Anda di halaman 1dari 6

REVIEW JURNAL

Judul Neurological Manifestations of Hospitalized Patients with


COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective case series
study
Jurnal Journal Medrvix
Tahun 2020
Penulis Ling Mao, Mengdie Wang, Shanghai Chen, Quanwei He,
Jiang Chang, Candong Hong, Yifan Zhou, David Wang,
Yanan Li, Huijuan Jin, Bo Hu
Reviewer Ni Komang Arni Tria Erlani (1902611091)
I Gusti Ayu Prita Sari Melati (1902611093)
Luh Dindi Surya Kanti (1902611095)
Irma Ersalina Br. Karo (1902612001)
Tanggal 17 Maret 2020

PENDAHULUAN

Novel coronavirus atau COVID-19 muncul dari Wuhan, Cina dan menyebar ke Eropa,
Amerika Utara dan Asia. Tanda dan gejala SARS-CoV-2 dilaporkan mirip dengan
severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) pada tahun 2003.
Keduanya memiliki reseptor yang mirip yakni angiotensin-converting enzyme 2
(ACE2). Pada 21 Februari 2020, terdapat 75569 kasus yang sudah terkonfirmasi dan
2239 kematian di Cina.

Gejala COVID-19 antara lain gejala pernapasan, mialgia, dan rasa lelah. Belum
dilaporkan manifestasi neurologis dari pasien COVID-19. Penelitian ini bertujuan
untuk melaporkan manifestasi neurologis dari infeksi COVID-19 pada 78 dari 214
pasien dengan diagnosis yang sudah dikonfirmasi oleh hasil tes laboratorium dan
sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Wuhan.
METODE

Desain Studi dan Peserta

Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian retrospektif. Data ditinjau pada
semua pasien dengan COVID-19 yang didiagnosis berdasarkan pedoman sementara
WHO dari 16 Januari hingga 19 Februari 2020 di tiga rumah sakit perawatan COVID-
19 yang ditunjuk dari Rumah Sakit Union Universitas Sains dan Teknologi Huazhong
yang merupakan salah satu sistem perawatan kesehatan tersier utama dan rumah sakit
pendidikan yang bertanggung jawab atas perawatan infeksi SARS-CoV-2. Hanya
kasus-kasus yang dikonfirmasi oleh hasil positif terhadap uji real-time reverse-
transcriptase polymerase-chain-reaction (RT-PCR) dari spesimen usap tenggorokan
yang dimasukkan dalam analisis [9].

Pengumpulan Data
Karakteristik demografis, riwayat medis, gejala, tanda-tanda klinis, temuan
laboratorium, temuan CT-Scan diekstraksi dari catatan medis elektronik. Gejala
neurologis dikategorikan menjadi tiga area utama: gejala atau penyakit sistem saraf
pusat (SSP), gejala sistem saraf tepi (PNS) dan gejala otot. Penyakit serebrovaskular
akut termasuk stroke iskemik dan pendarahan otak didiagnosis oleh CT kepala. Cidera
otot didefinisikan ketika pasien mengalami mialgia dan peningkatan kadar kreatin
kinase serum di atas 200 U / L [7]. Tanggal timbulnya penyakit didefinisikan sebagai
hari ketika gejala diketahui. Sampel swab tenggorokan dikumpulkan dan ditempatkan
ke dalam tabung koleksi yang berisi larutan pengawet untuk virus [9]. SARS-CoV-2
dikonfirmasi oleh uji RT-PCR.

Analisis Statistik

Variabel kontinu digambarkan sebagai mean dan standar deviasi, atau nilai median dan
rentang interkuartil (IQR). Variabel kategorikal dinyatakan sebagai jumlah dan
persentase. Variabel kontinu dibandingkan dengan menggunakan uji peringkat-jumlah
Wilcox tidak berpasangan. Proporsi untuk variabel kategori dibandingkan
menggunakan uji χ2. Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak R (versi 3.3.0). Ambang signifikansi ditetapkan pada P <0,05.

HASIL

Sebanyak 214 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi SARS-CoV-2 yang
dikonfirmasi dimasukkan dalam analisis ini, dengan usia rata-rata 52,7 ± 15,5 tahun
dan 127 (59,3%) merupakan perempuan. Delapan puluh tiga pasien (38,8%) memiliki
setidaknya satu dari kelainan yang mendasari diantaranya hipertensi, diabetes, penyakit
kardiovaskular, dan keganasan. Gejala yang paling umum muncul pada awal penyakit
adalah demam, batuk kering, dan anoreksia. Tujuh puluh delapan (36,4%) pasien
memiliki gejala sistem saraf yaitu pada sistem saraf pusat (53 [24,8%]), sistem saraf
perifer (19 [8,9%]) dan muskuloskeletal (23 [10,7%]). Pada pasien dengan gejala pada
sistem saraf pusat, keluhan yang paling umum adalah pusing dan sakit kepala. Pada
pasien dengan gejala pada sistem saraf perifer, keluhan yang paling umum adalah
hipogeusia dan hiposmia.

Berdasarkan kriteria diagnostik, 88 (41,1%) pasien dikategorikan parah dan 126


(58,9%) pasien dikategorikan tidak parah. Pasien dengan infeksi parah secara
signifikan lebih tua dan cenderung memiliki gangguan mendasar lainnya terutama
hipertensi, dan memiliki gejala yang kurang khas seperti demam dan batuk kering.
Selain itu, gejala sistem saraf secara signifikan lebih umum terjadi pada kasus yang
parah, dengan manifestasi yaitu penyakit serebrovaskular akut (4 pasien dengan stroke
iskemik dan 1 dengan pendarahan otak yang kemudian meninggal karena gagal napas),
gangguan kesadaran dan cedera otot.

Berdasarkan hasil laboratorium ditemukan bahwa pada pasien yang parah, respon
inflamasi lebih meningkat, termasuk sel darah putih yang lebih tinggi, jumlah
neutrophil meningkat, jumlah limfosit yang lebih rendah dan lebih banyak peningkatan
kadar protein reaksi-C, dan peningkatan D-dimer yang merupakan indikasi
consumptive coagulation system dibandingkan dengan pasien yang tidak parah. Selain
itu, pasien yang parah memiliki keterlibatan banyak organ, seperti pada hati
(peningkatan kadar laktat dehidrogenase, alanine aminotransferase dan aspartate
aminotransferase), ginjal (peningkatan urea nitrogen darah dan kadar kreatinin) dan
kerusakan otot (peningkatan kadar kreatinin kinase).

Pasien yang parah dengan gejala SSP memiliki limfosit yang lebih rendah, jumlah
trombosit dan kadar nitrogen urea darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka
yang tidak memiliki gejala. Sedangkan, untuk subkelompok yang tidak parah, tidak
ada perbedaan signifikan dalam temuan laboratorium pasien dengan dan tanpa gejala
SSP. Pada penelitian ini juga tidak terdapat perbedaan signifikan dalam temuan
laboratorium pasien dengan PNS dan tanpa PNS. Hasil yang sama juga ditemukan pada
masing-masing subkelompok yang parah dan yang tidak parah. Dibandingkan dengan
pasien tanpa cedera otot, pasien dengan cedera otot memiliki jumlah neutrofil yang
lebih tinggi, jumlah limfosit yang lebih rendah dan kadar protein C-reaktif yang lebih
tinggi, kadar D-dimer yang lebih tinggi.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan detail manifestasi neurologis pada 214 orang pasien yang
dirawat dengan COVID-19, dimana berdasarkan penelitian ini didapatkan sebanyak 88
orang (41.1%) tergolong dalam kategori berat, dan 126 orang (58,9%) tidak berat. Dari
keseluruhan total sampel, sebanyak 78 orang (36.4%) mengalami berbagai manifestasi
neurologis yang melibatkan sistem saraf pusat, sistem saraf perifer, serta otot skeletal.
Dibandingkan dengan pasien dengan kategori tidak berat, pasien yang tergolong
kategori berat cenderung berusia lebih tua dan memiliki hipertensi namun mengalami
lebih sedikit gejala khas seperti demam dan batuk. Pasien dengan kategori berat lebih
cenderung mengalami gejala neurologis, terutama penyakit serebrovaskular akut,
gangguan kesadaran, dan cedera otot. Perhatian terhadap manifestasi neurologis pada
pasien dengan COVID-19 diperlukan terutama bagi pasien dengan infeksi berat
sebagai pertimbangan terhadap prognosis, diagnosis banding, menghindari diagnosis
yang tertunda, serta pencegahan penularan.

