhadap mikrofilaria yang mati yang mengakibatkan gejala demam
tinggi dapat ditanggulangi dengan aspirin, antihistamin atau kortikosteroid

PROGNOSIS
Prognosis elefantiasis tidak baik, karena tidak ada obatnya.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Bagian Bedah
 RS non pendidikan : -

NAMA PENYAKIT : MIKOSIS

PENGERTIAN
Infeksi yang disebabkan oleh jamur pada manusia, dibagi menjadi infeksi jamur endemik
(Histoplasmosis dan Koksidioidomikosis) dan infeksi jamur oportunistik seperti Kandidiasis
yang merupakan infeksi jamur sistemik yang paling sering.

DIAGNOSIS
 Anamnesis : panas, menggigil, kelelahan, batuk nonproduktif, rasa tidak enak di dada
depan, nyeri otot, dan kadang-kadang reaksi hipersensitivitas, batuk kronis yang
disertai sputum dan darah. Pada kandidiasis kulit dan mukosa ditemukan sebagai
bercak berwarna putih yang konfluen dan melekat pada mukosa.
 Pemeriksaan penunjang : pada foto toraks tampak gambaran nodul lobar atau
multilobar infiltrat, efusi pleura dan kavitas. Dalam darah tepi didapatkan eosinofilia

100
ringan. Gambaran pseudohifa di sediaan apus pada kultur kerokan dapat menegakkan
diagnosis kandidiasis superfisial.

Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur, yaitu :


1. Pemeriksaan mikroskopik langsung : bahan dari sputum, biopsi paru, kulit, kuku, dan
feses
2. Biakan
3. DNA probe test
4. Pemeriksaan serologi

TERAPI
 Amfoterisin B iv untuk koksidioidomikosis dan kandidiasis sistemik dengan
dosis 0,5 – 0,7 mg/kgBB perhari selama 5 – 10 hari, bila perbaikan dilanjutkan
itrakonazol 200 – 400 mg/hari.
 Pada infeksi histoplasmosis : itrakonazol 200 mg/hari selama 6 – 12 minggu
 Terapi mutakhir anti jamur : golongan azole (katekonazol, itrakonazol,
flukonazol dan varigonazol)

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : -
 RS non pendidikan : -

101
NAMA PENYAKIT : LEPTOSPIROSIS

PENGERTIAN
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili Leptospiraceae

DIAGNOSIS
 Anamnesis : demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare
 Pemerikasaan Fisis : injeksi konjungtiva. Ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran
 Laboratorium : dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amilase, lipase, dan CK,
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, Serologi leptospira positif (titer >1/100 atau
terdapat peningkatan >4 kali pada titer ulangan)

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis tifosa, ikterus obstriktif, malaria, kolangitis, hepatitis fulminan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase, serologi leptospira MAT
(mikoaglutinasi test)

TERAPI
Nonfarmakologis
Tirah baring, makanan/cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat

Farmakologis
 Simtomatis
 Antimikroba pilihan adalah pilihan utama : Penisilin G 4 x 1,5 juta unit selama 5-7 hari.
Alternatifnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, pankreatitis, miokarditis, perdarahan masif, meningitis aseptik

102
PROGNOSIS
Bonam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokte Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dlam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

NAMA PENYAKIT : INTOKSIKASI OPIAT

PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu morfin,
petidin, heroin, opium, pentaxokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan

DIAGNOSIS
 Anamnesis : informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada
 Pemeriksaan Fisis : pupil miosis-pin point pupil, depresi nafas, penurunan kesadaran,
nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle track dign, sisanosis, spasme saluran
cerna dan bilier, kejang
 Laboratorium : opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi

DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks

103
TERAPI
Penanganan kegawatan : resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen sesuai
kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan.
Pemberian antidot nalokson
1. tanpa hipoventilasi : dosis awal diberikan 0,4 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan
2. dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2 mg intravena pelan-pelan atau dicernakan
3. bila tidak ada respom, diberikan nalokson 1-2 mh intravena tiap 5-10 menit hingga timbul
respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil) atau telah
mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi dalam
20-40 menit dikaji ulang,
4. efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan
overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran dan perubahan
pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat dibreikan drip nalokson satu ampul dalam
500 ml D5% atay NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam
5. simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
6. pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila : pernafasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksidenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
7. pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik,bila diperlukan
dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat
oral
8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi per oral dengan memberikan 240 ml
cairan dengan 30 mg charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
9. bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang bila
perlu

pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.

KOMPLIKASI
Aspirasi, gagal nafas, endema paru akut

104
PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen IlmuPenyakit Dalam-Divisi Tropik Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi dan Departemen Psikiatri,
Departemen Anestesi/ICU
 RS non pendidikan : Bagian Psikiatri

NAMA PENYAKIT : CHIKUNGUNYA

PENGERTIAN
Penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang disebarkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus

DIAGNOSIS
 Anamnesis : demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri
sendi dan otot terutama sandi lutut, pergelangan kaki dan persendian tangan dan kaki,
serta bintik-bintik merah di kulit terutama badan dan lengan.
 Pemeriksaan fisik : suhu tinggi, torniquet positif, petechiae, hepatomegali,
makulopapular rash, limadenopati.
 Laboratorium : leukopenia, trombositopenia

105
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pasti bila terdapat salah satu dari :
1. pemeriksaan titer antibodi naik 4 kali lipat
2. deteksi Antibodi Ig M Chikungunya
3. isolasi virus dalam serum
4. deteksi virus dengan PCR

DIAGNOSIS BANDING
Demam dengue, demam berdarah dengue,

TERAPI
 Tidak ada vaksin atau obat khusus
 Istirahat untuk mengurangi keluhan akut dan minum banyak air
 Pengobatan berupa simtomatik dan suportif
 Non Steroid Inflamasi drug (NSAID) untuk atralgia, bila atralgia menetap dapat
diberikan Chloroquin fosfat 250 mg.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Bagian Rehabilitasi Medik
 RS non pendidikan : -

106
NAMA PENYAKIT : AVIAN INFLUENZA (FLU BURUNG)

PENGERTIAN

Flu burung (Avian Influenza, AI) merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A
subtipe H5N1 (H=hemagglutinin;N=neuraminidase) yang pada umumnya menyerang unggas
(burung dan ayam). Virus avian influenza termasuk genom RNA dari famili
Orthomyxoviridae, ada 3 tipe virus avian influenza yaitu A, B, dan C, hanya tipe A yang
menyebabkan infeksi pada unggas peliharaan yang juga potensial menyerang manusia.
Potensi transmisi dari burung ke burung dan dari burung/unggas ke manusia dimungkinkan
karena adanya kombinasi strain AI dengan tropisme yang sama.

DIAGNOSIS
Anamnesis : riwayat demam yang tinggi dan timbul mendadak, terdapat gejala Influenza Like
Illness (ILI) seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, sakit tenggorokan dan suara serak. Bila
berat terdapat tanda-tanda radang paru-paru (pneumonia).
Pemeriksaan Fisik :
- suhu badan mencapai ≥ 38 o C
- bila berat : terdapat tanda-tanda radang paru-paru yaitu ronki basah sedang/kasar

Dalam mendiagnosis kasus flu burung ada 4 kriteria yang ditetapkan yaitu :
• Kasus dalam Investigasi
• Kasus Suspek
• Kasus Probabel
• Kasus Konfirm

1. Kasus dalam investigasi


Seseorang yang telah diputuskan oleh dokter setempat untuk diinvestigasi terkait
kemungkinan infeksi H5N1. Kegiatan yang dilakukan berupa surveilans semua kasus ILI dan
Pneumonia di rumah sakit serta mereka yang kontak dengan pasien flu burung di rumah sakit.

2. Kasus Suspek H5N1


Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38o C disertai satu atau lebih gejala di
bawah ini :
o batuk

107
o sakit tenggorokan
o pilek
o sesak napas

3. Kasus Probabel H5N1


Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini :
a. ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5, minimum 4 kali, dengan pemeriksaan
uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA.
b. hasil laboratorium terbatas untuk Influenza H5 (terdeteksinya antibodi spesifik H5
dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi (dikirim ke Laboratorium
Rujukan). Atau Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran napas akut
yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya yang secara epidemiologis berkaitan dengan
aspek waktu, tempat dan pajanan terhadap suatu kasus probabel atau suatu kasus
H5N1 yang terkonfirmasi.

4. Kasus H5N1 terkonfirmasi


Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel
Dan disertai :
Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium influenza
nasional, regional atau internasional yang hasil pemeriksaan H5N1-nya diterima oleh WHO
sebagai konfirmasi :
a. Isolasi virus H5N1
b. Hasil PCR H5N1 positif
c. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen
konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7 hari setelah awitan gejala
b. penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
d. Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil pada
hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain,
misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk sesegera
mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit,
Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasofaringeal, apus hidung dan
tenggorok untuk konfirmasi diagnostik.
Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
1. Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
2. Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.
3 Uji Serologi :
3.1.Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen
konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7 hari setelah awitan
gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
3.2.Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil
pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain,
misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif.

108
b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu burung.
Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan lain
yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala klinik flu burung
tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini.

c. Pemeriksaan Post Mortem


Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan untuk
mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi), spesimen dikirim
untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

DIAGNOSIS BANDING
Demam Dengue, Infeksi paru yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur, Demam
Typhoid, HIV dengan infeksi sekunder, Tuberkulosis Paru.

TERAPI
Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama) :
• Dewasa atau anak ≥ 13 tahun Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5 hari.
• Anak > 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari.
• Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb :
 40 kg : 75 mg 2x/hari
 23 – 40 kg : 60 mg 2x/hari
 15 – 23 kg : 45 mg 2x/hari
 ≤ 15 kg : 30 mg 2x/hari

Profilaksis
Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan sampai 7-10 hari dari
pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis jangka panjang dapat diberikan maksimal hingga 6-8
minggu sesuai dengan profilaksis pada influenza musiman
Pengobatan lain
 Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal (lihat petunjuk
penggunaan antibiotik).
 Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV diberikan pada pneumonia berat, ARDS atau pada
syok sepsis yang tidak respons terhadap obat-obat vasopresor.
 Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi.
 Rawat di ICU sesuai indikasi.

109
Panduan Pemberian Antibiotik untuk Pneumonia
Rawat Jalan • Tanpa faktor modifikasi
- Golongan β laktam atau β laktam + anti β laktamase
• Dengan faktor modifikasi
- Golongan β laktam + anti β laktamase atau fluorokuinolon
respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin,klaritromisin, azitromisin)

Rawat Inap • Tanpa faktor modifikasi :


- Golongan betalaktam + anti betalaktamase iv, atau
- Sefalosporin G2,G3 iv,atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
• Dengan faktor modifikasi :
- Sefalosporin G2,G3 iv atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
• Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah
makrolid baru

Ruang Rawat Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas :


• Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru
Intensif
atau fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
• Sefalosporin antipseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah
fluorokuinolon antipseudomonas (siprofloksasin) iv atau
aminoglikosida iv
• Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik sefalosporin
antipseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah
aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi iv

PROGNOSIS
Flu burung ringan : bonam, flu burung dengan komplikasi berat : dubia

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

110
UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Pulmonologi
 RS non pendidikan : -

NAMA PENYAKIT : INFEKSI NOSOKOMIAL

PENGERTIAN
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit, infeksi yang timbul/terjadi
sesudah 72 jam perawatan pada pasien rawat inap dan infeksi yang terjadi pada pasien yang
dirawat lebih lama dari masa inkubasi suatu penyakit. Infeksi nosokomial terutama
disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran napas, infeksi
kulit, infeksi luka operasi dan septikemia.

DIAGNOSIS
Infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus,
infeksi saluran napas, infeksi kulit, infeksi luka operasi dan septikemia.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Kultur darah, urin, pus, sputum, jaringan, tinja, rongga hidung dan orofaring

TERAPI
 Sementara menunggu hasil biakan kultur, diterapi sesuai empiris
 Antibiotik golongan beta laktam antara lain sefalosporin
 Beta laktam yang masih sensitif terhadap pseudomonas adalah seftazidim dan
sefoperazon
 Bila setelah 3 hari masih demam dan penyakit progresif ditambahkan vankomisin
 Antifungal bila diduga kandidiasis sistemik
 Untuk pengobatan VAP (Ventilator Acquired Pneumonia) kombinasi sefalosporin
generasi ketiga dan aminoglikosid atau aztreonam.

111
PROGNOSIS
Malam bila resisten terhadap antibiotik

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi, ICU/Medical High Care, Mikrobiologi
Klinik
 RS non pendidikan : ICU

NAMA PENYAKIT : FEVER OF UNKNOWN ORIGIN

PENGERTIAN
 Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam >38,3 oC selama lebih dari 3
minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau
minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab
demam. Penyebab : infeksi, neoplasma, penyakit kalogen dan vaskular
 FUO pada pasien HIV adalah demam >38.3 oC selama 4 minggu atau lebih pada pasien
rawat jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat dengan hasil pertumbuhan
mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi. Penyebab : infeksi, obat, sarkoma,
limfoma
 FUO pada pasien netropenia (jumlah lekosit PMN,500/mm3) adalah demam >38,3oC,
dalam 3 hari perawatan pertumbuhan mikro organisme masih negatif dari dugaan fokus
infeksi. Penyebab : infeksi

112
 FUO pada geriatri adalah demam >38,3 oC, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dari demam. Penyebab :
neoplasma, penyakit kalogen, infeksi
 FUO pada pasien pediatri (usia <18 tahun) adlah demam >38,3 oC selama lebih dari 8
hari, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal
3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam.
Penyebab : infeksi, penyakit kalogen, neoplasma
 FUO pada pasien nosokomial demam >38,3oC timbul pada pasien yang dirawat di RS dan
pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi,
penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan
mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi. Penyebab : infeksi
 FUO iatrogenik adalah demam >38,3 oC akibat penggunaan obat : penisilinm,
sefalosforin, sulfonamida, atropin, fenitoin, prokainamida, amfoterisin, interferon,
interleukin, rifampisin, INH, makrolida, klindamisin, vankomisin, aminoglikosida,
allopurinol

DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis :
 Riwayat penyakit secara terperinci : pola demam ,ada tidaknya infeksi saluran
nafas atas, infeksi saluran nafas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit
pinggang, diare, abses atau radang tonsil dab otot, nyeri dan pembengkakan sendi,
atau tanpa kelainan spesifik
 Riwayat pekerjaan, perjalanan kontak dengan orang sakit atau hewan,trauma fisik
atau bedah, obat-obatan (termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien,
kelenjar getah bening, lubang orifices pasien

Laboratorium : sesuai mikroorganisme dan organ terkait

DIAGNOASIS BANDING
Infeksi, penyakit kalogen, neoplasma, efek samping obat

113
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi, imunologi, EKG, biopsi jaringan
tubuh, pencitraan, sudujan (scanning), endoakopi/peritoneoskopi, angiografi, limfografi,
tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan

TERAPI
 Simtomatis
 Uji terapeutik dengan antibiotika, kortikosteroid, atau obat antiinflamasi non steroid
tidak dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi
empirik diperlukan

KOMPLIKASI
Sepsis, renjatan sepsis

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Tropik Infeksi
 RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi pulmonologi, hematologi-onkologi.
RS non pendidikan :

114
BAB VI
HEMATOLOGI – ONKOLOGI MEDIK

LIMFOMA NON-HODGKIN

PENGERTIAN
Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat

Faktor risiko terjadinya LNH:


1. Ada gangguan fungsi imun, al: HIV, supresi akibat obat, penyakit otoimun,
difisiensi imun kongenital.
2. Infeksi, al: gamma herves virus, Epstein Barr Virus, KSHV(The Kaposi’s Sarcoma
associated Herves Virus), human retrovirus dan RNA virus.
3. Paparan lingkungan/kerja: Insektisida

DIAGNOSIS
- Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/massa tumor di tempat lain ( tulang, intra
abdomen,hidung, lambung dsb)
- Riwayat demam tanpa sebab yang jelas
- Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan
- Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai
- Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai denagn limfoma non-Hodgkin (LNH)

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor padat yang
lain

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan sitologi kelenjar/massa tumor untuk mengetahui LNH tersebut serta
keterlibatan kelenjar lain yang membesar
- Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal
- Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
- CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) paraaorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen
- Foto thoraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum
- Pemeriksaan telingan hidung tenggorok (THT) untuk melihat keterlibatan cincin
Waldeyer
- Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung
- Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat keterlibatan tulang

115
TERAPI
Derajat keganasan rendah
- Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral
- Radioterapi paliatif

Derajat keganasan menengah


- Stadium I s.d IIa: radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi
- Stadium IIb s.d IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliatif

Derajat keganasan tinggi


- Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif)
- Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif

Reevaluasi pengobatan:
- Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat
- Setelah selesai pengobatan lengkap

KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya:
- Penekana terhadap organ khususnya jalan napas, usus dan saraf
- Mudah terjadi infeksi, bisa fatal

Akibat efek samping pengobatan:


- Aplasia sumsum tulang
- Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
- Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
- Neuritis oleh obat vinkristin

PROGNOSIS
Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass, keadaan umum pasien dan
ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan.
- Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat hidup lama
- Derajat keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan
- Derajat keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati

WEWENANG
- RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik
- RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
- RS pendidikan: Departemen THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi
- RS non pendidikan: Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi

116
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

ANEMIA HEMOLITIK

1. Batasan :
Anemia akibat destruksi sel-sel darah merah yang berlebihan baik intravaskular maupun
ekstravaskular.

2. Etiologi :
Dapat akut / kronis, herediter / akuisiter / akuisita, intra / ekstravaskuler
a. Herediter.
 Kelainan membran eritrosit : hereditary spherocytosis, elliptocytosis, dll.
 Defisiensi Enzim G6PD, piruvat kinase.
 Kelainan rantai globin : Talasemia, Hb SS, dll
b. Didapat (Acquired).
 Kelainan imunitas
 Mikroangiopati dan trauma : katup jantung buatan, DIC, Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) dan TTP (trombotik trombositopeni purpura).
 Infeksi : clostridium, mycoplasma, bartonella, mononucleosis, malaria
 Bahan fisik : radiasi, panas
 Bahan kimia : bisa ular, bisa serangga.
 PNH dan PCH
3. Patofisiologi :
Tergantung jenis anemia hemolitik.
Gambaran Klinis :
 Anemia : pucat, lemah, berdebar, takiakrdi, dll.
 Hemolitik : ikterik, splenomegali, menggigil.

117
4. Gambaran laboratorium
- Retikulosit meningkat, bilirubin inderek meningkat.
- Coomb test direk ( + ) dan atau indirek ( + ) : Anemia hemolitik Autoimun.
- Enzim G6PD menurun : Anemia Defisiensi G6PD.
- Sumsum tulang : seri eritrosit hiperaktif
- Hb Elektroforese : terdapat kelainan pada Talasemia.

5. Gambaran radiologik :
Pada thalasemia mayor : Foto schedel : hair on end, mosaic patern di tulang-tulang

6. Pengobatan :
a. Akut : awasi shock, sepsis dan akut tubular nekrosis, beri kortikosteroid.
b. Kronis : tergantung etiologi, kortikosteroid, imunoglobulin, antibiotik, kadang-kadang
diperlukan transfusi darah.

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors
Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,
2006

118
ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe)
1. Batasan :
Anemia karena kekurangan zat besi didalam serum dan atau sumsum tulang.
Klasifikasi derajat defisiesi besi :
 Kekurangan Besi (Iron depletion) : Cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi
atau hematopoesis cukup
 Defisiensi besi (Iron deficiency) : cadangan besi kosong, eritropoesis tetapi belum
timbul anemia secara laboratorik.
 Anemia defisiensi besi (Iron deficiency anemia) : cadangan besi kosong disertai
dengan kelainan defisiensi besi.

