Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUKUM BISNIS

Penyelesaian Sengketa Bisnis

DOSEN PEMBIMBING
Khairul Akhyar,M,Sy

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 11


Wina Fitriana NIM 11870324185
Zakiah Fitri NIM 11870321910

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
JURUSAN AKUNTANSI S1
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan Rahmat dan
hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat untuk
memenuhi tugas dari dosen Hukum Bisnis
Makalah ini membahas tentang ”Penyelesaian Sengketa Bisnis”,semoga dengan makalah
yang kami buat ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna, maka dari
itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari bapak selaku dosen pembimbing kami,karena
kritik dan saran itu kami harapkan. Kami mohon maaf jika ada kesalahan.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita,akhir kata
kami mengucapkan terima kasih.

Pekanbaru, April 2019

Penyusun

2|Page
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... 2


Daftar Isi ......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan masalah.......................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Sengketa Bisnis diluar Pengadilan………………………..6

2.2 Negosiasi dan Mediasi…………………………………………………..7

2.3 Pengertian Arbitrase…………………………………………………….13

2.4 Dasar Hukum dan Alasan Memilih Lembaga Arbitrase………………..16

2.5 Bentuk-bentuk Klausula dalam perjanjian Arbitrase……………….......18

2.7 Bentuk-bentuk Arbitrase………………………………………………..20

2.8 Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Negeri dan Arbitrase Asing…..........22

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………..25

3.2 Saran........................................................................................................25

Daftar Pustaka

3|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Pembaharuan hukum dan sistem peradilan yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi
beberapa bidang hukum diantaranya bidang hukum perniagaan1. Kemajuan pesat di bidang
perdagangan seperti penanaman modal (investment), joint venture maupun alih teknologi
(transfer of technology) memerlukan sarana hukum yang cepat dan tepat manakala terjadi
persengketaan. Para pelaku bisnis beranggapan bahwa sengketa-sengketa bisnis kurang dipahami
oleh hakim-hakim di pengadilan sehingga para pelaku bisnis lebih condong menggunakan
alternatif penyelesaian sengketa sebagai jalur untuk menyelesaikan persengketaan bisnis yang
mereka alami.

Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Selain bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengeta tersebut, dalam upaya penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan
juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa melalui badan-badan arbitrase.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesian sengketa lainnya
hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Seiring dengan
perkembangan dunia usaha, dunia penyelesaian sengketa juga mengalami perkembangan yaitu
munculnya sengketa-sengketa internasional yang diselesaikan melalui badan-badan arbitrase
internasional.

Penyelesain sengketa melalui badan arbitrase internasional inilah yang nantinya


menghasilkan putusan arbitrase asing yang akan dimohonkan eksekusi di negara lain.
1
Catur Iriantoro, Pelaksanaan Klausula-Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Bisnis, Jilid I, ( Bandung :
Inti Media Pustaka), 2007 . hlm. 4

4|Page
Permohonan eksekusi di negara lain, bukan di tempat putusan arbitrase dijatuhkan inilah yang
sering kali menimbulkan permasalahan. Salah satu putusan arbitrase asing yang eksekusinya
tidak dapat dilaksanakan di Indonesia adalah Putusan Arbitrase Internasional yang dikeluarkan
oleh SIAC Arbitration No. 062 Tahun 2008 (SIAC Arbitration No.062 of 2008).

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian penyelesaian sengketa bisnis di luar Pengadilan ?


2. Negosiasi dan Mediasi ?
3. Pengertian Arbitrase ?
4. Dasar hukum dan alasan memilih lembaga Arbitrase ?
5. Bentuk-bentuk klausula dalam perjanjian Arbitrase ?
6. Bentuk-bentuk Arbitrase ?
7. Eksekusi putusan Arbitrase dalam Negeri dan Arbitrase Asing ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian penyelesaian sengketa bisnis di luar Pengadilan
2. Untuk mengetahui Negosiasi dan Mediasi
3. Untuk mengetahui pengertian Arbitrase
4. Untuk mengetahui dasar hukum dan alasan memilih lembaga Arbitrase
5. Untuk mengetahui bentuk-bentuk klausula dalam perjanjian Arbitrase
6. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Arbitrase
7. Untuk mengetahui eksekusi putusan Arbitrase dalam Negeri dan Arbitrase Asing

5|Page
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan

Dalam kamus besar besar bahasa Indonesia sengketa diartikan sebagai sesuatu yang
menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, perkara yang kecil dapat juga
menimbulkan sengketa ataupun perkara besar seperti daerah yang menjadi rebutan, pertikaian,
perselisihan yang akhirnya dapat diselesaikan dengan cara pengadilan (Litigasi) dan Non
pengadilan (Non-Litigasi) Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan disebut Non-Litigasi atau
juga sering disebut sebagai Alternative Disputere Solutions (ADS) yang berarti alternative
penyelesaian sengketa (APS)2.

