Anda di halaman 1dari 17

Bed Side Teaching

PTERIGIUM

Oleh:

Dini Reswari 1840312682

Risa Firka 1840212737

Preseptor:

dr. Julita, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL

PADANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pterigium merupakan salah satu penyakit gangguan mata yang paling umum. Pterigium
merupakan suatu perluasan pinguecula ke kornea yang sering pada orang dewasa seperti
daging berbentuk segitiga dengan ujung menghadap pusat kornea dan umumnya bilateral di
sisi nasal. Keadaan ini merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
lingkungan yang berangin, terkena sinar matahari, berdebu, dan berpasir. Lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastic.1

Pterigyum memiliki etiologi dan lokasi yang sama dengan pinguecula. Pterigium
memiliki vaskularisasi yang menonjol dan dapat melebar hingga kornea.2 Pterigium harus di
eksisi jika sudah mengganggu sampai ke daerah pupil (visual axis) atau bila menyebabkan
iritasi kronis.1,2 kekhawatiran estetika dan penurunan penglihatan merupakan masalah
penting yang terkait dengan masalah ini. Pada tahap awal, biasanya asimptomatik dan
dengan pertumbuhan lambat itu lebih ke estetika. Namun, dengan perkembangan lebih
lanjut, ini berpotensi menyebabkan penurunan ketajaman visual yang signifikan.3

Untuk prevensi dapat digunakan kacamata yang memblok sinar ultraviolet. Terapi
bedah dan beberapa pengobatan dapat juga membantu.

1.2 Batasan Masalah

Penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,


manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, prognosis dari pterigium.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,


manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, prognosis dari pterigium.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan makalah ilmiah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan epidemiologi

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler subepitel yang dimulai dari


conjunctiva bulbar ke arah kornea dan berbentuk segitiga. Pterigium terdiri dari
degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotic yang dominan.2

Kejadian pterigium di dunia sebesar 12% dengan 3% pada usia 10 – 20 tahun, dan
19,5% pada usia di atas 80 tahun. Prevalensi kejadian sebesar 13% pada pria dan 12%
pada wanita. Prevalensi terbesar terjadi di China sebesar 53%.3 Usia rata – rata pasien
pterigium adalah 58,4 ± 14 tahun dengan 56,9% adalah laki - laki. Kecenderungan
pterigium ditemukan pada individu dengan status ekonomi rendah dan pada populasi
yang tinggal di pedesaan. Beberapa penyakit yang dikaitkan dengan pterigium seperti
blefaritis dan chalazion.5

2.2 etiologi dan faktor risiko

Pterigium di sebabkan oleh multifactor. Beberapa kemungkinan penyebab


pterigium paparan sinar matahari yang lebih dari 5 jam. beberapa faktor risiko yang
berpengaruh faktor demografi, lingkungan, dan gaya hidup.4 Usia yang lebih tua, jenis
kelamin laki-laki, pekerjaan di luar ruangan, dan tinggal di lingkungan pedesaan adalah
faktor risiko demografi utama untuk pengembangan pterygium. Paparan sinar matahari
adalah faktor risiko lingkungan yang paling umum dan penggunaan alcohol merupakan
faktor gaya hidup yang banyak berpengaruh. Beberapa penelitian juga telah
menunjukkan bahwa ada ekspresi abnormal Ki-67 (penanda proliferasi) dan gen
penekan tumor seperti p53 dan p63, serta hilangnya heterozigositas dan ketidakstabilan
mikrosatelit.2 faktor-faktor seperti perubahan lapisan air mata, sitokin dan
ketidakseimbangan faktor pertumbuhan, gangguan imunologis, mutasi genetik, dan
infeksi virus juga berkaitan dengan pterigium.5

2.3 Patogenesis

Mekanisme patologi pterigium belum diketahui; telah terdapat banyak teori


patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth
factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan
pajanan terutama terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus,
proliferasi jaringan akibat pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi
peningkatan signifikan produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa
teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor
P53, sehingga terjadi proliferasi abnormal epitel limbus. Teori growth factor dan
pembentukan sitokin pro-inflamasi mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi
inflamasi kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin, seperti
FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth Factor), TGF-β
(Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) serta VEGF
(Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi sel,
remodeling matriks ektra-sel dan angiogenesis.

Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet,
angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-
inflamasi,sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga
akan memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth
factor akan mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas
endotel dan epitel yang akhirnya akan menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak
bisa karena
iritasi ataupun karena air mata yang kurang baik.

2.4 Manifestasi Klinis

Pterygium terdiri dari tiga bagian: visor, kepala dan tubuh dengan ekor (juga sering
digambarkan memiliki kepala, badan, dan ekor). Visor adalah tepi depan zona datar
pada kornea, terutama terdiri dari fibroblas, yang tumbuh ke dalam membran Bowman.
Kepala adalah bagian vaskularisasi dari pterygium, yang terletak tepat di belakang
pelindung dan melekat erat pada kornea. 3 Fibroblast yang terletak di stroma anterior
kornea (di bawah membran Bowman) dapat diaktifkan oleh radiasi ultraviolet (UV) dan
dapat menyebabkan membran Bowman pecah karena perlekatan kuat pterigium ke
stroma. Tubuh / ekor adalah area seluler konjungtiva bulbar, yang dapat dengan mudah
dipisahkan dari jaringan di bawahnya. Pterigium memiliki 4 derajat gambaran klinis:

Derajat I : pterigium terbatas pada pada limbus kornea

Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal.

Derajat IIII : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

DIAGNOSIS

Diagnosis pterigium ditegakkan secara klinis, sering bersifat asimptomatik. Jika ditemukan
gejala, yang dijumpai antara lain mata kering, berair, gatal, mata merah hingga penglihatan
terganggu. Pada slitlamp, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler di permukaan
konjungtiva; paling sering di konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, dapat pula
ditemukan di daerah temporal.

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium dan pinguekula. Pseudopterigium


adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea; terbentuk karena adhesi
konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marginal, biasanya akibat trauma kimia pada mata.
Pinguekula merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau
temporal limbus. Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-
kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden
meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim
tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet
bukan faktor resiko penyebab pinguekula.2,4

Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut


miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium
mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada
konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah
akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis
sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi
pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook
dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini
tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara
head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra
yang berbeda dengan true pterygium.

TATALAKSANA

Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar ultraviolet (UV-A
dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium adalah pajanan sinar ultraviolet. Manajemen
medikamentosa jika terdapat keluhan. Obat tetes mata artifisial atau steroid jika disertai
inflamasi mata. Medikamentosa tidakakanmengurangiataupunmemperparah pterigium, hanya
1
mengurangi keluhan.

Tantangan utama terapi pembedahan adalah mengatasi komplikasi rekurensi yang sering
terjadi, berupa pertumbuhan fibrovaskuler dari limbus ke tengah kornea. Indikasi terapi
pembedahan antara lain: tajam penglihatan berkurang akibat astigmatisma, ancaman aksis visual
1
terganggu, gejala iritasi berat, dan indikasi kosmetik.

Teknik eksisi antara lain:

1. Teknik Bare Sclera

Teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan badan pterigium serta membiarkan
dasar sklera (scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-epitelisasi. Kerugian teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi yang dapat mencapai 24-89%

 Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal.


 Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum.
 Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc.

Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus.
Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya
dengan menggunakan gunting.

2. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser
untuk menutupi defek.

3. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva
yang dirotasi pada tempatnya.
4. Conjunctival autograft technique

Angka rekurensi 2% hingga paling tinggi 40%. Prosedur menggunakan free graft
yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superotemporal, dieksisi sesuai
ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan
perekat jaringan. Faktor yang penting untuk keberhasilan operasi pterigium
adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis dan tepat ukuran untuk menutupi
defek konjungtiva dengan inklusi minimal dari jaringan Tenon. Hasil graft yang tipis
dan bebas tegangan telah terbukti tidak terjadi retraksi setelah operasi,
menghasilkan hasil kosmetik yang baik dengan tingkat rekurensi yang rendah. Hirst,
dkk. merekomendasikan insisi luas untuk eksisi pterigium dan graft yang besar
8
karena dengan teknik ini rekurensinya sangat rendah.

 Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal


diukur.
 Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama,
diperkirakan lebih besar 1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian
diberi tanda.
 Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah
mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft.
 Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang
akan digraft.
 Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan
menggunakan vicryl 8.0

5. Amniotic membrane grafting

Mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar


pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β
pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta
irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


Digunakan untuk mencegah rekurensi, bisa digunakan untuk menutupi
sklera yang terbuka setelah eksisi pterigium. Graft ini dianggap memicu
kesembuhan dan mengurangi angka rekurensi karena efek anti-inflamasinya, memicu
pertumbuhan epitelial dan sifatnya yang menekan sinyal transformasi TGF-beta, dan

proliferasi fibroblas.10 Tingkat rekurensinya 2,6-10,7% untuk pterigium primer dan

37,5% untuk pterigium rekuren.1 Membran amniotik ditempatkan di atas


permukaan sklera dengan bagian basis menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Lem fibrin berperan membantu membran amniotik agar menempel pada
1
jaringan episklera.

Terapi Tambahan

1
Angka rekurensi tinggi yang berkaitan dengan operasi terus menjadi masalah.
1,5,7
Terapi tambahan yang diberikan antara lain:

1. Mitomycin-C (MMC). MMC karena mampu menghambat fibroblas.

Dua cara penggunaan yaitu aplikasi intraoperatif langsung ke permukaan sklera


setelah eksisi pterigium dan aplikasi post-operatif sebagai terapi tetes mata topikal.
Beberapa studi menganjurkan MMC intra-operatif untuk mengurangi toksisitas.

2. Terapi iradiasi beta. Terapi ini digunakan untuk mencegah rekurensi karena
1
dapat menghambat mitosis cepat di dalam sel pterigium. Efek samping radiasi
antara lain nekrosis sklera, endoftalmitis, pembentukan katarak. Akibat efek
samping ini, terapi ini tidak banyak digunakan.

3. Anti-VEGF (Vascular Endothelial Factor). Sesuai teori, VEGF memiliki peran


7
utama dalam angiogenesis dan stimulasi fibroblas. Bevacizumab, antibodi
monoklonal manusia dengan efek anti- angiogenik mengurangi invasi dan migrasi
fibrovaskuler serta mengurangi ekspresi fibroblas, diberikan dengan cara injeksi
7
subkonjungtival. Cara ini sekarang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Masih dalam perdebatan karena pada meta-analisis randomized controlled trial, risiko
7
perdarahan subkonjungtiva besar dan angka rekurensi lebih tinggi.

Komplikasi

Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada


konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan
sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel
di atas pterygium yang ada.11

Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft


oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,
granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea
dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah
rekuren pterygium post operasi4.

Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali6.

Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah


sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan
konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan
graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.
Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi 6.

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga


atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari11.

SIMPULAN
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10
Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler non-maligna konjungtiva
berbentuk segitiga yang biasanya mencapai kornea; terdiri dari degenerasi
fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang dominan. Faktor risiko pterigium
bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar ultraviolet, pajanan debu atau
iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata. Sebagai tindakan preventif,
gunakan pelindung mata seperti kacamata, topi untuk mengurangi pajanan
terhadap sinar ultraviolet matahari, dan debu. Berdasarkan angka rekurensi,
teknik operasi optimal yang dapat digunakan adalah conjunctival autograft surgery.
Metode alternatif yang diterima lainnya adalah amniotic membrane grafting
dan pemberian MMC intraoperatif.12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


BAB III

LAPORAN KASUS

Nama : Ny. G

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 51 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Negeri Asal : Padang

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Kedua mata terasa mengganjal kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Kedua mata terasa mengganjal kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu.

Kedua mata merah sejak 2 tahun yang lalu bersifat hilang timbul.

Kedua mata terasa perih dan silau sejak 2 tahun yang lalu bersifat hilang timbul.

Penglihatan kabur tidak ada

Pasien rujukan dari RS BMC padang untuk mendapatkan injeksi menghambat


pertumbuhan pterigium

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan kondisi


sekarang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12
Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan kondisi


sekarang

PEMERIKSAAN FISIK

Vital Sign

- Keadaaan Umum : Sakit ringan

- Kesadaran : Composmentis cooperatif

- Frekuensi Nadi : 92x / menit

- Frekuensi Nafas : 18 x / menit

- Suhu : 36,5 celcius

Status Generalisata : Dalam batas normal

Status Optalmikus

STATUS OPHTALMIKUS OD OS

Visus tanpa koreksi 4/60 5/60

Visus dengan koreksi 20/25 -> S-2.75 20/25 -> S.275

Refleks fundus Positif Positif

Silis/supersilia Trichiasis [-] Trichiasis [ - ]

