Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Ensefalopati


Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan
fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik
perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat
fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering
dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi
dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan
umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma. 1
Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang menunjukkan
penyebab dari kelainan otak tersebut.Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan
penyebab nya: 1
a) Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat kelainan fungsi hati.
b) Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi ginjal.
c) Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada otak.
d) Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin
(vitamin B1), biasanya pada orang yang keracunan alcohol.
e) Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan darah tinggi
yang kronis.
f) Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri Salmonella
penyebab sakit tipus.

II.2 Epidemiologi
Demografi yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, dan usia tidak ada
kecenderungan rasial. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
dan angka kejadian. Ensefalopati dapat terjadi pada semua usia. Enselopati lebih
umum pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun.2

9
II.3 Etiologi
Penyebab ensefalopati keduanya banyak dan beragam. Beberapa contoh penyebab
ensefalopati meliputi: 1
a) Menular (bakteri, virus, parasit, atau prion).
b) Anoxic (kekurangan oksigen ke otak, termasuk penyebab traumatis),
c) Alkohol (toksisitas alkohol).
d) Hepatik (misalnya, gagal hati atau kanker hati).
e) Uremik (ginjal atau gagal ginjal).
f) Penyakit metabolik (hiper atau hipokalsemia, hipo- atau hipernatremia, atau
hipo- atau hiperglikemia).
g) Tumor otak.
h) Bahan kimia beracun (merkuri, timbal, atau amonia).
i) Perubahan tekanan dalam otak (sering dari perdarahan, tumor, atau abses).
j) Gizi buruk (vitamin yang tidak memadai asupan B1 atau penarikan alkohol).

II.4 Gejala
Meskipun penyebabnya banyak dan beragam, setidaknya satu gejala hadir
dalam semua kasus adalah kondisi mental yang berubah. Kondisi mental berubah
mungkin kecil dan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun (misalnya,
pada hepatitis mengalami penurunan kemampuan menggambar desain sederhana,
disebut apraxia) atau mendalam dan berkembang pesat (misalnya, anoksia otak
menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa menit). Seringkali, gejala
perubahan status mental dapat hadir seperti tidak dapat memberikan perhatian,
penilaian buruk atau buruknya koordinasi gerakan. Gejala serius lainnya yang
mungkin terjadi antara lain: 1
a) Letargi.
b) Demensia.
c) Kejang
d) Tremor.
e) Otot berkedut dan mialgia,
f) Respirasi Cheyne-Stokes (pola pernapasan diubah terlihat dengan kerusakan
otak dan koma).

10
g) Koma.

II.5 Klasifikasi

1. Ensefalopati akibat infeksi


a. Definisi
Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak.
Virus dan bakteri menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada
pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien yang mengalami
imunosupresi.Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana pada
ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi langsung
di dalam parenkim otak. Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global
seperti koma atau status epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan
antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting. 4
b. Patogenesis.
Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan
diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek
endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan
cairan serebrospinal, perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stress
oksidatif dan eksitotoksisitas akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya adalah
multifaktorial.Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah
satu penyebab disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis
mengalami peningkatan dan bereaksi langsung dengan otak dalam organ
sirkumventrikular yang tidak dilindungi oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida
dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor menyerupai toll, menginduksi
sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari mikroglia dan
astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi
sitokin inflamasi, IL-6 dari monosit/makrofag, bereaksi langsung dengan
menginduksi ekspresi mediator inflamasi. 4
Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi
sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL-1, TNF α, dan IL-6 yang memegang

11
peranan penting dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator
tersebut dapat menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan
mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung jawab dalam aktivasi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal menimbulakan gejala demam dan perubahan
kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a juga
dikaitkan dengan disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi
kerusakan sawar darah otak. Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul
adhesi pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi sekresi
sitokin proinflamasi dan nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial
menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan kerusakan sawar darah otak
dengan konsekuensi selanjutnya terbentuk edema otak vasogenik. Kaki astrosit
disekitar pembuluh darah korteks mengalami pembengkakan dan akan terjadi
ruptur membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki
astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak. Edema
otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan hilangnya
autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak meskipun jika
edema vasogenik awal dapat menjadi edema sitotoksik. 4
c. Gejala Klinis
Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi sepsis berat dan menyebabkan
kegagalan multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah
penurunan tingkat kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga
tak berespon dan koma. Status konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang
tidak sesuai juga terkadang timbul pada pasien ensefalopati ringan. Pada kasus
yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan deteriorasi kesadaran
dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan banyak
terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor.
Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik,
merupakan resisten yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif.
Kejang juga dapat timbul pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi
saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat menyingkirkan
penyebab lain yang mungkin.4

12
d. Diagnosis
Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran
penyebab lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural).
EEG merupakan merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan
dapat menunjukkan abnormalitas walaupun pemeriksaan neurologis normal.
Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat
ditemukan pada pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT-Scan kepala tidak
ditemukan kelainan, akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan
adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya
adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu
S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang dihasilkan
oleh sistem saraf pusat, terutama oleh selastroglial. S100B meningkat pada serum
dan cairan serebrospinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik
intrasitoplasmik enolase yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan
neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya
kematian sel saraf. 4
e. Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada,
penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya Dibutuhkan
terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi
pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian
dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang lebih
14 hari 4

2. Ensefalopati akibat toksis


Ensefalopati yang diinduksi obat.5
a. Definisi
Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi dari
pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit hepar primer
sebelumnya.
b. Gejala Klinis
Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan ringan
enzim serum hepar. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan dimana

13
terjadi disfungsi kognitif dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2
minggu awal setelah terapi dimulai hingga berkisar 3-5 tahun berikutnya.
c. Etiologi
Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat adalah
fenobarbital dan phenitoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar
ammonia pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan. Pada
salah satu penelitian, penambahan toporimate inhibitor siklus urea lainnya, pada
penggunaan asam valproat mempercepat terjadinya ensefalopati pada pasien
asimtomatis. Beberapa obat lainnya yang dapat menyebabkan keadaan
hiperamonia, yang mungkin dapat merusak siklus urea atau meningkatkan
produksi ammonia renal ke dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin yang
digunakan selama reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi
ammonia, selain itu carbamazepin, dan salisilat dosis tinggi juga memberikan
kesan yang sama.
d. Patogenesis
Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan
mekanisme yang menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala
neurologis. Pada beberapa kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim siklus
urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang jelek. Intake asam
valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi hiperamonia dengan
cara metabolismenya dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat
menghambat carbamoyl-phosphate-synthetase, yang merupakan reaksi enzimatik
pertama pada siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi ammonia.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh penggunaan asam
valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat, yang dapat
memberikan perbaikan utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi carnitine
juga menunjukkan penurunan gejala toksisitas yang diinduksi asam valproat.

3. Ensefalopati akibat metabolik6


a. Definisi

14
Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya merupakan
masalah baik bagi neonatus maupun anak, dengan outcome fungsional bergantung
pada waktu dan intervensi yang hati-hati. Ensefalopati metabolik adalah
pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan:
1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat.
2) Gangguan neuropsikoatrik kejang, lateralisasi.
3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak.
4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.
Gangguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi
renal dan gangguan metabolik. Gangguan yang paling sering terjadi adalah
disfungsi hepar.
b. Patofisiologi
- Teori Amonia
Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung jawab
dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan
termasuk ginjal dan otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena
porta yang berasal dari bakteri pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus
kecil. Pada orang normal, berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui
metabolisme pertama. Ekskresi berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik
maupun akut. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih
belum terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar
ammonia pada sel hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter
terutama agonis GABA, sehingga menyebabkan kegagalan penyediaan energi
untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada astrosit menyebabkan akumulasi
glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya pembengkakan astrosit.
Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya
pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum
ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan
dengan perbaikan tingkat ensefalopati hepatik.
- Teori kesalahan neurotransmiter
Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam amino dan
prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat,