Penyelesain sengketa diluar pengadilan ialah upaya penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara arbritase, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. Sedangkan dalam
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan APS berbunyi:
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternative
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama.”

Dari beberapa keterangan diatas dapat dipahami bahwa ketika ada dua orang atau lebih yang
bersengketa dan ingin menyelesaikan  masalahnya pasti dibutuhkan pihak ketiga sebagai jalan
untuk bermufakat atau mencari putusan, jalan yang diambil selain pengadilan atau litigasi dan
diluar yaitu Non-litigasi dengan penyelesain sengketa diluar pengadilan dengan seperti Arbitrase,
mediasi, negosiasi, konsiliasi.

2.1.1 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan

Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Undang-undang Nomor 14 Tahun


1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan  Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 3
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di luar
pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan. Selain itu
2
Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR) Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia,( makalah workshop : Jakarta, 2007 ) hlm 23.

6|Page
penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang –undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan untuk usaha penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian. Dan dalam Pasal 6
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa UU Arbitrase dan APS.

Sengketa terutama sengketa bisnis membutuhkan penyelesaian sengketa yang sederhana,


cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui proses peradilan yang
berbelit-belit, biaya mahal dan waktu yang lama, kurang cocok untuk penyelesaian sengketa
bisnis. Oleh karena itu, para sarjana Amerika berusaha mencari alternative selain dari
pengadilan. Alternative lain selain dari proses pengadilan inilah dewasa ini dikenal dengan ADR
(Alternatif Dispute Resolution)3

2.2 Negosiasi dan Mediasi


2.2.1 Negosiasi
Pengertian Negosiasi adalah salah satu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak
setuju untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui musyawarah, perundingan atau urung
rembuk. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya berinisiatif
sendiri menyelesaikan sengketa mereka.4 Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang
paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara
yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya
publisitas atau menarik perhatian publik.5
Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur
penyelesaian sengketanya. Setiap menyelesaikannya pun didasarkan pada kesepakatan atau
consensus para pihak. Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan
sengketa adalah pertama, ketika para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat,
yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan

3
Amriani Nurnaningsih, “Alternative Dispute Resolution (ADR) :Mediasi Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Jakarta, Maret 2012
4
Syahrizal Abbas, Mediasi. (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.9
5
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional. (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 201

7|Page
pihak lainnya. Hal ini acap kali terjadi ketika dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan
sengketanya di antara mereka
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan biasa
memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-permasalahan yang timbul di
antara para pihak. Selain itu, jarang sekali ada persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi ini. Kelemahan ketiga adalah ketika suatu
pihakterlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini
menjadi tidak produktif. Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di
dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut. Pertama, negosiasi digunakan ketika suatu sengketa
belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi) dan kedua, negosiasi digunakan ketika suatu
sengketa telah lahir, prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para
pihak (dalam arti negosiasi)

2.2.2 Mediasi

Pengertian Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga
tersebut bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Secara
etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu: “mediare”yang berarti “berada
ditengah”. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator
dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara pihak. “berada
ditengah”juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang
bersengketa secara adil dansama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang
bersengketa.

Selain itu, kata “mediasi” juga berasal dari bahasa Inggris “mediation”yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, atau penyelesaian
sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi
penengah.
Pada dasarnya mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (nonintervensi) dan tidak
berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh

8|Page
pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam mediasi tersebut disebut “mediator” atau
“penengah“, yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.
Mediator disini hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik
temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan
dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan
mediator, melainkan di tangan para pihak yang bersengketa.
Dalam proses mediasi ini terjadi permufakatan di antara pihak yang bersengketa, yang
merupakan kesepakatan (consensus) bersama yang diterima para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
dengan dibantu oleh mediator. Mediator disini hendaknya berperan secara aktif dengan berupaya
menemukan berbagai pilihan selusi penyelesaian sengketa, yang akan diputuskan oleh para pihak
yang bersengketa secara bersama-sama. Penyelesaian sengketa melalui mediasi tersebut,
hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis, yang juga bersifat final dan mengikat para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat dicapai atau dihasilakan jika semua pihak yang
bersengketa dapat menerima penyelesaiannya itu. Namun, ada kalanya karena berbagai factor
para ihak tidak mampu mencapai penyelesaian, sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu
(deadlock, stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir
dengan sebuah penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa, karena ketegangan
di antara para pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas.6

2.2.3 Tujuan dan Manfaat Mediasi

Merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi
dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain :

1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relative


murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau
ke lembaga arbitrase.

