Anda di halaman 1dari 22

Tugas Kelompok 10 Dosen Pembimbing

Hukum Bisnis Khairul Akhyar, M. Sy

MAKALAH
“Hukum Ketenagakerjaan”

Disusun Oleh:

Suryanti
11870321389
Venny Oktaviani
11870321909

AKUNTASI II E
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kam kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW yang nanti-
nantikan syafaatnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas kelimpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Bisnis yang
berjudul “Hukum Ketenagakerjaan”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari makalah ini supaya menjadi makalah yang lebih baik lagi.Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih

Pekanbaru,30 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang iv
B. Rumusan Masalah iv
C. Tujuan iv

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum 1
B. Hak & Kewajiban Pekerja & Pengusaha 2
C. Undang-undang Ketenagakerjaan 5
D. Sistem Peradilan Hubungan Industrial (PHI) 7
E. Organisasi Pekerja/Buruh 11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan 17
B. Saran 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ada beberapa pihak yang mempergunakan hukum ketenagakerjaan.


Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja” yang artinya “segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa
kerja” (Pasal 1 huruf 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Keternagakerjaan). Dengan
demikian, hukum perburuhan lebih sempit cakupannya daripada hukum
ketenagakerjaan karena hanya menyangkut selama tenaga kerja (buruh) melakukan
pekerjaan.

Pada prinsipnya hukum kerja adalah : “serangkaian peraturan yang mengatur


segala kegiatan yang berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain dengan
menerima upah.”

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pengertian dasar hukum ketenagakerjaan?
2. Apa saja hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha?
3. Apa saja undang-undang tentang ketenagakerjaan?
4. Bagaimana sistem pengadilan perselisihan hubungan industrial
5. Bagaimana sejarah terbentuknya organisasi pekerja/buruh?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk memahami apa yang dimaksud dengan hukum
ketenagakeejaan, bagaimana hukumnya dan bagaimana sistem peradilan dalam
pekerja/ buruh, serta mengetahui tentang sejarah terbentuknya organisasi pekerja atau
buruh di Indonesia dan mengetahui yang mengenai upah tenaga kerja.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Dasar Hukum

Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga


kerja. Hukum ketenagakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuan. Dengan
kata lain, keadaan tenaga kerja dalam masa penempatan (tenaga kerja dalam
masa hubungan kerja). Pada prinsipnya hukum kerja adalah : “serangkaian
peraturan yang mengatur segala kegiatan yang berkaitan dengan bekerjanya
seseorang pada orang lain dengan menerima upah.”

Ditanah air kita tak jarang perusahaan-perusahaan yang mengerjakan


tenaga keja yang belum cukup umur kerja sebagai buruh pada perusahaan-
perusahaannya, yang sesungguhnya menurut Undang-Undang Kerja No. 12
Tahu 1948 pasal 1 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 pasal 1 tentang
penggunaan tenaga kerja yang demikian adalah dilarang.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 pasal 1 jo Undang-Undang No.1


Tahun 1951 , pasal 1 memberikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Yang dimaksud dengan anak-anak ialah mereka laki-laki ataupun


perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah, anak-anak tersebut
tidak boleh menjalankan pekerjaan (pasal 2 UU No. 12/1948, jo UU
No. 1/1951)
b. Yang dimaksud dengan orang muda, ialah mereka laki-laki maupun
perempuan yang berumur diatas 14 tahun, akan tetapi masih berada
dibawah 18 tahun, orang muda tersebut diperbolehkan menjalankan
kerja yang tidak berbahaya bagi kesehatan dan keselamatannya (UU
No. 12/ 1948 jo UU No. 1/1951, pasal 6)

1
c. Yang dimaksud orang dewasa (telah cukup umur sebagai tenaga
kerja) ialah mereka laki-laki maupun perempuan yang berumur 18
tahun ke atas (UU No. 12/1948 jo UU No. 1/1951 pasal 1 ayat (1)b)