15
konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatik (AAA) yaitu triptopan,
tyrosin dan phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai
ganda (leucine,isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi produksi
neurotransmiter yang salah (octopamide dan phenilethanolamide) yang kemudian
berkembang menjadi ensefalopati hepatik.
 Gejala Klinis
Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan
berdasarkan kriteria. West Haven berkisar dari gangguan pola tidur hingga
perubahan fungsi kognitif dan koma dalam.
 Penatalaksaan8
1. Diet
Diet yang mengandung protein nabati tampaknya lebih dapat ditoleransi
daripada diet yang kaya protein hewani, terutama protein yang berasal dari
daging merah. Ini mungkin karena peningkatan kandungan serat makanan,
katarsis alami, dan penurunan kadar asam amino aromatik. Asam amino
aromatik, sebagai prekursor neurotransmitter palsu tyramine dan octopamine,
dianggap menghambat neurotransmisi dopaminergik dan memperburuk
ensefalopati hepatik. Penulis merekomendasikan agar pasien mengkonsumsi
ayam dan ikan yang dimasak dengan baik selain protein nabati. Pasien yang
kekurangan gizi dianjurkan untuk menambahkan suplemen nutrisi cair yang
tersedia secara komersial ke dalam makanan mereka. Pasien jarang
memerlukan perawatan khusus dengan suplemen oral atau enteral yang kaya
akan asam amino rantai cabang.
2. Cathartics
Lactulose (beta-galactosidofructose) dan lactilol (beta-galactosidosorbitol)
adalah disakarida nonabsorbable yang telah digunakan secara klinis sejak awal
1970-an (yang terakhir tidak tersedia di Amerika Serikat). Mereka terdegradasi
oleh bakteri usus menjadi asam laktat dan asam organik lainnya. Laktulosa
tampaknya menghambat produksi amonia usus dengan sejumlah mekanisme.
Konversi laktulosa menjadi asam laktat dan asam asetat menghasilkan
pengasaman lumen usus. [42, 43] Ini mendukung konversi amonia (NH3)
menjadi amonium (NH4 +); karena impermeabilitas relatif yang dihasilkan dari

16
membran, ion NH4 + tidak mudah diserap, sehingga tetap terperangkap dalam
lumen kolon, dan ada pengurangan NH3 plasma. [42, 43, 44] Pengasaman usus
menghambat bakteri koliform amoniak, yang mengarah pada peningkatan
kadar laktobasili nonammoniagenik. [42] Laktulosa juga berfungsi sebagai
katarsis, mengurangi beban bakteri kolon.
Dosis laktulosa awal adalah 30 mL oral, setiap hari atau dua kali sehari.
Dosis dapat ditingkatkan sesuai toleransi. Pasien harus diinstruksikan untuk
mengurangi dosis laktulosa jika diare, kram perut, atau kembung. Pasien harus
menggunakan laktulosa secukupnya sehingga memiliki 2-4 tinja yang longgar
per hari. Harus sangat hati-hati saat meresepkan laktulosa. Overdosis dapat
menyebabkan ileus, diare berat, gangguan elektrolit, dan hipovolemia.
Hipovolemia mungkin cukup parah sehingga menyebabkan gejala ensefalopati.
Dosis laktulosa dosis tinggi (mis. 30 mL q2-4j) dapat diberikan secara oral
atau dengan selang nasogastrik untuk pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan ensefalopati hati yang parah. Laktulosa dapat diberikan sebagai enema
pada pasien yang koma dan tidak dapat minum obat melalui mulut. Dosis yang
disarankan adalah 300 mL laktulosa ditambah 700 mL air, diberikan sebagai
retensi enema setiap 4 jam sesuai kebutuhan.
3. Antibiotik
Neomisin dan antibiotik lain, seperti metronidazol, vankomisin oral,
paromomisin, dan kuinolon oral, diberikan dalam upaya mengurangi
konsentrasi koloni bakteri amonioni. Dosis neomisin awal adalah 250 mg oral
2-4 kali sehari. Dosis setinggi 4000 mg / hari dapat diberikan. Neomisin
biasanya dicadangkan sebagai agen lini kedua, setelah memulai pengobatan
dengan laktulosa. Pengobatan jangka panjang dengan aminoglikosida oral ini
memiliki risiko menginduksi ototoksisitas dan nefrotoksisitas karena beberapa
penyerapan sistemik.
Rifaximin (Xifaxan), turunan rifampisin yang tidak dapat diserap, telah
digunakan di Eropa selama lebih dari 20 tahun untuk berbagai indikasi
gastrointestinal. Beberapa uji klinis telah menunjukkan bahwa rifaximin
dengan dosis 400 mg yang diminum 3 kali sehari sama efektifnya dengan
laktulosa atau laktitol dalam meningkatkan gejala ensefalopati hepatik.

17
Demikian pula, rifaximin sama efektifnya dengan neomycin dan paromomycin.
Rifaximin memiliki profil tolerabilitas yang sebanding dengan plasebo. Itu
ditoleransi lebih baik daripada kedua cathartics dan antibiotik nonabsorbable
lainnya. Sebuah mekanisme potensial untuk aktivitas klinis rifaximin adalah
efeknya pada fungsi metabolisme mikrobiota usus, daripada perubahan
kelimpahan bakteri relatif.
4. L-ornithine L-aspartate (LOLA)
LOLA (Hepa-Merz) tersedia di Eropa dalam formulasi intravena dan oral.
Ini tidak tersedia di Amerika Serikat. LOLA adalah garam yang stabil dari dua
asam amino penyusunnya. L-ornithine menstimulasi siklus urea, yang
mengakibatkan hilangnya amonia. Baik l-ornithine dan l-aspartate adalah
substrat untuk glutamat transaminase. Administrasi mereka menghasilkan
peningkatan kadar glutamat. Amonia kemudian digunakan dalam konversi
glutamat menjadi glutamin oleh glutamin sintetase. LOLA ditemukan efektif
dalam mengobati ensefalopati hepatik di sejumlah uji coba Eropa.
4. Zinc
Kekurangan seng sering terjadi pada sirosis. Bahkan pada pasien yang
tidak kekurangan zink, pemberian zink berpotensi untuk meningkatkan
hiperammonemia dengan meningkatkan aktivitas ornithine transcarbamylase,
suatu enzim dalam siklus urea. Peningkatan ureagenesis selanjutnya
menyebabkan hilangnya ion amonia.Seng sulfat dan seng asetat telah
digunakan dengan dosis 600 mg per oral setiap hari dalam uji klinis. Penelitian
tambahan diperlukan untuk menetapkan peran mengoreksi hipozincemia untuk
mencegah memburuknya sirosis dan pengembangan ensefalopati.
5. Sodium benzoat, natrium fenilbutirat, gliserol fenilbutirat
Sodium benzoate berinteraksi dengan glisin untuk membentuk hippurate.
Ekskresi ginjal berikutnya dari hippurate menghasilkan hilangnya ion amonia.
Dosis natrium benzoat pada 5 g per oral dua kali sehari dapat secara efektif
mengendalikan ensefalopati hati. Penggunaan obat dibatasi oleh risiko
kelebihan garam dan rasanya yang tidak enak. Obat, juga digunakan sebagai
pengawet makanan, tersedia melalui banyak produsen bahan kimia khusus di
seluruh Amerika Serikat. Penulis membatasi penggunaannya pada pasien

18
dengan gejala ensefalopati parah. Namun, menurut pendapat penulis, dosis
natrium benzoat serendah 2,5 g per oral tiga kali per minggu secara signifikan
meningkatkan fungsi mental pada pasien rawat jalan yang memiliki gejala
ensefalopati persisten meskipun terapi dengan laktulosa dan rifaximin.
Dalam uji coba fase II yang melibatkan 178 pasien dengan sirosis
(termasuk 59 yang sudah memakai rifaximin) yang telah mengalami dua atau
lebih kejadian hepatic encephalopathy (HE) dalam 6 bulan sebelumnya,
glycerol phenylbutyrate (GPB), dengan dosis 6 mL per oral dua kali lipat.
setiap hari, secara signifikan mengurangi proporsi pasien yang mengalami
peristiwa HE, waktu ke acara pertama, dan total kejadian.Selain itu, GPB
dikaitkan dengan lebih sedikit rawat inap HE. Untuk pasien yang tidak
menggunakan rifaximin saat pendaftaran, GPB mengurangi proporsi pasien
dengan kejadian HE, waktu untuk kejadian pertama, dan total kejadian.
Amonia plasma secara signifikan lebih rendah pada pasien yang menggunakan
GPB dibandingkan pada pasien yang menggunakan plasebo. Kejadian buruk
terjadi pada proporsi yang sama dari pasien dalam kelompok GPB dan plasebo.
Para penulis menyimpulkan bahwa hasilnya melibatkan amonia dalam
patogenesis HE dan menyarankan bahwa GPB memiliki potensi terapeutik
pada populasi pasien ini.
 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolik adalah terutama
dengan memberi pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di
hati. Selain itu bila memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan
rutin untuk mencegah terjadinya enefalopati.
 Prognosis
Ensefalopati hepatik merupakan penyakit hati stadium terminal dengan
tanda prognostik yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek.
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup
dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun.

- Ensefalopati uremik2

19
Ensefalopati uremik memiliki patofisiologi yang kompleks, dan banyak
toksin yang terakumulasi pada gagal ginjal mungkin berkontribusi. Ensefalopati
uremik dapat terjadi pada pasien dengan cedera ginjal akut atau gagal ginjal
kronis. Salah satu faktor penyebab ensefalopati uremik mungkin melibatkan
ketidakseimbangan asam amino neurotransmitter di dalam otak. Selama fase awal
ensefalopati uremik, penentuan plasma dan cairan serebrospinal (CSF)
menunjukkan bahwa kadar glisin meningkat dan kadar glutamin dan asam
gamma-aminobutyric acid (GABA) berkurang. Seiring perkembangan uremia,
telah diusulkan bahwa akumulasi senyawa guanidino menghasilkan aktivasi
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) eksitasi dan penghambatan reseptor GABA
penghambatan, yang dapat menyebabkan mioklonus dan kejang. Selain itu,
perubahan terjadi pada metabolisme dopamin dan serotonin di otak, yang dapat
menyebabkan gejala awal.
Hormon paratiroid (PTH) kemungkinan berkontribusi terhadap
ensefalopati uremik. Hiperparatiroidisme sekunder, yang terjadi pada gagal ginjal,
menyebabkan peningkatan kadar kalsium pada korteks serebral. Pada model
hewan dengan uremia, perubahan electroencephalographic (EEG) adalah khas dari
yang diamati pada pasien dengan gagal ginjal. Pada pasien uremik dengan
hiperparatiroidisme sekunder, perubahan EEG telah terbukti membaik setelah
penekanan medis PTH atau paratiroidektomi.
Mekanisme spesifik dimana PTH menyebabkan gangguan pada fungsi
otak tidak jelas, tetapi mungkin melibatkan peningkatan konsentrasi kalsium
intraseluler dalam sel-sel otak. Namun, karena ensefalopati membaik dengan
dialisis, yang tidak memiliki efek nyata pada kadar PTH, hiperparatiroidisme
tidak dianggap sebagai penyebab utama.
 Gejala
Gejala awal ensefalopati uremik meliputi:
Anoreksia, mual, kegelisahan, mengantuk, kurangnya kemampuan
berkonsentrasi fungsi kognitif lambat.
Tanda dan gejala yang lebih parah dari ensefalopati uremik meliputi:
Muntah, emosional fungsi kognitif menurun, disorientasi, kebingungan,
perilaku aneh, stupor, koma

20
 Pemeriksaan penunjang
o Hasil Laboratorium
- fungsi ginjal: Peningkatan kadar urea nitrogen (BUN) darah dan kadar
kreatinin terlihat pada ensefalopati uremik
- Elektrolit serum dan pengukuran glukosa: Untuk menyingkirkan
hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan sindrom hiperosmolar
sebagai penyebab ensefalopati
- Darah lengkap: Untuk mendeteksi leukositosis, yang mungkin
menyarankan penyebab infeksi, dan untuk menentukan apakah ada anemia
(anemia dapat berkontribusi terhadap keparahan perubahan mental)
- Kadar kalsium, fosfat, dan hormon paratiroid (PTH) serum: Untuk menilai
hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme berat, yang
menyebabkan ensefalopati metabolic
- Kadar magnesium serum: Dapat meningkat pada pasien dengan
insufisiensi ginjal, terutama jika pasien menelan antasida yang
mengandung magnesium; hipermagnesemia dapat bermanifestasi sebagai
ensefalopati

o MRI dan CT- Scan


Temuan MRI yang khas pada pasien dengan ensefalopati uremik meliputi
peningkatan intensitas sinyal (lentiform fork sign) baik di korteks serebral atau
ganglia basal. CT scan dapat menunjukkan hipodensitas bilateral yang
melibatkan ganglia basal, otak tengah, atau thalamus.
o Ensefalografi
Electroencephalograpm (EEG) umumnya dilakukan pada pasien-pasien
dengan ensefalopati metabolik. Temuan biasanya meliputi:
- Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha
- Disorganisasi

21
- Semburan gelombang theta dan delta yang terputus-putus dengan aktivitas
latar belakang yang lambat
Penurunan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan penurunan fungsi
ginjal dan perubahan fungsi otak. Setelah periode awal dialisis, stabilisasi
klinis dapat terjadi sementara temuan EEG tidak membaik. Akhirnya, hasil
EEG bergerak menuju normal.
o Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin; Namun, mungkin
diindikasikan untuk menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status
mental pasien tidak membaik setelah memulai dialisis. Tidak ada temuan
CSF spesifik yang menunjukkan ensefalopati uremik.
 Tatalaksana
Kehadiran ensefalopati uremik pada pasien dengan cedera ginjal akut atau
gagal ginjal kronis merupakan indikasi untuk memulai terapi dialitik (yaitu,
hemodialisis, dialisis peritoneum, terapi penggantian ginjal terus menerus).
Setelah memulai dialisis, pasien umumnya membaik secara klinis, meskipun
temuan electroencephalographic (EEG) mungkin tidak segera membaik. Pada
pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), kelainan EEG umumnya
membaik setelah beberapa bulan tetapi mungkin tidak sepenuhnya normal.
Atasi faktor-faktor berikut ketika mengobati ensefalopati uremik, yang juga
termasuk dalam perawatan standar setiap pasien dengan ESRD:
- Kecukupan dialysis
- Koreksi anemia
- Pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat

Konsultasikan dengan ahli saraf jika gejala tidak membaik setelah


memulai terapi dialysis. Untuk menghindari malnutrisi pada pasien dengan
ESRD, pertahankan asupan protein yang memadai (1,2 g / kg / hari) dan lakukan
dialisis (terlepas dari adanya ensefalopati).

4. Ensefalopati akibat iskemik


a. Definisi

22
Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal dan
iskemia. Merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk
mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat
dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan dan setelah dilahirkan.
b. Patofisiologi
Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen
yang penting pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus
atau nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai pals serebral atau defisiensi
mental..Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari: 3
1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama
anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan,atau keracunan karbon
monoksida.
2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan
komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada
uterus gravid.
3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya
tetani uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan.
4) Pemisahan plasenta premature.
5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau
pembentukan simpul pada tali pusat.
6) Vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain.
7) Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca
maturitas.
Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari:3
1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke
tingkat kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik.
2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel-sel
vital, akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang
berlebihan atau kehilangan darah yang masif.
3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan
yang adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak.

23
4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk
penyakit jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.
Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi
pertumbuhan intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya
bradikardi). Velosimetri bentuk gelombang umbilikalis melalui Doppler
(memperlihatkan kenaikantahanan vascular janin) dan kordosintesis
(memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis.
Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis, menekan
kardiovaskular janin dan system saraf pusat, menghasilkan skor APGAR
rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar bersalin.(3)
c. Gejala Klinis
Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonates memiliki
karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis.
Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi
atau diplegispastika. Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas
hipoksik iskemik mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan.
Bayi cukup bulan memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi
korteks) dan jejas iskemia parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV
(nantinya diplegia spastik), status marmoratus ganglia basalis dan PIV. Bayi
cukup bulan, lebih sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks
setempat atau multifokal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan
hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan penting dalam
patogenesis asfiksia jejas otak.(3)
d. Penatalaksanaan
Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan dasar yang
menyebabkannya, kematian dan kecacatan kadang-kadang dapat dicegah melalui
pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau
pernafasan buatan dan koreksi disfungsi multiorgan terkait. Edema otak dapat
timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi batang otak yang berat.
Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini
refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB/iv)
dapat digunakan selama kejang akut, sedangkan untuk mensupresi kejang secara

24
terus menerus mungkin memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB
fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin. Walaupun sebagian besar kejang sering
merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru
lahiryang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi atau
hipoglikemia. Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu berkisar 20C.
Terapi hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi dibandingkan dengan
neuroprotektor. Pada bayi dengan respon minimal pada resusitasi konvensional,
ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar 23-300C dan didiamkan hingga
ia menangis.
e. Prognosis
Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik stadium 3
memiliki insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan yang serius
terutama pada perkembangan sarafnya. Prognosis dari asfiksia berat juga
tergantung pada cedera pada sistem organ lain.

II.6 Diagnosis Banding


Diagnosis ensefalopati adalah masing masing jenis ensefalopati (iskemik,
metabolik, toksik dan septik) selain itu ensefalopati juga harus dibedakan dengan:
1. Ensefalitis
2. Perdarahan intracranial
3. Edema serebri

II.7 Pemeriksaan Penunjang


Tes yang paling sering digunakan tercantum di bawah ini dengan beberapa
penyebab utama utama tes ini dapat membantu mendiagnosis:1
- Hitung darah lengkap
- Tekanan darah (tekanan darah tinggi atau rendah)
- Tes metabolisme (kadar elektrolit, glukosa, laktat, amonia, oksigen, dan
enzim hati) dalam darah
- Tingkat obat atau racun (alkohol, kokain, amfetamin, dan banyak lainnya)
- Kultur dan analisis darah dan cairan tubuh (infeksi berbagai jenis)
- Kreatinin (fungsi ginjal)

25
- CT dan MRI scan (pembengkakan otak, kelainan anatomi, atau infeksi)

II.8 Tatalaksana
Pengobatan ensefalopati bervariasi dengan penyebab utama gejala.
Akibatnya, tidak semua kasus ensefalopati diperlakukan sama. Beberapa contoh
perawatan ensefalopati yang berbeda untuk penyebab berbeda:1
- Anoksia jangka pendek (biasanya kurang dari dua menit): terapi oksigen
- Anoksia jangka panjang: rehabilitasi
- Toksisitas alkohol jangka pendek: Cairan IV atau tanpa terapi
- Penyalahgunaan alkohol jangka panjang (sirosis atau gagal hati kronis):
laktulosa oral, diet rendah protein, antibiotic
- Ensefalopati uremik (karena gagal ginjal): koreksi penyebab fisiologis
yang mendasarinya, dialisis, transplantasi ginjal
- Ensefalopati diabetes: mengelola glukosa untuk mengobati hipoglikemia,
insulin untuk mengobati hiperglikemia
- Ensefalopati hipo atau hipertensi: obat untuk meningkatkan (untuk
hipotensi) atau mengurangi (untuk hipertensi) tekanan darah

ABC selalu dievaluasi (Airway, Breathing, Circulation). Jika jalan nafas


terganggu dan pasien tidak dapat bernapas dengan baik, intubasi endotrakeal dapat
dipertimbangkan. Sebuah tabung ditempatkan melalui mulut ke trakea dan
ventilator digunakan untuk bernafas untuk pasien.

Kunci untuk perawatan ensefalopati adalah memahami penyebab dasar


dan dengan demikian merancang rencana perawatan untuk mengurangi atau
menghilangkan penyebabnya. Ada satu jenis ensefalopati yang sulit atau tidak
mungkin diobati; itu adalah ensefalopati statis (keadaan mental yang berubah atau
kerusakan otak yang permanen). Yang terbaik yang dapat dilakukan dengan
ensefalopati statis adalah, jika mungkin, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
dan melaksanakan rehabilitasi agar individu dapat tampil pada tingkat fungsional
setinggi mungkin.

26
II.9 Pencegahan
Banyak kasus ensefalopati dapat dicegah, kunci pencegahan adalah
menghentikan atau membatasi peluang pengembangan salah satu dari banyak
penyebab ensefalopati. Jika ensefalopati berkembang, semakin cepat penyebab
yang mendasarinya diobati, semakin besar kemungkinan ensefalopati dapat
dicegah.

Contoh pencegahan (dan situasi yang harus dihindari) tercantum di bawah ini:1

 Ensefalopati diabetik: Ikuti rencana manajemen diabetes yang ditentukan,


termasuk melakukan pengukuran glukosa jika sesuai. Minum semua obat
sesuai petunjuk.
 Ensefalopati hati: Hindari keracunan alkohol, overdosis obat, dan suntikan
IV obat-obatan terlarang.
 Ensefalopati anoksik: Cegah tersedak makanan. Hindari perilaku berisiko
yang dapat menyebabkan trauma kepala dan leher. Hindari paparan karbon
monoksida.
 Ensefalopati hipertensi: Pantau tekanan darah; minum obat antihipertensi
sesuai petunjuk dan jangan menghentikan obat atau mengganti obat tanpa
berkonsultasi dengan dokter.
 Ensefalopati infeksi: Hindari kontak fisik dengan individu yang diketahui
terinfeksi organisme yang dapat menyebabkan ensefalopati seperti N.
meningitidis atau Shigella.
 Ensefalopati uremik: Jangan melewatkan atau menghindari dialisis
terjadwal. Minum semua obat sesuai petunjuk dan sering melakukan
penilaian status mental.
Metode untuk pencegahan ensefalopati adalah sebanyak yang menyebabkan;
namun, beberapa kasus ensefalopati mungkin tidak dapat dicegah (misalnya,
ensefalopati traumatis bawaan dan tidak disengaja).

27
II.10 Komplikasi
Komplikasi ensefalopati bervariasi dari tidak ada gangguan mental
sehingga mengarah pada kematian. Komplikasi dapat sama dalam beberapa kasus.
Komplikasi tergantung pada penyebab utama dari ensefalopati dan dapat
diilustrasikan dengan mengutip beberapa contoh dari berbagai penyebab. 1
a. Hepatik ensefalopati (pembengkakan otak dengan herniasi, koma, kematian)
b. Metabolik ensefalopati (mudah marah, lesu, depresi, tremor, kadang-kadang,
koma atau kematian)
c. Anoxia-ensefalopati (berbagai komplikasi, dari tidak ada di anoksia jangka
pendek untuk perubahan kepribadian, kerusakan otak parah sampai mati dalam
acara anoxic jangka panjang)
d. Uremik ensefalopati (letargi, halusinasi, pingsan, otot berkedut, kejang,
kematian)
e. Ensefalopati Hashimoto (kebingungan, intoleransi panas, demensia)
f. Ensefalopati Wernicke (kebingungan mental, kehilangan memori,penurunan
kemampuan untuk menggerakkan mata)
g. Bovine spongiform ensefalopati (BSE) atau "penyakit sapi gila" (ataksia,
demensia, dan mioklonus atau otot bergetar tanpa irama atau pola)
h. Shigella ensefalopati (sakit kepala, leher kaku, delirium, kejang, koma)
i. Penyebab Infeksi ensefalopati anak (lekas marah, susah makan, hypotonia,
kejang, kematian)

II.11 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan ensefalopati tergantung pada penyebab
awal dan secara umum, tempoh waktu yang dibutuhkan untuk membalikkan,
menghentikan, atau menghambat penyebabnya. Akibatnya, prognosis bervariasi
dari pasien ke pasien dan berkisar di prognosis yang buruk yang sering
menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian. Prognosis sangat
bervariasi ini dicontohkan oleh pasien yang mendapatkan ensefalopati dari
hipoglikemia. Jika pasien dengan hipoglikemia diberikan glukosa pada tanda-
tanda pertama dari ensefalopati, sebagian besar pasien sembuh sepenuhnya.
Penundaan dalam mengoreksi hipoglikemia (jam sampai hari) dapat menyebabkan

28
kejang atau koma, yang dapat dihentikan oleh pengobatan dengan lengkap atau
pemulihan dengan kerusakan otak permanen minimal. Penundaan atau beberapa
keterlambatan dalam pengobatan dapat menyebabkan prognosis yang buruk
dengan kerusakan otak, koma, atau kematian.1

29

Anda mungkin juga menyukai