Anda di halaman 1dari 4

nama : karimatun nisak

NIM. : 932205617

Absen 08.

Cinta atau nafsu

"Untuk apa pacaran? Demi apa pacaran? Mengapa kamu pacaran? Manfaat apa yang kamu
peroleh dari pacaran? Sama sekali nggak ada!"

Aku diam. Duduk tegak layaknya manekin yang menumbukkan mata pada perempuan
berhijab di depan kelas. Mendengar deru pacu kata demi kata perempuan religius yang kini
tengah berdiri di depan kelas. Berkoar membuka acara islami sederhana untuk mengisi
kekosongan menit-menit tatkala para adam sujud berjamaah di Jumat tanpa syahwat.

"Kita cewek, perempuan. Sekarang aku tanya.. Siapa sih yang paling dirugikan ketika kita
berpacaran?" ujar seniorku lantang saat memresentasikan projeknyda dalam proyeksi layar
putih lebar yang terbentangkan di dinding depan.

"Kita!" Sahut kami serempak.

Perempuan kuning langsat itu tersenyum samar. Dia bertanya pelan, "Lalu, kenapa kamu masih
mau pacaran?"

Untuk beberapa detik, hanya terdengar jawaban yang bertalun dalam gumaman tak jelas.
Hingga seorang yang duduk paling depan menjawab, "Karena pacaran itu nggak pernah
tersebutkan dalam firman, sabda atau riwayat apapun dalam Islam, kak!"

Sudut-sudut bibir perempuan itu tertarik lagi. Dengan sesirat geli yang terselip dalam gurat
lipatan dahinya. "Tidakkah kamu berfikir, wahai akhwat? Adam yang mengejar kita hanyalah
menuntut birahi semata. Mereka terbutakan oleh nafsu. Bahkan tak jarang mereka
mengedokkan 'taubat' dalam aksinya. Coba lihat! Selama ini, bukankah kita selalu menjadi
pihak yang selalu mendapat imbas buruknya?" Sunyi sekejap menghampiri-lagi. Aku dan
barisan kawan kelas ini termangu dalam jabaran cuap demi cuapnya. Kemudian ia berucap,
"Kita berharga. Wanita ialah pengrupa perhiasan. Allah telah memberi wadah spesial bagi
wanita hingga kita harus benar-benar menjaganya hingga waktu yang tepat tiba."

Sekali lagi, aku bergidik. Meski aku belum pernah merasa warna-warni berhubungan dekat
seperti itu, membayangkan hal-hal yang tersuarakan oleh bibirnya jujur buatku merenung.
Benar, tak dapat disangkal sebelum aku mengikuti kelas agama ini hati masih merasa ingin
dimiliki dan memiliki. Setidaknya aku ingin menyesapi manisnya kata tersebut dalam nyata yang
tertangkap virtual oleh kedua-belah pihak. Bukan sendiri yang jatuh hati tanpa seorang pun
yang siap merengkuh diri.

Buru-buru perempuan penyadar batinku itu menyambung, "Rasa itu pasti ada. Tapi pacaran?
Cuma nafsu yang mewakilkan kata tersebut." Rasa? Cinta? Hati? Lalu aku tak sungguh-sungguh
mendengarkannya lagi. Neuronku mengimpuls sisa memori yang baru saja menakhlikkan
fragmen konversasi beberapa jam yang lalu. Membumbung srebrum dalam filosofi baru yang
tak pernah kukira sebelumnya.

"Jodoh, adalah saat kamu merupakan bagian hidup dia dan dia merupakan bagian hidupmu.
Saling mengisi, melengkapi dan mengerti."

Aku masih tak mengerti. Duduk di kursi guru, menghadap pada seorang wanita paruh baya
kalem di sampingku, berada dalam satu bimbingan.. Entahlah. Berbagi kisah dengan seorang
guru konseling di sekolah adalah kali pertama bagiku. Ini aneh. Sebelumnya setiap aku bercerita
dengan kerabat dekat yang timbul bukanlah kegamangan, namun mengapa kali ini berbeda?

"Perasaan itu nggak tentu. Yang hari ini kamu sayang banget, bisa aja besok malah berbalik
benci. Bukannya Tuhan memang memberikan rasa pada kita dalam itu tiba-tiba?" Sekonyong-
konyong, filter rangkaian kalimat yang baru saja tercetuskan oleh beliau. Bu Ning, selaku
mentor psikis sekolahku baru saja memberikan hal asing dalam tangkupan anteriorku. Ini salah.
Bukan. Aku tak bisa menerima prinsip ini.

Perasaanku berbeda. Aku tahu hal ini sejak pertama kali menangkap getar abnormalnya.
Hatiku bukan tak menentu. Aku telah menetap. Tersekap dalam sosok pujangga sebegitu
dalamnya hingga aku pun mendebat, "Tapi mengapa saya sering ngerasa 'sakit' ya, bu, kalau
ngerapalin nama dia dalam doa?"