2. Etiologi :
1. Intake Fe kurang :
- Diet kurang
- Absorpsi Fe kurang : malabsorbsi zat besi, pasca gastrektomi, dll

2. Kehilangan Fe meningkat.
- Perdarahan GIT : hemoroid, ulkus, ankilostomiasis, dll
- Menstruasi berlebihan
- Donor darah
- Hemoglobinuria
- Kelainan hemostasis, dll

3. Penggunaan besi meningkat


- Kehamilan
- Dalam masa pertumbuhan

3. Gambaran Klinis :
- Pucat
- Atrofi papil lidah.
- Cheilosis angularis ( stomatitis angularis )
- Disfagia : karena rusaknya epitel hipofaring.
- Gastritis atrofi, sekresi asam menurun.
- Koilonikia ( kuku sendok )
- Pica

119
Gambaran laboratorium :
- Serum besi menurun, TIBC meningkat, saturasi transferin menurun < 15 %
- Ferritin serum menurun
- Gambaran darah tepi : Anisositosis, mikrositer hipokrom.
- Sumsum tulang : hemosiderin rendah atau tidak ada pada pengecatan dengan Prusian
biru.

4. Diagnosa Banding :
a. Anemia hipokrom mikrositik e.c penyakit kronik
Fe normal, TIBC , Ferritin serum normal, Ferritin SST normal.
b. Talasemia
Fe normal, TIBC , Ferritin serum normal, Ferritin SST normal, Elektrofese Hb
terdapat kelainan
c. Anemia sideroblastik
Fe meningkat, TIBC normal, Ferritin serum normal, Ferritin SST normal dan
ditemukan cincin sideroblast.

5. Pengobatan :
- Terapi penyakit dasar.
- Transfusi : bila secara klinis terdapat gangguan hemodinamik
- Obat : Preparat besi 3 – 6 bulan.
Oral : sulfas ferosus, glukonas, fumaras, dll
Efek samping : Iritasi lambung, diare, konstipasi
Parenteral : pada kasus malabsorpsi, dll
Efek samping :
- Hipersensitif
- Syok anafilaktik

Menghitung defisit besi :


Delta Hb x BB x 2,2 + jumlah besi untuk menggantikan cadangan besi.
(Wanita = 600 mg, laki-laki = 1000 mg ).

120
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIK


1. Batasan :
Anemia yang umumnya terjadi pada penderita infeksi kronis, penyakit inflamasi, trauma dan
keganasan

2. Etiologi : berhubungan dengan


a. Infeksi kronis
 Paru : TBC
 Subakut Bakterial Endokarditis
 Osteomielitis
 Infeksi di Pelvis, dll

b. Non Infeksi
 Reumatoid Artritis
 Reumatik Fever
 SLE
 Trauma
 Akut Miokard Infark, dll.

c. Keganasan
 Karsinoma
 Linfoma
 Leukemia, dll.

121
3. Patofisiologi :
Yang pasti tidak diketahui.
 Masa hidup sel darah merah memendek.
 Respons Eritropoisis umsum tulang menurun terhadap kebutuhan tubuh (
untuk meningkatkan produksi sel darah merah ).
 Gangguan metabolisme besi.
 Produksi eritropoetin menurun.

4. Gambaran Klinik :
Tergantung pada penyakit dasar dan beratnya anemia, biasanya anemianya ringan dan
tidak progresif.
Gambaran laboratorium
 Biasanya anemianya normositer normokrom, sebagian dengan hipokrom mikrositer
(lebih kurang 30%).
 Retikulosit rendah, Trombosit dan lekosit normal
 Besi serum normal, kadang-kadang rendah, Saturasi Transferin rendah, TIBC
menurun, Ferritin serum normal atau meningkat.
 Sumsum tulang : Normoseluler, Ferritin normal.

5. Diagnosa Banding :
1. Anemia Defisiensi Fe
2. Talasemia

6. Pengobatan :
 Obati penyakit dasarnya, anemianya akan membaik dengan perbaikan dari
penyakit yang mendasarinya.
 Recombinant human EPO
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors
Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen

122
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,
2006

ANEMIA APLASTIK

PENGERTIAN
Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang dimana jaringan hemopoiesis
diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang <25% dan terdapat 2 dari 3 gejala berikut:
- granulosit < 500/ul
- trombosit < 20.000/ul
- retikulosit < 10 ‰
2. Anemia aplastik
- Sumsum tulang hipoplastik
- Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik
berat

Etiologi:
- Idiopatik
- Sekunder: obat (kloramfenikol), kimia(benzen), infeksi (Epstein Barr Virus, hepatitis),
kehamilan, radiasi.
- Herediter: sindrom Fancony
- Obat-obatan lain: NSAID, sulfonamid, antithyroid, furosemid, kortikosteroid,
penicillamine, allopurinol, senyawa Mas.

DIAGNOSIS
 Anamnesis:
- Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi
virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat tranfusi darah
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak napas/gagal jantung,
berkunang-kunang
- Tanda-tanda infeksi; sering demam

123
- Akibat trombositopenia; perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan dibawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah)
 Pemeriksaan fisik: konjungtiva palpebra pucat, takikardi, tanda perdarahan
 Pemeriksaan penunjang: darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus
( hepatitis, parvovirus)
 Diagnosis pasti: sitologi dan histopatologi sumsum tulang

DIAGNOSIS BANDING
Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi, anemia karena penyakit kronik, anemia
karena penyakit keganasan sumsum tulang, hipersplenisme, leukemia akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus
 Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

TERAPI
Terapi penunjang:
 Tranfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai indikasi (pada topik tranfusi
darah)
 Menghindari dan mengetsi infeksi
 Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/kgBB/hari
 Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari, maksimal diberikan selama 3 bulan
 Splenektomi dilakukan bila tidak ada respon dengan steroid. Bila pasien menolak
splenektomi dapat diberikan terapi imunosupresif:
- Siklosporin 5 mg/kgBB/hari
- ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/kgBB/hari intravena selama 5 hari
- Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok

Respon terapi:
 Komplit: granulosit >1000/ul, trombosit >100.000/ul, Hb normal
 Parsial: granulosit >500/ul, tidak membutuhkan tranfusi darah merah dan trombosit
 Minimal: granulosit >500/ul, membutuhkan tranfusi darah merah dan trombosit
 Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap

124
KOMPLIKASI
Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat

PROGNOSIS
 Dubia, tergantung tingkat hipoplasinya
 Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi
tranfusi darah

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi – Onkologi
Medik
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi
 RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

125
LEUKEMIA AKUT

PENGERTIAN

Leukemia akut merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif
sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah (sel
blas dan atau satu tingkat diatasnya). Leukemia akut dibagi 2 yaitu: leukemia mieloblastik
akut, leukemia limfoblastik akut

DIAGNOSIS
 Anamnesis:
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak napas/gagal jantung,
berkunang-kunang
- Tanda-tanda infeksi: sering demam
- Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan
gusi,perdarahan dibawah kulit hematuria, buang air besar campur darah, muntah
darah)
 Pemeriksaan fisik: pucat, demam, pembesaran kelenjar getah bening (KGB) superfisial,
organomegali, petekie / purpura / ekimosis
 Pemeriksaan penunjang: aspirasi sumsum tulang: hitung jenis sel blas dan / atau
progranulosit > 30%

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisplasia (MDS), reaksi leukemoid, leukemia kronis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat,
fungsi ginjal, fungsi hari, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)
 Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenetik

TERAPI
Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun:
Persiapan pengobatan sitoreduksi:

126
 Akses vena sentral
 Anti emetik
 Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup >2000 ml/24 jam, alkalinisasi
urin dengan natrium bikarbonat oral 4x500-1000 mg/hari (target pH urin >7)
 Tunda haid (lynestrenol)
 Antibiotika dekontaminasi parsial
 Profilaksis streptokokus (benzylpenicilline 4x1 g)
 Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg peroral
 Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu
 Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit >100.000/ul dikombinasi
metilprednisolon 5 mg/kg/hari

Pemeriksaan rutin:
 Turn over rate sel tumor (LDH, asam urat)
 Alektrolit (Na, K, Ca)
 Hemostasis lengkap
 Fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
 Keasaman urin
 Fungsi hati (bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP)
 Gula darah
 Serologi virus
 Surveillance lakteriologi
 Foto dada
 Pungsi lumbal diagnostik jangkitan otak

Kuratif:
 Sitorediksi dengan sitostatikan mulai dari yang ringan hingga yang agresif dengan
membutuhkan rescue sel induk darah pasien dari darah perifer untuk penyelamatan pada
ablasi sumsum tulang
 Transplantasi sel induk darah alogenik aatau autogenik dari darah perifer, sumsum tulang
atau tali pusar

127
Paliatif:

Respons terapi
Komplit:
 Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit <5% pada sitologi aspirat sumsum tulang
 Pada darah tepi tidak ditemukan blas, leukosit >3000/ul, granulosit >1500/ul dan trombosit
>100.000/ul

Partial
 Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit 5-10% pada sitologi aspirat sumsum tulang
 Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas

Tidak respon
 Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit >10% pada sitologi aspirat sumsum tulang

KOMPLIKASI
Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia/koagulasi intravaskuler
diseminata

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi – Onkologi
Medik
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

128
UNIT TERKAIT
 RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi
 RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

SINDROM LISIS TUMOR

PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia yang disebabkan oleh
pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat

DIAGNOSIS
 Anamnesis: riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang
diderita (limfoima burkitt, leukemia limfoblastik akut dan limfoma derjat tinggi lainnya)

 Pemeriksaan fisik: tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya pernapasan
kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel
pada hiperkalemia

 Laboratorium: peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan
kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkkan asidosis metabolik, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 dan/terdapat kristal asam urat

129
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laborotarium: DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisis

TERAPI
 Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting
 Hidrasi adekuat 3000 ml/m2 perhari
 Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
 Allopurinol 300 mg/m2 perhari
 Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
 Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K>6
meq/l, asam urat >10 mg/dl, kreatinin > 10 mg/dl, F >10 mg/dl atau semakin meningkat,
hopokalsemia simptomatik) maka dilakukan hemodialis

KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi – Onkologi
Medik
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

130
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA PURPURA

DIAGNOSIS
Untuk menyingkirkan kemungkinan idiophatic trombocytopenia purpura (ITP) sekunder
 Anamnesis:
- Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan
bahan kimia
- Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan
- Gejala penyakit autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok
- Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), resiko infeksi HIV, status
kehamilan, riwayat tranfusi, riwayat pada keluarga (trombositopenia, gejala
perdarahan dan kelainan autoimun)
- Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko perdarahan (kelinan
gastrointestinal, sistem syaraf pusat dan urologi)
- Kebiasaan / hobi: aktivitas traumatik
 Pemeriksaan fisik
- Perdarahan (lokasi dan beratnya)
- Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau stigmata penyakit
kronik
- Tanda infeksi (bakteremia / infeksi HIV)
- Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
 Pemeriksaan penunjang
- Darah tepi: hitung trombosit < 150.000/uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya,
pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran
lebih besar

131
- Laboratorium kimia rutin dan enzim hati
- Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella)
- Pemeriksaan ACA, Coomb’s test, C3, C4, ANA, anti dsDNA
- Pemeriksaan imunoelektroforesis protein
- Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa perdarahan
yang memanjang
- Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat
- Pemeriksaan autoantibodi trombosit

DIAGNOSIS BANDING
 Berkurangnya produksi trombosit/ aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat
 Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia)
 Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll)
 Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada spesimen darah tepi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Commb’s test, C3, C4,
ANA, anti dsDNA, serologi virus, anti HIV, antibodi antitrombosit
 Sitologi aspirasi sumsum tulang

TERAPI
ITP akut; (anak-anak, self limiting)
 Trombosit > 30.000/ul, asimptomatik/ purpura minimal  tidak diterapi rutin
 Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau < 10.000/ul dengan purpura
minimal  steroid (~ prednison 1-2 mg/kgBB/hari)
 Perdarahan yang mengancam jiwa  dirawat, steroid injeksi dosis tinggi (metil
prednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (~ prednison 4-8 mg/kgBB/hari)
dan tranfusi trombosit

ITP kronik (dewasa)


Terapi suportif
 Membatasi aktivitas yang beresiko trauma

132
 Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi trombosit
 Tranfusi PRC sesuai kebutuhan
 Tranfusi trombosit bila:
- Perdarahan masif
- Adanya ancaman perdarahan otak / SSP
- Persiapan untuk operasi besar

Perawatan RS untuk pasien dengan:


 Perdarahan berat yang mengancam jiwa
 Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna
 Trombosit > 50.000/ul asimptomatik / dengan purpura minimal  tidak diterapi
 Trombosit < 30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000 – 50.000/ul dengan perdarahan
bermakna, kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa 
diterapi:

1. Steroid (prednison 1-2 mg/kgBB/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down,
maksimal selama 6 bulan. Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih
dari 4 minggu pada pasien tidak respon

2. IVIG (Intravenous immune globulin)


dosis 1 gr/kgbb/hari selama 2 hari, dapat ditambahkan bersama-sama prednison jika
perdarahan aktif/thrombositopenia berat(< 5000-10000/ µl), selanjutnya pada kasus
kronik IVIG jika diperlukan dapat diberikan setiap 2-3 minggu.

3. Splenektomi

Indikasi:
 Gagal remisi dengan terapi steroid dala 6 bulan observasi
 Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi
 Adanya kontra indikasi / intoleransi terhadap steroid

133
Pilihan terapi yang lain:
 Obat-obat imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin)
 Preparat androgen (danazol)
 Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat
 Hormonal anovulatoir
 Monoclonal anti B-cell antibody Rhytuximab(anti CD 20)

KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, DM induced steroid, hipertensi, immunocompromised

PROGNOSIS
 ITP akut : bonam
 ITP kronik: budia ad malam

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi – Onkologi
Medik
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

134
TROMBOSIS VENA DALAM
PENGERTIAN
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah didalam pembuluh darah vena terutama pada
vena tungkai bawah

DIAGNOSIS
Gejala klinis bervariasi (90% tanpa gejala klinis)
Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila:
 Riwayat trombosis, strok
 Pasca tindakan bedah terutama bedah ortopedi
 Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat
 Luka bakar
 Gagal jantung akut atau kronik
 Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi
 Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok
 Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen
 Kalinan darah bawah atau didapat yang menjadi predisposisi untuk trombosis

ANAMNESIS
Nyeri lokal , bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang
terkena

PEMERIKSAAN FISIK
 Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba,
Homan’s sign
 Berdasarkan data tersebut diatas sering ditemukan negatif palsu
 Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N: 85-125%)
 Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
 Titer D-dimer meningkat

135
DIAGNOSIS BANDING
Sndrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses
inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis kontak,
eritem nodosum, kahamilan, flebitis superfisial, paralisis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Radiologi: venografi/ flebografi, USG vena-B mode atau colour doppler
 Laboratorium: kadar AT III, protein C, protein S, antibodi antikardiolipin, profil lipid,
agregasi trombosit

136
TERAPI
Non farmakologis:
 Tinggikan posisi ektremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena
 Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
 Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti garakan fleksi-ekstensi,
menggenggam dll, tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di vena-vena yang masih
terbuka (patent)
 Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini akan dapat meningkatkan aliran
darah vena

FARMAKOLOGIS:
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
 Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000 IU/jam
 Target aPTT 1,5-2,5 x kontrol, bila
- aPTT <1,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
- aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
 Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hari III : aPTT diperiksa tiap 24 jam

LMWH (low molecular weight heparin)


 Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
 Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
 Tidak perlu pemantauan

Warfarin
 Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin dengan dosis harian 16-10
mg malam hari, hari II diturunkan
 INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan terget 2-3
Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya
 Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko
- Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6 bulan
- Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur hidup
 Cara penyesuaian dosis INR
- INR 1,1-1,4
Hari I  naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan  naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Kembali 1 minggu
- INR 1,5-1,9
Hari I  naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan  naikkan 5-10% dari total dosis minguuan
Kembali 2 minggu
- INR 2,0-3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
- INR 3,1-3,9

137
Hari I  kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan  kurangi 5-15% dari dosis total mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 4,0-5,0
Hari I  tidak dapat obat
Mingguan  kurangi 10-20% dari dosis total mingguan
Kembali 1 minggu
- INR >5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari

2. Trombolisis (streptokinase, tPA)


 Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus
(trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut)
 Tidak dianjurkan pada thrombus yang beruasia lebih dari 4 minggu

3. antigregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)


 Bukan merupakan terapi utama
 Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau
warfarin

KOMPLIKASI
Perdarahan akibat obat antikoagulan/antiagregasi trombosit, trombositopenia akibat heparin,
osteoporosis pada pasien yang mendapat heparin > 6 bulan dengan dosis 10.000 U/hari

PROGNOSIS
Tergantung pada penyebab, [ada yang tidak disertai komplikasi baik

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi – Onkologi
Medik
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan: Departemen radiologi, Bedah / Vaskular
 RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006

138
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA


PENGERTIAN
Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara
berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan

PATOFISIOLOGI:
- Terjadi ketidak seimbangan antara mekanisme pembentukan dan penghancuran
bekuan darah
- Biasanya dicetuskan oleh lepasnya Tissue Factor secara berlebihan akibat kerusakan
sel, vasculer, hipoksemia atau oleh adanya molekul endogen (protein yang dihasilkan
sel neoplasma) dan atau eksogen (bakteri, bisa ular) yang bersifat koagualan.

DIAGNOSIS
Klinis:
 Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria
 Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesis-melena,
hematuria, epistaksis)
 Manifestasi trombosis  gagal organ (paru, ginjal, hati)
 KID merupakan akibat dari kausa primer yang lain:
- Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin intra-uterin, abortus
septik)
- Bidang hematologi ( reaksi tranfusi, hemolisis berat, leukemia)
- Infeksi (septikemia, gram negatif , gram positif, virus HIV, hepatitis, dengue,
parasit malaria)
- Trauma, penyakit hati akut, luka bakar

139
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Kompensasi Hiperkompensasi Dekompensasi


Trombosit N N
PTT N N/
PT N N/
Fibrinogen N N/
D-dimer +/ +/ ++/

 Darah tepi: trombositopenia atau normal, burr ecell (+)


 Pemeriksaan hemostasis pada KID
DIAGNOSI BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, d-Dimer)

TERAPI
 Suportif
- memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
- memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
- membebaskan jalan napas
- memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa
- memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit

 Mengobati penyakit primer


 Menghambat proses patologis
- Komponen darah :
> Tidak berikan kecuali jika terjadi perdarahan cukup berat atau risiko perdarahan
tinggi.

140
> Trombosit jika terjadi perdarahan, target trombosit 20000-30000 atau > 50000 jika
perdarahan berat/ intrakranial, atau > 80000 jika penderita akan menjalani tindakan bedah
mayor.
> Cryopresipitate jika kadar fibrinogen < 80-100 mg/dl
> FFP jika perdarahan cukup berat, PT/APTT memanjang
- Antikoagulan (Heparin), jika:
> Perdarahan menetap walaupun telah diberikan terapi adekuat
> Trombosit > 50000/µl
> Tidak ada perdarahan SSP atau saluran makanan yang berat

Heparin intravena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi aPTT dengan
target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat
Bila pada jam kedua:
- aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
- aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol evaluasi aPTT pada jam keempat, bila:
- aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
- aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dikurangi menjadi 2500 U

KOMPLIKASI
Gagal organ, syok/hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi – Onkologi
Medik
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Referensi :

141
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

TROMBOSITOSIS PRIMER/ESENSIAL

PENGERTIAN
. Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah normal tertinggi
(450.000/ul)
. Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel multipotensial hemopoitik

DIAGNOSIS
. Anamnesis:
- Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta berdenyut, cenderung
timbul kembali disebabkan panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki
ditinggikan (eritromialgia).
- Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik seperti sakit kepala,
pusing, defisit neurologi fokal, serangan iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri
retina.
- Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan fetus
terhambat
. Pemeriksaan fisik:
- Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi yang
terkena.
. Pemeriksaan laboratorium
- Jumlah trombosit seringkali > 1 juta/ml
- Laju endap darah normal
- Variasi bentuk trombosit abnormal (raksasa, hipogranuler), fragmen trombosit
- Masa perdarahan normal
- Faktor VIII/ Von Willebrand normal

DIAGNOSIS BANDING
Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder

142
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, morfologi trombosit, laju endap darah,
masa perdarahan, faktor VIII / Von Willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin

TERAPI
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi trombosit
. Untuk menurunkan trombosit:
1. Hydroxyuria (hydrea): 15 mg/kgBB/hari
2. Anagrelide (agrylin): 4 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai dosis rendah dan dinaikkan
secara bertahap tiap minggu
3. Thromboreduction
4. Interferon alfa: 3 juta IU, tiga kali satu minggu
5. Fosforous-32

- Untuk menurunkan fungsi trombosit:


1. Aspirin
2. Tiklopidin
3. Klopidogrel

KOMPLIKASI
. Perdarahan (memar kebiruan, epistaksis, perdarahan saluran cerna, perdarahan pasca
operasi). Resiko terbesar bila trombosit > satu juta /ml dan mendapat aspirin.
. Trombosis (eritromialgia, iskemia ginjal, infark miokard, stroke, iskemi mesenteric,
infark plasenta, sindrom Budd Chiari). Resiko terbesar bila sebelumnya ada riwayat
trombosis, umur lebih dari 60 tahun dan sudah lama mengalami trombositosis.
. Trombosis esensial dapat mengalami tranformasi menjadi mielofibrosis (4%),
polisitemia vera (2,7%), leukemia mielositik akut (0,6%-5%).

PROGNOSIS
- Ad vitam : dubia
- Ad fungsionam : dubia
- Ad sanasionam : malam

143
WEWENANG
- RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
- RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


- RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi-Onkologi Medik
- RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR

PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior adalah kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi vena kava
superior oleh sebuah tumor mediastinum.

DIAGNOSIS
 Anamnesis : keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan penglihatan, sinkop,
suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit punggung.
 Pemeriksaan fisik : distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan dada atas,
sianosis.
 Pemeriksaan penunjang :
- Foto dada menunjukkan mssa paratrakeal atau di mediastinum
- CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa

144
DIAGNOSIS BANDING
 Tumor mediastinum : tumor ganas, teratoma, limfoma malignum
 Tumor paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi : foto toraks, CT scan toraks

TERAPI
 Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada 70% kasus, dosis harian
dimulai dengan dosis tinggi (400 cGy) untuk mendapatkan pengecilan massa tumor yang
dibutuhkan
 Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi akan sama efektifnya
dengan radioterapi.

KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak
PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : malam
 Ad sanasionam : malam

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/toraks
 RS non pendidikan : Bagian radiologi, Bedah.

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006

145
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors
Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,
2006

HIPERKALSEMIA

PENGERTIAN
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering ditemukan sebagai akibat
metabolik dari keganasan.

DIAGNOSIS
 Anamnesis : anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria
 Pemeriksaan fisik : penurunan kesadaran
 Pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat

DIAGNOSIS BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal

TERAPI
1. Diuresis paksa dengan larutan saline (200-250 ml/jam) dan furosemide disertai monitor
ketat balans cairan dan fungsi kardiopulmoner
2. Mithramycin 25 Ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan pada gagal ginjal dan
trombositopenia
3. Kortikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari pengobatan. Berguna pada
hiperkalsemia pada limfoma malignum, mieloma multiple dan karsinoma payudara.
4. Bifosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia refrakter terhadap cara-cara
sebelumnya atau terdapat kontraindikasi
5. Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia adalah kemoterapi yang efektif.

146
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut

PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia
 Ad fungsionam : dubia ad malam
 Ad sanasionam : malam

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi-Onkologi Medik
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
 RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

147
HIPERURISEMIA

PENGERTIAN
Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan pada leukemia, gangguan
mieloproliferatif, limfoma atau mieloma yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran
selama kemoterapi di mana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak untuk kemudian
mengalami katabolisme menjadi asam urat

DIAGNOSIS
 Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal
 Kadar asam urat melebihi 10 mg/dl dan rata-rata 20 mg/dl. Oliguria atau anuria dengan
atau tanpa adanya kristal asam urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat.
 Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut sampel acak, medukung
diagnosis nefropati akibat hiperurisemia.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis

TERAPI
1. Allupurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada sindrom lisis tumor
2. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar asam urat dan memperbaiki fungsi
ginjal.

KOMPLIKASI
 Batu Ginjal
 Gagal ginjal

PROGNOSIS
 Ad vitam : malam
 Ad fungsionam : malam
 Ad sanasionam : malam

148
WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi-Onkologi Medik
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
Unit hemodialisis, Departemen Patologi Klinik

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

149
TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat penting, sehingga tidak jarang
lebih penting daripada pengobatan pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena
pengobatan suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi masalah-
masalah yang dapat mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada
pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratif tetapi juga pada pengobatan paliatif.
Pengobatan suportif ini meliputi :
1. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna
2. Penanganan nyeri
3. Penanganan infeksi
4. Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi

DIAGNOSIS
Masalah Nutrisi
 Anamnesis : penurunan berat badan yang cepat
 Antropometri : tebal lemak kulit (M.deltoideus lengan atas), indeks massa tubuh (
dibawah 1,5 menunjukkan katabolisme berlebihan), penilaian terhadap massa otot
 Laboratorium:
- Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan respons imun)
- Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3 g/dl dan prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan
malnutrisi),
- Kadar urea nitrogen urin (>24 g/ 24 jam menunjukkan katabolisme protein berlebihan),
kadar feritin darah.

PENANGANAN NYERI
 Anamnesis : waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan faktor yang menambah atau
mengurangi nyeri.
 Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien, apakah nyeri viseral,
somatik atau neuropatik.

150
 Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri, menggunakan alat bantu VAS
(visual analog scale) yaitu skala dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada
nyeri sama sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling hebat).
Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi kelompok :
- Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri
- Angka 1-3 menyatakan nyeri ringan
- Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang
- Angka 7-10 menyatakan nyeri berat
Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan adalah jenis tingkatan nyeri.

PENANGANAN INFEKSI
Masalah Efek Samping Sitostatika
1. Penekanan sumsum tulang (infeksi neutropenia, trombositopenia, leukopenia, anemia)
2. Mual dan muntah
3. Toksisitas jantung (kardiomiopati, perimiokarditis)
4. Toksisitas ginjal (nekrosis tubuka ginjal)
5. Ekstravasasi
6. Sindrom lisis tumor

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Masalah nutrisi
- Antropometri : tebal lemak kulit, indeks massa tubuh dan massa otot
- Laboraorium : Hitung limfosit, albumin dan prealbumin darah, urea nitrogen urin,
feritin darah

 Penanganan nyeri
- Pemeriksaan radiologi : foto, USG, bone scan, CT scan, MRI untuk mengetahui
jenis nyeri dan lokasinya

 Penanganan infeksi
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis, kultur darah, kultur urin,
kultur sputum, swab tenggorok untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaa terhadap
koloni jamur
- Foto toraks

 Masalah efek samping sitostatika


- Pemeriksaan fisik : luas permukaan tubuh, tingkat kemampuan berperan, mencari
sumber infeksi

151
- Pemeriksaan laboratorium DPL dengan hitung jenis, fungsi ginjal, urinalisis, asam
urat rendah, fungsi hati, kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi

TERAPI
Masalah nutrisi
 Indikasi terapi :
1. pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari
2. bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum sakit
3. kadar albumin serum < 3,5 gr/dl
4. terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh
 Perhitungan kebutuhan kalori
Rumus perhitungan kebutuhan kalori =
Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan hiperkatabolik
Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/kgBB ideal/hari
Kalori basal perempuan : 23-26 kalori/kgBB ideal/hari
Perhitungan kebutuhan protein :
Protein yang dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB ideal/hari
Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 g/kgBB ideal/hari
 Cara pemberian
1. Enteral melalui saluran cerna peroral, lewat selang nasogastrik, jejunostomi,
gastrotomi
2. Parenteral diberikan bila melalui enteral tidak bisa atau pasien tidak mau dilakukan
gastrostomi/jejunostomi. Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral karena dapat
diberikan cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan-1 tahun).
Hati-hati terhadap bahaya infeksi dan trombosis

Penanganan Nyeri
Pengobatan medikamentosa/ farmakologi
 Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen atau OAINS, kemudian
dievaluasi dalam 24-72 jam, bila masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau
opioid ringan kodein sampai dengan 6x30 mg/hari

152
 Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opoid ringan kemudian dievaluasi dalam
24 jam, bila ,asih nyeri obat diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin intravena
dimulai dengan, dosis dititrasi samapai pasien bebas nyeri.
 Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan dievaluasi sampai hitungan
jam sampai nyeri terkendali baik. Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin
intravena diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan perbandingan 1:3,
artinya jika dosis injeksi 20 mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3x20 mg/24 jam (60
mg), diberikan 6x10 mg atau 4x15 mg/hari. Bila setelahnya dosis terkendali baik maka
diganti morfin oral kerja lama dengan dosis 2x30 mg/hari. Bila nyeri belum terkendali,
morfin dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat dan dievaluasi lebih lanjut serta
berpedoman pada VAS.
 Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya neuropatik maka selain obat-
obat tersebut ditambahkan GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis
tulang sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bisfosfonat, bila metastasis luas dan
multipel maka pilihan utamanya adalah radioterapi dan dapat ditambahkan bifosfonat.

Pengobatan Non Medikamentosa:


1. Penanganan psikiatris
2. Operasi bedah saraf
3. Blok anestesi
4. Rehabilitasi medik

Penanganan Infeksi
 Infeksi oleh bakteri gram negatif
- Kombinasi antibiotik beta laktam dengan aminoglikosida
- Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem, meropenem
 Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epidermidis sering resisten pada
berbagai macam antibiotika, diberikan vankomisin dan teikoplanin
 Infeksi jamur. Pemberian amfoterisin B dianjurkan pada pasien neutropenia dengan
demam berkepanjangan setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari
tanpa adanya bakteriemia.

153
 Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa imunosupresi, sehingga beberapa
pusat menganjurkan pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan
mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama.

Masalah Efek Samping Sitostatika


1. Penekanan sumsum tulang dan negatif
 Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika ysng tepat
 Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia berupa dekontsminasi saluran cerna,kulit
dan rambutbila akn mendapat kemoterapi agresif
 Pengobatan infeksi, bila hasil kulllltur belum ada, diberikan pengobatan empiris yang
dapat menjangkau Gram positif anti jamur, bila perlu anti virus
 G-CSF saat ini dapat diberikan pada keadaan granulositopenia, terutama ysng
mendapat kemoterapi agresif.
2. Mual dan muntah
Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopropamid, antagonis serotonin (ondansetron,
zepin, granisetron dan tropisetron), kortikostroid, benzodiazepin, nabilon, antihistamin
dan kombinasi obat-obat antiemetik diatas. Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi
deksametason diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan metoklopropamid.
3. Toksisitas jantung
Pasien dengan risiko tinggi (EF<50%) harus menjalani ekokardiografi setiap satu atau dua
siklus pengobatan, sedangkan pada yang tidak berisiko tinggi ekokardiografi diulang
denan dosis kumulatif 350-400 m/m2. Hal yang paling penting pada pemantauan adalah
dosis kumulatif (epirubisin 950 mg/m2, daunorubisin 550 mg/m2)
4. Toksisitas ginjal
Kerusakan injal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat dan diuretik
5. Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat vesikan dapat dicegah dengan mematikan
jalan infus intravena lancar dan setelah kemoterapi diberikan, cairan infus tetap diberikan
6. Sindrom lisis tumor
Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi sampai dengan 3-5 hari
setelahnua diberikan hidrasi intravena 3000 ml/m2, alopurinol 500 mg/m2 peroral, bila
kadar asam urat > 7 mg/dl diberikan alkalinisasi uri dengan natrium bikarbonat dengan
mempertahankan pH urin di atas 7

154
KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping urin

PROGNOSIS
 Ad vitam : malam
 Ad fungsionam : malam
 Ad sanasionam : malam

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi-Onkologi Medik
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

155
POLISITEMIA VERA
PENGERTIAN
Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan dengan peningkatan
jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas
ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan
trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel
induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya).
Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat secara
nonfisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang
mensekresi eritropoetin. Perjalanan klinis:
1. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan
viskositas darah dalam batas normal.
2. Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadang timbul anemia.
3. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan
metaplasia myeloid.
4. Fase terminal

ETIOLOGI
Proliferasi sel erythroid yang indepen faktor pertumbuhan (eritropoeyin)

DIAGNOSIS
International Polycythemia Study Group II
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi criteria
a. A1+A2+A3 atau
b. A1+A2+2 kategori B
Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada pria
≥ 36 ml/kg dan pada wanita ≥ 32 ml/kg.

156
2. Saturasi oksigen arterial ≥ 92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak
menurun).
3. Splenomegali.
Kategori B
1. Trombositosis: trombosit ≥ 400.000/ml.
2. Leukositosis: leukosit ≥ 12.000/ml.
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi).
4. Kadar vitamin B12 > 900pg/ml dan atau UB12BC dalam serum ≥ 2200 pg/ml.

DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin meningkat akibat
manifestasi sindrom paraneoplastik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12 serum, NAP, saturasi O2
 Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan mieloproliferatif yang
lain.

TERAPI
Prinsip Pengobatan:
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan mengendalikan
eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum
terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan.
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik, dan berefek sterilisasi pada pasien
usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi
sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
 Trombositosis persisten di atas 800.000/ml terutama jika disertai gejala trombosis.
 Leukositosis progresif
 Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic.

157
 Gejala sistemik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

A. Flebotomi
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada wanita
dan 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate.
Indikasi flebotomi terutama untuk semua pasien pada permulaan penyakit dan yang masih
dalam usia subur.
Indikasi:
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%)
3. Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate
B. Kemoterapi sitostatika
Tujuannya adalah sitoreduksi
Indikasi:
 Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
 Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
 Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
 Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
 Splenomegali simtomatik/mengancam ruptur limpa

Cara pemberian:
 Hidroksiurea 800-1200 mg/mm2 hari atau 10-15 mg/kg/kali diberikan dua kali sehari.
Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan.
 Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama 3-6 minggu dan dosis
pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
 Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari. Bila tercapai target, dilanjutkan
pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan.

C. Fosfor radioaktif
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3mCi/m2/hari intravena, bila per oral
dinaikkan 25%. Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama:

158
 mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan.
 Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah 10-
12 minggu dosis pertama.
Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil.

D. Kemoterapi biologi (sitokin)


E. Pengobatan suportif
 hiperurisemia : allopurinol 100-600 mg/hari.
 Pruritus dengan urtikaria : antihistamin, PUVA
 Gastritis/ulkus peptikum : antagonis reseptor H2
 Antiagregasi trombosit anagrelid

KOMPLIKASI
Trombosis, perdarahan, mielofibrosis

PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : malam
 Ad sensasionam : malam

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam─Divisi Hematologi-Onkologi
 RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical Hematologi, Lippincott
Williams and Willkins, 2006

159
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A, editors Panduan
Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006

160
BAB VII
ALERGI IMUNOLOGI

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ( LES )

1. Definisi :
Penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat adanya deposit
kompleks imun di jaringan dan atau sirkulasi.

2. Etiologi :
kelainan autoimun dengan latar belakang kelainan genetik.

3. Patogenesis :
Beberapa teori mengenai patofisiologi SLE antara lain :
a) Adanya hiperreaktifitas sel limfosit B yang memproduksi berbagai autoantibodi.
b) Gangguan sel T berupa hiperrektifitas sel Th (CD4 +) yang meningkatkan proliferasi
dan diferensiasi sel B atau sel Tc (CD8 +) juga terjadi supresi sel Ts (CD 8 -) sehingga
aktifasi sel B dan sel T tampak berlebihan.
c) Penurunan fungsi sel monosit-fagosit dan sel NK.
d) Produksi sitokin dan respon sel B terhadap sitokin terganggu.

4. Gejala Klinis :
(lihat kriteria ARA).

5. Diagnosis :
Ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria ARA.

161
Kriteria ARA tersebut adalah sebagai berikut :
Kriteria Definisi
1. Malar rash. Fixed malar erythema, flat or raised.
2. Discoid rash Erythematosus raised patches with keratotic scalling and
follicular plugging, atyphic scaring may accur in older lesions.
3. Photosensitivity. Skin rash as an unusual reaction to sunlight, by patient history
or physician observation.
4. Oral ulcers. Oral or nasopharyngeal ulcers, usually painless, observed by
physician.
5. Arthritis. Non-erossive arthritis involving two or more peripheral joints,
characteristic by tenderness, swelling or effusion.
6. Serositis. a. Pleuritis (convincing history of pleuritic pain or rub heard
by physician or evidence of pleural effusion).
b. Pericarditis ( documented by ECG, rub or evidence of
pericardial effusion).
7. Renal disorder. a. Persistent proteinuria (>0,5 g/24 hours or +3)
b. Cellular cast of any type.
8. Neurologic disorder. a. Seizures (in the absence of other causes).
b. Psychosis (in the absence of other causes).
9. Hematologic disorder. a. Haemolytic anemia, or
b. Leukopenia (4000/mm3 on 2 or more occasions) or
c. Lymphopenia (1500/mm3, on 2 or more occasions) or
d. Trombocytopenia (100.000/mm3, in the absence of
offending drugs).
10. Immunologic disorder. a. Positive LE cell preparation. Or
b. Anti double stranded DNA. Or
c. Anti Sm. Or
d. BFP (false positive serologic test for syphilis positive for at
least 6 month with negative TPI or FTA).
11. Anti Nuclear Antibody. An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or an
aquivalent assay at any time and in the absence of drugs
known to be assiciated with “drug induced lupus syndrome”.

162
Untuk penderita SLE di Indonesia, salah satu gambaran klinis yang sering ditemukan
adalah rambut rontok, ini dapat dimasukkan sebagai kriteria tambahan (lihat tabel SLEDAI).
Vaskulitis retina dapat pula dimasukkan kelainan imunologi.(FK UNSRI )
Tabel SLEDAI (indikator aktivitas penyakit) : Bobot dalam kolom skor SLEDAI jika
gambaran didapatkan pada kunjungan saat ini atau 10 hari yang lalu.
N0. Skor Gambaran Batasan
1 8 Kejang  Kejang yang baru terjadi. Ekslusi : sebab obat,
infeksi, metabolik.
8 Psikosis  Gangguan kemampuan untuk fungsi aktifitas
normal akibat gangguan hebat pada persepsi
realitas. Termasuk halusinasi, inkoherensi,
asosiasi melonggar, pikiran yang tak logis,
bizarre, disorganized, tingkah laku katatonik,
ekslusi : sebab obat, uremia.
2 8 Sindrom obat organik Gangguan fungsi mental dengan gangguan orientasi,
memori atau fungsi intelektual dengan gambaran
klinis yang cepat terjadi serta berfluktuasi. Inklusi :
kesadaran berkabut dengan penurunan kapasitas
untuk memusatkan perhatian pada sekelilingnya,
ditambah setidaknya dua dari hal-hal berikut :
gangguan persepsi, ujar yang inkoheren, insomnia
atau mengantuk disiang hari atau
meningkat/menurunnya aktifitas psikomotor. Ekslusi
: sebab obat, infeksi dan metabolik.
3 8 Gangguan visual Perubahan retina pada LES. Inklusi : Cytoid bodies,
perdarahan retina, perdarahan atau eksudat serius
pada koroid atau neuritis optik. Ekslusi : sebab
hipertensi, infeksi dan obat.
4 8 Gangguan syaraf otak  Neuropati syaraf otak motorik atau sensorik yang
Lupus. baru terjadi.
8 Headache  Sakit kepala berat, dapat berupa migren, tidak
CVA responsif terhadap analgetik narkotik.
8  CVA yang baru terjadi. Ekslusi : arteriosklerosis.