Peraturan mencakup aturan yang tertulis dan hukum yang tidak


tertulis. Hukum yang tertulis meliputi seluruh peraturan perundang-
undangan berdasarkan jenis dan hirarki peraturan peundang-undangan
yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( Lembaga Negara Tahun
2004 Nomor 53, selanjutnya disebut dengan UU No. 10 Tahun 2004),
yaitu:

1. undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945


2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah

Hukum yang tidak tertulis misalnynya hukum kebiasaan

2.2 Hak & Kewajiban Pekerja & Pengusaha

Serikat buruh mempunyai nomor bukti pencatatan berhak:

1. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha


2. Mewakili buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial
3. Mewakili buruh dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan
4. Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan usaha peningkatan kesejahteraan buruh
5. Mengembangkan potensi kerja, minat, bakat dan kemampuan

2
6. Mendapatkan jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja
7. Mendapatkan upah yang layak
8. Mendapatkan libur,cuti, istirahat serta memperoleh pembatasan
waktu kerja
9. Melakukan aksi mogok kerja
10. Mendapatkan persoalan jam kerja untuk pekerja perempuan
11. Mendapatkan perlindungan atas pemutusan kerja
12. Melakukan kegiatan buruh di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

Hak-hak perusahaan menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan:

1. Berhak atas hasil pekerjaan


2. Berhak untuk memerintah/mengatur tenaga kerja
3. Berhak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh (pasal 150)

Kewajiban pengusaha menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan:

1. Memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan


perlindugan sesuai dengan garis dan derajat kecacatannya (pasal 67
ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003)
2. Pengusaha wajib memberikan/menyediakan angkutan antar jemput
bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang pekerja
antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00 (pasal 76(5) UU No. 13 tahun
2003)
3. Kewajiban membayar upah dalam hubungan kerja kewajiban utama
bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjaannya secara

3
tepat waktu. (Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan)
4. Kewajiban memberikan istirahat/cuti. Pihak pengusaha diwajibkan
untuk memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur.
Cuti tahuanan yang lamanya 12 hari kerja (Pasal 79 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
5. Kewajiban menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi para pekerja
untuk meningkatkan kesejaheraan pekerja penyediaan fasilitas
kesejahteraan dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan
pekerja da ukuran kemampuan perusahaan. (Pasal 100 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan)
6. Pengusaha wajib memberikan kesempatan secukupnya kepada
pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya
(pasal 80 UU Ketenagakerjaan)
7. Kewajiban untuk memberitahuakn dan menjelaskan isi serta
memberkan naskah peraturan perusahaan dan perubahannya kepada
pekerja. (Pasal 114 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan)
8. Kewajiban untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja
yang dimaksud meliputi:
a. 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1
minggu, atau
b. 8jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1
minggu
(Pasal 77 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan)
9. Dalam hal pekerja/buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga
melakukan tindakan pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib memberikan bantuan kepada keluarga

4
pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya (psal 160 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan)
10. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 (pasal 90 UU Ketenagakerjaa)
11. Pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan)

2.3 Undang-Undang Ketenagakerjaan

Dalam era tahun 2000-an ada peraturan perundang-undangan


yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum kerja,yaitu sebagai
berikut:

a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
131,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889)
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Lembaran Negara Nomor
4279). Undang-Undang Ketenagakerjaan Ini Mencabut:
1. Ordonansi Tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Diluar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887
Nomor 8)
2. Ordonansi Tanggal 17 Desember1925 Peraturan Tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647)
3. Ordnansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-Anak Dan
Orang Muda Di Atas Kapal (Sttatsblad Tahun 1926 Nomor 87)
4. Ordonansi Tanggal 4 Mei 1936 Tentang Ordonansi Untuk
Mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja 9staatsblad Tahun
1939 Nomor 208)

