Laporan Tutorial Kasus Keperawatan Anak
Laporan Tutorial Kasus Keperawatan Anak
HIPERBILIRUBINEMIA
Disusun oleh:
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
Kasus 1
Hiperbilirubinemia
Bayi W, umur 3 hari, dirawat di RS karena lahir dengan sectio caesarea atas indikasi gawat janin
dengan APGAR: 1’= 8; 5’= 9 (usia gestasi 37 minggu); BBL: 2130 gr; dan PBL: 48 cm. Saat
dilakukan pengkajian fisik, kulit Bayi W tampak kuning di bagian wajah hingga dada, dalam
Kramer’s Rule masuk kedalam grade 2. Tanda-tanda vital HR 144x/menit; RR 47x/menit; dan Suhu
0
36,7 C. Antropometri: BB = 2100 gr; LLA = 6 cm; PB = 48 cm; dan LK= 31 cm. Menurut Ibu Bayi
W, Bayi W malas menyusu dan sucking reflex lemah. Setelah dilakukan tes laboratorium diketahui
kadar bilirubin Bayi W adalah 19 mg/dL. Ibu Bayi W mengatakan ingin bayinya segera pulang
karena ingin segera meyelenggarakan prosesi aqiqah sebagaimana dianjurkan oleh agama Islam yang
dianutnya. Akan tetapi, Ibu Bayi W juga mengatakan dirinya kurang paham tentang perawatan
bayinya ketika kuning kembali di rumah dan hanya tahu kalau bayi kuning harus sering-sering
dijemur. Dan saat dijemur bayi harus memakai gurita untuk bayi karena takut koin yang menempel di
pusar bayi copot dan takut pusarnya bodong.
Learning Objectives:
1. Buat analisis untuk menjelaskan kondisi yang dialami oleh pasien! (Definisi, Prevalensi,
Etiologi, Faktor Risiko, Tanda dan Gejala Klinis, Komplikasi)
2. Bagaimana patofisiologi/mekanisme munculnya gejala pada kasus Bayi W tersebut?
3. Jelaskan data fokus (pengkajian), pemeriksaan penunjang, beserta kemungkinan masalah
yang akan muncul dan penatalaksanaan pada kasus Bayi W tersebut!
4. Buat asuhan keperawatan Hiperbilirubinemia pada Bayi W menggunakan evidence based
practice/hasil penelitian terkait (analisis data, diagnosis keperawatan, dan rencana asuhan
keperawatan)!
5. Jelaskan isu/peka budaya dan aspek etik legal berdasarkan Kasus Bayi W tersebut!
1. Buat analisis untuk menjelaskan kondisi yang dialami oleh pasien! (Definisi,
Prevalensi, Etiologi, Faktor Risiko, Tanda dan Gejala Klinis, Komplikasi)
Hiperbilirubinemia atau ikterus adalah suatu kondisi yang terjadi pada bayi baru lahir atau
neonatus yang disebabkan oleh ketinggian dari kadar bilirubin serum sebanyak >5mg/dL dalam
darah. Dengan gejala utama yaitu perubahan warna kulit, jaringan mukosa, sklera, dan organ
menjadi kekuningan. Hiperbilirubinemia dianggap sebagai salah satu masalah utama pada
periode neonatal di seluruh dunia dengan angka kejadian yang tinggi, terutama di Asia dan
Tenggara (Yahya et al., 2017).
Prevalensi Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% neonatus cukup bulan
dan 80% pada neonatus prematur (Ningsih, 2013). Setiap tahun, 65% dari 4 juta neonatus di
Amerika Serikat menderita hiperbilirubinemia pada minggu pertama kelahirannya. Menurut
Manish dan Modi Prashant tahun 2017 pada The Journal of Integrated Health Sciences, keluhan
paling umum yang timbul pada neonatus Hiperbilirubinemia (12,8%), Sepsis (7,95%), Hypoxic-
Ischemic Encephalopathy (HIE) tahap 2-3 (3,68%), Kelainan kongenital mayor (2,94%),
Tacypnea sementara pada bayi baru lahir (2,89%), Respiratory Distress Syndrome (RDS)
(2,78%), Aspirasi mekonium (1,52%), Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn
(PPHN) (1,29%), Apnea (1,17%), dan Necrotizing Enterocolitis (NEC) 0,63%. Dapat kita lihat
bahwa Hiperbilirubinemia memiliki persentase paling tinggi untuk keluhan pada neonatus.