Madarosis [ - ] Madarosis [ - ]

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Palpebra superior Edema (-) Edema (-)

Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)

Margo palpebra Entropion (-), ektropion (-) Entropion (-), ektropion (-)

Aparat lakrimalis Epifora (-), dry eye (-) Epifora (-), dry eye (-)

Konjungtiva tarsalis Hiperemis (-), folikel (-), Hiperemis (-), folikel (-),
papil (-), benda asing (-) papil (-),benda asing (-)

Konjungtiva forniks Hiperemis (-), folikel (- Hiperemis (-), folikel (-


),benda asing (-) ),benda asing (-)

Konjungtiva bulbi Jaringan Fibroavskular (+) , Jaringan Fibroavskular (+)


injeksi konjungtiva injeksi konjungtiva
(+),benda asing (-) (+),benda asing (-)

Sklera Putih Putih

Kornea Puncak Jaringan Puncak Jaringan


Fibroavskular 2 mm dr Fibroavskular 1 mm dr
limbus limbus

Kamera okuli anterior Cukup dalam Cukup dalam

Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)

Pupil Bulat, reflex +/+ Bulat, refleks +/+

Lensa Bening Bening

Korpus vitreum Jernih Jernih

Fundus:

- Media Jernih Jernih

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


- Papil optikus Bulat berbatas tegas, C/D Bulat berbatas tegas, C/D
0,3 – 0,4 0,3 – 0,4

2:3 2:3
-Pembuluh darah retina
(A:V)

Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdarahan (-), eksudat (-)

Makula Refleks Fovea (+) Refleks Fovea (+)

Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Normal (palpasi)

Posisi bola mata Ortho Ortho

Gerakan bulbus okuli Bebas Bebas

Gambar :

Diagnosa Klinis

Pterigium Grade II ODS

Penatalaksanaan

Natrium Diclofenac ( Noncort )ed 6x1 ODS

Avastin ed 4 x 1 ODS

Cenfresh ed 6 x 1 ODS

Anjuran : Hindari paparan UV

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Prognosis

Quo et Sanam : dubia

Quo et Vitam : dubia

Quo et Fungsionam : dubia

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan. D : General Ophthalmology . 18th Edition, Maruzen Asian


Edition, Langc Medical Publication Maruzen Company Ltd: 141-2, 2012.
2. American Academy of Ophtalmology. 2014-2015. Neuro-Ophtalmology.
San Fransisco. Pp:5-58, 101-60.
3. Malozhen SA, Trufanov SV, Krahmaleva DA. Pterygium: etiology,
pathogenesis, treatment. Bulletin Ophthalmology 5, 2017, 76 – 80.
4. Rezvan, F., Khabazkhoob, M., Hooshmand, E., Yekta, A., Saatchi, M., &
Hashemi, H. (2018). Prevalence and risk factors of pterygium: a
systematic review and meta-analysis. Survey of Ophthalmology, 63(5),
719–735.
5. Nemet, A. Y., Vinker, S., Segal, O., Mimouni, M., & Kaiserman, I.
(2014). Epidemiology and Associated Morbidity of Pterygium: A Large,
Community-Based Case-Control Study. Seminars in Ophthalmology, 1-6.
6. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of pterygium. Ophthalmic
Pearls.2010 ;p. 37
7. Reidy JJ. Basic and clinical science course, section 8: External disease and
cornea. American Academy of Ophthalmology, 2010–2011
8. Lima FVI, Manuputty GA. Hubungan paparan sinar matahari dengan angka kejadian
pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013. Moluca Medica.
2014; 4(2);101-9

9. Kanski JJ. Pterygium in clinical ophtalmology: A systemic approach. 6th ed.


Butterworth. Elsevier Ltd ; 2002 .p. 82-3

10. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum: Konjungtiva. 17th
Ed. Jakarta: EGC; 2009 .p.67-72
11. Krishnacharya PS, Singhal A, Angadi PA, Naaz AS, Redy AR. Changing trends in
pterygium management. Albasar Int J Ophtalmol 2017:4:4-7.
12. Hirst LW. Prospective study of primary pterygium surgery using pterygium
extended removal followed by extended conjunctival transplantation.
Ophtalmology 2008;115(10):1663-72
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17

Anda mungkin juga menyukai