Anda di halaman 1dari 3

PERMASALAHAN GENDER

ADAT PERKAWINAN ATAU TRADISI MERARIQ MASYARAKAT LOMBOK


MERUPAKAN BENTUK KETIDAKSETARAAN GENDER DI LOMBOK TIMUR

Kata „gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung
jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang
tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya
gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke
manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat ( dalam Puspitawati, 2013 : 1 ).
Perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk
membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan melibatkan
keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat. Layaknya masyarakat di daerah lain
perkawinan bagi masyarakat Di NTB khususnya di Lombok Timur sangatlah penting. Di
Lombok adat perkawinan yang sangat ketal dan paling banyak dipraktekkan hingga saat ini yaitu
“merarik ( kawin lari) “. Dalam adat perkawinan ini terdapat aturan ( awiq – awiq ) yang harus
dipatuhi akan tetapi kini sudah tidak dipraktekkan lagi oleh masyarakat , misalnya pada saat baru
dating dari rumah persembunyian maka calon pengantin wanita sebelum naik ke rumah calon
mertuanya harus terlebih dahulu mencuci tangan dengan Siwur ( alat penyedok air dari
tempurung kelapa ), setelah itu dipersiapkan alat memasak lalu menyembelih ayam dan terlebih
dahulu di perkeok agar masyarakat tahu bahwa ada orang yang menikah lalu diadakannlah
makan atau pesta kecilan ( begibung ) dan dilanjutkan dengan acara Subang ( daun lontar yang
digulung di telingannya sebagai tanda melepas masa remaja ) .

Namun tradisi itu sudah tidak ada lagi karena para gadis tidak memakai subang. Prosesi
tersebut secara sekilas saja yaitu saat seorang gadis baru dilarikan, setelah itu masih banyak
prosesi yang lain seperti besejati, nyelabar, bait wali, serah doe nyongkolan dan bales ones nae.
Adat merariq sebenarnya memiliki pesan-pesan universal dimana system merariq ini pada
substansinya dirancang khusus untuk melindungi hak asasi seorang anak khususnya anak
perempuan. System ini menjamin bilamana sepasang manusia telah saling mencintai dan mau
menikah maka tidak ada yang bias menghalangi ( sudah cukup umur ).
Namun belakangan ini sudah terjadi pergeseran nilai – nilai budaya khusunya pada proses
melakukan adat merariq tersebut. Aturan ( awiq – awiq ) sudah mulai di tinggalkan. Proses
merariq seringkali dilakoni hanya setengah – setengah, sebagian aturan sudah dianggap tidak
penting misalnya anak gadis orang dilarikan tanpa persetujuan si perempuan dan banyak sekali
yang mengambil perempuan calon pengantin tersebut di waktu siang hari, mengambilnya bukan
dirumah orang tuanya dan bahkan ada yang diambil secara tidak patut sama sekali ( dipaksa dan
diancam ) . banyak sekali kasus yang lain juga seperti banyak sekali terdengar batal nikah karena
tidak mampu bayar pisuke padahal pisuke itu tidak wajib. Hal ini mengakibatkan banyak sekali
terjadi perselisihan dan konflik baik diawal pra nikah maupun setelah nikah. Bahkan ada kasus
dimana seorang perempuan yang sudah berstatus istri di aniaya oleh suami dikarenakan
banyaknya harga pisuke yang diminta oleh orang tua si perempuan ( KDRT ).

Terlebih lagi kalau dilihat adat tersebut ( merariq ) banyak sekali melanggar hak-hak
perempuan untuk memilih pendamping hidupnya, begitu juga dengan hak pendidikan dan
sebagainya. Disini juga muncul berbagai masalah seperti KDRT, kekerasan terhadap perempuan,
ketidak adilan dan sebagainya. Padah hakekat sebenarnya dari menikah adalah menyempurnakan
ibadah kepada Allah SWT. Karena telah banyak sekali menimbulkan dampak negative dari
pergeseran nilai budaya ini maka perlu ada solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
Adapun solusinya adalah:

a. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait budaya merariq yang benar dan
sesuai aturan di Lombok. Sosialisasi ini dapat dilakukan oleh para tetua atau
pemangku adat yang mengerti tentang hal tersebut.
b. Menggalakkan program anti KDRT dalam bentuk program peharmonisan keluarga
seperti dengan cara mengundang kalangan suami istri ke dalam sebuah forum terkait
peharmonisan keluarga.
c. Melakukan education pra nikah
d. Melakukan pemberdayaan perempuan
e. Menindak tegas segala bentuk pernikahan dini dan pelaku KDRT
f. Mempromosikan pekerjaan yang layak untuk pekerjaan pengasuhan, termasuk
pekerja rumah tangga dan buruh migrant
g. Membentuk "satgas pemajuan perempuan"
SUMBER PUSTAKA
Suhapti, Reno. 1995. Jurnal Gender dan Permasalahannya. Vol 1. 2019.
https://www.merdeka.com/uang/ini-10-cara-menurunkan-ketimpangan-gender-di-
indonesia.htmlhttps://www.merdeka.com/uang/ini-10-cara-menurunkan-
ketimpangan-gender-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai