Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gigi Tiruan Jembatan (Bridge)


1. Sejarah Gigi Tiruan Jembatan
Menurut Prajitno riwayat perkembangan restorasi gigi tiruan
jembatan sudah ada pada 700 th sebelum masehi, berasal dari gigi hewan
dan diikatkan pada gigi yang masih ada menggunakan lempeng emas.
Semenjak itu tidak banyak lagi diutarakan sampai abad ke 18, hanya
terdapat perbaikan dalam cara penggantian gigi yang hilang (Prajitno,
1991 : 3).
Pada abad ke 19, lebih banyak literatur yang menggambarkan
perkembangan perawatan gigi tiruan jembatan dalam hal teknologi dan
bahan-bahan untuk perbaikan estetika dan kemudahan dalam
membuatnya. Peleburan porselen telah mulai dilakukan dan pada
pertengahan abad 19 gips dipakai untuk mencetak dan membuat model
kerja (Prajitno, 1991 : 3).
Tahun 1907 dianggap sebagai awal konstruksi jembatan, dan pada
tahun 1937 hidrokoloid telah dipakai sebagai bahan cetak untuk membuat
gigi tiruan jembatan secara tak langsung. Selanjutnya mulai dipakai
Rubberbase Impression Material dan akrilik untuk perbaikan estetika.
Alat bor yang digerakkan oleh kaki sejak tahun 1872 mulai diganti dengan
mesin listrik. Vibrasi yang dialami oleh penderita mulai hilang setelah
super high speed engine diperkenalkan. Sekarang sudah dipakai alat ultra
speed air driven turbine handpiece sebagai teknologi yang paling
mutakhir (Prajitno, 1991 : 3).

5
6

2. Pengertian Gigi Tiruan Jembatan


Gigi tiruan jembatan disebut juga Fixed Partial Denture adalah
suatu protesa sebagian yang dilekatkan secara tepat pada satu atau lebih
gigi penyangga dan menggantikan satu atau lebih gigi yang hilang
(Martanto, 1981 : 4).
Gigi tiruan jembatan (Bridge Fixed Bridge) adalah gigi tiruan
yang dicekatkan pada gigi penyangga dan didukung sepenuhnya oleh gigi
pendukungnya (Gunadi, 1991 : 14).
Gigi tiruan jembatan adalah restorasi yang menggantikan satu atau
lebih gigi yang disemenkan pada gigi penyangga dan didukung
sepenuhnya oleh periodontium (Kayser; dkk, 1984 : 239).

3. Tujuan Pembuatan Gigi Tiruan Jembatan


Menurut Martanto, tujuan pembuatan gigi tiruan jembatan adalah
untuk memulihkan daya kunyah (masticating efficiency) yang menjadi
kurang karena hilangnya satu atau lebih gigi asli. Selain itu juga untuk
memperbaiki estetika, memelihara/mempertahankan kesehatan gusi,
memulihkan fungsi fonetik (pengucapan), serta mencegah terjadinya
pergeseran gigi keruangan yang kosong akibat kehilangan gigi berupa
migrasi, rotasi, miring, atau ekstrusi (Martanto, 1981 : 3).

4. Indikasi Dan Kontra Indikasi Gigi Tiruan Jembatan


Menurut Martanto, indikasi untuk pembuatan gigi tiruan jembatan
adalah sebagai berikut:
a. Gigi Penyangga
Kondisi dan posisi dari gigi asli yang masih ada dijadikan
pertimbangan untuk dijadikan gigi penyangga. Gigi penyangga
tidak boleh goyang dan mempunyai kedudukan sejajar dengan gigi
lainnya.
7

b. Jumlah Gigi Yang Diganti


Luas permukaan selaput periodontal dari gigi-gigi
penyangga hendaknya sama atau lebih besar dari luas permukaan
selaput periodontal dari gigi-gigi yang akan diganti. Jika gigi yang
diganti lebih banyak dari gigi penyangga, maka akan merusak gigi
penyangga itu sendiri dan jaringan-jaringan disekitarnya. Keadaan
yang baik adalah jika ada dua gigi penyangga ditiap ujung yang
memenuhi syarat untuk menggantikan satu gigi.
c. Umur Penderita
Gigi tiruan jembatan sebaiknya tidak dibuat pada usia
dibawah 17 tahun karena ruang pulpa masih besar, gigi belum
tumbuh sempurna, dan tulang rahang belum cukup padat atau
keras.
d. Kesehatan gusi, selaput akar dan tulang
Pada sekitar gigi penyangga keadaan gusi harus sehat,
warna dan konsistensi gusi dapat dijadikan pedoman untuk gusi
yang normal. Oklusi traumatis dapat menyebabkan selaput
periodontal meradang dan tulang alveolar mengalami resorbsi,
sehingga dapat menjadikan gigi goyang dan tidak mampu untuk
dijadikan penyangga yang kuat (Martanto, 1981 : 15-18).
Kontra Indikasi dalam pembuatan gigi tiruan jembatan adalah sebagai
berikut:
a. Kebersihan mulut
Pada penderita yang kebersihan mulutnya (oral hygiene)
tidak terpelihara atau tidak dapat memeliharanya karena cacat,
pemakaian gigi tiruan jembatan tidak disarankan dan sebaiknya
dibuatkan protesa lepasan.
8

b. Indeks karies
Indeks karies yang tinggi tidak disarankan untuk memakai
retainer yang tidak menutupi seluruh permukaan mahkota gigi
karena mudah terserang karies.
c. Oklusi
Tekanan kunyah pada oklusi yang abnormal seperti gigitan
silang dapat menekan retainer pada gigi penyangga.
d. Keadaan atau posisi gigi antagonis
Gigi hilang yang tidak segera diganti akan mengakibatkan
migrasi dan ekstrusi. Migrasi dan ekstrusi yang parah merupakan
kontra indikasi untuk dibuatkan gigi tiruan jembatan (Martanto,
1981 : 18-19).

5. Keuntungan Dan Kerugian Gigi Tiruan Jembatan


Menurut Prajitno, keuntungan pemakaian gigi tiruan jembatan
adalah sebagai berikut:
a. Gigi tiruan jembatan tidak mudah terlepas atau tertelan karena
dilekatkan pada gigi asli.
b. Penderita merasa seperti gigi asli.
c. Gigi tiruan jembatan mempunyai efek splinting yang melindungi gigi
terhadap tekanan.
d. Gigi tiruan jembatan dapat menyalurkan tekanan kunyah ke
penyangga gigi sehingga menguntungkan jaringan pendukungnya
(Prajitno, 1991 : 1).
Menurut Kayser, kerugian pemakaian gigi tiruan jembatan yaitu:
a. Pembebanan periodontal dari unsur penyangga.
Sebuah gigi tiruan jembatan mempunyai daerah interdental yang sulit
dibersihkan, selain itu pinggiran subgingival dari restorasi penyangga
dapat menyebabkan iritasi gingival.
9

b. Pada pembuatan gigi tiruan jembatan unsur-unsur penyangga harus


selalu dibuat dengan restorasi cor terutama pada unsur penyangga yang
masih utuh (Kayser; dkk, 1984 : 243).

6. Syarat-Syarat Gigi Tiruan Jembatan


Menurut Martanto, suatu gigi tiruan jembatan hendaknya tidak
sekedar menggantikan gigi-gigi yang hilang (mengisi ruangan yang
kosong), tetapi harus juga memulihkan dan menjamin terpeliharanya
semua fungsi dari gigi geligi dan mencegah kerusakan selanjutnya. Gigi
tiruan jembatan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Persyaratan Mekanis
Gigi-gigi penyangga harus mempunyai sumbu panjang yang
sejajar sehingga gigi penyangga dapat dipreparasi dengan baik agar
dapat memberi retensi yang cukup bagi retainer. Pontik harus
menyerupai bentuk anatomi gigi asli yang diganti dan harus kuat
menahan beban kunyah sehingga tidak patah/bengkok. Konektor juga
harus mempunyai kekuatan yang cukup sehingga tidak patah oleh
tekanan kunyah.
b. Persyaratan Fisiologis
Gigi tiruan jembatan tidak boleh mengganggu kesehatan gigi
penyangga dan jaringan pendukung lainnya. Retainer dan pontik tidak
boleh mengiritasi jaringan lunak (gusi, lidah, pipi, bibir).
c. Persyaratan Hygiene
Pada gigi tiruan jembatan tidak boleh terdapat bagian-bagian
yang dapat menyangkut sisa makanan. Diantara pontik dan retainer
harus ada celah yang cukup besar dan dapat dilalui seutas benang
sehingga dapat dibersihkan dengan mudah oleh air ludah atau lidah
dan semua permukaan gigi tiruan jembatan (kecuali permukaan dalam
dari retainer) harus dipoles sampai licin dan mengkilap agar kotoran
atau sisa makanan tidak mudah melekat.
10

d. Persyaratan Estetik
Gigi tiruan jembatan terutama untuk gigi depan harus dibuat
menyerupai gigi asli, tetapi tidak boleh mengorbankan kekuatan dan
kebersihannya. Permukaan logam yang tidak perlu sebaiknya dicegah
untuk kepentingan estetika. Pontik harus mempunyai kedudukan,
bentuk dan warna yang sesuai dengan keadaan sekitarnya dan
mempunyai cici-ciri permukaan yang sepadan dengan gigi
tetangganya.
e. Persyaratan Fonetik
Pada umumnya otot-otot mulut segera dapat menyesuaikan diri
untuk menghasilkan suara yang sama sebelum adanya gigi yang
hilang. Gigi tiruan jembatan mampu menyempurnakan pemulihan ini
dalam waktu yang pendek karena tidak adanya basis seperti pada gigi
tiruan lepasan. Bagian lingual dari retainer atau pontik dibuat bentuk
dan ukuran yang sama dengan gigi asli sehingga pasien mudah dan
cepat dapat berbicara seperti biasa (Martanto, 1981 : 11-12).

7. Macam-Macam Gigi Tiruan Jembatan


Menurut Prajitno, pada dasarnya ada beberapa macam gigi tiruan
jembatan yaitu:
a. Rigid Fixed Bridge
Rigid fixed bridge ialah desain dimana pontik terhubung ke
abutment dikedua sisi, memberikan kekuatan yang diinginkan dan
stabilisasi (Madhok, 2014 : 2). Kedua ujungnya direkatkan secara
kaku (rigid) pada gigi abutmentnya (Prajitno, 1991 : 10).
11

Gambar 2.1
Rigid Fixed Bridge
(Sumber: Madhok, 2014)
b. Semi Fixed Bridge
Semi fixed bridge merupakan gigi tiruan jembatan dengan
satu ujung kaku (kaku) pada retainer, sedangkan ujung lainnya
berakhir pada satu retainer berkunci yang memungkinkan
pergerakan-pergerakan terbatas (non-rigid) (Martanto, 1981 : 10).

Gambar 2.2
Semi Fixed Bridge
(Sumber: Madhok, 2014)
c. Cantilever Bridge
Cantilever bridge merupakan gigi tiruan jembatan yang
sangat konservatif setelah fixed-fixed bridge, dimana pada salah
satu sisinya bersifat sebagai titik kontak (Madhok, 2014 : 2).
Dukungan dapat diperoleh dari satu atau lebih gigi penyangga
pada satu sisi yang sama (Martanto, 1981 : 10).
12

Gambar 2.3
Cantilever Bridge
(Sumber: Madhok, 2014)
d. Spring Fixed Bridge
Spring fixed bridge merupakan gigi tiruan jembatan yang
menggunakan dukungan gigi dan jaringan, dimana sebuah pontik
didukung dengan konektor panjang yang menghubungkannya
dengan abutment. Jenis gigi tiruan jembatan ini dapat
menggunakan lebih dari satu konektor panjang untuk menambah
kekuatannya (Madhok, 2014 : 2).

Gambar 2.4
Spring Fixed Bridge
(Sumber: Madhok, 2014)
13

8. Komponen Gigi Tiruan Jembatan


Komponen gigi tiruan jembatan terdiri atas empat bagian yaitu
abutment (penyangga), retainer, pontic dan connector.

Gambar 2.5
Komponen Gigi Tiruan Jembatan
(Sumber: Herman, 2017)
a. Abutment (penyangga)
Abutment adalah gigi asli yang digunakan sebagai tempat
diletakkannya gigi tiruan jembatan. Mahkota gigi yang baik untuk
dijadikan penyangga hendaknya mempunyai panjang yang normal
dan ketebalan dentin yang cukup (Prajitno, 1991 : 36).
b. Connector
Connector adalah alat yang menghubungkan pontik ke
retainer, retainer ke retainer dan pontik ke pontik. Connector dapat
berupa sambungan yang disolder, struktur cor (alumina derajat
tinggi jika terbuat dari porselen seluruhnya), dovetail atau
stressbreaker, retainer presisi atau lengan spring yang panjang
(Allan dan Foreman, 1994 : 81).
c. Pontic
Menurut Allan dan Foreman, pontik adalah gigi buatan
pengganti dari gigi-gigi yang hilang. Fungsi pontic adalah untuk
mengembalikan fungsi kunyah dan bicara, mempertahankan
hubungan antara gigi sehingga mencegah migrasi/ekstrusi (Allan
dan Foreman, 1994 : 81).
14

Ada beberapa desain pontic yang dapat digunakan dalam


pembuatan gigi tiruan jembatan, yaitu:
1) Saddle
Pontic ini paling mirip dengan gigi asli, menggantikan
semua bagian gigi yang hilang. Desain ini membentuk kontak
cekung yang besar dengan daerah ridge, menutupi bagian
facial, lingual dan proksimal. Biasa juga disebut ridge lap
karena menutupi seluruh bagian dari ridge (Setiawan, 2015 :
16).

Gambar 2.6
Pontik Saddle
(Sumber: Shillingburg, 1997)
2) Modified Ridge Lap
Desain ini memberikan gambaran gigi asli. Pada
bagian lingual dibuat sedikit pembelokan kontur untuk
mencegah impaction makanan dan meminimalkan akumulasi
plak (Setiawan, 2015 : 16).

Gambar 2.7
Pontik Modified Ridge Lap
(Sumber: Shillingburg, 1997)
15

3) Hygiene (sanitary)
Istilah hygiene digunakan untuk menggambarkan
pontic yang tidak berkontak dengan edentulous ridge. Pada
desain ini ketebalan oklusal gingival tidak boleh kurang dari
3mm, dan harus ada ruang kosong dibawahnya untuk
memfasilitasi pembersihan (Setiawan, 2015 : 16).

Gambar 2.8
Pontik Hygiene (sanitary)
(Sumber: Shillingburg, 1997)
4) Conical
Pontic ini memiliki bentuk yang bulat dan dapat
dibersihkan, tapi pada bagian ujung lebih kecil dari pada
ukuran keseluruhan pontic. Pontic ini cocok digunakan untuk
ridge mandibular yang tipis (Setiawan, 2015 : 16).

Gambar 2.9
Pontik Conical
(Sumber: Shillingburg, 1997)
16

5) Ovate
Ovate pontic sudah digunakan sebelum tahun 1930
dan dipertimbangkan sebagai pengganti pontik tipe saddle
untuk mendapatkan estetika yang baik dan kemudahan untuk
dibersihkan (Setiawan, 2016 : 16).

Gambar 2.10
Pontik Ovate
(Sumber: Shillingburg, 1997)

d. Retainer
Menurut Martanto, retainer merupakan restorasi
(mahkota, inlay, pasak/dowel) yang menghubungkan jembatan
dengan penyangga. Retainer dapat dibuat ekstrakoronal,
intrakoronal dan dowel crown (Martanto, 1981 : 5).
1) Retainer ekstrakoronal
Menurut Allan dan Foreman, retainer ini dapat dibuat
dari porselen-logam yang mengikat jaringan gigi bersama-
sama (Allan dan Foreman, 1994 : 87). Menurut Martanto
Macam-macam retainer ekstrakoronal yaitu:
a) Mahkota penuh
Mahkota penuh merupakan suatu restorasi yang
menutupi seluruh permukaan mahkota klinis dari suatu
gigi. Mahkota ini dapat merupakan restorasi yang berdiri
sendiri (single unit restoration) atau sebagai retainer dari
17

jembatan. Mahkota penuh yang yang dibuat dari logam


dipakai sebagai retainer pada gigi-gigi posterior dimana
estetika tidak dibutuhkan. Pada gigi-gigi anterior yang
terlihat ketika mulut dibuka, dibuatkan mahkota penuh dari
logam yang dilapisi porselen atau akrilik pada bagian labial
atau bukal untuk estetika (Martanto, 1981 : 61).

Gambar 2.11
Mahkota Penuh
(Sumber: Allan dan Foreman, 1994)
b) Mahkota sebagian
Mahkota sebagian yang dipakai sebagai retainer
jembatan, preparasinya memerlukan pembuangan jaringan
gigi yang lebih sedikit dibandingkan dengan mahkota
penuh. Pada mahkota ini dari 4 permukaan gigi seri (labial,
mesial, distal dan lingual) hanya 3 permukaan yang ditutup
oleh mahkota. Pada gigi yang mempunyai 5 permukaan
seperti premolar hanya sebagian dari permukaan gigi yang
tertutup oleh mahkota sehingga retorasi ini disebut
mahkota sebagian (Martanto, 1981 : 76).
2) Retainer intrakoronal
Menurut Allan dan Foreman, retainer ini memerlukan
preparasi yang sebagian besar ada didalam dentin (Allan dan
Foreman, 1994 : 87). Menurut Martanto macam-macam
retainer intrakoronal yaitu:
18

a) Inlay retainer
Inlay digunakan sebagai retainer untuk gigi tiruan
jembatan yang pendek, menggantikan tidak lebih dari satu
gigi pada mulut yang karies indeks nya rendah (Martanto,
1981 : 95).

Gambar 2.12
Inlay Retainer
(Sumber: Allan dan Foreman, 1994)
3) Retainer dowel crown
Merupakan retainer yang retensinya berupa pasak pada
saluran akar yang telah dirawat dengan sempurna (Prajitno,
1991 : 15).

Gambar 2.13
Retainer Dowel Crown
(Sumber: Herman, 2017)
19

B. Inlay
1. Pengertian Inlay
Menurut Tarigan, inlay merupakan tambalan dengan cara direct
(langsung) dan indirect (tidak langsung) dari bahan logam atau non logam
yang disemenkan pada kavitas (Tarigan, 1989 : 5).
Menurut Fatmawati, inlay merupakan restorasi intrakoronal yang
kerusakannya mengenai sebagian cusp dan berada diantara cusp, sehingga
ukurannya tidak begitu luas (Sofya, 2005 : 1).
Inlay biasa digunakan pada kasus dengan indeks karies yang
rendah, dibuat seperti potongan puzzle untuk menambah retensi dan
membangun kembali area yang sudah rusak pada permukaan gigi (Aspros,
2015: 1).

Gambar 2.14
Inlay
(Sumber: Istikharoh, 2018)

2. Indikasi dan Kontra Indikasi Inlay


Indikasi dari restorasi inlay yaitu untuk karies yang besar dan
dalam, sangat cocok sebagai retainer dari bridge serta gigi dengan tekanan
kunyah yang besar.
Kontra indikasi pada pembuatan restorasi inlay adalah untuk pasien
dengan insiden karies tinggi dan pasien muda dibawah umur 10 tahun
(Tarigan, 1989 : 5-6).
20

3. Macam-Macam Klasifikasi Inlay


Menurut Eccles, terdapat beberapa macam klasifikasi inlay yaitu:
a. Inlay klas I
Merupakan klas yang sederhana dan jarang digunakan.

Gambar 2.15
Inlay klas I
(Sumber: Messing and Ray, 1982)

b. Inlay klas II
Dibuat pada daerah MOD gigi yang karies sehingga perlu adanya
perlindungan dengan cara menghilangkan tonjolan-tonjolan yang lemah.

Gambar 2.16
Inlay klas II
(Sumber: Messing and Ray, 1982)
21

c. Inlay klas III dan IV


Dibuat pada restorasi dengan preparasi jaringan gigi yang lebih sedikit
dan cara pembuatan yang lebih mudah. Inlay klas ini dapat digunakan
sebagai attachment gigi tiruan jembatan semi cekat.

Gambar 2.17
Inlay klas III dan IV
(Sumber: Messing and Ray, 1982)

d. Inlay klas V
Dapat membentuk restorasi yang baik bila segi estetik dapat diterima
dan diperoleh retensi yang memadai. Karies pada klas ini termasuk luas
mengenai bagian incisal/oklusal sampai ke bagian mesial/distal. (Eccles,
J.D, 1994 : 126).

Gambar 2.18
Inlay klas V
(Sumber: Messing and Ray, 1982)
22

4. Kekuatan Rastorasi Inlay Full Metal


Menurut Martanto penggunaan inlay sebagai retensi lebih baik
pada gigi tiruan jembatan yang pendek dan menggantikan tidak lebih dari
satu gigi (Martanto, 1981 : 95).
Bahan-bahan untuk restorasi inlay dapat berupa logam dan non
logam (Tarigan, 1989 : 9). Restorasi inlay dengan bahan logam (full metal)
memiliki keuntungan yang lebih baik dari segi kekuatan untuk menerima
tekanan kunyah yang besar (Desphande; dkk, 2016 : 134). Secara umum
inlay full metal dianggap lebih berumur panjang dan mempunyai kestabilan
yang tinggi dari pada non logam (Bindslev, 1998 : 134).

C. Gigi Tiruan Jembatan Porcelain Fused to Metal


1. Definisi Gigi Tiruan Jembatan Porcelain Fused To Metal
Gigi tiruan jembatan porcelain fused to metal merupakan suatu
restorasi gigi yang memadukan antara kekuatan dan ketepatan dari
mahkota logam coran dengan estetika yang diperoleh dari bahan porselen.
Restorasi gabungan logam porselen terdiri dari coran logam yang dibuat
tipis, menutupi seluruh preparasi gigi seperti mahkota penuh. Bahan
poselen bertugas membentuk anatomi gigi diatasnya (Martanto, 1982 :
132).
Menurut Baum dkk, restorasi keramik logam adalah sebuah
mahkota gigi tiruan cekat yang dibuat dengan substrat logam (biasanya
logam cor) dimana porselen diikatkan untuk memperbaiki estetik melalui
lapisan perantara oksida logam (Baum; dkk, 1997 : 494).
23

2. Indikasi dan Kontra Indikasi Gigi Tiruan Jembatan Porcelain Fused To


Metal
Indikasi gigi tiruan jembatan porcelain fused to metal adalah
untuk keperluan estetika menutupi seluruh permukaan gigi yang
memerlukan kekuatan dan retensi yang besar, memperbaiki malposisi gigi,
gigi fraktur dan gigi dengan karies yang cukup luas, serta gigi yang
mengalami pewarnaan.
Kontra indikasi dari gigi tiruan jembatan porcelain fused to metal
adalah pada pasien dengan karies aktif, penyakit periodontal yang tidak
dirawat, ruang pulpa yang besar, gigi dengan tekanan kunyah yang besar,
serta pasien dengan kebiasaan bruxism (Mona, 2013 : 76).
3. Keuntungan dan Kerugian Gigi Tiruan Jembatan Porcelain Fused To
Metal
Keuntungan penggunaan gigi tiruan jembatan porcelain fused to
metal adalah secara estetik bagus dan kuat disemua tempat dari lengkung
gigi. Ketidaksempurnaan dalam preparasi dapat dikompensasi oleh
struktur dasar logam (coping), dan kerapatan pada bagian servical lebih
baik dibanding dengan tipe lainnya.
Kerugian pemakaian gigi tiruan jembatan porcelain fused to metal
adalah adanya bahan dari logam (coping) yang berwarna gelap pada
bagian servik sering menimbulkan warna yang tidak menguntungkan.
Pemasangan dan pembuatan gigi tiruan jembatan porcelain fused to metal
membutuhkan teknik yang tinggi dan memakan waktu yang lama
membutuhkan beberapa kali kunjungan pasien. Gigi tiruan jembatan metal
porcelain tidak mudah diperbaiki, relatif mahal dan mudah retak apabila
menerima tekanan yang berlebihan (Kayser, 1984: 202).
24

4. Tahap-Tahap Pembuatan Gigi Tiruan Jembatan Porcelain Fused To Metal


Tahap-tahap pembuatan gigi tiruan jembatan porcelain fused to
metal adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Model Kerja
Model kerja yang telah diterima dari dokter gigi dibersihkan
dari nodul dengan lecron, bagian pinggir model dirapihkan
menggunakan mesin trimer.
b. Membuat Coping Malam
Coping malam atau wax pattern adalah model restorasi yang
dibuat dari lilin dan diproduksi menjadi logam. Ketebalan harus
merata pada seluruh permukaan coping malam dan tidak boleh ada
sudut yang tajam (Martanto, 1981 :141).
c. Pemasangan Sprue
Sprue berfungsi sebagai saluran untuk mengalirkan logam
cair dari crucible ke mould space selama proses pengecoran (Gunadi,
1995 : 389).
d. Investing
Merupakan proses penanaman pola malam dalam casting ring
dengan bahan phosphate bonded invesment. Pengadukan bahan tanam
dapat dilakukan dengan cara manual tanpa bantuan mesin dan
menggunakan alat vakum (Martanto, 1982 : 184).
e. Pembuangan Pola Malam (Burn Out)
Pola malam yang telah ditanam dalam ring dipanaskan secara
perlahan pada alat burnout furnice. Tahap ini dilakukan sampai semua
pola malam menguap untuk mendapatkan mould space (Gunadi, 1995
: 390).
f. Pengecoran Logam (Casting)
Proses masuknya logam cair ke dalam mould space
(Martanto, 1981 : 194).
25

g. Sandblasting
Proses pembersihan coping metal dari bahan tanam
menggunakan bahan alumunium oxide (Nastiti, 2016 : 21).
h. Coping Metal
Coping metal adalah struktur dasar dari lapisan metal tipis
berbentuk preparasi gigi yang akan dilapisi bahan porcelain.
Permukaan coping tidak boleh bersudut tajam untuk mencegah
terjadinya daya yang dapat meretakkan porcelain (Martanto, 1981 :
216). Selanjutnya dilakukan pinblasting dan oxidasi sebelum tahap
aplikasi porselen untuk mendapatkan retensi.
i. Aplikasi Porselen
Menurut Naylor pada dasarnya aplikasi porselen pada coping
metal terdiri dari opaque, body porcelain (dentin), enamel porcelain,
translucent porcelain, staining dan glazing (Naylor, 1992 : 20).
1) Lapisan opaque
Lapisan opaque memiliki fungsi membentuk ikatan antara
keramik dengan logam dan menutupi bayangan warna dari logam.
2) Lapisan body/dentin porcelain
Aplikasi body porcelain dimulai dengan pencampuran
bubuk powder dengan liquid dentin porcelain yang sesuai dengan
warna gigi pasien. Aplikasi dentin dilakukan selapis demi selapis
hingga membentuk anatomi gigi.
3) Lapisan enamel dan translucent porcelain
Pada lapisan enamel terkandung bahan translucent tetapi
tidak seperti translucent porcelain yang benar-benar memberikan
efek transparan. Aplikasi translucent dilakukan pada sepertiga
incisal crown untuk mendapatkan estetik yang baik sehingga
tampak seperti gigi asli (Naylor, 1992 : 20).
26

4) Staining dan glazing


Menurut Annusavice setelah konstruksi porcelain dibentuk
menyerupai gigi asli, kemudian dibersihkan dengan semprotan
ultrasonic cleaner. Selanjutnya diulaskan pasta pewarna untuk
memberikan karakteristik individual atau pewarnaan luar
porcelain dengan bahan staining (Annusavice, 2004 : 507).
Permukaan porcelain pada umumnya dilapisi glaze untuk
memberikan tampilan yang lebih hidup. Glaze juga mempunyai
dua pengaruh pada porcelain yaitu untuk meningkatkan
penampilan dan membuang permukaan yang tidak sempurna
seperti porositas yang dapat memperburuk permukaan porcelain
(Bahri, 2016 : 22).

Anda mungkin juga menyukai