163
5 8 Vaskulitis Ulkus, gangren, nodul pada jari,vaskulitis retina,
infark periungual splinter hemorrhages atau biopsi
atau angiogram menunjukkan vaskulitis.
6 4 Artritis  Lebih dari 2 sendi disertai nyeri dan tanda-tanda
inflamasi (nyeri tekan, pembengkakan, efusi)
4  Nyeri otot/kelemahan otot paroksismal berkaitan
Myositis dengan kenaikan CPK/aldolase atau perubahan
EMG atau biopsi menunjukkan myositis.
7 4 Urinary casts  Cetakan sel darah merah atau heme-granuler
4 Hematuria  > 5 eritrosit/LPB. Ekslusi : infeksi, batu, atau
4 Proteinuria sebab lain.
 > 0,5 g/24 jam. Protein dalam urine yang baru
Piuria terjadi atau meningkat > 0,5 g/24 jam.
4  Leukosit > 5/LPB. Ekslusi : infeksi.
8 2 New rash  Rash tipe inflamasi yang baru terjadi atau
2 berulang.
Alopesia  Kehilangan rambut diffus, lokal yang baru terjadi
2 atau berulang.
Mucosal ulcer  Ulkus yang baru terjadi atau berulang pada mulut
atau rongga hidung.
9 2 Pleuritis Nyeri dada pleuritik dengan efusi/friction rub atau
penebalan pleura.
10 2 Perikarditis Nyeri perikardial, ditambah sekurangnya 1 dari hal
berikut : friction rub, efusi atau konfirmasi EKG atau
ekokardiogram.
11 1 Demam Lebih dari 38 oC. Eklusi : infeksi.
12 2 Low complement  Penurunan CH 50, C3 atau C4 dibawah batas
Peningkatan DNA normal rata-rata untuk tes laboratorium.
2 binding  Lebih dari 25% binding melalui uji farr atau
Trombositopeni diatas rata-rata normal untuk pemeriksaan
1 Lekopeni laboratorium.
1  < 100.000platelets/mm3
 < 3.000 WBC/mm33. Ekslusi : disebabkan obat.

164
6. Penatalaksanaan :
Pengobatatan pada penderita LES pada umumnya dibagi 2 :
 Pengobatan umum/konservatif
 Pengobatan farmakologis

A. Pengobatan umum/konservatif.
1. Rehabilitasi dan latihan :
Penderita SLE dianjurkan tetap melakukan aktifitas jasmani dan menghindari terlalu
banyak istirahat ditempat tidur agar kekuatan otot tetap terjaga dan juga menghindari
terjadinya kontraktur sendi, osteoforesis, atrofi otot.
2. Merokok :
Hindari merokok oleh karena asap rokok akan mengganggu oksigenasi darah,
meningkatkan tekanan darah dan memperberat fenomena Raynaud.

3. Makanan :
Dianjurkan untuk makan minyak ikan, karena minyak ikan mengandung
eicosapentanoic acid yang mampu menghambat agregasi trombosit dan menghambat
produksi leukotriene B4.

4. Sinar matahari :
Dianjurkan untuk memakai penahan sinar ultra violet (sun screen). Tetapi pemakaian
sun screen dapat menghalangi sintesa vitamin D pada kulit. Jadi pemberian vitamin D
per oral pada kasus demikian diperlukan. Kerugian lain dari pemakaian sun screen
adalah kemungkinan terjadinya reaksi alergi.

B. Pengobatan farmakologis.
1. Salisilat dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
2. Anti malaria.
Anti malaria ( Chloroquine, Hydroxychloroquine, Atabrine) diberikan pada
discoid lupus. Dosis chloroquine: 250-500 mg/hari.Dosis Hyhdroxychloroquine:
200-400 mg/hari.
Atabrine diberikan apabila pemberian chloroquine atau hydroxychloroquine
tidak memberikan hasil yang memuaskan atau timbul komplikasi pada retina. Dosis
yang dianjurkan : 100 mg/hari, walaupun dengan dosis 25 mg kadang-kadang sudah
efektif.
Sesudah pengobatan dengan anti malaria selama 1-2 tahun, sebaiknya
dilakukan tappering off. Setelah itu diberikan dosis rumatan yaitu : 1-2 kali dalam
seminggu @ 200 mg.

165
3. Kortikosteroid.
a. LES ringan (badan panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/efusi perikardial
ringan, lesi kulit, lelah dan sakit kepala).
Pertama kali diberikan aspirin / OAINS, dimulai dengan dosis rendah, dapat
dinaikan secara bertahap. Bila tidak ada respon perlu ditambahkan anti malaria,
misalnya chloroquine dosis : 2 x 250 mg/hari atau 1 x 500 mg/hari. Bila beberapa
bulan belum ada perubahan ditambahkan atabrine 100 mg/hari. Bila belum ada
juga respon diganti steroid (prednison) dengan dosis kecil : 2,5 – 5 mg/hari. Dosis
prednison dapat ditambah 20% setiap 1-2 minggu tergantung respon klinis.

b. LES berat : gejala diatas ditambah efusi pleura/efusi perikardial yang banyak,
kelaianan ginjal yang jelas, anemia hemolitik, trobositopenia purpura, lupus
serebral, vaskulitis akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru.
Pemakaian kortikosteroid pada kasus yang berat merupakan pilihan utama,
sedangkan anti malaria dan OAINS tidak dipakai.

Prosedur dan dosis pemberian kortikosteroid :


 Bila disertai badan panas, kortikosteroid diberikan tiap hari dalam 2-3 kali
pemberian.
 Bila tanpa badan panas (febris) dan tanpa gejala-gejala nyata yang berat,
prednison dapat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari.
 Apabila tidak ada keluhan sistemik, disertai dengan nefritis aktif, steroid dapat
diberikan selang sehari.
 Bila disertai dengan gejala-gejala seperti tersebut dibawah ini, perlu tindakan
khusus.

b.1. Anemia hemolitik otoimun.


Dosis prednison : 60-80 mg/hari, bila dalam 1 minggu tidak ada perubahan
baik klinis maupun laboratoris, dosis dapat dinaikkan : 100-120 mg/hari.
Respon penuh biasanya memerlukan waktu antara 8-12 minggu.

b.2. Trombositopeni otoimun.


Dosis prednison : 60-80 mg/hari. Kenaikan jumlah trombosit belum tampak
sampai minggu ke 4 pemberian prednison.

b.3. Vaskulitis sistemik akut.


Dosis prednison : 60-100 mg/hari. Respon klinik akan tampak dalam
beberapa hari, kecuali pada penderita dengan gangren. Pada penderita yang
sakit berat dapat diberikan steroid intravena.

b.4. Lupus serebral.


Preparat yang dianjurkan adalah metil prednisolon sodium suksinat (solu
medrol), dosis : 40-80 mg/hari intra vena tiap 6-12 jam. Preparat lain yang
dapat dipakai adalah hidrokortison sodium suksinat (solu cortef) dengan
dosis : 250-500 mg intra vena tiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan setiap
24-48 jam sampai mencapai 3000 mg/hari sampai efek terapi tampak.

166
b.5. Lupus nefritis akut.
Dosis prednison : 1 mg/kg BB/hari dalam waktu 6-12 minggu, kemudian
prednison diturunkan secara bertahap dan akhirnya selang sehari. Bila pada
penderita ini hanya dijumpai gangguan ginjal primer tanpa : badan panas dan
tanpa keluhan nyata serta organ lain tidak terkena, dapat diberikan prednison
: 100-120 mg/hari (2 mg/kgBB/hari)

Pada keadaan tertentu dimana gejala sistemik dan gangguan organ vital, gagal
diatasi dengan kortikosteroid dosis tinggi, dapat diberikan dosis sangat tinggi dalam
waktu yang singkat. Cara ini dikenal dengan “Pulse Steroid Therapy” (PST) yaitu :
pemberian infus larutan 1 g metil prednisolon intra vena, diberikan 1 kali sehari
selama ½ -4 jam, selama 3 hari berturut-turut, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi. Bila steroid sudah diberikan, umumnya
OAINS tidak lagi diberikan.

4. Obat sitotoksik/imunosupresant.
Perlu diingat obat pilihan untuk terapi SLE berat adalah kortikosteroid, bila respon
kurang baik atau timbul efek samping yang berat atau memerlukan dosis yang
lebih besar, maka perlu penambahan obat lain yaitu : sitostatika. Diantara obat-
obatan yang tergolong dalam kelompok ini yang sering dipakai adalah :
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, chloroquin, mofetilmicofenolat.

a. Siklofosfamid
Pada pengobatan lupus nefritis, siklofosfamid diberikan per oral dengan dosis :
1-3 mg/kg BB/hari bersama kortikosteroid dosis tinggi. Dalam keadaan krisis
yang mengancam jiwa, pemberian siklofosfamid intra vena dengan dosis : 500-
1.000 mg/m2 luas permukaan badan bersama “PST” sekali sebulan.

Efek samping Obat (ESO) dapat menyebabkan gangguan ovulasi pada wanita
usia muda atau wanita hamil.

Siklofosfamid di berikan tiap bulan selama 6 kali kemudian evaluasi klinis

b. Azatioprin (AZA).
AZA dapat digunakan untuk wanita hamil dengan SLE atas indikasi yang kuat.
Dosis initial harian : 1-3 mg/kg BB/hari atau umumnya berkisar 100-200
mg/hari dan diberikan bersama kortikosteroid oral dosis tinggi. Setelah ada
perbaikan klinis dosis AZA dapat diturunkan secara bertahap 25 mg sampai
akhirnya dapat diberikan dosis pemeliharaan antara 1-2 mg/kgBB/hari atau 50-
75 mg/hari.

Efek samping obat (ESO) depresi sumsum tulang, hb leukosit, evaluasi


trombosit setiap bulan.

c. Methotrexate (MTX).
- Untuk SLE belum ada kesepakatan dosis yang digunakan.
- Digunakan terutama pada SLE dengan manisfestasi klinis menonjok artritis
dosis 7,5 mg/ minnggu

167
d. Siklosporin A
Belum ada kesepakatan tentang dosis yang ideal dan telah dicoba dengan dosis
: 2-10 mg/kg BB/hari. Miescher dkk (1988) dan Ennquez dkk (1991)
mengusulkan dosis kecil yaitu : 5 mg/kg BB/hari dan diberikan bersama
steroid dan imunosupresant lain. Siklosporin A dipilih sebagai obat untuk SLE
dengan kelainan ginjal. Hati-hati pada kelainan hepar.

e. Mofetil mikofenolat :
merupakan pilihan alternatif , baik untuk terapi induksi maupun pemeliharaan
lupus nefritis. Mofetil mikofenolat akan diubah menjadi asam mikofenolik
yang berfungsi menekan proliferasi sel B dan T, pembentukan antibodi, dan
glikosilasi molekul adhesi dengan cara menghambat sintesis purine dan
guanosine nucleotide yang penting pada pembentukan DNA sel limfosit.
Mofetil mikofenolat (MMF) dipakai sebagai pilihan alternatif terapi
induksi pada pasien lupus nefritis yang menolak atau tidak
toleran terhadap siklofosfamid. Untuk terapi induksi MMF
digunakan dengan dosis 1-3 g/hari dan terbukti mempunyai efek
yang sebanding dengan bolus siklofosfamid I V sebulan sekali
selama 6 bulan. Studi lain pada lupus nefritis proliferatif difus,
terbukti bahwa MMF 2x1 g/hari kombinasi dengan prednisolon
memberikan remisi lebih baik dibanding kelompok yang
mendapat kombinasi siklofosfamid oral 2,5 mg/kgBB/hari dan
prednisolon. Mofetil mikofenolat dosis 1-2 g/ hari atau Azatioprin dosis 2
mg/kgBB/hari merupakan alternatif pilihan terapi pemeliharaan setelah remisi
dengan bolus siklofosfamid I V dapat dicapai. Untuk terapi pemeliharaan
sedikitnya diperlukan waktu selama 1 tahun.
Pada penderita dengan lupus nefritis MMF selang 2 bulan(full dose) dosis
dapat di tappering off tergantung keadaan khusus.

ASMA BRONKIALE
1. Definisi :
Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi
menyebabkan saluran nafas cendrung untuk menyempit yang dapat sembuh spontan atau
dengan pengobatan dan adanya hiperreaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan.

2. Patofisiologi :
Terjadinya penyempitan saluran nafas disebabkan hiperreaktifitas bronkhus karena
rangsangan berbagai faktor pencetus dan aggrevator. Hiperreaktifitas bronkhus ini terjadi
akibat peradangan saluran nafas sehingga menebal, mukosa edema, lumennya terisi sel-sel
inflamasi yang lepas terutama mastosit dan eosinofil dan hipersekresi mukus sehingga
lumen saluran nafas menyempit kadang-kadang dapat menyempit total yang berakhir
dengan kematian.

168
3. Etiologi :
Etiologi asma adalah inflamasi saluran nafas akibat proses IgE mediated/non IgE
mediated menyebabkan bronkhus menjadi hiperreaktif. Faktor : predisposisi genetik,
pencetus dan aggrevator menyebabkan terjadinya serangan asma bronkhial.
4. Gejala Klinis :
Sesak nafas disertai nafas berbunyi secara akut maupun secara berkala merupakan keluhan
utama terjadinya serangan asma. Serangan asma lebih sering terjadi malam hari. Faktor
pencetus dan aggrevator sangat berperan dalam terjadinya serangan asma. Faktor pencetus
seperti infeksi, allergen inhalasi/makanan, olahraga, polusi udara, iritan seperti asap
rokok, bau-bauan, obat-obatan dan emosi. Faktor aggrevator seperti rhinitis, sinusitis dan
refluks asam lambung. Pemeriksaan fisik : nafas cepat dan dangkal, gelisah, fase ekspirasi
memanjang, bising mengi difus pada kedua lapangan paru.

5. Laboratorium :
Rutin : berupa hitung jenis eosinofil meningkat.
Khusus : tes kulit (Prick test), kadar IgE spesifik meningkat.

6. Pemeriksaan penunjang :
Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversibel setelah pengobatan menggunakan
spirometri atau peak flow meter. Uji provokasi bronkhial untuk mengukur hiperreaktifitas
bronkhus dengan inhalasi methakolin atau histamin dengan dosis yang makin tinggi, atau
melalui latihan jasmani.

7. Diagnosis :
Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah pengobatan dengan
bronkhodilator.
Diagnosis banding :
- Sindroma Loeffler (periksa juga telor cacing dalam tinja)
o Sindroma obstruktif pasca Tb paru
o Asma kardiale
- Dengan bronkhodilator terjadi peningkatan FEVI >20 %
- Dengan uji provokasi bronkhial terjadi penurunan FEVI < 20%

169
8. Komplikasi :
Serangan asma berat dan menimbulkan kematian. Asma kronik persisten dapat
menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) dan penyakit jantung paru (Kor
Pulmonale), bila tidak dikelola secara dini dan adekuat.

9. Penatalaksanaan/terapi serangan asma (akut) :


a. Oksigen 4-5 liter/menit.
b. Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti Salbutamol atau Fenoterol 2,5 mg tiap 20
menit maksimal sebanyak 3 kali.
c. Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4 x 200 mg IV atau Deksametasone 4
x 10 mg atau Prednisolon 40 mg/hari dalam dosis terbagi.
d. Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
e. Suntikan Aminofilin (240 mg/10 ml). Bila telah mendapat Aminofilin dalam 12 jam
sebelum serangan, berikan dosis awal 2-3 mg/kg BB IV perlahan-lahan, teruskan
dengan dosis pemeliharaan 0,5-1mg/kg BB/jam dalam cairan dektrose 5%. Bila
belum mendapat Aminofilin berikan dosis awal 5-6 mg/kg BB (maksimal 240 mg)
secara IV perlahan-lahan, teruskan dengan dosis pemeliharaan 0,5-1 mg/kg BB/jam.
f. Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis IV 2-3 liter/24 jam
g. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.

170
Skema Penatalaksanaan serangan asma eksaserbasi (akut).

Penilaian awal :
 Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas,
HR, APE atau FEV1, saturasi O2, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika
diperlukan).
Pengobatan awal :
 Inhalasi 2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.
 Oksigen 4-6 l/ menit untuk mencapai saturasi O2  90% (95% untuk anak-anak).
 Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respon segera atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral
atau jika serangan asmanya berat.
 Sedatif merupakan kontraindikasi pada penanganan serangan akut/eksaserbasi.

Ulangi penilaian: tanda-tanda fisik, APE, saturasi O2, pemeriksaan lain


bila diperlukan

Episode serangan sedang Episode serangan berat


 APE 60-80% perkirakan atau nilai  APE < 60% perkiraan/ nilai terbaik
terbaik.  Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat,
 Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot retraksi dinding dada.
bantu pernafasan  Riwayat: pasien risiko tinggi
 Inhalasi 2 agonis tiap 60 menit.  Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal
 Pertimbangkan kortikosteroid  Inhalasi 2 agonis tiap jam atau kontinu dengan
 Teruskan pengobatan 1-3 jam, atau tanpa inhalasi antikolinergik.
sepanjang ada perbaikan  Oksigen.
 Kortikosteroid sistemik
 Pertimbangkan 2 agonis S.C., I.M., atau I.V.

Respon baik: Respon tidak sempurna Respon buruk dalam 1 jam


- Respon menetap 60 menit dalam 1-2 jam: - Riwayat pasien risiko
setelah terapi terakhir.
- Pemeriksaan fisik normal. - Riwayat: pasien risiko tinggi.
- APE > 70%. - PF: gejala ringan-sedang. tinggi
- Tidak ada distress. - APE > 50% tapi <70%.
- Saturasi O2 > 90% (95% pd - Saturasi O2 tidak membaik
anak-anak) Dirawat di RS: - PF: gejala berat,
Dipulangkan: - inhalasi 2 agonis + inhalasi
- Teruskan pengobatan dengan antikolinergik mengantuk
inhalasi 2 agonis - Kortikosteroid sistemik
- Pertimbangkan kortikosteroid - Oksigen
peroral. - Pertimbangkan aminofilin I.V. dan bingung.
- Pendidikan pasien : minum - Pantau APE, saturasi O2, nadi,
obat secara teratur, tinjau teofilin
rencana kerja, follow up ketat. - APE < 30%

Membaik Tidak

Dipulangkan:
Jika APE > 70% & bertahan dng
Rawat di ICU:
pengobatan peroral/ inhalasi selama
Jika tidak ada perbaikan dalam waktu
minimal 60 menit
6-12 jam

171
1. Follow up :
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan secara klinik dan uji faal paru dengan
spirometri atau peak flow meter. Cari faktor pencetus terjadinya serangan akut asma.
Setelah keluar rumah sakit perlu dihindari faktor pencetus dan obat pemeliharaan hanya
diberikan pada penderita dengan asma persisten.

2. Indikasi rawat inap :


Bila penderita mengalami serangan asma akut berat (status asmatikus).

3. Pengobatan pemeliharaan (di Poliklinik/rawat jalan).


Berdasarkan berat/ringannya derajat asma (sesuai dengan WHO/GINA (Global Inisiative
For Asma) 1998. Untuk di praktek pribadi atau klinik yang tidak tersedia spirometri/Peak
Flow Meter, dapat dipakai quesioner Asma Control Test untuk monitor keberhasilan
penatalaksanaan.
Diutamakan steroid inhalasi untuk pencegahan jangka panjang controller dan β2 agonis
inhalasi sebagai penghilang sesak (reliever)

A. Klasifikasi derajat berat/ringan asma. (dipoliklinik atau diluar serangan)

Klasifikasi Gejala klinis Gejala malam APE


Derajat 1  < 1 kali/minggu ≤ 2 kali sebulan  ≥ 80% perkiraan
Intermiten  Asimptomatik  variabilitas < 20%
 APE normal diantara
serangan
Derajat 2 ≥ 1 kali/minggu tapi < 1 kali/hari > 2 kali sebulan  ≥ 80% perkiraan
Persisten  variabilitas 20 - 30
ringan %
Derajat 3  Setiap hari > 1 kali/minggu  >60%-<80%
Persisten  Menggunakan β2 agonis perkiraan
sedang setiap hari  Variabilitas > 30%
 Serangan mempengaruhi
aktifitas
Derajat 4  Terus menerus Sering  ≤ 60% perkiraan
Persisten  Aktivitas fisik terbatas  Variabilitas > 30%
berat

172
B. Pengobatan.

Klasifikasi Pencegahan Jangka Panjang Penghilang Serangan


Derajat I  Tidak dibutuhkan  Bronkodilator kerja singkat:
Intermiten 2 agonis inhalasi sesuai
dengan kebutuhan untuk
mengatasi gejala, tapi < 1 x/
minggu
 Intensitas pengobatan
tergantung dari beratnya
serangan.
 Inhalasi 2 agonis atau
kromoglikat sebelum olah
raga atau terpapar alergen.
Derajat II  Inhalasi kortikosteroid 200-500 mcg,  Bronkodilator kerja singkat:
kromoglikat, nedocromil atau teofilin 2 agonis inhalasi sesuai
Persisten
lepas lambat, dengan kebutuhan untuk
Ringan  Jika diperlukan, dosis kortikosteroid mengatasi gejala, tidak
inhalasi dapat ditingkatkan sampai 800 melebihi 3-4 kali per hari.
g, atau digabungkan dengan
bronkodilator kerja lama, (khususnya
untuk gejala malam): baik inhalasi 2
agonis kerja lama, teofilin lepas
lambat, atau 2 agonis kerja lama
tablet atau sirup.
 Pemberian anti-leukotrin dapat
dipertimbangkan.
Derajat III  Inhalasi kortikosteroid  500 - 800  Bronkodilator kerja singkat:
Persisten mcg, 2 agonis inhalasi sesuai
 Bronkodilator kerja lama, khususnya dengan kebutuhan untuk
Sedang untuk gejala malam: inhalasi 2 agonis meng-atasi gejala, tidak
kerja lama, teofilin lepas lambat, atau melebihi 3-4 kali per hari.
2 agonis kerja lama tablet atau sirup.
 Dapat ditambahkan anti-leukotrin,
khususnya asma yang sensitiv
terhadap aspirin dan sebagai
pencegahan pada asma yang
dicetuskan oleh latihan.
Derajat IV  Inhalasi kortikosteroid  800 - 2000  Bronkodilator kerja singkat:
Persisten Berat mcg, 2 agonis inhalasi sesuai
 Bronkodilator kerja lama: inhalasi 2 dengan kebutuhan untuk
agonis kerja lama, teofilin lepas mengatasi gejala.
lambat, dan atau 2 agonis kerja lama
tablet atau sirup,
 Kortikosteroid kerja lama tablet atau
sirup.

173
PENYAKIT IMUN DEFISIENSI / IMUNOKOMPROMAIS
1. Definisi :

Adalah penyakit yang disebabkan fungsi imun yang menurun yang sebelumnya berfungsi
dengan baik.

2. Etiologi :

NO. Etiologi Penyakit


Infeksi AIDS, Virus mononukleus, Rubella, Campak
Tindakan pengobatan Steroid, Penyinaran, Kemoterapi, Imunosupresi,
Serum anti limfosit.
Neoplasma
Penyakit hematologik Limfoma maligna, Leukemia, Mieloma,
Neutropenia, Anemia aplastik, Anemia bulan sabit.
Penyakit metabolik Enteropati dengan kehilangan protein, Sindroma
nefrotik, Diabetes melitus, Malnutrisi.
Trauma dan tindakan Luka bakar, Splenektomi, Anestesi
bedah
Lain-lain SLE, Hepatitis kronis.

Pola infeksi pada pasien imunokompromis


NO. Kondisi/infeksi Defek Infeksi spesifik
1 Multipel Myeloma Humoral Peumonia, Bakteriemia,
Peritonitis, Herpes Zoster.
Hodgkin Seluler Pneumonia, Tuberkulosa,
Herpes hepatitis.
Neutropenia Fagosit Pneumonia, Bakteriemia,
Abses, Ulcer mulut, Faring
dan Anus.
Diabetes Campuran Selulitis, UTI, Pneumonia.
Uremia Campuran UTI, Pneumonia,
Septichemia.

174
3. Pencegahan terhadap infeksi :
a. Umum :
 Usahakan hospitalisasi penderita sesingkat mungkin
 Pemahaman dan pelaksanaan tindakan asepsis antisepsis dari semua personil
b. Khusus :
 Usahakan daya tahan tubuh penderita tetap baik, antara lain :
- Temukan dan obati penderita kanker dalam stadium dini
- Usahakan tindakan pembedahan dalam toleransi yang optimal
- Bila perlu diberi transfusi granulosit atau parenteral nutrisi.
 Hindari tindakan yang merusak natural barrier yang tidak perlu, perawatan yang
baik terhadap setiap perlukaan, misalnya pemasangan infus, luka biopsi, dll.
 Hindari prosedur invasif yang berlebihan dan tidak perlu baik untuk diagnostik
maupun terapeutik, misalnya : pemakaian kateter atau pemasangan infus, dll hanya
jika mutlak diperlukan.
 Perkecil kemungkinan infeksi dari kuman eksogen dan cegah kuman yang
potensial patogen :
- Cuci tangan yang baik
- Makanan dan minuman dengan kontaminasi bakteri serendah mungkin.
- Selalu memeriksa kuman pada air leding
- Pembersihan ruang rawat/kamar operasi sebersih mungkin/steril mungkin.
- Hindari pengunjung yang berlebihan atau personil kamar operasi yang
berlebihan.
- Jika perlu ruang isolasi.
 Hindari faktor predisposisi lain serendah mungkin, antara lain : hati-hati dengan
pemberian radioterapi, kemoterapi, dan pemberian kortikosteroid.
 Khusus untuk penderita yang dioperasi :
- Persiapan lapangan operasi sesteril mungkin.
- Lamanya operasi diusahakan sesingkat mungkin.
- Kamar operasi dan alat-alat memenuhi syarat asepsis.
- Untuk kasus-kasus operasi bersih tercemar (operasi usus, traktus urinarius,
rongga mulut, genitalia wanita, dll) perlu pemberian antibiotika profilaksis.

175
4. Pengobatan :
Obat imunomodulator :
I. Imunorestorasi :
a. Bayhep B
Komposisi : Human hepatitis B Ig.
Indikasi : Pencegahan setelah pemaparan hepatitis, pemaparan darah yang
mengandung HbsAg (+).
Dosis : pemaparan akut oleh darah yang mengandung HbsAg : 0,06 ml/kgBB
dalam 24 jam. Profilaksis untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu yang HbsAg (+) dan
HbeAg (+) : 0,5 ml. Pemaparan seksual dengan orang HbsAg (+) : 0,06 ml/kgBB
selama 14 hari dari kontak seksual terakhir. Pemaparan oleh orang yang tinggal
dengan penderita infeksi akut hepatitis B , bayi < 12 bulan : 0,5 ml.
b. Gamimune N (Immune Globuline Intravenous Human)
Komposisi : Ig (in 10% maltose) 5%, Indikasi : defisiensi imun, ITP, Tranplantasi
sum-sum tulang, pencegahan HIV pada anak-anak, penyakit Kawasaki. Dosis :
defisiensi imun 100-200 mg/kgBB. ITP dan penyakit autoimun lain 400 mg/kgBB
selama 5 hari, dosis pemeliharaan setelah 3 minggu dengan dosis yang sama.
Hanya digunakan secara IV. Pada kasus sindroma Guillain Barre terapi
imunoglobulin intra vena dilakukan bila tindakan pertama berupa plasmafaresis
tidak dapat dilakukan. Dosis menurut buku teks Imunologi Klinik Rich adalah 2
g/kg BB/hari diberikan selama 5 hari berturut-turut. Dosis sesuai protokol Bayer
adalah 400 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut.
c. Gamma Venin P.
Komposisi : Human Ig
Indikasi : sepsis/komplikasi toksik, pencegahan terhadap rubella selama
kehamilan, infeksi pada infant, meningoencephalitis dan pneumonia yang
disebabkan oleh virus, infeksi akut pada penderita dengan sindroma defisiensi
antibodi atau defisiensi imun iatrogenik.
Dosis : Penyakit bakteri atau virus : 1-3 ml/kgBB IV. Bedah abdomen untuk
mencegah komplikasi 200 ml intraperitoneal. Encephalitis, meningitis,
meningoencephalitis untuk dewasa : 5-10 ml IV, anak-anak : 3 ml.

176
d. Bayrab (Rabies Imune Globuline Human)
Komposisi : anti rabies gamma globulin dari plasma donor.
Indikasi : imunisasi pasif pada individu yang terpapar rabies.
Dosis : 20 IU/kgBB.
e. Teta globuline
Komposisi : human tetanus Ig.
Indikasi : pencegahan tetanus.
Dosis : suntikan pertama : 250 IU/0,5 cc IM. Suntikan kedua jika infeksi kulit atau
trauma terjadi > 24 jam sebelumnya atau orang dewasa dengan BB diatas rata-rata.
f. Integram.
Komposisi : Human normal imunoglobulin
Indikasi : pengobatan replacement IgG pada imonidefisiensi primer, mieloma dan
kronik lymfatik leukemia dengan hipogamaglobulin sekunder dan infeksi
berulang, AIDS congenital dengan infeksi berulang. Sebagai imunomodulator
pada ITP, pada anak dan dewasa dengan resiko perdarahan, pembedahan untuk
memperbaiki jumlah platelet. Tranplantasi sum-sum tulang allogenic. Penyakit
kawasaki
Dosis : untuk imunodefisiensi primer : 200-670 mg/kgBB. Untuk ITP : 2 g/kgBB.

II. Imunostimulasi.
a. MMR II.
Komposisi : vaksin campak, mumps dan rubella.
Indikasi : imunisasi terhadap campak, mumps, rubella pada anak > 15 bulan,
dewasa tidak hamil, post partum. Bila digunakan pada anak < 12 tahun, harus
mendapat vaksin ulang setelah 15 bulan.
Dosis : 0,5 ml SC.
b. ACT-HIB.
Komposisi : Haemophiluss influensa tipe b polisakarida
Indikasi : pencegahan penyakit yang disebabkan oleh Haemophiluss influensa tipe
b pada bayi mulai umur 2 bulan.
Dosis : anak 1-5 tahun : single injeksi, 6-12 bulan : 2 kali injeksi pada umur 1
bulan diikuti boster pada umur 18 bulan, < 6 bulan : 3 kali injeksi pada umur 1
atau 2 bulan diikuti boster umur 18 bulan

177
c. Hepavax Gene.
Komposisi : Hepatitis B surface Ag.
Indikasi : Imunisasi aktif untuk infeksi yang disebabkan infeksi virus hepatitis B.
Dosis : dewasa dan anak > 10 tahun : 20 µg IM pada 0, 1, 6 bulan. Dibawah umur
10 tahun : 10 µg IM.
d. Hepacicine B.
Komposisi : in active HbsAg.
Indikasi : Pencegahan hepatitis B.
Dosis : Dewasa dan anak > 10 tahun : 3 x 1 cc interval tiap bulan. < 10 tahun : 3 x
½ cc interval tiap bulan. Hemodialise dan imunokompromised : 3 x 2 cc interval
tiap bulan pada tempat yang berbeda. Boster dapat diberikan tiap 5 tahun.

e. Varilrix.
Komposisi : vaksin varicella.
Indikasi imunisasi aktif untuk melawan varicella pada bayi dan anak-anak.
Dosis : anak sampai 12 tahun dan bayi > 12 bulan : single injeksi SC. Dewasa 13-
17 tahun : 2 x 0,5 ml SC interval 4-8 minggu.
f. Interferon Alternative.
Komposisi : purified natural human leukosit interferon alpha.
Indikasi : pengobatan penderita yang resisten terhadap recombinan interferon
alpha.
Dosis : individual.
g. Roferon A.
Komposisi : interferon α 2a.
Indikasi : pengobatan hairy cell leukemia.
Dosis : hairy cell leukemia : 3 MIU SC untuk 16-24 minggu. Maintenance : 3 MIU
3 x seminggu.
h. Stimuno.
Komposisi : Phyllanthus niruri L herbsextr.
Indikasi : imunostimulator, sebagai adjuvan terapi untuk infeksi virus dan bakteri
seperti : mumps, varicella, herpes, hepatitis B virus.
Dosis : 3 x sehari 1 kapsul

178
i. Isoprinosin :
Komposisi : methisoprinol
Indikasi : imunomodulator untuk penyakit virus dan untuk kondisi
imunodefisiensi.
Dosis : dewasa dan anak-anak : 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Pada
infeksi yang berat : 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis. Lama pengobatan
7-10 hari. Pengobatan lanjutan minimal 2 hari setelah gejala hilang.
j. BRM.
Komposisi : condonopus pilosula, salviae multiorrhizae, lycium barbarum.
k. Hp Pro.
Komposisi : fraktus schisandrae.
Iindikasi : hepatitis kronik akatif, hepatitis kronik persisten, cirrosis hepar, drug
induced hepatitis dengan kadar SGPT yang tinggi.
Dosis : 1 kapsul 3 kali sehari. Bila SGPT tidak turun setelah 1-2 bulan, dosis
ditingkatkan 2 kapsul 3 kali sehari. Pengobatan paling cepat 6 bulan dan paling
baik 1 tahun.
Im Boost.
Komposisi : echinacea dry extract, zinc picolinate.
Indikasi : membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
Dosis : 1-3 kali satu tablet.
l. Im Reg.
Komposisi : ekstrak dari Fructus Lycii, Radix Gingseng, Fructus Ligustri Lucidi,
Radix Angelia.

SYOK ANAFILAKTIK

1. Definisi :
Reaksi anafilaktik adalah reaksi antara antibody dan alergennya(imunologik) yang
menimbulkan penyakit alergi atau penyakit hipersensitivitas tipe I yang tidak disertai
dengan syok.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi anafilaktik yang berat degan
tanda-tanda kolaps vaskular.

179
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang gejalanya sama dengan anafilaktik tetapi tidak
berdasarkan atasreaksi antara antibodi dan antigen (non imunologik).

2. Etiologi :
Antigen lengkap seperti protein, polisakarida atau hapten yang harus berikatan dulu
dengan protein tubuh, contohnya penisillin.
Zat-zat yang dapat menimbulkan reaksi anafilaktik/anafilaktoid:
1. obat-obatan
2. makanan
3. bisa/cairan binatang
4. getah tumbuhan
5. bahan kosmetik/industri
6. faktor fisis
7. faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
8. idiopatik

Jenis-jenis obat yang paling sering menimbulkan reaksi anafilaktik yang disertai dengan
syok:
1. antibiotik (penisilin,streptomisin,sefalosporin,sulfonamida)
2. salisilat dan derivatnya
3. preparat besi
4. vaksin
5. anti bisa ular (ABU)
6. zat kontras
7. obat kemoterapi
8. muscle relaxant, anti konvulsan
9. OAT
10. tiopental
11. quinidin
12. Hormon Insulin, ACTH.
13. enzim (kemopapain, asparaginase)

180
3. Patofisiologi
Pajanan alergen pada tubuh yang sudah tersensitisasi mengakibatkan pengikatan antigen
oleh Ig E yang ada pada permukaan sel basofil/mastosit. Ikatan IgE dan antigen ini akan
menimbulkan degranulasi dan penglepasan mediator utama (histamin) dan mediator lain
dari sel mast/basofil.
Penglepasan histamin terjadi segera(dalam beberapa menit – 30 enit) setelah pajanan
dengan alergen (fase akut/dini).Diikuti oleh aktifitas enzim fosfolipase yang mengaktifkan
fosfolipid untuk membentuk tromboksan dan SRS-A (lekotrin) :fase lambat.
4. Gambaran klinis:
Gambaran klinis reaksi anafilaktik sangan t bervariasi, dapat ringan, tetapi juga berat
sampai menyebabkan kematian. Gejala-gejala pada umumnya dapat dibagi dalam gejala
prodromal, kardiovaskular, pulmonar, saluran cerna dan kulit.
1 gejala prodromal
rasa tidak enak, lemah, gatal di hidung dan palatum, bersin, telinga berdenging,
dada rasa tertekan.
2 gejala kardiovaskular
takhikardia, palpitasi, hipotensi, ( dapat syok sampai meninggal)
3. gejala pulmonar
rinitis, bersin,gatal hidung dan palatum, gejala ini diikuti dengan spasme
bronkhus yang berat dan sesak, anoksia,sampai apnea.
4. gejala gastrointestinal
nausea, muntah, sakit perut dan diare. Kadang kadang gejala gastrointestinal
dan pulmonar timbul bersamaan sehingga secara serentak penderita akan mengeluh
sesak, suara serak, disfagia, nausea, dan rasa tercekik yang menyebabkan penderita
bertambah panik.
5. gejala kulit
rasa gatal, urtikaria, angioedema. Bila terjadi spasme vaskular dan perembesan. cairan
keluar pembuluh darah, kulit akan menjadi pucat.

5. Diagnosis
Diagnosis reaksi anafilaksis mudah ditegakan bila jelas ada hubungan antara masuknya
alergen dan gejala. Bila hubungan tersebut tidak jelas, diagnosis sulit ditegakan oleh
karenanya anamnesis dan gambaran klinis merupakan hal yang penting.
Protokol Penanganan Anafilaksis
1. Tetap tenang
2. Segera tentukan derajat berat reaksi dengan menilai napas, kesulitan menelan,mengi
dan gerak napas yang cepat.

181
3. Untuk kemerahan kulit saja, berikan anti histamin degan kerja cepat misalnya:
difenhidramin 50 mg oral atau IM 5 mg/kg diikuti dengan antihistamin kerja lama (
e,q. 50 mg hydroksizin eliksir oral atau IM 0,15ml (anak) atau 0.30 ml (dewasa)
1:1.000
4. Untuk reaksi vagal, dudukkan atau rebahkan pasien, berikan rangsang bau-bauan atau
atropin, 0,30 mg (anak), 0,60 mg ( dewasa) IM/IV. Sementara siapkan pemberian
cairan IV, pantaulah tekanan darah dan denyut jantung sampai menjadi normal.
5. Untuk reaksi sistemik dengan keterlibatan saluran napas atau anafilaksis: dudukkan
pasien, jangan baringkan pasien dengan kesulitan bernapas. Pasang torniquet, diatas
tempat suntikan. Berikan epineprhine 1:1000 , 0,01 ml/kg sampai 0,30 ml ( anak) IM,
¼ dosis di tempat pemberian dan ¾ dosis di atas torniquet epinephrine dapat diulang
setiap 3-5 menit .
6. Siapkan nebulizer baik untuk anak atau dewasa, albuterol 0,50 ml dalam 2,5 ml garam
fisiologis atau dengan epinephrine 1:1000, 0,50 ml dengan atau tanpa atropin 1 ml (1
mg/ml) atau ipatropium bromide 2,5 ml.
7. Medikasi lain ialah pemberian difenhidramin 50 mg oral /IM atau 5 mg/kg, H2
Blocker seperti ranitidine 75 mg oral/25 mg iv (sampai usia 6 tahun)-150 mg oral/50
mg iv (usia > 6 tahun). Prednison 0,5 – 1 mg/kg BB oral atau metil prednisolon 0,5-1
mg/kg BB iv.
8. siapkan pemberian cairan atau obat iv dan sediakan peralatan resusitasi

6. Prognosis
Umumnya semakin lama jarak antara masuknya antigen dengan munculnya gejala
semakin ringan gejalanya. Penyembuhan dapat cepat dalam beberapa jam, tetapi kadang-
kadang dapat memerlukan waktu yang lebih lama. Biasanya sembuh sempurna tetapi
dapat pula menyebabkan infark miokard. Reaksi anafilaktik dengan antigen yang sama
yang terjadi kemudian akan lebih berat dari pada yang sebelumnya. Bila terapi lebih cepat
diberikan maka prognisisnya lebih baik Prognosis dipengaruhi juga oleh cara pemberian
dan dosis antigen, semakin besart dosis maka reaksi semakin berat.
7. Pencegahan
1. Hindari dan kenali alergen penyebab.
2. Sediakan selalu kit anafilaktik yang terdiri dari alat suntik, adrenalin, dan tablet anti
histamin.
3. Desensitisasi.