5
5. Ordonansi Tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau
Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor
545)
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 Tantang Pembatasan Kerja
Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8)
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Kerja Thun 1948 Nomor 12 Dari
Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1951 Nomor 2)
8. Undang-Undang Nomor21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian
Perburuan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara
Tahun 1934 Nomor 69 Tambahan Lembaran Negara Nomor
598a)
9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 Tantang Penempatan
Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8)
10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 Tantang Wajib Kerja
Sarjana ( Lembaran Negara Nomor 2270)
11. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang Pencegahan
Pemogokan Dan/Atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan,
Jawatan, Dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963
Nomor 67)
12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2912)
13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang
Ketenagakerjaan (Lembara Negara Tahun 1997 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702)
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang

6
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184,
Tambahan Lenbaran Negara Nomor 3791)
15. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042)
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang ini mencabut:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja

2.4 Sistem Peradilan Hubungan Industrial

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) memiliki otoritas untuk


menangani semua jenis perselisihan ketenagakerjaan. Pengadilan ini
berkedudukan di seluruh Pengadilan Negeri Kota/Kabupaten. Menurut Pasal 1
angka 17 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 pengadilan hubungan industrial
adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang
berwenang memeriksa,mengadili dam memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial. Pasal ini menegaskan bahwa pengadilan hubungan

7
industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan
negri. Proposisi ini dapat dihubungkan dengan Pasal 55 Undang-undang Nomor
2 tahun 2004

Peradilan hubungan industrial adalah (1) memeriksa, (2) mengadili, (3)


memberi putusan, terhadap perselisihan hubungan industrial. Dengan demikian
peradilan hubungan industrial mempunyai kewenangan memeriksa,mengadili,
dan memberi putusan perselisihan keputusan hubungan kerja. Pasal 56 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa pengadilan hubungan kerja
industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memetuskan:

1. Di tingkat pertama mengenai hak


2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan

Dihubungkan dengan pasal 110 Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 diperoleh


kesimpulan bahwa putusan pengadilan hubungan industrial untuk perselisihan
kepentinan dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan hubungan industrial
untuk perselisihan hak dan perselisihan dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah
Agung. Tidak dikenal lembaga banding di dalam perselisihan hubungan
industrial

Pemahaman mengenai hubungan industrial pun menjelaskan dalam


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Ayat
16 yang berbunyi:

“hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang/jasa yang terdiri dari unsur

8
pengusaha,pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, stakeholder


harus mematuhi prinsipnya. Pertama, keberhasilan dalam kegiatan usaha
merupakan kepentingan bersama. Dengan demikian stakeholder harus bekerja
sesuai tugas dan fungsinya. Kedua pengusaha dan pekerja mesti saling
menguntungkan.

Dengan harapan timbulnya peselisihan hubungan industrial tidak akan


mengganggu proses prosuksi barang maupun jasa di perusahaan. Ada 2 cara
menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial:

1. Perselisihan Diluar Pengadilan


Penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi. Oleh karena apabila gugatan tidak dilampirkan risalah
tersebut, hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat (pasal
83 UU PPHI)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan
dilakukan memalui lembaga hubungan atau mekanisme:
a. Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan
b. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
PHK, perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam suatu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral
c. Konsiliasi adalah penyelesaian hak, perselisihan kepentingan,PHK,
perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan
melalui musyawarah. Konsiliator seorang atau lebih yang memenuhi

9
syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh mentri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran
d. Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya di dalam satu perusahaan,
diluar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari
pihak yang berselisih

2. Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial


Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk diingkungan pengadilan negri yang berwewenang memeriksa,
mengadili, dan memberikan putusan sebagai upaya paksa terhadap
perselisihan hubungan industrial. Untuk pertama kali pengadilan
hubungan industrial pada asetiap pengadilan negri kabupaten/kota yang
berada disetiap ibukota provinsi yang daerah hukumnya meliputi
provinsi yang bersangkutan. Hukum yang dipakai adalah hukum
perdata.
Komposisi Majelis Hakim PHI adalah 3 orang hakim yang
terdiri dari 1 hakim ketua dan 2 hakim Ad-Hock yang berasal dari
Asosiasi pengusaha sebagai hakim anggota. Berkas-berkas yang perlu
disiapkan dalam beracara di PHI adalah: surat gugatan yang dibubuhi
materai Rp. 6000 dan dilampiri risalah mediasi/konsiliasi dan anjuran
tertulis (penggugat), surat kuasa khusus (kedua belah pihak), jawaban
gugatan (tergugat), replik (penggugat), duplik (penggugat), daftar bukti
tertulis dan berkas bukti yang sudah diberi materai Rp. 6000 serta
berstempel pos (kedua belah pihak), daftar kesaksian yang dilampiri
KTP calon saksi dan menghadirkan saksi (kedua belah pihak),
kesimpulan (kedua belah pihak), putusan (Majelis Hakim PHI) dan
pengirim salinan resmi putusan PHI (Panitera PHI)

10
2.5 Organisasi Pekerja/Buruh

Kehadiran organisasi pekerja dimaksud untuk memperjuangkan hak dan


kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlukan sewenang-wenang oleh pihak
pengusaha. Semakin baik organisasi itu maka akan semakin kuat,sebaliknya
semakin lemah maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena
itu kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah
atau organisasi.

Sebagai implementasi dari amanat ketentuan pasal 28 UUD 1945 tentang


kebebasan berserikat & berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun
tuisan yang ditetapkan dengan undang-undang,maka pemerintah telah eratifikasi
konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 dengan Undang-undang
No 18 tahun 1956 mengenai Dasar-dasar Hak Berorganisasi & Berunding
Bersama. Pelaksanaan ketentuan undang-undang tersebut dalam menata
organisasi buruh di Indonesia adalah seperti terpapar dalam uraian berikut;

Pada saat kelahiran tanggal 19 September 1945 organisasi buruh di


Indonesia terlibat dalam tujuan politis karena itulah antara organisasi buruh itu
sendiri terjadi perpecahan karena antara para buruh yang bersangkutan massing-
masing bervariasi pada organisasi politik yang berbeda. Setelah pemilu tahun
1971 organisasi politik yang ada bergabung dalam 2 (dua) parta politik sehingga
organisasi buruh yang bernaung dibawah Parpol tersebut menjadi kehilangan
induk. Momentum inilah yang dipergunakan oleh pimpinan oganisasi buruh saat
itu untuk mengeluarkan suatu deklarasi yang tersebut “Deklarasi Persatuan
Buruh Indonesia” yang ditanda tangani tanggal 20 Februari 1973, deklarasi ini
berisikan kebulatan tekad kaum buruh Indonesia untuk mempersatukan diri
dalam suatu wadah yang disebut Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Bentuk federasi organisasi buruh ini lebih aspiratif dalam


memperjuangkan kepentingan buruh, namun secara “politis” bentuk federasi ini
seringkali sukar dikendalikan,para buruh seringkali melakukan aksi-aksi jika

11
hak-haknya tidak dipenuhi. Untuk itulah Menteri Tenaga Kerja pada saat
membuka Kongres FBSI II tanggal 30 November 1985 mengkritik sifa federasi
organisasi pekerja ini yang dikatakan meniru model liberal karena itu
disempurnakan, ia juga tidak sependapat dengan istilah buruh yang melekat pada
nama organisasi tersebut dan mengusulkan untuk diganti dengan istilah pekerja
(Rudiono,97:1992).

Untuk “melegalkan” tindakan tersebut, pemerintah mengeluarkan


Permenaker 05/MEN/1985 tentang Pendaftaran Organisasi Pekerja. Dalam
peraturan ini disebutkan bahwa organisasi buruh yang dapat didaftarkan adalah:

1. Bersifat kesatuan
2. Mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di 20 daerah tingkat I, 100 daerah
tingkat II, dan 1000 di tingkat unit/perusahaan.