Menurut Ullah, Rahman, dan Hedayati (2016) pada Iranian Journal of Public Health jenis-jenis
hiperbilirubinemia pada neonatus telah dikelompokan menjadi 3, yaitu ikterus fisiologis, ikterus
patologis, ikterus karena menyusui atau ASI dan ikterus hemolitik.
1. Ikterus Fisiologis
Adalah jenis hiperbilirubinemia yang paling banyak terjadi, tidak memiliki konsekuensi
serius karena bayi baru lahir sangat wajar mengalami hal tersebut. Penyakit kuning yang
disebabkan oleh ketidakmatangan fisiologis ini biasanya muncul antara usia 24-72 jam dan
antara hari ke 4 dan ke-5 dapat dianggap sebagai puncaknya pada istilah neonatus dan pada
usia preterm. Kemudian pada hari ke-7 dan hilang dalam 10-14 hari. Bilirubin tak
terkonjugasi adalah bentuk predominan dan biasanya kadar serumnya kurang dari 15
mg/dl. Berdasarkan rekomendasi terbaru dari AAP, kadar bilirubin sampai 17-18 mg/dl
masih dapat diterima normal pada bayi baru lahir yang sehat dan akan membaik dengan
sendirinya tanpa pengobatan (Mathindas et al., 2013).
2. Ikterus Patologis
Tingkat bilirubin dengan penyimpangan dari kisaran normal dan intervensi yang
membutuhkan terapi lebih seperti fototerapi akan digambarkan sebagai ikterus patologis.
Peningkatan bilirubin serum di luar 5 mg/dl / hari terjadi sebelum usia 24 jam dan tahan
selama lebih dari 8 hari, kemudian tingkat puncak lebih tinggi dari kisaran normal yang
diharapkan, adanya ikterus klinis lebih dari 2 minggu (Ullah et al., 2016). Muncul tanda-
tanda seperti muntah, letargis, malas menyusui, penurunan berat badan yang cepat, apnea,
takipnea, sepsis, atau suhu yang tidak stabil (Mathindas et al., 2013).
3. Ikterus Menyusui
Penyakit kuning pada bayi yang diberi ASI biasanya muncul antara usia 24-72 jam,
mencapai puncak dalam 5-15 hari dan lenyap pada minggu ketiga. Tingkat bilirubin yang
lebih tinggi telah terjadi pada bayi yang meminum ASI. Beberapa bahan kandungan dalam
ASI (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak,
sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan kemudian akan diresorbsi oleh usus.
Bilirubin dalam jumlah sangat besar jarang terakumulasi dalam darah dan menyebabkan
lesi serebral, sebuah situasi yang dikenal sebagai ikterus nuklir. Frekuensi menyusui yang
menurun dikaitkan dengan pembengkakan ikterus fisiologis. Salah satu prosedur penting
untuk mengelola ikterus adalah bukan dengan menghentikan pemberian ASI, melainkan
dengan meningkatkan frekuensi menyusui pada bayi setidaknya 10-12 kali per hari (Ullah
et al., 2016). Ibu disarankan untuk terus menyusui pada interval yang lebih sering dan
tingkat bilirubin biasanya berkurang secara bertahap, hal ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pada bayi. Diskontinuitas menyusui tidak dianjurkan kecuali kadar
bilirubin melebihi 20 mg/dl.
4. Ikterus Hemolitik
Penyebab paling umum adalah saat produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi
untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, ABO, dan defisiensi enzim G6PD (Ullah et al., 2016).
a. Faktor Rh Hemolitik: Penyakit Rhesus penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
(RHDN) berasal dari antibodi maternal yang diproduksi melawan sel darah merah
janin, ketika sel darah merah janin positif terhadap antigen tertentu, biasanya pada saat
bayi memiliki Rh positif lahir dari ibu Rh-negatif maka maternal immunoglobulin
(IgG) akan melintasi plasenta ke sirkulasi janin dan menyebabkan berbagai gejala pada
janin, mulai dari anemia hemolitik ringan sampai berat dan hidrops janin.
b. Ketidakcocokan ABO: Hal ini terjadi ketika ibu memiliki golongan darah O dan bayi
yang baru lahir memiliki kelompok darah A atau B. Bayi dengan ibu kelompok O-
darah harus diperiksa dan diberhentikan dengan seksama setelah 72 jam. Dengan
adanya ikterus atau ikterus yang signifikan yang muncul dalam waktu 24 jam, maka
penanganan untuk ikterus patologis harus dilakukan.
c. Defisiensi G6PD: yang paling umum adalah defisiensi enzim dalam sel darah merah.).
Pemeriksaan penunjang defisiensi G6PD harus dipertimbangkan pada bayi dengan
penyakit kuning parah dalam keluarga dengan riwayat ikterus yang signifikan atau
pada asal geografis yang terkait dengan kekurangan G-6-PD.
Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi Hiperbilirubinemia pada neonatus, yaitu:
a. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko dalam neonatal hiperbilirubinemia,
hasil ini relevan dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kromosom Y
meningkatkan risiko metabolisme bilirubin menyebabkan gangguan dan kerusakan
enzim sehingga berperan pembentukan bilirubin (Nurani et al., 2017).
b. Ibu yang mengandung dengan usia lebih dari 25 tahun akan memiliki resiko komplikasi
kehamilan yang lebih tinggi, seperti hipertensi dan diabetes. Hal ini akan meningkatkan
resiko terjadi Hiperbilirubeinemia pada anaknya (Yahya et al., 2017).
c. Bayi kelahiran kedua atau selanjutnya, dan juga yang memiliki saudara kandung
sebelumnya dengan hiperbilirubinemia berat (Devi et al., 2016).
d. Bobot lahir adalah salah satu karakteristik yang mempengaruhi hiperbilirubinemia.
Dalam penelitian yang dilakukan Nurani (2017) di Rumah Sakit Hasan Sadikin kota
Bandung, tingkat kejadian tinggi terjadi pada ikterus dengan berat lahir rendah bayi.
Neonatus yang lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram memiliki kadar bilirubin yang
lebih tinggi karena enzim metabolik belum bekerja dengan baik.
e. Bayi dengan ibu penderita diabetes berisiko mengalami hiperbilirubinemia. Menurut
Yahya et al (2017) hal terkait dengan massa sel besar yang lebih besar, konjugasi tidak
efisien oleh enzim, erythropoiesis yang tidak efektif, memicu untuk meningkatnya kadar
serum yang tidak terkonjugasi bilirubin.
Bayi yang lahir prematur dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, lebih beresiko
dibandingkan dengan bayi dengan usia kehamilan yang tepat. Hal ini terkait dengan organ.
Definisi
Hiperlirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah ( Wong, hal. 432).
Hiperbilirubinemia / Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi
baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah, 1997).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Klasifikasi
Menurut Kamus Kedokteran, hiperbilirubin diklasisfikasikan kedalam tiga jenis
hiperbilirubinemia, diantaranya adalah :
1. Hiperbilirubinemia Terkonjugasi (Conjugated Hyperbilirubinemia)
Hiperbilirubin terkonjugasi adalah hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh gangguan
ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh sel hepar atau obstruksi anatomik aliran empedu di dalam
sistem saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik. Hiperbilirubinemia terkinjugasi
meliputi Sindrom Dubin-Jhonson atau Sindrom Rotor.
2. Hiperbilirubinemia Neonatal (Neonatal Hyperbilirubinemia)
Hiperbilirubinemia neonatal merupakan hiperbilirubinemia tipe tak terkonjugasi yang
ringan dan sementara timbul pada neonatus normal; bentuk familial transien juga ditemukan,
dengan onset ikterus dalam dua sampai lima hari setelah lahir yang dapat menyebabkan kern
ikterus.
3. Hiperbilirubin Tak Terkonjugasi (Unconjugated Hyperbilirubinemia)
Hiperbilirubin tak terkonjugasi yang disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan
(hemolisis), rusaknya pengeluaran bilirubin dari heme oleh hepar, atau ganggaun konjugasi
oleh hepar, ini mencakup keadaan hemolitik, sindrom crigler-najjar, sindrom gilbert, dan
hiperbilirubinemia neonatal.
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis dapat
menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar bilirubin, di luar
itu hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung
ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak
terkonjugasi yang melebihi 20 mg/dl pada bayi dapat menyebabkan terjadinya ikterus.
Etiologi
Page 5
1. Peningkatan produksi :
1) Hemolisis, misalnya pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah ibu dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
2) Perdarahan tertutup biasanya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terjadi
pada bayi hipoksia dan asidosis.
4) Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogense)
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannnya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), dan
diol (steroid).
6) Kurangnya enzim glukoronil transferase pada keadaan berat badan lahir rendah.
Sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin.
7) Kelainan kongenital (rotor syndrom) dan dubin hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya pada
hipoalbuminemia atau akibat pengaruh obat-obatan tertentu seperti sulfadiasine
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang secara langsung dapat merusak sel hati dan darah merah seperti toksoplasmosis
dan shipilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi di ekstar atau intra hepatik
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya ileus obstruktif.
Manifestasi Klinis
1. Kulit berwarna kuning sampe jingga
2. Pasien tampak lemah
3. Nafsu makan berkurang
4. Reflek hisap kurang
5. Urine pekat
6. Perut buncit
7. Pembesaran lien dan hati
8. Gangguan neurologik
9. Feses seperti dempul
10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
12. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, sepsis atau ibu dengan diabetik atau infeksi.6
13. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4
dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.
Patofisiologi Hiperbilirubinemia
1. Identitas
Nama : Bayi W
Umur : 3 hari
Pengkajian Fisik :
Keadaan umum : kulit Bayi W tampak kuning di bagian wajah hingga dada(Kramer’s
Rulegrade 2).
TTV :
a. HR 144x/menit
b. RR 47x/menit
0
c. Suhu 36,7 C.
BB = 2100 gr
LLA = 6 cm
PB = 48 cm
LK= 31 cm
Focus pengkajian
a. Nutrisi : Bayi W malas menyusu (berat badan kurang)
b. Aktivitas / Istirahat : Bayi W malas menyusu dan suckingreflex lemah
c. Keamanan : Bayi memakai gurita, koin menempel di pusar bayi
d. Pengetahuan : Ibu Bayi W mengatakan dirinya kurang paham tentang
perawatan bayinya ketika kuning kembali
Berikut ini dapat mengindikasikan ensefalopati bilirubin akut pada bayi dengan
ikterus:
Kelesuan atau kesulitan terjaga
Menangis dengan nada tinggi
Kemampuan mengisap atau makan rendah
Bagian leher dan tubuh belakang melengkung
Demam
Muntah
Analisa Data
Symptoms Etiologi Masalah
DS: - Sectio caesario Gangguan Integritas
Kulit
DO: Fungsi Organ belum mature (hati)
- kulit Bayi W tampak
kuning di bagian Konjugasi bilirubin belum baik
wajah hingga dada,
dalam Kramer’s Hiperbilirubin
- Hasil laboratorium
kadar bilirubin 19
mg/dL
DS: BBLR, Bayi W malas menyusu, Kekurangan Volume
- BBL: 2130 gr sucking reflex lemah Cairan
BBLR (Berat Badan
Lahir Rendah) Intake oral tidak adekuat
- Bayi W malas
menyusu
- Sucking reflex Bayi
W lemah
DS: Sectio caesario Defisiensi Pengetahuan
- Ibu Bayi W juga
mengatakan dirinya Bayi mengalami hiperbilirubin
kurang paham
tentang perawatan Ikterus
bayinya ketika
kuning kembali di Klien belum mengetahui perawatan
DO: -
DIAGNOSA
1. Kekurangan volume cairan b.d intake oral yang tidak adekuat ditandai dengan bayi
malas menyusu, sucking reflex lemah dan dengan BBLR 2130 gr
2. Gangguan integritas kulit b.d peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah
ditandai dengan kulit bayi W tampak kuning di bagian wajah hingga dada dan hasil
laboratorium kadar bilirubin 19 mg/dL
3. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi ditandai dengan Ibu Bayi W juga
mengatakan dirinya kurang paham tentang perawatan bayinya ketika kuning
kembali di rumah
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN/NURSING CARE PLAN
Diagnosa Outcomes Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Kekurangan Setelah diberikan - Intake dan output - Pantau masukan - Berat badan
volume cairan asuhan keperawatan cairan seimbang dan haluan bayi normal
b.d intake oral 1 x 24 jam, - Turgor kulit baik cairan, timbang akan semakin
yang tidak diharapkan berat badan bayi bertambah atau
adekuat ditandai kebutuhan cairan 2 kali sehari. tetap. Kurang
dengan bayi tubuh neonates - Perhatikan penambahan
malas menyusu, terpenuhi secara tanda- tanda berat badan
sucking reflex adekuat. dehidrasi (mis: pada bayi
lemah dan penurunan sebagai
dengan BBLR haluaran urine, indikator
2130 gr kulit hangat atau kurangnya
kering dengan volume cairan
turgor buruk, dalam tubuh.
dan mata - Peningkatan
cekung). kehilangan air
- Tingkatkan melalui feses
masukan cairan dan evaporasi
per oral, dengan dapat
memberi air menyebabkan
diantara dehidrasi.
menyusui atau - Meningkatkan
memberi susu input cairan
botol. sebagai
kompensasi
pengeluaran
feces yang
encer sehingga
mengurangi
risiko bayi
kekurangan
cairan.
- Turgor kult yang
buruk, tidak
elastis
merupakan
indikator adanya
kekurangan
volume cairan
tubuh.
2. Gangguan Setelah dilakukan - Kadar bilirubin - Monitor warna - Warna kulit
integritas kulit tindakan dalam batas dan keadaan yang terus
b.d peningkatan keperawatan selama normal ( 0,2 – kulit setiap 4-8 kekuningan
kadar bilirubin 2 x 24 jam, 1,0 mg/dl ) jam sampai jingga
indirek dalam diharapkan - Kulit tidak - Monitor dan bertambah
darah ditandai integritas kulit berwarna keadaan luas daerah
dengan kulit kembali baik/ kuning/ warna bilirubin direk kekuningan
bayi W tampak normal. kuning mulai dan indirek secara perlahan
kuning di bagian berkurang ( kolaborasi menandakan
wajah hingga - Tidak timbul dengan dokter konsentrasi
dada dan hasil lecet akibat dan analis ) bilirubin indirek
laboratorium penekanan kulit - Ubah posisi dalam darah
kadar bilirubin yang terlalu bayi menjadi tinggi.
19 mg/dL lama. miring atau - Menghindari
tengkurap setiap adanya
2 jam dengan penekanan pada
dilakukan kulit yang terlalu
massage dan lama pada bayi
berbarengan untuk mencegah
dengan terjadinya
memonitor dekubitus atau irtasi
keadaan kulit. pada kuit bayi.
- Jaga kebersihan
kulit dan
kelembaban
kulit.
5. Jelaskan isu/peka budaya dan aspek etik legal berdasarkan Kasus Bayi W tersebut!
Pada kasus dinyatakan bahwa ibu dari bayi W ingin segera membawa bayinya pulang karena
ingin segera menyelenggarakan prosesi aqiqah sebagaimana dianjurkan oleh agama islam yang
dianutnya. Akan tetapi, ibu bayi w juga mengatakan dirinya kurang paham tentang perawatan
bayinya ketika kuning kembali di rumah dan hanya tau kalo bayi kuning harus sering-sering
dijemur. Dan saat dijemur bayi harus memakai gurita untuk bayi kareana takut koin yang
menempel di pusar bayi copot dan takutnya pusarnya bodong.