6
Rachmadi Usman, Mediasi di pengadila. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm.25

9|Page
2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara
nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan
hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.
3. Mediasi memberikan kesempatan para piak untuk berpartisipasi secara langsung
dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan control terhadap
proses dan hasilnya.
5. Mediasi dapat mengiubah hasil, yang dalam litigasi dan arbritase sulit diprediksi,
dengan suatu kepastian melalui suatu consensus
6. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mempu menciptakan saling
pengertian yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa karena mereka
sendiri yang memutuskannya

2.2.4 Prinsip-Prinsip Mediasi


Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang
dimaksudkan di sini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang
diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada
public atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga mediator harus menjaga kerahasiaan
dari isi mediasi tersebut.
Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai dating ke mediasi
atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan
dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang
akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka
dating ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di dasarkan pada asumsi bahwa
orang yang mau dating ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan
masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan
mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai, dan oleh karena itu setiap solusi atau jalan
penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari
pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para
pihak untuk menerima solusinya.

10 | P a g e
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya
memfasilitasi prosesnya saja, dan isiny atetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Dalam
mediasi, mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah satu
benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya. Prinsip kelima, solusi
yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak
harus sesuai dengan standard legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena
itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang
terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak. Dari uraian diatas dapat
dipahami bahwa mediasi memiliki karakeristik yang merupakan ciri pokok yang membedakan
dengan penyelesaian sengketa yang lain.

2.2.5 Kelebihan Mediasi


1. Lebih sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara perdata
2. Efisien
3. Rahasia
4. Menjaga hubungan baik para pihak
5. Hasil mediasi merupakan kesepakatan
6. Berkekuatan hukum tetap
7. Akes yang luas bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa
keadilan

2.2.6 Proses Mediasi


1. Proses Pra Mediasi

Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara. Pada
hari sidang atau paling lama 2 hari kerja berikutnya para pihak dan/atau kuasa hukum
mereka wajib berunding untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana
Pasal 8 PERMA ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Jika tidak
dapat bersepakat, maka para pihak wajib memilih mediator dari daftar mediator yang
disediakan oleh Pengadilan Negeri. Dan jika hal ini juga tidak dapat disepakati oleh para
pihak, maka Ketua Majelis yang akan menunjuk mediator dengan suatu penetapan.

11 | P a g e
2. Tahap Mediasi

Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang
disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan
kepada mediator (Pasal 13 ayat 1) Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan,
dimana para pihak dapat didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya
bersifat rahasia dan berlangsung paling lama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari
tersebut dengan syarat bahwa kesepakatan akan tercapai pemanggilan saksi ahli
dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Mediator wajib mendorong para pihak untuk
menelusuri dan menggali kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik. Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana pihak pihak
yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai proses mediasi. Dalam tahap
ini, terdapat beberapa langkah penting antara lain : sambutan pendahuluan mediator,
presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan permasalahan,
berdiskusi dan negosiasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-opsi, menemukan
butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali
keputusan, dan penutup mediasi

3. Proses Akhir Mediasi

Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil
kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Para
pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan
selama dalam proses mediasi Berakhirnya Mediasi akan membawa konsekuensi bagi para
pihak sebagai berikut :

1. Masing-masing pihak memiliki kebebasan setiap saat untuk menarik diri dari
proses mediasi.
2. Jika mediasi berjalan dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen
yang menguraikan beberapa persyaratan penyelesaian sengketa.

12 | P a g e
3. Jika mediasi tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak mungkin setuju untuk
menunda mediasi sementara waktu. Selanjutnya, jika mereka ingin meneruskan
atau mengaktifkan kembali mediasi, hal tersebut akan memberikan kesempatan
terjadinya diskusi-diskusi baru, yang sebaiknya dilakukan pada titik mana
pembicaraan sebelumnya ditunda