Reaksi terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mempersulit terbentuknya


organisasi buruh tersebut tidak hanya mendapat tanggapan dari dalam negri,
tetapi juga datang dari luar negri yang menyatakan bahwa buruh di Indonesia
tidak diberikan kemerdekaan untuk berserikat/berorganisasi. Statemen ini
didukung pula oleh hasil penelitian ILO yang menyimpulkan bahwa “Union
Right” buruh di Indonesia sangat dibatasi tanpa diberikan kelonggaran untuk
berorganisasi (Ani Sunariati,90:1992)

Kondisi yang demikian merupakan salah satu alasan pemerintah


meninjau kembali ketentuan tentang pendaftaran organisasi buruh dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05 tahun 1987 dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 tahun 1993. Peraturan ini memperlonggar
persyaratan pendaftaran organisasi pekerja yakni:

1. Mempunyai unit organisasi di tingkat perusahaan 100


2. Mempunyai pengurus 25 di tingkat Kabupaten dan sekurang-kurangnya
5 Provinsi

12
Perubahan aturan yang memberikan kemudahan bagi pekerja untuk
mendirikan serikat buruh tersebut dalam kenyataannya tidak mendapat
sambutan dari para buruh, sehingga tidak ada organisasi buruh selain SPSI
yang terdaftar. Namun demikian dalam tahun 1993 telah terbentuk 13
pengurus sektor SPSI yang telah tedaftar di Depnaker dengan nomor
pendaftaran 357-369/MEN/1993, anehnya meskipun di tingkat pusat sudah
terbentuk, namun di tingkat daerah apalagi diperusahaan belum bergeming
sama sekali.

Sejalan dengan babak baru pemerintah Indonesia yakni era reformasi


yang menuntut pembaharuan disegala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena itu pemerintah melalui Kepres No. 83 tahun 1998 telah
mengesahkan Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Convention
Concorning Freedom of Association and Protection of the Right to
Organise). Karena kondisi dalam negeri yang sedang dilanda berbagai aksi
demonstrasi dalam masa pemerintahan transisi tampaknya merupakan alasan
bagi pemerintah meratifikasi konvensi ILO dengan peraturan pemerintah,
tidak dalam bentuk Undang-undang sebagaimana lazimnya.

Konvenssi ini pada hakikatnya memberikan jaminan yang seluas-luasnya


kepada organisasi buruh untuk mengorganisasikan dirinya dan untuk
bergabung dengan federasi-federasi, konfederasi, dan organisasi apapun dan
hukum negara tidak boleh menghalangi jaminan berserikat bagi buruh
sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut. Menurut hemat penulis,
pengembangan serikat pekerja ke depan harus diubah kembali bentuk
kesatuan menjadi bentuk federatif dan beberapa hal yang perlu mendapat
penanganan dalam undang-undang serikat pekerja adalah:

1. Memberikan otonom yang seluas-luasnya kepada organisasi pekerja


di tingkat Unit/Perusahaan untuk mengorganisasikan dirinya tanpa

13
campur tangan pihak pengusaha maupun pemerintah dengan kata lain
serikat pekerja harus tumbuh dari bawah (battum up policy);
2. Serikat pekerja di tingkat Unit/Perusahaan ini perlu diperkuat untuk
meningkatkan “bergaining position” pekerja, karena serikat pekerja
tingkat unit/perusahaan selain sebagai subyek/ yan membuat
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan pengusaha, juga sebagai
Lembaga Bipartit;
3. Jika serikat pekerja di tingkat unit/perusahaan ingin menggabungkan
diri dengan serikat pekerja dapat dilakukan melalui wadah federasi
serikat pekerja,
4. Untuk membantu tercapainya hal-hal diatas perlu pemberdayaan
pekerja dan pengusaha. Pekerja perlu diberdayakan untuk
meningkatkann keahlian/keterampilan dan penyandaran tentang anti
pentingnya serikat pekerja sebagai sarana memperjuangkan hak dan
kepentingan dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.

Dalam rentan waktu yang cukup lama, akhirnya pemerintah berhasil


menetapkan Undang-undang No. 21 tahun 200 tentang Serikat
Buruh/Pekerja. Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan serikat
buruh/pekerja sangat penting artinya dalam rangka memperjuangkan
memla dan melindungi hak dan kepentingan buruh/pekerja serta
melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh/pekerja dan keluarganya.

Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan serikat


buruh/pekerja sangat penting artinya dalam rangka memperjuangkan
membela dan melindungi hak dan kepentingan buruh/pekerja serta
melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh/pekerja dan keluarganya.

14
Dalam Undang-undang No 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Buruh ditemukan beberapa prinsip dasar yakni:

1. Jaminan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan


menjadi anggota serikat pekerja/buruh
2. Serikat buruh dibentuk atas kehendak buruh/pekerja tanpa
tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah , dan
pihak manapun
3. Serikat buruh/pekerja dapat dibentuk berdasarkan sektor
usaha,jenis,pekerja atau bentuk lain sesuai dengan kehendak
pekerja/buruh
4. Basis utama serikat buruh/pekerja ada di tingkat perusahaan,
serikat buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam
Federasi Serikat Buruh
5. Serikat buruh/pekerja, federasi da konfederasi serikat
buruh/pekerja yang telah tebentuk memberitahukan secara
tertulis kepada kantor Depnakaer detempat, untuk dicatat
(bukan didaftarkan)
6. Siapa pun dilarang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk,
menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus

Dari prinsip tersebut jelaslah bahwa pemerintah telahmerespon secara


positif konvensi ILO yang telah diratifikasi hal inin terbukti dari rumusan
substansi pengatur dalam UU Serikat Buruh/Pekerja yang sangat aspiratif
dengan tuntutan perkembangan yang ada.

Terhadap serikat pekerja/buruh adanya sanksi administratif pencabutan


pencatatan dan kehilangan haknya untuk turut serta dalam pembuatan perjanjian
kerja bersama, dalam penyelesian perselisihan hubungan industrial atau dalam

15
mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan. Sanksi administratif
dicabut sampai terpenuhinya syarat-syarat seperti yang terdapat dalam pasal 5
Undang-undang

Sedangkan dalam pasal 43 UU Nomor 21 Tahun 2000 , terhadap


pengusaha yang menghalangi atau memaksa pekerja/ buruh untuk membentuk
atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh dikenakan sanki pidana penjara
paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp. 100
juta dan paling banyak Rp. 500 juta, dan tindak pidana tersebut termasuk
kategori tindak pidana kejahatan

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum perburuan atau ketenagakerjaan adalah himpunana peraturan


baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenan dengan kejadian dalam seorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Perjanjian antara pengusaha dan
pekerja untuk melakukan pekerjaan dimana dalam melakukan pekerjaannya itu pekerja
harus tunduk dan berada dibawah perintah pengusaha atau pemberi kerja,sebagai
imbalan dari pekerjaan yang dilakukan pekerja berhak atas upah yang wajib dibayar
oleh pengusaha

3.2 Saran

Dalam pembuatan sebuah makalah pasti ada sesuatu keliruan baik itu dalam
penulisan dan juga mungkin penjabarannya yang kurang baik. Jadi kami sebagai penulis
sangat mengharapkan kritikan dan sarannya agar dapat memperbaiki lagi dalam
penulisan sebuah makalah berikutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Drs. C.S.T Kansil, S.H dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2001,
Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta, PT. Pradnya Paramita

Zaeni Asyhadie,S.H.,M.Hum, 2008, Hukum Ketenagakerjaan Bidang


Hubungan Kerja, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada.

Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M , 2010, Hukum Bisnis untuk


Perusahaan, Jakarta, Kencana

Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,


Jakarta, Sinar Grafika

H. Zainal Asikin, S.H., SU. 1993, Dasar-dasar Hukum Perburuan,


Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

Lalu Husni, S.H., M. Hum, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan


Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. 2009, Hukum Perburuan,


Jakarta, PT Indeks

18

Anda mungkin juga menyukai