Wanita berhijab itu mengulum senyum samar, "Mengapa harus sakit? Suka itu nggak perlu
dipaksa. Hal wajar itu. Dari sana, rasa bisa berubah menjadi cinta. Dan tahukah kamu
bagaimana seorang remaja yang memikirkan cinta? Orientasi fikirannya akan terpusat pada hal
tersebut lalu ia pun mulai mengimajinasikan hal-hal yang mungkin akan ia lakukan bersama
orang yang ia cintai. Sampai hasrat untuk mendapatkan keinginan tersebut membuat kita
terdorong untuk memilikinya. Bukankah ironi jika kita hanya mencintai lantaran untuk
merasakan hal-hal manis duniawi tersebut?" Wanita itu menghela nafas sesaat, lalu
menggumam pelan, "Cinta itu haruslah ikhlas. Tulus dari hati tanpa mengharap apapun dari
yang kita cintai."

Aku terpaku. Tak dapat mengungkapkan apapun. Teori ini buatku beku. Sepersekian detik
dendrit dan neuritku pun deras mengimpuls hingga terkoneksi benar seluruh informa. Beliau
benar. Sangat benar.
"Sekarang pertanyaannya, memang seseorang itu juga mau berhubungan dekat seperti itu
dengan kita? Kita nggak punya hak untuk mendorong dia mau. Lagipula, apa kamu masih
beranggapan bahwa berpacaran akan membuat kita termotivasi belajar? Tidak nak. Sangat
tidak berpengaruh. Sepanjang saya membimbing siswa di sini, yang ada pacaran hanya akan
membuat kita tidak konsenterasi terhadap pelajaran. Nilai kita merosot. Cita-cita tak tercapai
lalu hidup menjadi berantakan. Naudzubillah."

Lagi, aku termenung. Menelaah kata demi kata penjabaran seorang wanita berpengalaman
di hadapanku dalam ketidaktahuan dengan kata-kata O besar yang terucap. "Tapi, Bu, saya
sudah cinta. Kalau misalnya saya mau menunjukkan rasa suka.. Harus bagaimana?"

Kembali, ia tersenyum. Hangat dari sebelumnya, "Jadikan ia motivasi. Gali potensi diri.
Urusan hati sungguh dapat mendorong kita untuk berbuat lebih. Tunjukkan pada ia bahwa kita
hebat." Lalu akupun mengangguk mengerti dan berniat untuk bertanya lagi.

Namun, sebelum sempat membuka katupan bibir, buru-buru wanita dengan tahi lalat di
hidung itu menanggapi, "Bentar, tadi kamu bilang.. menunjukkan rasa suka?" Kemudian aku
mengisyaratkan 'iya' dan beliau pun membenarkan posisi duduknya. "Nak, kita orang timur.
Perempuan pula. Sungguh tak bernilai harganya apabila kita menyatakan cinta pada seorang
lelaki yang kita sukai. Ingat, perasaan bisa berubah begitu saja. Kamu masih duduk di bangku
SMA. Perjalananmu masih panjang. Akan ada banyak orang yang akan kamu temui di luar sana.
Perasaanmu, pasti juga akan berubah, kan? Jangan terlalu menggebu." Ujarnya panjang lebar.
"Jika cinta, jangan dikatakan. Cukup tunjukkan melalui perbuatan bahwasanya kamu adalah
perempuan hebat yang pantas ia kejar sebagai wanita layak pendamping hidupnya. Percayalah,
itu akan membuat hidupmu jauh, jauh, jauh lebih indah."

Kembali, aku mengangguk mantap. Beliau menjawab seluruh tanya-tanya dalam batinku
selama ini. Tatapannya buatku sadar, kicauan bijaknya buatku mengerti, bimbingan ini sungguh
meringankan hati. Sungguh, ini kali pertama aku bisa tersenyum ringan. Seringan benak yang
melepas serangkaian tanya hati pengakar kemunduran kapabilitas diri. Aku sungguh bahagia
hari ini.

"Tidak ada yang lebih indah dari mencintai-Nya. Apapun yang kamu harapkan dari Tuhan pasti
akan terkabulkan dalam kurun waktu yang hanya ia yang tahu. Tapi kalau mengharapkan dari
seseorang sesama manusia yang kita cintai? Duh, cuma berbuah kecewa!" Ujar kakak penyaji
yang masih setia berdiri menutup presentasi.

Bicara tentang hati dan perasaan, memang tak ada habisnya. Memoar filosofi perasaan, hati
dan harga diri dari seorang ibu kedua di sekolahku masih membekas tajam dalam Anteriorku.
Ditambah dengan cakapan demi cakapan yang tersuara dari balik katup mungil wajah kakak
seniorku. Aneh memang, secuil rasa hati dapat mengrupa sebuncah semangat diri untuk lebih
mengembangkan intensitas kompetensi. Itukah yang disebut cinta sejati? Enyahlah. Aku tak
peduli lagi. Aku hanya ingin menggapai mimipi.

Anda mungkin juga menyukai