182
ALERGI MAKANAN
Efek samping terhadap makanan terdiri dari reaksi toksik dan non-toksik. Alergi makanan
adalah reaksi non-toksik melalui mekanisme imun Imunoglobulin E dan non –Imunoglobulin
E . Intoleransi makanan adalah reaksi non-toksik yang dapat diakibatkan pengaruh enzimatik,
farmakologik, atau zat yang tidak dapat ditentukan.

Imunopatogenesis
Fungsi pencernaan yang baik akan dapat menetralisir toksin atau alergen dengan cara merusak
aktivitas enzim tersebut, oleh sistem enzim dan sel imun mukosa. Bila fungsi pencernaan
kurang baik, makanan dapat berupa antigen (alergen) dengan epitop-epitop yang antigenik.
Kegagalan fungsi pencernaan pasien, hipersensitif (alergi ) terhadap makanan, mengakibatkan
antigen makanan beakumulasi pada mukosa usus halus dan kolon.Keadaaan ini akan
menimbulkan terjadinya reaksi hipersensitifitas pada saluran cerna, menimbulkan keadaan
yang disebut food-sensitive enteropathies. Dapat melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III,
IV dari Gell dan Coombs.

Manifestasi klinis
Reaksi RMM (reaksi makanan yang merugikan) melibatkan beberapa organ target dan
tergantung pada organ sasaran yang terlibat. Intensitas manifestasi klinik tidak dapat
diprediksi walau jumlah faktor dan lamanya pajanan memegang peran, namun tidak ada
korelasi antara jumlah dan pajanan alergen dengan derajat manifestasi klinik. Organ sasaran
yang sering terlibat adalah : sistem kardiovaskular(sistemik), traktus gastrointestinal, kulit,
saluran nafas atas dan bawah, mata, neuromuskuler, SSP, sendi dan traktus urogenitalis.

Diagnosis
 Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
 Tes kulit (skin prick test), dengan ekstrak alergen makanan.
 Pemeriksaan Ig E yang spesifik.
Bila pemeriksaan positif perlu dihindari secara ketat unsur makanan terkait sebagai
alergen selama sekurang-kurangnya 3 minggu.
Tidak ada tes laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan kadar triptase serum yang
dikeluarkan oleh sel mast dengan kadar puncak 40-60 menit setelah serangan dan masih

183
tetap tinggi setelah beberapa jam adalah tes yang sensitif. Pemeriksaan histamin serum
yang meningkat walau sesaat dapat juga dilakukan.

Penatalaksanaan
Prinsip dasar penatalaksanaan RMM adalah :
 Hindari makanan penyebab/alergen.
 Pengobatan simptomatik, seperti anti histamin, kortikosteroid, oksatomid, ketotifen.
 Terapi probiotik dengan pemberian basil Lactobacillus GG oral pada pasien alergi
dengan manifestasi klinik, eksema atopik yang disebabkan oleh alergi susu sapi.

ALERGI OBAT

SINDROMA STEVEN-JOHNSON
1. Definisi :
Adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang ditandai makula eritem yang cepat meluas.
Biasanya berbentuk target lesion dan kelainan pada lebih dari satu mukosa di orifisium (
mulut, anogenital ) dan konjungtiva mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan kulit yang lain dapat berupa vesikel/ bula, dapat disertai purpura.
Sering ditandai gejala konstitusional dan dapat mengancam kehidupan.

2. Sinonim :
- ektodermosis erosive pluriorifisialis
- sindrom mukokutanea-okular
- eritema multiforme tipe Hebra
- eritema bulosa maligna.
Meskipun demikian yang umum digunakan ialah sindrom Stevens-Johnson. (SSJ)

3. Etiologi :
Etiologi yang pasti belum diketahui, diduga penyebabnya ialah alergi obat antara lain
penisilin dan semi sintetiknya, streptomisin, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik,
klorpromazin (CPZ), karbamazepin, kinin, tegretol, dan jamu.
Penyebab lain adalah keganasan, radiasi, infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit), dll. 25-
50% kasus SSJ merupakan idiopatik

184
4. Patofisiologi :
Belum diketahui secara pasti, tetapi diduga merupakan reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk
mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran ( target organ ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.

5. Gejala Klinis :
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a) kelainan kulit : eritema, papel, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura.
Jika disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata.
b) kelainan selaput lendir/ mukosa di orifisium : yang tersering ialah pada mukosa mulut
(100%), kemudian lubang alat genital (50%), lubang hidung (8%) dan anus (4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi ,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran . Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di
mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus
sehingga menyebabkan penderita sukar atau tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat memberi keluhan sukar bernapas.
c) kelainan mata : yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Kelainan mata yang lain
dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis.

6. Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma Stevens-Johnson tidak khas. Jika terdapat
leukositosis menunjukkan penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat
dilakukan kultur darah.

185
7. Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia. Komplikasi yang lain ialah kehilangan
cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi
kebutaan karena gangguan lakrimasi.

8. Penatalaksanaan :
Diperlukan kerja sama multidisiplin antara Bagian Penyakit Dalam, Bagian Kulit-
Kelamin, dan Bagian Mata.
Pada sindroma Stevens-Johnson, kita harus bertindak tepat dan cepat.
- Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya diberikan
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4 - 6 x 5 mg ( 5 mg = 1 ampul
) sehari. Biasanya setelah 2-3 hari masa krisis telah teratasi, keadaan umum membaik
dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosis
deksametason di-tappering off 5 mg setiap hari, setelah dosis deksametason mencapai
5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid (prednison atau metil
prednisolon), misalnya metil prednisolon yang diberikan keesokan harinya dengan
dosis 16 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 8 mg kemudian obat
tersebut dihentikan.
Pada penggunaan steroid dosis tinggi dan dalam waktu cukup lama (± 10 hari)
dapat terjadi hipokalemia yang dapat menimbulkan aritmia jantung  risiko
sudden death. Sehingga perlu pemeriksaan kadar kalium dalam serum dan
pemantauan dengan EKG ( adanya gelombang U, inversi gelombang T, atau
gelombang T yang asimetris sebagai tanda hipokalemia). Bila dijumpai
hipokalemia maka perlu diberikan suplementasi kalium misalnya dengan tablet
KSR. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet rendah
garam dan tinggi protein.
- Pemberian antibiotika pada penderita Sindroma Stevens-Johnson masih kontroversial
karena antibiotika dapat menambah sensitisasi, dan bila terjadi infeksi sekunder maka
antibiotika yang dipilih adalah yang jarang menyebabkan alergi , berspektrum luas dan
bakterisidal, biasanya diberikan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
- Mengatur keseimbangan cairan / elektrolit dan nutrisi karena penderita sukar atau
tidak dapat menelan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu diberikan infus misalnya
Dextrose 5% dan RL, dan pemasangan NGT untuk diet cair sesuai kebutuhan.

186
- Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Untuk lesi di kulit diberi kompres
dengan NaCl 0,9%, lesi di mulut dapat diberikan gentian violet atau kenalog in
orabase, untuk lesi kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratulle.
- Lesi di mata dapat diberikan lyters eye drop, eye ointment, dan luksir palpebra
untuk mencegah simblefaron.

ALERGI OBAT

1. Defenisi :
Bagian dari reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut reaksi adversi. Reaksi ini
tidak hanya menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi
kadang-kadang dapat membawa kematian. Contoh : reaksi adversi yang potensial
sangat berbahaya adalah hipekalemia, intoksikasi digitalis, karacunan amanofilin, dan
reaksi anafilaktik.
sedangkan gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan
contoh reaksi adversi obat yang ringan.

2. Insidensi :
Belum diketahuii dengan pasti. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa reaksi
adversi obat pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 6 - 15%. Angka
insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil karena kasus-kasus tersebut bila ringan
tidak dilaporkan.

3. Klasifikasi :
A. Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal :
1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan
pemberian dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pernapasan karena obat
sedative.
2. Efek samping yaitu afek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi
juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Contoh : efek
mengantuk pada pemakaian antihistamin.
3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan
dengan efek farmakalogis primer suatu obat. Contoh : penglepasan antigen atara
endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-f-Herxheimer)

187
4. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih
obat-obat lain misalnya induks, enzim suatu obat yang mempengaruhi
metabolisnie obat lain.

B. Reaksi adversi yang terjadi pada orang-orang sensitif


1. Intoleransi, yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang
meninggi. Misalnya gejala tinnitus pada pemakaian aspirin dosis kecil
2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhupungan dengan efek
farmakologis dan juga tidak disebabkan reaksi imunologis, misalnya : primakuin
yang menyebabkan anemia hemolitik
3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat terjadi pada pasien tertentu. Gejala yang
ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat
merupakan sebagian dari reaksi adversi.
4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu terjadinya keadaan yang menyerupai
reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (IgE independent).
Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin B, D tubokurarin dan zat
kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan
mediator (seperti tire I). proses ini tanpa melalui sensitisasi terlebih duhulu (non-
imunologis).

4. Manifestasi Klinis :
Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasdifikasikan menurut organ yang terkena
atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologi Gell dan
Coombs (Tipe I s/d IV).
- Tipe : I : (hipersensitivitas tipe cepat) : manifestasi klinis yang terjadi
merupakan efek mediator kimia yang menyababkan kontraksi otat polos,
meningkatnya permeabilitas kapiler, serta hipersekresi kelenjar mucus.
Contoh : kejang bronkus, urtikaria, angioedema, pingsan dan hipotansi.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu beberapa menit
sampai 30 menit setelah pemberian obat. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
- Tipe II : manifestasi klinis umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia, nefritis interstisial.
- Tipe III : manifestasi klinisnya dapat berupa :

188
1. Urtikaria, angioedema, eritema, noakulopapula, eritema multiforme.
Gejala ini sering disertai pruritus.
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Lain-lain : Kejang perut, mual
Neuritis optik
Gfomerulonefritis
Lupus eritematosus sistemik
Gejala vaskulitis lain
Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian cbat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1 - 5 hari
- Tipe IV : manifestasi klinisnya dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak,
batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura Obat yang paling sering
menyebabkan reaksi ini adalah nitrofurantoin.
Nefritis interstitial, ensefalomielitis, hepatitis dapat juga merupakan manifestasi
reaksi alergi obat. Namun yang paling sering adalah dermatitis kontak. Gejalanya
baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal
(sulfa, penisilin atau tantihistamin).
Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 - 24 jam setelah obat dioleskan.

5. Diagnosis
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit merupakan cara yang paling penting
untuk diagnosis alergi obat.
Masalah yang timbul adalah
- apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena
penyakit dasarnya.
- Bila pada saat yang sama pasien mendapat Iebih dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :
a) Catat semua obat yang tidak dipakai pasien, termasuk vitamin, tonikum, dan
obat yang sebelumnya tidak menimbulkan gejala alergi obat.

189
b) Lima waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat. sampai timbulnya
gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang
gejala alergi obat baru timbul 7 sampai 10 hari setelah pemakaian pertama.
c) Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi
obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-
ulang, serta dosis tinggi secara parenteral.
d) Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu
e) Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
f) Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu
jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan

2. Tes Kulit
Tes kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisifin,
insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan
nilainya.
Hal ini karena beberapa hal antara lain :
a) kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh
obat aslinya
b) beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein,
tiamin), sehingga tes positif yang terjadi adalah semu (false positive)
c) konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif semu
d) sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan
hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya. Tes kulit ini adalah
tes kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis).
Sedangkan tes tempel (patch test) bermanfaat hanya untuk obat-obat yang
diberikan secara topikal (tipe IV).

3. Laboratorium
a) pemeriksaan tes kulit  reaksi alergi obat tipe I
b) RAST (Radio AIlergo Sorbent Test)  untuk menentukan adanya IgE spesifik
terhadap berbagai antigen
c) Pemeriksaan Coombs indirek  untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II) seperti
pada anemia hernolitik

190
d) Pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi  untuk trombositopenia
c) Pemeriksaan hemaglutinrasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III
yang dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat.

6. Pengobatan
1. Hentikan pemakaian obat yang dicurigai. kalau mungkin semua obat dihentikan,
tetapi bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang
rumus kimianya berlainan.
2. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala
yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan.
Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung, pada erupsi kulit yang terjadi dan
derajat berat reaksi pada organ-organ lain.
3. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Stevens-Johnson, pasiennya
harus dirawat.
4. Kalainan sistemik yang berat seperti antifilaksis harus ditatalaksana dengan baik.
5. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah
memadai.
6. Untuk vaskulitis, penyakit serum, kalainan darah, hati, nefritis Interstitial, dll
diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya)
sampai gejala terkendali dan selanjutnya diturunkan dosisnya secara bertahap seiama
satu sampai dua minggu.

7 . P EN C EGA HA N
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu :
- memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Yang sudah tepat indikasinya,
barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu selanjutnya kepada
pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan.
- Memperhatikan reaksi silang di antara obat seperti penislin dengan sefalosporin,
gentasimin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan
sulfonilurea.
- Memberi catatan kepada penderita dengan alergi obat yang harus ditunjukkan kepada
dokter sebelum penderita mendapat pengobatan.
- Membagikan epinefrin pada penderita persiapan dengan riwayat syok anafilaksi

191
Skema Pencegahan Reaksi Alergi Obat :

Riwayat alergi obat

Adakah obat alternatif yang efektif

ada Tidak Ada

Obati dengan obat Tes kulit atau laboratprium


alternatif (tersedia dan dapat dipercaya)

Ya Tidak

Tes Tes Provokasi

Negatif Positif Negatif

Berikan obat Desensitisasi atau pikirkan Teruskan


hati - hati kembali alternative yang lain pengobatan

Baik prosedur tes provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung resiko yang
kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat
untuk melakukannya :
1. Indikasi kuat dan tidak ada obat atau alternatif lain
2. Beritahukan pada pasien dan keluarganya perihal tujuan tindakan ini serta untung
ruginya
3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk
menangulangi keadaan darurat
4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman
5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisai atau provokasi sesuai dengan rute
pemberian yang akan diberikan
192
6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan
bila terjadi keadaan darurat
7. Tes kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-
hari kemudian obat baru diberikan, karena tes kulit sendiri menimbulkan
sensitisasi

Prinsip tes provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang
sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahan-lahan sampai dosis terapeutik tercapai.
Meskipun tes provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada tes
provokasi tidak selalu terjadi desensitisasi karena sensitisasi sendiri belum bisa
dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya memberikan pasien keadaan bebas
sensitisasi sementara, karena bila suatu harus diperlukan pemakaian obat yang sama,
prosedur tersebut harus diulangi kembali. Tes provokasi dan desensitisasi hanya untuk
mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. Kalau mungkin obat sebaiknya diberikan
secara oral, karena selain jarang menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil
menimbulkan sensitisasi. Tetapi jika pasien sudah jelas mempunyai riwayat alergi,
obat atau pernah terjadi reaksi anafilakstik dan SJS, maka obat tersebut tidak boleh
diberikan lagi (kontraindikasi).
Frekuensi alergi obat tidak banyak berbeda antara pasien yang atopi dan non atopi,
tetapi pasien yang mempunyai riwayat alergi tipe 1' atopi seperti asma alergik, rinitis
alergik, atau eksim lebih besar 3 sampai 10 kali kemungkinannya untuk mendapat
anafilaksis

Contah tes provakasi dengan anestesi lokal :


No Rute Dosis
1 1:100 (pengenceran
Tes tusuk
2 tidak diencerkan
Tes tusuk
3 0,02 ml larutan 1:100
Intrakutan
4 0,02 ml tidak diencerkan
Intrakutan
5 0,1 ml tidak diencerkan
Subkutan
6 1 ml tidak diencerkan
Subkutan

193
Disamping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilakstik, sebelum
menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk menanggulangi keadaan darurat
alergi, yaitu adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, dan diazepam, yang semuanya
dalam bentuk suntikan Setelah di suntik, pasien diminta menunggu paling sedikit 20
menit sebelum diperbolehkan pulang

Reaksi obat terjadi lambat dapat terjadi setelah 3 – 10 hari setelah pengobatan dan
SJS dapat terjadi setelah 10 hari pemberian obat.

A. Bidang Alergi lmunologi Klinik rawat inap pasien Penyakit Dalam :


1. Rinitis alergika
2. Asma bronkial
3. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
4. Alveolitis alergik pneumonitis hipersensitif
5. Urtikaria dan angioedam
6. Dermatitis atopik
7. Dermatitis kontak
8. Lupus eritematosus sistemik
9. Penyakit Imunodefisiensi
10. Syok anafilaksis
11. Alergi makanan, alergi obat
12. Sindrom vaskulitis
13. Penyakit autoimun
B. Keterampilan bidang Alergi-lmunologi Penyakit Dalam
1. Spirometri
2. Tes tusuk
3. Tes tempel
4. Tes obat
5. Tes provokasi bronkus

194
BAB VIII
RHEUMATOLOGI

OSTEOARTRITIS

1. Definisi :
Merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh
kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabecula
subkhondrial dan tepi tulang (osteofit).

2. Kriteria Diagnosis :

Osteoartritis sendi lutut :


Nyeri lutut, dan
Salah satu dari 3 kriteria berikut :
Usia > 50 tahun
Kaku sendi < 30 menit
Krepitus + osteofit

Osteoartritis sendi tangan :


Nyeri tangan atau kaku, dan
Tiga dari empat kriteria berikut :
Pembesaran jaringan keras dari 2 atau > dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II
dan III ki & ka, PIP II & III ki & ka, CMC I ki & ka)
Pembesaran jaringan keras dari 2 atau > sendi DIP
Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu

Osteoartritis sendi pinggul :


Nyeri pinggul, dan
Minimal 2 dari 3 kriteria berikut :
LED < 20 mm/jam
Radiologi, terdapat osteofit pada femur atau asetabulum,

195
Radiologi terdapat penyempitan celah sendi(superior, aksial,dan/atau medial)
Pemeriksaan penunjang :
LED. Pada OA inflamatif, LED akan meningkat.
Analisis cairan sendi. Umumnya tidak terdapat ciri khusus, peningkatan sel leukosit
yang tidak > 1000/mm3.
Radiologi sendi yang terserang. Terbanyak digunakan kriteria dari Kellgren dan
Lawrence. Gambaran radiologik dapat berupa osteofit, penyempitan celah sendi,
sklerosis tulang subkhondrial (eburnasi) atau kista subkhondrial.
Artroskopi. Terlihat gambaran kerusakan atau menghilangnya rawan sendi.

4. Komplikasi :
Deformitas sendi.

5. Penatalaksanaan :
Penyuluhan terutama untuk proteksi sendi.
Obat anti inflamasi non steroid. Dapat digunakan seperti Sodium Diklofenak 3 x 50
mg perhari, Piroksikam 1 x 20 mg perhari, Meloksikam 1 x 15 mg perhari atau
Celecoxib 200mg bila ada gangguan pada lambung.
Kortikosteroid intra artikular
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
Operasi pada OA dengan deformitas.

ARTRITIS PIRAI (GOUT ARTHRITIS)

1. Definisi :
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal monosodium urat (MSU) pada
sendi yang terjadi akibat supersaturasi dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi
klinik.

2. Kriteria Diagnosis :
Kriteria ACR (1977) :
Didapatkan kristal monosodium urat didalam cairan sendi, atau
Didapatkan kristal monosodium urat didalam tofus, atau
Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut :

196
Inflamasi maksimal pada hari pertama
Serangan artritis akut > 1 kali
Artritis monoartikular
Sendi yang terkena berwarna kemerahan
Pembengkan dan sakit pada sendi MTP I
Serangan pada sendi MTP unilateral
Serangan pada sendi tarsal unilateral
Tofus
Hiperurisemia
Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologik
Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologik
Kultur bakteri cairan sendi negatif

3. Pemeriksaan Penunjang :
LED, CRP. Hasil positif menunjukan proses inflamasi aktif.
Analisis cairan sendi. Adanya kristal MSU memastikan diagnosis.
Asam urat darah dan urin 24 jam. Kadar dalam darah pada umumnya meningkat.
Kadar dalam urin dapat dipakai untuk status ekskresi asam urat.
Ureum, kreatinin, CCT. Dipakai untuk menunjukan derajat gangguan fungsi
ginjal. Radiologi sendi. Gambaran radiologi dapat berupa pembengkakan jaringan
lunak, kalsifikasi pada tofus, erosi bulat atau oval yang dikelilingi oleh tepi
yang sklerotik.