2.3 Pengertian Arbitrase

Perkembangan arbitrase sebenarnya telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno, dan
berlangsung terus hingga ke Negara-negara dagang di Eropa. Penyebaran arbitrase ini tiba di
Amerika Serikat sebagai imigrasi besar-besaran pada 1870. Baru pada awal abad ke-20, sistem
hukum mulai memperhitungkan dan menyambut arbitrase dengan lebih terbuka. Banyak Negara
telah mengesahkan peraturan perundangan mereka yang mengakui legitimasi dari proses arbitase
termasuk peraturaan pelaksanaanya. Walaupun sampai pada 1970 kasus-kasus yang
menggunakan arbitrase masih berkisar di antara kasus bisnis, tetapi saat ini arbitrase telah
meliputi banyak hal seperti kasus malpraktik kedokteran, perlindungan konsumen, dan
lingkungan hidup. Disamping itu, PBB juga sebagai organisasi global dunia dalam pasal 33
piagam PBB juga termasuk yang menyarankan agar pihak yang bersengketa dapat mencari
penyelesaian melalui jalan perundingan (negoisasi), mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Dalam
sistem hukum Indonesia, keberadaan arbitase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
di luar pengadilan sebenarnya sudah lama dikenal. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia
bersamaan dengan diberlakunya Rv. (Reglemenr op de Burgerlifke Rechtscvordering) pada 1847,
karena semula arbitrase ini diatur dalam ketentuan pasal 615 Rv s/d 651 Rv. Ketentuan tersebut
sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Meskipun demikian, berdasarkan
perkembangan arbitrase di Indonesia, institusionalisasi arbitrase mendapatkan momentumnya
dengan terbentuknya Bdan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada tanggal 3 Desember 1977
yang didirikan oleh KADIN.

Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (Belanda/Prancis), arbitration
(Inggris), dan Schiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu

13 | P a g e
menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit7Secara sederhana arbitrase
merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara bagaimana untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum
final mengikat. Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitase yaitu, kewajiban para pihak
membuat kesepakatan tertulis dan perjanjian arbitrase (arbitration clause atau arbitration
agreement), dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan
mengakhiri penyelesaian sengekatanya.

Banyak pihak yang berpendapat bahwa “Arbitrase” adalah suatu pengadilan swasta, atau
sering disebut juga sebagai “pengadilan wasit”. Sehingga para “arbiter” pada pengadilan
arbitrase sering disebut sebagai “wasit”. Pada prinsipnya pola penyelesaian arbitrase atau
sengketa dapat dibagi menjadi dua macam :

a. Melalui Pengadilan
b. Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalu pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang
terjadi antara para pihak yang di selesaikan oleh pengadilan. Berbeda dengan alternatif
penyelesaian sengketa, apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 30 Tahun 1999,
maka cara penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa di bagi :

a. Konsultasi dan Mediasi


b. Negosiasi dan Konsiliasi dan Penilitian ahli.

Pengertian Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999, Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan pengertian
tersebut, ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari defenisi yang diberikan dalam Undang-
undang No 30 Tahun 1999 tersebut adalah :

a. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian


b. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis

7
Dr. Susanti Adi Nugroho, SH,MH, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan
Hukumnya, ( Prenamedia Group : Jakarta, 2016 ) hlm. 294.

14 | P a g e
c. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa
yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha, baik nasional maupun internasional sebagai
suatu cara penyelesaian sengketa pihak dibidang komersial. Dalam perkembangan selanjutnya
ternyata tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase banyak dimanfaatkan juga di bidang-
bidang sengketa tentang franchising penerbangan, telekomunikasi internasional dan yang
lainnya. Meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan, dan industri akhir-akhir ini,
apakah nasional maupun internasional, dan ditambah lagi menghadapi era globalisasi pada masa
mendatang, telah menimbulkan suasana liberalisasi ekonomi, industri, dan lain-lain. Dirasakan
akan kebutuhan tata cara penyelesaian sengketa perdagangan dengan cepat dan murah yang juga
dapat menjaga nama baik dan kepentingan perdagangan dari pihak-pihak yang bersengketa
menetapkan keputusan dan menyerahkan persengketaan perdagangan kepada peradilan arbitrase
yang dapat memenuhi dunia usaha. Dalam Literatur, dijumpai beberapa batasan arbitrase yang
dikemukakan oleh para ahli hukum diantaranya :

a. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitartion works
disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang
dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh
juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka
berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula
untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. 8
b. Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan
sengketa ole seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa
para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim
atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
arbitrase sebagai berikut :
a. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau diluar pengadilan
b. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak.
c. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi

8
Ibid, hlm. 130

15 | P a g e
d. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter dan wasit) yang berwenang mengambil
keputusan
e. Sifat putusannya final dan mengikat.

Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 1233 KUHP Perdata yang menentukan adanya dua
sumber perikatan, arbitrase ini merupakan perikatan yang dilahirkan dari perjanjian. Jika
dikaitkan dengan rumusan pasal 1 angka 3 dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase yang
timbul karena adanya suatu kesepakatan berupa :

a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum sengketa
b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul
sengketa.

Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari
para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga
arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dalam kesepakatan dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan
digunakan untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak. Kalusula atau perjanjian
arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau dalam pendahulauanya atau dalam
suatu perjanjian tersendiri setelah timbul sengketa. Pilihan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Sebagai salah satu bentuk perjanjian,
sah tidaknya perjanjian arbitrase juga digantungkan pada syarat-syarat sebagimana ditentukan
dalam pasa 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian arbitrase tidak
mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan
lembaga yang berwenang menyelesaikan persilisahan yang terjadi antara pihak yang berjanji.