Kita sebagai perawat sebaiknya memberikan pendidikan kesehatan terlebih dahulu kepada ibu
bayi W apabila bayinya kembali kuning. Dan tidak melarang tentang budayanya selama itu tidak
bertentangan dengan medis seperti menjemur bayinya untuk mengurangi kuning. Karena
berdasarkan penelitian paparan sinar matahari pagi dapat menurunkan tanda ikterus pada ikterus
neonatorum fisiologis. Dengan catatan bayi dalam posisi membelakangi sinar matahari dan sinar
matahari pada pukul 6 - 7 sehingga mata tidak langsung terpapar sinar matahari. Sedangkan
untuk kebiasaan menaruh koin di bagian pusar, kita juga harus memberikan pendidikan
kesehatan terlebih dahaulu kepada ibu bayi w. Karena pusar bodong adalah salah satu faktor
yang diturunkan. Sehingga tidak diberi koin pun tidak apa-apa. Karena pusar akan lepas
sendirinya pada waktunya. Justru penggunaan koin pada pusar bayi bisa mengakibatkan infeksi
karena koin yang digunakan bisa saja tidak dibersihkan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Mathindas, S., Wilar, R., Wahani, A. (2013). Hiper Bilirubinemia pada Neonatus. Jurnal Biomedik,
Vol 5, No 1, S4-10. Diambil dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article
diakses pada tanggl 1 Maret 2018.
Yahya, N., Yuniati, T., Lubis, L. (2017). Characteristics of Neonatal Hyperbilirubinemia at West
Java’s Top Referral Hospital, Indonesia. Althea Medical Journal, 4(2), 167-72.
http://dx.doi.org/10.15850/amj.v4n2.1065 diakses pada tanggal 1 Maret 2018.
Manish, R. N., Prashant, M. M. (2017). Study of Neonatal Outcome of NICU of Tertiary Care
Hospital in rural area of Vadodara, Gujarat. Journal of Integrated Health Sciences, Vol V,
Issue I. http://www.jihs.in/ diakses pada tanggal 1 Maret 2018.
Nurani, N. B., Kadi, F. A., Rostini, T. (2017). Incidence of Neonatal Hyperbilirubinemia based on
Their Characteristics at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Indonesia. Althea
Medical Journal, 4(3), 431-4. doi: http://dx.doi.org/10.15850/amj.v4n3.1195 diakses pada
tanggal 1 Maret 2018.
Ningsih, W. (2013). Laporan Hasil Penelitian: Hubungan Perubahan Berat Badan Neonatus
dengan Kadar Bilirubin Hari Ketiga dan Bilirubin Akhir Minggu Pertama. Semarang,
Universitas Diponegoro.
Devi, D. S., Vijaykumar, B. (2016). Risk factors for neonatal hyperbilirubinemia: a case control
study. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology,
6(1), 198-202. doi: http://dx.doi.org/10.18203/2320-1770.ijrcog20164657 diakses pada
tanggal 1 Maret 2018.
Ullah, S., Rahman, K., Hedayati, M. (2016). Hyperbilirubinemia in Neonates: Types, Causes,
Clinical Examinations, Preventive Measures and Treatments: A Narrative Review Article.
Iranian Journal of Public Health, 45(5), 558–568.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4935699/ diakses pada tanggal 1 Maret
2018.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2013). Wong’s Essentials of Pediatric Nursing (9th ed.).
Missouri: Elsevier.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2015). Wong’s Nursing Care of Infants and Children (10th
ed.). Missouri: Elsevier. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Nanda International. (2015). Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2015-2017(10th
ed.). Jakarta: EGC.
Mayo Clinic Staff. (2014). Infant Jaundice. Retrieved from
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/infant-jaundice/symptoms-causes/syc-
20373865
Dewi, Puspitosari, Ratih., Sumarno., Susatia, Budi. 2006. Pengaruh Paparan Sinar
Matahari Pagi Terhadap Penurunan Tanda Ikterus pada Ikterus Neonatorum Fisiologis.
Available on : http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/viewFile/308/295