ACE-2 diidentifikasi sebagai reseptor fungsional SARS-CoV-2 yang terlihat pada


beberapa organ manusia, termasuk sistem saraf dan otot skeletal, sehingga SARS-CoV-
2 dapat menyebabkan beberapa gejala neurologis baik melalui mekanisme langsung
maupun tidak langsung. Cedera neurologis juga telah dikonfirmasi pada infeksi
coronavirus lain seperti pada SARS-CoV dan MERS-CoV. Asam nukleat SARS-CoV
terdeteksi didalam cairan serebrospinal serta di jaringan otak pasien tersebut pada
proses otopsi.

Gejala sistem saraf pusat merupakan bentuk utama dari cedera neurologis pada pasien
COVID-19 dalam penelitian ini. Mekanisme patologik dapat terjadi yakni melalui
invasi SARS-CoV-2 ke sistem saraf pusat, serupa dengan virus SARS dan MERS.
Seperti virus pernafasan lain, SARS-CoV-2 dapat memasuki sistem saraf pusat melalui
rute neuronal hematogen atau retrograde, yang didukung oleh fakta bahwa beberapa
pasien dalam penelitian ini mengalami hyposmia. Jumlah limfosit juga ditemukan lebih
rendah pada pasien dengan gejala sistem saraf pusat dibandingkan pada pasien tanpa
gejala kerusakan sistem saraf pusat. Fenomena ini dapat menjadi indikasi imunosupresi
pada pasien COVID-19 dengan gejala kerusakan sistem saraf pusat, terutama pada
kelompok kategori berat. Pasien dengan kategori berat memilki level D-dimer yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien kategori tidak berat, yang dapat menjadi sebab
pasien dengan kategori berat cenderung mengalami penyakit serebrovaskular.

Gejala yang melibatkan otot diduga disebabkan cedera otot rangka, yang dikonfirmasi
oleh terjadinya peningkatan kreatinkinase. Pasien dengan gejala otot memiliki kreatin
kinase dan tingkat dehydrogenase laktat yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa
gejala otot. Kreatin kinase dan tingkat dehydrogenase pada pasien dengan kategori
berat jauh lebih tinggi dibandingkan pada pasien dengan kategori tidak berat. Cidera
otot dapat berhubungan dengan ACE2 pada otot rangka. Namun demikian, apakah
SARS-CoV-2 menginfeksi sel otot skeletal melalui ikatan dengan ACE-2
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Respon imun berbahaya yang dimediasi infeksi
dapat menyebabkan kelainan sistem saraf. Sitokin pro-inflamasi yang meningkat
secara signifikan dalam serum dapat menyebabkan kerusakan otot.

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, hanya 214 pasien yang
diteliti, dimana hal ini dapat menyebabkan bias pada observasi klinis, sehingga akan
lebih baik apabila jumlah sampel ditambah, baik berasal dari Wuhan, kota lain di China,
atau bahkan dari negara lain. Kedua, semua data yang diambil berasal dari rekam medis
elektronik, sehingga beberapa pasien yang memiliki masalah neurologis mungkin tidak
dapat diketahui apabila gejala neurologis mereka terlalu ringan, seperti hypogeusia
dan hyposmia. Ketiga, karena kebanyakan pasien masih dalam perawatan di rumah
sakit dan informasi mengenai hasil klinis tidak tersedia saat waktu analisis, akan sulit
untuk mengukur efek dari manifestasi neurologis tersebut terhadap prognosis pasien,
sehingga perlu dilanjutkan observasi terhadap perjalanan alami dari penyakit ini.

KESIMPULAN

SARS-CoV-2 dapat menginfeksi sistem saraf, otot skeletal, sebagaimana pada pada
saluran pernafasan. Pada kasus infeksi berat, keterlibatan neurologis lebih sering terjadi,
meliputi penyakit serebrovaskular akut, gangguan kesadaran, dan cedera otot skeletal.
Keterlibatan sistem saraf membawa prognosis yang buruk. Kondisi klinis pasien dapat
memburuk dan pasien dapat meninggal. Sehingga pada pasien COVID19, dokter harus
memperhatikan dengan seksama terhadap manifestasi neurologis sebagai tambahan
selain gejala sistem pernafasan.

Anda mungkin juga menyukai