2.4 Dasar Hukum dan Alasan Memilih Lembaga Arbitrase

1. Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RGB

“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan
oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi
bangsa Eropa”. Terlihat, bahwa Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RGB. Memberi kemungkin bagi
para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar
jalur kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan keputusannya

16 | P a g e
dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim disebut dengan nama “arbiter”.
Dan oleh perundangan-undangan arbitrase tersebut dilimpahi fungsi dan kewenangan untuk
memutus persengketaan.

2. Pasal 615-651 Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering (Rv)

Pada Bab Pertama dari buku ketiga ini diatur mengenai arbitrase atau perwasitan yang
dimulai dari pasal 615-651 Rv. Pasal-pasal dibagi menjadi lima:

a. Bagian pertama (Pasal 615-623) mengatur tentang perjanjian arbitrase dan


pengangkatan para arbitrator atau arbiter.
b. Bagian kedua (Pasal 624-630) mengatur tentang pemeriksaan dimuka para arbitrator
atau arbiter atau badan arbitrase.
c. Bagian ketiga (Pasal 631-640) mengatur tentang putusan arbitrase
d. Bagian keempat (Pasal 641-647) mengatur tentang upaya-upaya hukum terhadap
putusan arbitrase
e. Bagian kelima (Pasal 648-651) mengatur tentang berakhirnya acara-acara arbitrase.

3. Undang Undang No 30 Tahun 1999

UU No 30 Tahun 1999 disusun untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam
masyarakat, sekaligus mengantisipasi perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan
nasional dan internasional. Oleh karena itu, peran dan penggunaan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dalam dunia usaha ditinjau dari segi hukum sangat menonjol dan dominan.
Dalam setiap kontrak bisnis para pihak yang terlibat, selalu meminta untuk dicantumkannya
klasula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka. Bahkan tidak jarang ada pihak-pihak yang
tidak mau melakukan hubungan bisnis tanpa diikat dengan perjanjian arbitrase. Dengan
demikian, adanya pengaturan mengenai lembaga arbitrase di Indonesia ini sangat penting,
terlebih dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai organisasi internasional semakin
memperkuat alasan diberlakukannya pengaturan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum
melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat internasional.

17 | P a g e
UU No 30 Tahun 1999, Disamping mengatur tentang arbitrase juga menekankan kepada
penyelesaian sengketa alternatif berbentuk mediasi dan pemakaian tenaga ahli, bahkan tidak
menutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalu alternatif lain, yaitu negosiasi, konsiliasi,
mediasi konsultasi, dan penilaian ahli. Sehingga alasan memilih lembaga arbitrase yaitu :

a. Kerahasiaan sengketa para pihak dijamin.


b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat
dihindari.
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur, dan adil.
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

2.5 Bentuk-bentuk Klasula dalam Perjanjian Arbitrase

a. Pactum de Compromittendo (Perjanjian Arbitrase Dibuat Sebelum Terjadi Sengketa)

Bentuk klausula ini diatur juga dalam pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999. Hal yang terenting
dalam ketentuan pasal ini antara lain, membolehkan untuk membuat persetujuan di antara pihak
yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul
dikemudian hari, akan diselesaikan dan diputus oleh arbitrase. Kesepakatan inilah yang
dimaksud dengan “ klausula arbitrase “. Dalam klausula arbitrase ini, para pihak mengikat
kesepakatan akan menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui forum arbitrase.
Pada saat mereka mengikat dan menyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum terjadi
perselisihan. Seolah-olah kalusula arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang
mungkin timbul dimasa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para
pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi pada
arbitrase. Mengenai cara pembuatan klausula ini ada dua cara yaitu :

1. Mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok. Ini cara
yang paling lazim. Klausula arbitrase langsung digabungkan dan dicantumkan dalam
perjanjian pokok. Perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausula arbitrase,
yang satu dengan yang lain tidak terpisah dokumennya. Dalam perjanjian pokok,
langsung dimuat persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan, bahwa para pihak