4. Komplikasi :
Tofus
Deformitas sendi
Nefropati gout, gagal ginjal.

5. Penatalaksanaan :
Penyuluhan
Pengobatan fase akut :
Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan
inflamasi atau terdapat tanda-tanda toksik, dosis tidak melebihi 8 mg per 24
jam.

197
Obat anti inflamasi non steroid.
Glukokortikoid dosis rendah : 5-15 mg/hari.
Pengobatan hiperurisemia :
Diet rendah purin
Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebihan),
misalnya allopurinol.
Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah)
Obat antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium akut.
ARTRITIS REUMATOID

1. Definisi :
Merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai sendi diartrodial.
Termasuk penyakit otoimun dengan etiologi yang tidak diketahui.

2. Kriteria Diagnosis :
Kriteria ACR (1987) :
Kaku pagi, sekurangnya 1 jam.
Artritis pada sekurangnya 3 sendi.
Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacapophalanx (MCP) dan Proximal
interphalanx (PIP).
Artritis yang simetris.
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid serum positif.
Gambaran radiologik yang spesifik.
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas. Kriteria 1-4 harus
minimal diderita selama 6 minggu.

3. Pemeriksaan Penunjang :
LED, CRP. Sebagai manifestasi inflamasi pada jaringan maka LED dan protein fase akut
lainnya seperti CRP akan meningkat. Pada Usila perlu diperhatikan bahwa LED secara
normal akan meningkat sesuai pertambahan usia.

198
Faktor reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%),
sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan adanya AR. Keadaan terakhir dikenal
sebagai AR seronegatif.
Analisis cairan sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit > 2.000/mm3. Analisis
ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropati kristal.
Radiologi tangan dan kaki. Gambaran ini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti
oleh osteoprosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat
penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondrial.
Biopsi sinovium/nodul reumatoid. Terlihat gambaran inflamasi kronik berupa jaringan
granulasi dan fibrosis.

4. Komplikasi :
Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar)
Sindrom terowongan karpal.

5. Penatalaksanaan :
Penyuluhan
Proteksi sendi, terutama pada stadium akut.
Obat anti inflamasi non stroid.
Obat remitif (DMARD), misalnya kloroquin dengan dosis 1 x 250mg perhari, metotreksat
dosis 7,5-20 mg sekali seminggu, salazofirin dosis 3-4 x 500 mg perhari, garam emas
peroral dosis 3-9 mg perhari, atau subkutan dosis awal 10 mg, dilanjutkan seminggu
kemudian dengan dosis 25 mg perminggu, dan dinaikkan menjadi 50 perminggu selama
20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis kumulatif 2000 mg.
Glokokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin untuk mengatasi
keadaan akut atau kekambuhan. Dapat diberikan dengan dosis 20 mg prednison dosis
terbagi dan segera di tappering off.
Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi dapat diberikan injeksi
steroid intraartikular seperti triamcinolon acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40
mg.
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
Operasi untuk RA dengan deformitas.

199
Diagnosis RA

Artritis 3 sendi

Perubahan radiologi Faktor rematoid (pembengkakan


pergelangan tangan)
(pembengkakan MCP)

RA Faktor Reumatoid Pembengkakan Bukan


(pembengkakan simetris RA
pergelangan tangan)

RA pembengkakan MCP RA Pembengkakan MCP


dan pergelangan dan pergelangan
tangan tangan

Bukan RA RA Bukan
RA RA

OSTEOPOROSIS

1. Definisi :
Merupakan salah satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh penurunan densitas
massa tulang (osteopenia) dan rawan untuk terjadinya fraktur sekalipun akibat trauma
ringan.

2. Kriteria Diagnosis :
Ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan densitas massa tulang (BMD).

Kriteria WHO:
Normal, bila T-score pada BMD . –1.
Osteopenia, bila T-score pada BMD –1 s/d –2,5

200
Osteoporosis, bila T-score pada BMD < -2,5
Osteoporosis berat, bila T-score pada BMD < -2,5 dan didapatkan fraktur.

3. Pemeriksaan Penunjang :
Biokimia tulang (ca serum, Ca ion serum, Ca urin, fasfat serum, fosfat urin, fosfatase
alkali, osteokalsin serum, deoksipiridinolin urin).
PTH dan 25 OH-Vit D (atas indikasi).
Densitas massa tulang (lumbal, pinggul dan lengan bawah distal).
Radiologi vertebra torakalis dan lumbal, pinggul dan lengan bawah bila dicurigai ada
fraktur.
Mammografi, sediaan apus serviks, biopsi endometrium (untuk persiapan pemberian
terapi pengganti hormonal)

4. Komplikasi :
Fraktur.

5. Penatalaksanaan :
Penyuluhan
Proteksi sendi, terutama stadium akut.
Asupan kalsium yang adekuat, bila perlu berikan suplementasi kalsium.
Vitamin D, bila ada tanda-tanda defisiensi vitamin D.
Hindari faktor resiko, misalnya glukokortokoid, anti konvulsan, siklosporin A dan
sebagainya.
Analgetik atau obat anti inflamasi non steroid, untuk mengatasi nyeri.
Terapi pengganti hormonal biasanya diberikan estrogen terkonyugasi 0,625-1,25 mg
perhari dikombinasi dengan progesteron 2,5-10 mg perhari. Pada wanita pasca menopause
diberikan secara kontinyus, sedangkan pada wanita pra menopause diberikan secara siklik.
Bifosfonat, sebagai pengganti estrogen atau untuk pasien laki-laki.
Kalsitonin, terutama bila terdapat nyeri yang hebat.
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.

201
BAB IX
PENYAKIT ENDOKRIN METABOLIK

DIABETES MELITUS
Pengertian
Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan
perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya

Klasifikasi DM
I. DM tipe 1 (destruksi sel B, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut)
 immune-mediated
 idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang : predominan resistensi insulin dengan defisiensi
insulin relatif – predominan defek sekretik dengan resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain :
 Defek genetik pada fungsi sel B
 Defek genetik pada kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Diinduksi obat atau zat kimia
 Infeksi
 Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
 Sindrom genetik lain yang kadang berkaitan dengan DM
IV. DM gestasional

Diagnosis
Terdiri dari :
 Diagnosis DM
 Diagnosis komplikasi DM

202
 Diagnosis penyakit penyerta
 Pemantauan pengendalian DM

Anamnesis :
Keluhan khas (gejala klasik) DM
 Poliuria
 Polidipsia
 Polifagia
 Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan tidak khas DM


 Lemah
 Kesemutan
 Gatal
 Mata kabur
 Disfungsi ereksi
 Pruritus vulva

Faktor risiko DM tipe 2


 Usia > 45 tahun
 Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2, disertai dengan faktor risiko:
- kebiasaan tidak aktif
- turunan pertama dari orang tua dengan DM
- riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 g atau riwayat DM
gestasional
- hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
- kolesterol HDL < 35 mg/dl atau trigliserida > 250 mg/dl
- menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
- riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
- riwayat penyakit kardiovaskuler

Anamnesis komplikasi DM (lihat komplikasi)

203
Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk:
 TB, BB, TD, lingkar pinggang
 Tanda neuropati
 Mata (visus, lensa mata dan retina)
 Gigi mulut
 Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku

Kriteria diagnostik DM
1. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl (11,1
mmol/l) atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl (7,0 mmol/l)
atau
3. Kadar glukosa darah plasma > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan
ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang didapat.

TGT : glukosa darah plasma 2 jam sesudah beban 140-199 mg/dl (7,8 – 11,0
mmol/l)

GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l)

Pemeriksaan laboratorium:
 Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
 HbA1C
 Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


 EKG
 Foto toraks
 Funduskopi

204
Diagnosis banding
Hiperglikemia reaktif
Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT = IFG)

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
 Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED
 Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
 Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur
 Kreatinin
 SGPT, albumin/globulin
 Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
 HbA1C
 Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


 EKG
 Foto thoraks
 Funduskopi

Terapi
Edukasi
Meliputi pemahaman tentang :
 Penyakit DM
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
 Penyulit DM
 Intervensi farmakologis dan non-farmakologis
 Hipoglikemia
 Masalah khusus yang dihadapi
 Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

205
Terapi gizi medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi :
 Karbohidrat 45 - 65%
 Protein 15 - 20%
 Lemak 20 - 25%
Jumlah kandungan kolestrol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber
asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono unsaturated fatty acid), dan membatasi PUFA (Poly
unsaturated fatty acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hari,
diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari


 Laki-laki : 30 kal/kg BB idaman
 Perempuan : 25 kal/kg BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari


 Status gizi
- BB gemuk dikurangi 20-30%
- BB kurang ditambah 20-300%
 Umur > 40 tahun - 5%
 Stres metabolik (infeksi, operasi, dll) + (10 s/d 30%)
 Aktifitas :
Ringan + 20%
Sedang + 30%
Berat + 50%
 Hamil
- Trimester I, II + 300 kalori
- Trimester III/laktasi + 500 kalori

Rumus Brocca
Berat badan idaman = (TB – 100) – 10%
Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10% lagi
BB kurang : <90% BB idaman
BB normal : 90-110% BB idaman

206
BB lebih : >110 BB idaman

Latihan jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit

Intervensi farmakologis
* Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
 Sulfonilurea
 Glinid
* Penambah sensitivitas terhadap insulin
 Metformin
 Tiazolidindion

* Penghambat glukosidase alfa


 Acarbose

Insulin
Indikasi
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

207
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO
tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat
hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya.

Pengelolaan DM tipe 2 gemuk


Non farmakologis
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Penekanan kembali tatalaksana non-farmakologis
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


+ 1 macam OHO (Biguanid/Penghambat glukosidase alfa/Glitazon)
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO, antara : Biguanid/Penghambat glukosidase alfa/Glitazon
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase  + Glitazon:
atau kombinasi OHO siang hari + insulin malam
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase  + Glitazon + Secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)
208
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai
Insulin
Atau : Terapi Kombinasi OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :


Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir

Pengelolaan DM tipe 2 Tidak gemuk


Non – farmakologis
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Non – farmakologis + secretagogue
 evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO, antara :
Secretagogue +
Penghambat glukosidase  /Biguanid/Glitazon
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO,
Secretagogue +Penghambat glukosidase  /Biguanid/Glitazon
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 3 OHO tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Secretagogue + Penghambat glukosidase  +
Biguanid +Glitazon
209
Atau Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai


Insulin
Atau
Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai


Insulin

Bila sasaran tercapai teruskan terapi terakhir

Penilaian hasil terapi


1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan HbA1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton

Kriteria pengendalian DM
(lihat tabel lampiran)

Komplikasi
A Akut :
 Ketosidosis diabetik
 Hiperosmolar non ketotik
 Hipoglikemia
B. Kronik
 Makroangiopati
- Pembuluh koroner
- Vaskular perifer
- Vaskular otak
 Mikroangiopati

210
- Kapiler retina
- Kapiler renal
 Neuropati
 Gabungan
 Kardiopati : PJK, kardiomiopati
 Rentan infeksi
 Kaki diabetik
 Disfungsi ereksi

Prognosis
Dubia

Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

Unit yang menangani


Divisi Endokrinologi Metabolik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH

Unit terkait
 Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUSRI/RSMH
 Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH
 Bagian Patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
 Bagian Mata FK UNSRI/RSMH
 Bagian Gizi RSMH

Keterangan :
TB : Tinggi Badan
BB : Berat badan
IMT : Indeks massa tubuh
TD : Tekanan darah
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

211
Tabel : Kriteria Pengendalian DM

Baik Sedang Buruk


GD puasa (mg/dl) 80 - 109 100 - 125 > 126
GD 2 jam pp (mg/dl) 80 - 144 145 – 179 > 180
A1C (%) < 6,5 6,5 - 8 >8
Kolesterol total (mg/dl) < 200 200 - 239 > 240
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100 - 129 > 130
Kolesterol HDL (mg/dl) > 45
Trigliserida < 150 150 – 199 > 200
IMT 18,5 – 22,9 23 – 25 > 25
Tekanan darah < 130/80 130-140 > 140/90
80-90

Referensi :
1. PERKENI. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. 2006
2. PERKENI. Petunjuk pengelolaan diabetes melitus tipe 2. 2006.
3. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Report
of The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Care,
Jan 2003; 26 (Suppl.1) 55-20
4. Suyono S. Type 2 diabetes mellitus is a B cell dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes
Meeting 2002. The Recent Management in Diabetes and its Complications : From
Molecular to Clinic. Jakarta 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal
Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000 : 185-99

KETO-ASIDOSIS DIABETIK (KAD)

Pengertian
Kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan
komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis utama KAD adalah
hiperglikemia, ketosis dan asidosis metabolik
Faktor pencetus :

212
 Infeksi
 Infark miokard akut
 Pankreatitis akut
 Penggunaan obat golongan steroid
Penghentian atau pengurangan dosis insulin

Diagnosis
Klinis :
 Keluhan poliuri, polidipsi
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam/infeksi
 Muntah
 Nyeri perut
 Kesadaran : CM – delirium-koma
 Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
 Dehidrasi ( turgor kulit, lidah dan bibir kering)
 Dapat disertai syok hipovolemik

Kriteria diagnosis :
Kadar glukosa > 250 mg/dl
PH < 7,35
HCO3 : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria

Diagnosis banding
 Ketosis diabetik
 Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik/hyperglycemic hyperosmolar state
 Ensefalopati uremikum, asidosis uremikum
 Minum alkohol, ketosis alkoholik
 Ketosis hipoglikemia
 Ketosis starvasi
 Asidosis laktat
 Asidosis hiperkloremik

213
 Kelebihan salisilat
 Drug-induced acidosis
 Ensefalopati karena infeksi
 Trauma kapitis

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan cito
 Gula darah
 Elektrolit
 Ureum, kreatinin
 Aseton darah
 Urine rutin
 Analisa gas darah
 EKG

Pemantauan
 Gula darah: tiap jam
 Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
 Analisa gas darah : bila pH < 7 saat masuk  diperiksa setiap 6 jam s/d pH > 7,1.
selanjutnya setiap hari sampai stabil

Pemeriksaan lain (sesuai indikasi)


 Kultur darah
 Kultur urin
 Kultur pus

Terapi
Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I. Cairan :
 NaCl 0,9% diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua, lalu ±
0,5 L pada jam ketiga dan kempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan keenam,
selanjutnya sesuai kebutuhan
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 liter
 Jika Na+ > 155 mEq/L  ganti cairan dengan NaCl 0,45%.

214
 Jika GD < 200 mg/dl  ganti cairan dengan dekstrosa 5%

II. Insulin (Regular insulin = RI)


 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 RI bolus 180 mU/kgBB IV dilanjutkan
 RI drip 90 mU/kgBB /jam dalam NaCl 0,9%
 Jika GD < 200 mg/dl kecepatan dikurangi  RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0,9%
 Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12jam  drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding
scale setiap 6 jam

GD  RI
(mg/dl) (Unit, subkutan)
< 200 0
200-250 8
250-300 12
300-350 16
> 350 20
 Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dl : drip RI dihentikan
 Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin ehari 
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)

III. Kalium
 Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl dengan dosis 50 mEq/6 jam.
Syarat : tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi
pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat
 Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
< 3,5  drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5 drip KCl 50 mEq/6 jam
4,5-6,0 drip KCl 25 mEq/6 jam
> 6,0 drip stop
 Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu

215
IV. Bicarbonat
Drip 100 mEq bila pH < 7,0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1 disertai KCl 13 mEq drip
juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam
V. Tatalaksana Umum
O2 bila PO2 < 80 mmHg
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar ( > 380 mOsml)
Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis
 Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan temperatur setiap jam,
 Kesadaran setiap jam
 Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
 Produksi urin setiap jam
 Cairan infus yang masuk setiap jam
 Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang)

Komplikasi
Syok hipovolemik
Edema paru
Hipertrigliseridemia
Infark miokard akut
Hipoglikemia
Hipokalemia
Hiperkloremia
Edema otak
Hipokalsemia

Prognosis
Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok.

Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen
Penyakit Dalam

216
Unit yang menangani
Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH

Unit terkait
 Divisi ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH
Departemen Patologi Klinik FK UNSRI/RSMH

Referensi
1. PERKENI. PETUNJUK Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2006
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April
2000:83-8
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Prosiding Simposium panatalaksaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000 : 89-96.
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ. Kreisberg RA, Malone Jl. Et.al.
management of Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes. Diabetes Care, Jan
2001:24 (1) : 121-51.

HIPOGLIKEMIA

Pengertian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis

Hipoglikemia pada DM terjadi karena :


 Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik, pasca persalinan
 Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
 Kegiatan jasmani berlebihan

Diagnosis
Gejala dan tanda klinis
 Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
 Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
 Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar

217
 Stadium ganguan otak berat ; tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis :
 Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis
 Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
 Lama menderita DM, komplikasi DM
 Penyakit penyerta; ginjal, hati, dll
 Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat adrenergik  dll

Pemeriksaan fisik
 Pucat, diaphresis
 Tekanan darah
 Frekuensi denyut jantung
 Penurunan kesadaran
 Defisit neurologik fokal transien
Trias Whipplc untuk hipoglikemia secara umum
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

Diagnosis banding
Hipoglikemia karena
 Obat
 (Sering) : insulin, sulfonilurea,alkohol
 (kadang) : kinin, pentamidine
 (jarang) : salisilat, sulfonamid
 Hiperinsulinisme endogen
 Insulinoma
 Kelainan sel  jenis lain
 Sekretagogue : sulfonilurea
 Autoimun
 Sekresi insulin ektopik
218
 Penyakit kritis
 Gagal hati
 Gagal ginjal
 Gagal jantung
 Sepsis
 Starvasi dan inanisi
 Defisiensi endokrin
 Kortisol, growth hormone
 Glukagon, epinefrin
 Tumor non –sel 
 Sarkoma
 Tumor adrenokortikal, hepatoma
 Leukemia, limfoma, melanoma
 Pasca-prandial:
 Reaktif (setelah operasi gaster)
 Diinduksi alkohol

Pemeriksaan penunjang
Kadar glukosa darah (GD)
Tes fungsi ginjal
Tes fungsi hati
C-peptide

Terapi
Stadium permulaan (sadar)
 Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
 Stop obat hipoglikemik sementara
 Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
 Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
219
2. Diberikan cairan dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer
 Bila GDS < 50 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
 Bila GDS < 100 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%
 Bila GDS < 50 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
 Bila GDS < 100 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
 Bila GDS < 100-200 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% ml IV
 Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan GDS setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan mengganti infus
dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan GDS setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan mengganti infus
dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
7. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut sliding scale setiap 6 jam :
GD  RI
(mg/dl) (Unit subkutan)
< 200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

 Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti :


adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebab insulin)
Bila pasien belum sadar, GDS sekitar 200 mg/dl Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama
12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dianjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 –
2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun
Komplikasi
Mortalitas

Prognosis
Dubia

220
Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen
Penyakit Dalam

Unit yang menangani


Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH

Unit terkait
 Departemen Patologi Klinik
 Departemen Neurologi

Referensi
1. PERKENI, Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2006. Waspadji S.
Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan
2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakti Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000 : 83-8
3. Cryer PE Hypoglycemia. In Brauwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
James JL. Horrison’s Principles of Internal Medicine. 15th ed New York McGraw-Hill,
2001:2138-43

DISLIPIDEMIA

Pengertian
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi
lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol LDL.
Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan,
sehingga dikenal sebagai triad lipid.
Secara klinis, diklasifikasikan menjadi :
 Hiperkolesterolemia
 Hipertrigliseridemia
Campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia

221
Diagnosis
Klasifikasi kadar kolesterol
Kolesterol LDL Klasifikasi
< 100 mg/dl Optimal
100 – 129 mg/dl Hampir optimal
130 – 159 mg/dl Borderline tinggi
160 – 189 mg/dl Tinggi
> 190 mg/dl Sangat tinggi
Kolesterol total
< 200 mg/dl Idaman
200 – 239 mg/dl Borderline tinggi
> 240 mg/dl Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dl Rendah
> 50 mg/dl Tinggi
untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung koroner (PJK) diperhatikan faktor-faktor resiko
lainnya
 Faktor resiko positif
 Merokok
 Umur (pria > 45 tahun, wanita > 55 tahun
 Kolesterol HDL rendah
 Hipertensi (TD > 140/90 atau dalam terapi antihipertensi
 Faktor resiko negatif
 Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor resiko dari perhitungan total

ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya resiko PJK
pada pasien dengan > 2 faktor resiko, meliputi : umur, kadar kolesterol total kolesterol HDL,
kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan
persentase resiko PJK dalam 10 tahun

Ekivalen resiko PJK mengandung resiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan
kejadian PJK yakni > 20 dalam 10 tahun, terdiri dari :
 Bentuk klinis lain dari aterosklerosis : penyakit artei perifer, aneurisma aorta abdominalis,
penyakit arteri karotis yang simptomatis

222
 Diabetes
 Faktor resiko multipel yang mempunyai resiko PJK dalam 10 tahun > 20 %

Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya PJK.
Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida :
 Obsesitas, berat badan lebih
 Inaktif fisik
 Merokok
 Asupan alkohol berlebih
 Diet tinggi karbohidrat (> 60% asupan energi)
 Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
 Obat : kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik –beta dosis tinggi
 Kelainan genetik (riwayat keluarga)

Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia


 Normal : < 150 mg/dl
 Borderline-tinggi : 150 – 199 mg/dl
 Tinggi : 200 – 499 mg/dl
 Sangat tinggi : > 500 mg/dl

Diagnosis banding
Hiperkolesterolemia sekunder, karena
 Hipotiroidisme
 Penyakit hati obstruksi
 Sindrom nefrotik
 Anoreksia nervosa
 Porfiria intermiten akut
 Obat : progestin, siklosporin, thiazide

Hipertrigliseridemia sekunder, karena


 Obesitas
 DM
 Gagal ginjal kronik
 Lipodistrufi

223
 Glycogen strorage disease
 Alkohol
 Bedah bypass ileal
 Stress
 Sepsis
 Kehamilan
 Obat : estrogen, isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid,
thiazide
 Hepatitis akut
 Lupus eritematosus sistemik
 Gammopati monoklonal : myloma multipel, limfoma
 AIDS ; inhibitor protease
HDL rendah sekunder, karena :
 Malnutrisi
 Obesitas
 Merokok
 Penghambat beta
 Steroid anabolik

Pemeriksaan penunjang
Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia > 20 tahun setiap 5 tahun sekali
 Kadar kolesterol total
 Kadar kolesterol LDL
 Kadar kolesterol HDL
 Kadar trigliserida
Kadar glukosa darah
Tes fungsi hati
Urine lengkap
Tes fungsi ginjal
TSH
EKG

224
Terapi
Untuk hiperkolesterolemia
Penatalaksanaan non farmakologis (Perubahan gaya hidup)
 Diet, dengan komposisi
o Lemak jenuh < 7% kalori total
o PUFA hingga 10% kalori total
o MUFA hingga 10% kalori total
o Lemak total 25-35% kalori total
o Karbohidrat 50 – 60% kalori total
o Protein hingga 15% kalori total
o Serat 20 – 30 g/hari
o Kolesterol < 200 mg/hari
 Latihan jasmani
 Penurunan berat badan bagi yang gemuk
 Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target pemantauan setiap 4-6
bulan.
Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai, intensifkan penurunan lemak jenuh dan
kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan kerjasama
dengan dietisien
Bila 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol
LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan
makan dan latihan jasmani

Terapi farmakologis
o Golongan statin
 Simvastatin 5 – 40 mg
 Lovastatin 10 – 80 mg
 Pravastatin 10 – 40 mg
 Fluvastatin 20 – 80 mg
 Atorvastatin 10 – 80 mg
o Golongan bile acid sequestrant

225
 Cholestyramine 4-16 g
o Golongan nicotinic acid
 Nicotinic acid (immediate realese) 2 x 100 mg s/d 1,5 – 3 g

Target kolesterol LDT (mg/dl)


Kategori Target Kadar LDL Kadar LDL
Resiko LDL untuk mulai untuk mulai
PGH terapi farmakologis

PJK atau < 100 > 100 > 130


Ekivalen PJK
(FRS > 20%)

Faltor resiko > 2 < 130 > 130 > 130 (FRS 10-20%)
(FRS < 20%) > 160 (FRS < 10%)

Faktor resiko 0-1 < 160 >160 > 190


(160-189 : Opsional)

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid
sequestrant atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel
terget di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu berikut terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan
kadar kolestrol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK kejadian
koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS
jika kolestrol LDL > 100 mg/dl

Pasien dengan hipertriglisesidemia


Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas
Penatalaksaan farmakologis :

226
TARGET TERAPI
Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi : tujuan utama terapi adalah mencapai
target kolesterol LDL
Pasien dengan trigliserida tinggi : target sekunder adalah kadar kolestrol non-HDL yakni
sebesar 30 mg/dl lebih tinggi dari target kadar kolestrol LDL

Pendekatan terapi obat :


1. obat penurun kadar kolestrol LDL atau
2. ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid
Golongan fibrat terdiri dari :
 Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
 Fenofibrat 1 x 200 mg

Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditata laksana

Komplikasi
 Aterosklerosis
 Penyakit jantung koroner
 Stroke pankreatitis akut

Prognosis
Dubia ad Bonam

Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen
Penyakit Dalam

Unit yang menangani


Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH

Unit terkait
Departemen Patologi Klinik FK UNSRI/RSMH

227
Referensi
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melaus di Indonesia. 1995.
2. Expert Panel on Detection, EvaluatioD, and Treatment of High blood Cholesterol in, Adults.
Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in
Adults (Adult Treatment Panei !If). JAMA, May 16, 2001;285(19):2486-97.
3. Semiardji G. National Cholesteroi Education Program - Adult Treatment Pane! III (NCEPATP
III): Adakah hal yang baru? Makalah Siang' Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam, 2002.
4. Ginsberg HN, GoldSerg IJ. Disorders of Lipcpfotein Metabolism. In Braunwald E, Fauci AS.
Kasper DL, Hauser SL, Longc DL. Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.15th
ed. New York: Mg Graw-Hill, 2001:2245-57
5. Suyono S. Terapi Gislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai Kapan? Prosidiny
Simposium Current Treatment in -Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-
99:

Keteranqan:
Kolestrol HDL = kolesterol high density lipoprotein
Kolesterol LDL = kolesterol low densify lipoprotein
PGH = perubahan gaya hidup
MUFA = mono unsaturated fatty acid
PUFA = poly unsaturated fatty acid

TIROTOKSIKOSIS

Pengertian
Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid. Berhubungan dengan suatu
kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon
tiroid berlebihan

Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori :


 Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
 Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme

228
Hipertiroidisme
= Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid
= Akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan
Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit Graves, struma
multinodosa toksik (Plummer dan adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit
trofoblastik, pemakaian berlebihan yodium, obat hormon tiroid, dll.

Krisis tiroid
= Keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa. Umumnya timbul
pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan
dengan faktor pencetus
 Infeksi
 Operasi
 Trauma
 Zat kontras beriodium
 Hipoglikemia
 Partus
 Stres emosi
 Penghentian obat anti-tiroid
 Terapi I131
 Ketosidosis diabetikum
 Tromboemboli paru
 CVD/stroke
 Palpasi tiroid terlalu kuat

Gejala dan tanda tirotoksikosis


 Hiperaktivitas
 Palpitasi
 Berat badan turun

Diagnosis
 Nafsu makan meningkat
 Tidak tahan panas, banyak keringat

229
 Mudah lelah
 BAB sering
 Oligomenore/amenore dan libido turun
 Takikardia
 Fibrilasi atrial
 Tremor halus
 Refleks meningkat
 Kulit hangat dan basah
 Rambut rontok
 Bruit

Gambaran Klinis Graves


 Struma Difus
 Tirotoksikosis
 Oftalmopati/eksoftalmus
 Dermopati lokal
 Thyroid acropachy

Laboratorium
 TSHs rendah
 T4 atau FT4 tinggi
 Pada T3 toksikosis : T3 atau FT3meningkat

Penderita yang dicurigai krisis tiroid


Anamnesis :
 Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala yang khas
 Berat badan turun
 Perubahan suasana hati, bingung
 Diare
 Amenore
Pemeriksaan Fisik
 Gejala & tanda khas hipertiroidisme, karena Graves atau yang lain

230
 Sistem saraf pusat terganggu, delirium, koma
 Demam tinggi s/d 40°C
 Takikardia s/d 130-200 kali/m
 Sering ; fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat
 Dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif
 Dapat ditemukan ikterus

Laboratorium :
 TSHs sangat rendah
 T4/FT4/T3 tinggi
 Anemia normokrom normositik, limfositosis relatif
 Hiperglikemia
 Peningkatan enzim transaminase hati
 Azotemia prerenal
EKG sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan : respons ventrikular cepat
Diagnosis banding
Hipertiroidisme primer
 Penyakit Graves
 Struma multinodosa toksik
 Adenoma toksik
 Metastasis karsinoma tiroid fungsional
 Struma ovarii
 Mutasi reseptor TSH
 Obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)

Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme


 Tiroiditis subakut
 Tiroiditis silent
 Destruksi tiroid karena : amiodarone, radiasi, infark adenoma
 Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)

Hipertiroidisme sekunder
 Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH
 Sindrom resistensi hormon tiroid

231
 Tumor yang mensekresi HCG
 Tirotoksikosis gestasional

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
 TSHs
 T4 atau FT4
 T3 atau FT3
 TSH Rab
 Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
 Sidik tiroid/thyroid scan: terutama membedakan penyakit plummer dari penyakit Graves
dengan komponen nodosa
 EKG
 Foto toraks

Terapi
Tata laksana penyakit Graves :
Obat Antititiroid
 PTU dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari
 Metimazol dosis awal 20-30 mg/hari
Indikasi :
 Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan
struma ringan-sedang dan tirotoksikosis
 Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan yodium radioaktif
 Persiapan tiroidektomi
 Pasien hamil, lanjut usia
 Krisis tiroid
Penyekat adrenergik  pada awal terapi, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid
setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid : propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap
3-6 bulan sekali, memantau gejala dan tanda klinis, serta lab FT4/T4/T3 dan TSHs

232
Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil
yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan
dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat
antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat
tetap eutiroid atau terjadi relaps.

Tindakan bedah
Indikasi :
 Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
 Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
 Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif
 Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
 Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Radioablasi
Indikasi
 Pasien berusia > 35 tahun
 Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
 Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
 Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antiitiroid
 Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

Tata laksana krisis tiroid


(Terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif:
 Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
 Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : infus dextrose 5% dan
NaCl 0,9%
 Mengatasi gagal jantung : O2 diuretik, digitalis
2. Antagonis aktivitas hormon tiroid
 Blokade produksi hormon tiroid

233
Propiltiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif Metimazol 20-30 mg
tiap 4-6 jam PO pada keadaan sangat berat : dapat per NGT, PTU 600 – 1.000 mg atau
metimazol 60-100 mg
 Blokade eksresi hormon tiroid :
Solutio Lugol (saturrated solution of potassium lodida) 8 tetes tiap 6 jam
  - blocker
Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target : frekuensi jantung < 90
x/m)
 Glukokortikoid :
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam
 Bila refrakter terhadap terapi di atas ; plasmaferesis, dialisis peritoneal
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi antibiotik, dll

Komplikasi
Penyakit Graves : penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi
karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid
Krisis tiroid : mortalitas

Prognosis
Dubia ad bonam
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%

Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

Unit yang menangani


Divisi Metabolik Rndokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH

Unit terkait
 Divisi ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH
 Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH
 Bagian patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
 Bagian Mata FKUNSRI/RSMH
 Bagian Gizi RSMH
234
Referensi
1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertiroidisme. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta Balai Penerbit FKUI : 766-72
2. Jameson JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland Gland. In Brauwald E, Fauci
AS, Kasper DL. Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 15th ed. New York : McGraw-Hill, 2001:2060-84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000: 78-82
4. Suyono S, Subekti I. Patologenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah
Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting
2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

STRUMA NODOSA NONTOKSIK

Pengertian
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme
Berdasarkan jumlah nodul, dibagi :
 Struma mononodosa non toksik
 Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif
 Nodul dingin
 Nodul hangat
 Nodul panas
Berdasarkan konsistensinya
 Nodul lunak
 Nodul kistik
 Nodul keras
 Nodul sangat keras

Diagnosis
Anamnesis umum
 Sejak kapan benjolan timbul

235
 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
 Cara membesarnya : cepat atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya
pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan, sesak nafas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik
Umum
Lokal
 Nodus tunggal atau majemuk atau difus
 Nyeri tekan
 Konsistensi
 Permukaan
 Perlekatan pada jaringan sekitarnya
 Pendesakan atau pendorongan trakea
 Pembesaran kelenjar getah bening regional
 Pemberton’s sign

Penilaian resiko keganasan


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnosa penyakit tiroid jinak, tetapi tak
sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid.
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun
 Gejala hipo atau hipertiroidisme
 Nyeri berhubungan dengan nodul
 Nodul lunak mudah digerakkan
 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid :
 Umur < 20 tahun atau > 70 tahun

236
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan
insiden penyakit nodul tiroid jinak)?
 Riwayat keluarga kanker tiroid noduler
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan
 Paralisis pita suara
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dll)

Langkah diagnostik I : TSHs, FT4


Hasil Non-toksik  langkah diagnostik II BAJAH nodul tiroid hasil :
a. Ganas
b. Curiga
c. Jinak
d. Tak cukup/sediaan tak representatif
(dilanjutkan di kolom terapi)

Diagnosis banding
Struma nodosa pada :
Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan, pubertas, laktasi,
menstruasi, kehamilan, menopause infeksi, stres lain
 Tiroiditis akut
 Tiroiditis subakut
 Tiroiditis kronis : limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel)
 Simple goiter
 Struma endemik
 Kista tiroid, kista degeneratif
 Adenoma
 Karsinoma tiroid primer, metastatik
 Limfoma

237
Pemeriksaan penunjang
 Lab : T4 atau fT4, T3 dan TSH
 Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
 Bila hasil lab : non-toksik
 Bila hasil lab (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nodule  syarat sudah menjadi
eutiroid
 USG tiroid
 Pemantauan kasus nodul yang tidak dioperasi
 Pemandu pada BAJAH
 Sidik tiroid
 Bila klinis :ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2x) jinak
 Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
 Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid meduler,
diperiksakan kalsitonin)
 Periksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto

Terapi
Sesuai hasil BAJAH, maka terapi :
A. Ganas
 operasi tiroidektomi near-total
B. Curiga
 Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC)
Bila hasil = ganas operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil = jinak  operasi lobektomi, atau
tiroidektomi near-total
 alternatif : sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule  operasi
C. Tak cukup/sediaan tak respresentatif
 Jika nodul solid (saat BAJAH): ulang BAJAH
Bila klinis curiga ganas tinggi  operasi lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah  observasi
 Jika nodul kistik (saat BAJAH) : aspirasi
Bila kista regresi  Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah 

238
Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi  operasi lobektomi
D Jinak
 terapi dengan levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis
 Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)
 Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari)
Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis dosis naik menjadi 2x 100 ug sampai 4-
6 minggu kemudian evaluasi TSH (target 0,1-0,3 ulU/L
Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila
mengecil > 50% dari volume awal)
 Bila nodul mengecil atau tetap
 L-tiroksin distop dan diobservasi
o Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH
0,1 –0,3 ulU/L
o Bila setelah l-tiroksin distop, struma tidak berubah, observasi saja.
 Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi  obat dihentikan dan
operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi  hasil PA
o Jinak : terapi dengan L-tiroksin : target TSH 0,5 –3,0 ulU/L
o Ganas terapi dengan L-tiroksin :
- Individu dengan resiko ganas tinggi target TSH 0,01 –0,05 ulU/L
- Individu dengan resiko ganas rendah target TSH 0,05 –0,01 ulU/L

Komplikasi
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut/subakut

Prognosis
Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis

Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

Unit yang menangani


Divisi Metabolik Rndokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH

239
Unit terkait
Departemen Patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
Departemen Patologi Anatomi FKUNSRI/RSMH
Sub bag. Kedokteran Nuklir, Departemen Radiologi FKUNSRI/RSMH
Sub bag. Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUNSRI/RSMH

Referensi
1. Kariadi SHKS Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al (eds0 Buku Ajar
Ilmu penyakit Dalam. Edisi 3 Jakarta, Balai Penerbit FKUI : 757-65
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW,
Effendi S, Setiadi S, Gani RA, Alwi I (eds) Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan
Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta,1997:207-13
3. Subekti I Struma Nodose Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M. Setiati S, Alwi I,
Maryantoro, Gani RA. Masjoer A (eds) Pedoman Diagnosis dan terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI 1999: 187-9
4. Sobardi S. Pemeriksaan Diagnostik Modul Tiroid. Makalah Jakarta Endokrinology
Meeting Jakarta 18 Oktoter 2003.
5. James JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid G:and. In Braunwald E, Fauci AS,
Hauser SL. Longo DL, Jameson JL. Harrison's Prin.ciples of Internal :5"ed. New
York: McGraw-Mit1; 200,:2060-84.

KISTA TIROID

Pengertian
Nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25% dari seluruh nodul tiroid
Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik
kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid

240
Diagnosis
Seperti pada struma nodosa non toksik :
Anamnesis umum
 Sejak kapan benjolan timbul
 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
 Cara membesarnya : cepat atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya
pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan, sesak nafas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik
Umum
Lokal
 Nodus tunggal atau majemuk atau difus
 Nyeri tekan
 Konsistensi
 Permukaan
 Perlekatan pada jaringan sekitarnya
 Pendesakan atau pendorongan trakea
 Pembesaran kelenjar getah bening regional
 Pemberton’s sign
Penilaian resiko keganasan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnosa penyakit tiroid jinak, tetapi tak
sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid.
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun
 Gejala hipo atau hipertiroidisme
 Nyeri berhubungan dengan nodul
 Nodul lunak mudah digerakkan

241
 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid :
 Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan
insiden penyakit nodul tiroid jinak)
 Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan
 Paralisis pita suara
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dll)
Langkah diagnostik I : TSHs, FT4
Bila hasil Non-toksik  langkah diagnostik II
 fungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid :

Diagnosis banding
o Kista tiroid
o Kista degenerasi
o Karsinoma tiroid
Pemeriksaan penunjang
 USG tiroid
 Dapat membedakan bagian padat dan cair
 Dapat untuk memandu BAJAH menemukan bagian solid
 Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding
tipis
 Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin
 Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) pada bagian yang solid

Terapi
Fungsi aspirasi seluruh cairan kista
Bila kista regresi  observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah
242
 fungsi aspirasi dan observasi
Bila kista rekurns, klinis kecurigaan ganas tinggi
 operasi lobektomi

Komplikasi
Tidak ada

Prognosis
Dubia ad bonam. Tergantung tipe dan jenis histopatologinya

Wewenang
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

Unit yang menangani


Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH

Unit terkait
Departemen Patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
Departemen Patologi Anatomik FKUNSRI/RSMH
Departemen Bedah Sub bag. Bedah Tumor, FKUNSRI/RSMH

Referensi
1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et at. (eds). Buku Ajar
II Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKU1:757-65,
2 Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW,
Effendy Setiati S, Gani RA,.Al;nri I (Pds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan
Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta, 199I:207-13.
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Taksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I,
Maryanto Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan- Terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dak Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI,1999:187-9. 4.Soe;Dardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah
Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

243

Anda mungkin juga menyukai