18 | P a g e
setuju akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dikemudian hari melalui forum
arbitrase.
2. Pactum de comprpmittendo yang dibuat dalam akta tersendiri. Perjanjian arbitrase
dalam hal ini tidak langsung digabung menjadi satu dengan perjanjian pokok. Tetapi
dibuat terpisah dalam akta tersendiri. Akta perjanjian pokok merupakan dokumen
tersendiri, begitu juga perjanjian arbitrasenya. Dengan demikian ada dua dokumen
yakni akta perjanjian pokok dan akta perjanjian arbitrase. Apabila klausula ini berupa
akta yang terpisah dari perjanjian pokok, waktu pembuatan perjanjian harus tetap
berpegang pada ketentuan, yaitu bahwa akta persetujuan arbitrase harus sudah dibuat
sebelum terjadi perselisihan. Hal itu sesuai dengan syarat keabsahan Pactum de
comprpmittendo yang harus dibuat sebelum perselisihan timbul. Boleh dibuat
beberapa saat setelah pembuatan perjanjian pokok, atau dibuat beberapa lama setelah
pembuatan perjanjian pokok, asalkan dibuat sebelum terjadi perselisihan.

b. Acte Compromis ( Perjanjian Arbitrase Dibuat Setelah Terjadi Sengketa )

Bentuk perjanjian Acte Compromis arbitrase ini diatur dalam pasal 9 UU No 30 Tahun 1999
yaitu Pasal 1 : Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah
sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak.

Pasal 2 : Dalam hal para pihak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

Dari bunyi pasal 9 UU No 30 Tahun 1999 dapat dilihat, akta komparis sebagai perjanjian
arbitrase dibuat setelah terjadi perjanjian pokok berjalan dan kemudian timbul perselisihan antara
para pihak. Adapun sebelumnya, baik dalam perjanjian maupun dengan akta tersendiri, tidak
diadakan persetujuan arbitrase. Dalam kasus yang seperti ini, apabila para pihak menghendaki
agara perselisihan diselesaikan melalui forum arbitrase, mereka dapat membuat perjanjian untuk
itu. Jadi, akta kompuris merupakan kebalikan dari Pactum de comprpmittendo. Dalam Pactum
de comprpmittendo perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase telah disepakati sejak
semula sebelum perselisihan terjadi. Pada akta kompuris perjanjian penyelesaian perselisihan
melalui arbitrase baru diikat dan disepakati telah terjadi perselisihan. Namun dalam praktik

19 | P a g e
perjanjian arbitrase yang dibuat setelah terjadi sengketa jarang dan sulit dilaksanakan, karena
para pihak yang sudah berada dalam suatu perselisihan, tidak dapat dibawa dalam sautu
permufakatan untuk menyelesaijan sengketa mereka melalui jalur arbitrase. Syarat-syarat
menggunakan akta komparis ini yaitu penunjukan siapa arbiter yang akan menandatangani
perselisihan sudah jelas, pembentukan akta komparis dilakukan setelah timbul sengketa,
bentuknya harus akta tertulis, tidak boleh dengan persetujuan saja, dan akta komparis harus
ditanda tangi oleh kedua bela pihak.

2.6 Bentuk-bentuk Arbitrase


a. Arbitrase Ad Hoc

Dalam perjanjian arbitrase harus ditentukan jika timbul sengketa, apakah pelaksanaan
arbitrase akan dilakukan oleh lembaga atau institusi arbitrase atau ad hoc, disertai ketentuan
aturan-aturan procedural yang akan berlaku. Berarti ada dua bentuk arbitrase yang dapat dipilih
para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Pada prinsipnya, arbitrase ad hoc, tidak terikat
dan terkait dengan salah satu lembaga arbitrase. Kedua bentuk arbitrase tersebut, yaitu arbitrase
ad hoc (volunteer) atau arbitrase institusional (permanent), yang sama-sama mempunyai
wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atau perselisihannya. Namun demikisn,
permasalahan sering timbul terutama pada dimulainya proses, yang kemudian sering
memerlukan intervensi dari pengadilan, sehingga biayanya dapat lebih tinggi dari pada biaya
menggunakan arbitrase institusi. Karena itu itikad baik dengan standar yang tinggi di perlukan
dalam arbitrase ad hoc, dan juga tergantung kerja sama antara pihak dan kuasanya.

Jadinya, pada hakikatnya arbitrase ad hoc pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya dapat
bersepakat untuk menyelesaikan sengketa tetapi juga para pihak mempunya kewenangan untuk
mengendalikan setiap aspek dan prosedur penyelesaian sengketa yang akan dilakukan. Dalam
arbitrase ad hoc melakukan pengangkatan arbiter atau para arbiter beserta segala kompotensinya
juga merupakan kewenangan pihak-pihak yang bersengketa. Tempat arbitrase dilangsungkan
juga dapat ditetapkan berdasarkan kehendak para pihak. Mereka dapat memilih tempat arbitrase
dilangsungkan pada tempat tinggal atau tempat kediaman mereka atau dapat juga memilih
tempat tinggal arbiternya. Bahkan dapat juga memilih tempat lain yang bukan tempat tinggal
para pihak atau arbiter, melainkan tempat dimana asset yang menjadi objek sengketa berada.

20 | P a g e
Demikian pula halnya di dalam menetapkan kaidah hukum yang akan dipakai dalam
menyelesaikan sengketa mereka, para pihak dapat memilih peraturan prosedur arbitrase ( rules of
arbitral procedure ) sesuai dengan yang mereka kehendaki. Artinya para pihak tidak terikat untuk
memakai peraturan prosedur arbitrase dari suatu arbitrase institusional tertentu. Pilihan untuk
menggunakan peraturan prosedur arbitrase dapat dilakukan terhadap berbagai kaidah arbitrase.
Umpanya saja UNCITRAL Arbitration Rules sebagai kaidah hukum acara arbitrase mereka.

Satu hal yang tidak dapat di lupakan, bahwa kaidah arbitrase UNCITRAL itu sifatnya
opsional sehingga tidak ada kewajiban bagi siapapun yang hendak menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase untuk memakainya. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa bebas untuk
melakukan pilihan, apakah hendak memakai kaidah tersebut atau tidak. Akan tetapi untuk
penyelesaian sengketa arbitrase ad hoc, memakai kaidah yang sifatnya opsional seperti halnya
kaidah arbitrase UNCITRAL lebih tepat. Apabila para pihak dalam penyelesaian sengketa itu
sama sekali tidak melakukan pilihan hukum, maka dewan arbitrase akan memakai hukum yang
telah ditentukan oleh kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang dianggap berlaku
menurut para arbiter9.

b. Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase sebagai sarana penyelesaian
sengketa yang bersifat permanen sehingga disebut “ permanent arbitral body10.” Yang dimaksud
dengan permanen disini yaitu selain dikelola dan di organisasikan secara tetap, keberadaanya
juga terus-menerus untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Di samping itu, keberadaan lembaga
itu tidak hanya bergantung kepada adanya sengketa. Artinya apakah ada sengketa yang harus
diselesaikan atau tidak ada sengketa yang masuk, lembaga itu tetap berdiri dan tidak akan bubar,
bahkan setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus sekalipun. Sebaliknya, arbitrase
ad hoc akan bubar dan berakhir keberadaanya setelah sengketa yang ditangani selesai
diputuskan.

Tujuan pendirian lembaga arbitrase itu biasanya diketahui dari statuta lembaga tersebut.
Secara umum tujuan pendirianya yaitu dalam rangka menyediakan sarana penyelesaian sengketa
alternatif, diluar sarana penyelesaian sengketa konvensional yang dikenal dengan pengadilan.

9
Op.cit, hlm 384
10
Ibid, hlm 395

21 | P a g e
Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI) ialah salah satu contoh arbitrase institusional
didirikan di Indonesia. Menurut D.M Lew menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor
mengapa nasionalitas suatu arbitrase Institusional penting untuk diketahui :

a. Pertama, untuk menentukan lex arbiteri, yaitu hukum yang mengatur tentang proses
arbitrase dan hukum yang menentukan pokok sengketa apakah yang harus
dipertimbangkan oleh para arbiter.
b. Kedua, untuk menentukan pengadilan nasional Negara mana yang memiliki
yurisdiksi terhadap arbitrase tersebut. Hal itu penting karena pengadilan suatu Negara
pada dasarnya memiliki kewenangan untuk mengawasi, bahkan bila perlu
mencampuri proses arbitrase yang berlangsung pada Negara tersebut.
c. Ketiga, untuk mengetahui prosedur yang harus diikuti dalam rangka pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.

Arbitrase institusional ini ada yang berbentuk nasional dan internasional Arbitrase yang
berbentuk nasional merupakan lembaga untuk kepentingan suatu bangsa atau Negara, dan ruang
lingkup keberadaan dan yurisdiksi arbitrase ini bersifat nasional hanya meliput kawasan Negara
yang bersangkutan. Mislanya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang ruang lingkup
keberadaanya dan yurisdiksi BANI hanya meliputi kawasan Indonesia. Walaupun BANI bersifat
nasional, namun ia juga bisa menyelesaikan sengketa yang bersifat internasional asalkan hal itu
disepakatai oleh para pihak. Arbitrase internasional yaitu badan atau lembaga yang
menyelesaikan persengketaan para pihak yang berlainan kewarganegaraanya di bidang
perdagangan pada umumnya. Sebagai contoh lembaga internasional yaitu Court of Arbitration
of the Internasional Chamber of Commerce (ICC) yang didirikan di Paris.

2.7 Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Negeri dan Arbitrase Asing


a.Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Negeri

Sebagaimana dikatakan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase


ditentukan bahwa “ Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan
bahwa arbiter dalam memutus perkara 13 wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai
dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), sedangkan mengenai sifatnya baik yang

22 | P a g e
didasarkan pada ketentuan hukum maupun berdasarkan keadilan dan kepatutan, tentu saja dapat
bersifat menghukum (Condemnatoir), hal ini tampak dalam peraturan prosedur BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia) yang berlaku efektif tanggal 1 Maret 2003, dimana dalam Pasal 39
Peraturan Prosedur tersebut ditemukan dalam kalimat ” Biaya-biaya eksekusi Putusan
ditanggung oleh Pihak yang kalah dan lalai untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam
putusan”. Putusan Arbiter atau Majelis Arbitrase dapat dieksekusi melalui Pengadilan Negeri,
sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, sebagaimana asas yang
berlaku dalam hukum acara perdata, maka hanya putusan yang bersifat Menghukum
(Condemnatoir) sajalah yang dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh pengadilan, baik itu melalui
mekanisme Sita Eksekusi, Sita Lelang, Sita Pengosongan dan Sita-sita lainnya. Di dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase di bagi dalam
2 bagian: 1. bagian Pertama tentang eksekusi terhadap putusan arbitrase Nasional (Pasal 59 s/d
Pasal 64). 2. bagian Kedua tentang pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement)
putusan arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69. Namun
untuk kedua putusan baik Nasional maupun Internasional berlaku ketentuan Universal, bahwa
putusan arbitrase adalah final dan mengikat para pihak. Tidak dapat dibanding maupun kasasi,
seperti yang diatur dalam Pasal 60 UU Arbitrase. Tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Dan dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela.

Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan
dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar
asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga
Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri,
terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase.

23 | P a g e
b. Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia

Pasal 65 UU Arbitrase secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaan putusan abitrase internasional di Indonesia adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Agar suatu putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, maka putusan tersebut harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional (asas resiprositas).

2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada


putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.

3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat


dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.

4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh


eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

5. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh


eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya, untuk permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan
setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi
perintah pelaksanaan Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada
upaya hukum apapun.

24 | P a g e
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Prosedur atau proses beracara dari lembaga arbitrase yang tidak rumit dan bertele-tele
serta memudahkan para pihak yang bersengketa menjadi salah satu alasan bagi para
pengusaha baik nasional maupun internasional untuk lebih memilih lembaga ini
daripada lembaga peradilan umum maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya
diluar pengadilan.
2. Putusan daripada lembaga arbitrase adalah final dan mengikat para pihak jadi tidak
ada banding maupun kasasi. Jadi lebih mempercepat proses penyelesaian. Prosedur
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia yaitu .Putusan arbitrase asing yang
sudah final and binding didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
untuk dimohonkan eksekusi. Putusan arbitrase asing yang sudah didaftarkan
kemudian diperiksa secara substantif oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
terkait Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu asas resiprositas, berada dalam
lingkup hukum dagang, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Apabila
putusan arbitrase asing memenuhi ketiga syarat tersebut, maka Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dapat mengeluarkan Penetapan eksekusi. Sebaliknya apabila
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat
mengeluarkan Penetapan Non Executorial.

3.2 Saran
1. Untuk langkah kedepan Pengadilan Negeri dengan tegas menolak/campur tangan
dalam sengketa yang didalamnya tercantum klausula arbitrase. Peraturan yang ada
khususnya UU No. 30 tahun 1999 hendaknya dipegang teguh oleh para hakim,

25 | P a g e
pengacara/kuasa hukum, notaries dan juga pihak yang bersengketa, demi terciptanya
suatu kondisi yang kita kehendaki bersama. Hal-hal yang menjadi kendala utama
dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah tidak adanya
pembatasan terhadap pengertian dan pemahaman asas ketertiban umum serta adanya
ketumpangtindihan kewenangan antara badan arbitrase dengan Pengadilan Negeri.

DAFTAR PUSTAKA

https://blackangelinhell.wordpress.com/2010/06/08/arbitrase-pengertian-dan-dasar-hukum/
JAM 09.40

Catur Iriantoro, Pelaksanaan Klausula-Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Bisnis, Jilid I,


( Bandung : Inti Media Pustaka), 2007 . hlm. 4

Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR) Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia,( makalah workshop : Jakarta, 2007 ) hlm 23.

Amriani Nurnaningsih, “Alternative Dispute Resolution (ADR) :Mediasi Alternatif Penyelesaian


Sengketa Perdata di Pengadilan, Jakarta, Maret 2012

Syahrizal Abbas, Mediasi. (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.9


Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional. (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 201

Rachmadi Usman, Mediasi di pengadila. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm.25

Dr. Susanti Adi Nugroho, SH,MH, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, (
Prenamedia Group : Jakarta, 2016 ) hlm. 294, 130, 384, 395

26 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai