VOLUME 3
NOMOR 1
PEBRUARI 2005
ISSN: 1693-2242
PENERBIT:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta
ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax. +62-271-663375
E-mail: unsjournals@yahoo.com
Journal of Natural Products Biochemistry
Biofarmasi
Online: www.biofarmasi.unsjournals.com
ISSN:
1693-2242
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno
SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan
PENYUNTING PELAKSANA:
Djoko Santoso
Ratna Setyaningsih
Solichatun
Suratman
Soerya Dewi Marliana
Tetri Widiyani
Venty Suryanti
PENYUNTING AHLI:
Prof. Dr. Dayar Arbain – Universitas Andalas Padang
Prof. Dr. dr. Santosa, M.S. – Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Syamsul Arifin Achmad – Institut Teknologi Bandung
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. – Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dr. Chaerul, Apt. – Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor
Dr. C.J. Sugiharjo, Apt. – Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Dr. Ir. Supriyadi, M.Sc. – Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah Bogor
Abstract. The aims of this research were to study the effect of methanol meniran (Phyllanthus niruri L.) root extract
given to the blood glucose and total cholesterol content, and which level of concentration giving significant effect alloxan
treatment. Meniran root contains ellagic acid as antioxidant which provides hypoglycemic capability to reduce diabetic
blood glucose. This research was done by using completely randomized design (CRD) including eight treatments as
follow: negative control (CMC 1%, 2 mL/200 g bw), positive control (glibenclamide 0,126 mg/200 g bw), normal control,
meniran root extract in various concentration (2; 4; 6; 8; 10 mg/200 g bw). Data were elucidated until 15 day of
treatment and analyzed using ANOVA followed by DMRT at 5% confidence level. The result indicated that meniran root
extract giving significant effect on the reduction of blood glucose, however, it does not appear to have the same result to
total cholesterol content. At various concentration of meniran root extract, the total cholesterol of rat remains stable. The
optimum concentration to provide hypoglycemic activity raised at 10 mg/200 b bw dose.
Key words: Phyllanthus niruri L., root extract meniran, blood glucose, total cholesterol content.
Perlakuan kontrol negatif (plasebo) dan Ester Kolesterol + H2O Kolesterol + asam lemak →
kontrol normal. Pada kontrol negatif, hewan Kolesterol + O2 Kolesterol 3 One + H2O2
diabetik diberi bahan yang tidak mengandung obat
2 H2O2 + 4 Aminoantipirin + Fenol → uinonemine + 4 H2O
yang diteliti yaitu larutan CMC 1% sebanyak 2
mL/hari/ekor. Pada kontrol normal hewan dibiarkan
Teknik analisis data
tanpa pemberian alloksan dan ekstrak.
Data dianalisis dengan menggunakan Anova
Perlakuan glibenclamide (kontrol positif).
(Analysis of Variance), dilanjutkan uji DMRT (Duncan
Perlakuan Glibenclamide diberikan pada tikus
Multiple Range Test) pada taraf signifikansi 5%.
dengan dosis 0,126 mg/200 g BB, 3 hari setelah
perlakuan alloksan. Suspensi Glibenclamide dibuat
dengan melarutkan 0,126 mg Glibenclamide dalam
1 mL larutan CMC 1% . HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Rerata kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus L.) pada hari pengamatan aktif dalam tanaman
ke- 1, 3, 6, 9, 12, 15 setelah perlakuan dan persentase penurunannya. meniran yang
berpengaruh
Kadar glukosa darah hari ke- (mg/dl) Persentase hipoglikemik
Perlakuan
1 3 6 9 12 15 penurunan termasuk dalam
CMC 1% 194,26c 181,45c 166,37c 165,78g 164,89f 161,24f 16,99b kelompok polifenol,
Glibenclamide 192,18bc 178,57b 162,31b 147,63b 132,82c 123,64b 35,66f yaitu ellagitanin jenis
Normal 96,14a 96,03a 95,65a 96,15a 95,45a 95,07a 1,11a
asam ellagat
EMAM 2 mg 191,59bc 192,26f 176,06f 160,75f 146,19e 136,78e 28,61c
EMAM 4 mg 195,06 c
192,66 f
177,05 f
159,17 f
144,80 e
135,80 e
30,38 cd (Shimizu et al.,
EMAM 6 mg 190,59b 188,79e 173,10e 157,00e 144,01e 134,52e 29,43c 1989; Taylor, 2003).
EMAM 8 mg 192,48bc 184,23d 169,14d 154,04d 141,24d 130,97d 30,92de Asam ellagat
EMAM 10mg 192,58bc 181,25c 166,17c 150,89c 137,29c 127,91c 33,58ef dapat menghambat
Nilai p ANOVA 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 kerja enzim aldosa
Keterangan: angka yang diikuti huruf superscript yang sama dalam satu kolom menunjukkan reduktase. Menurut
antar perlakuan tidak beda nyata (p>0,05). Shimizu et al.,
(1989), ekstrak
alkohol meniran
perlakuan Glibenclamide (35,66%). Penurunan
mengandung senyawa-senyawa asam ellagat, asam
kadar glukosa darah diduga disebabkan stres dalam
brevivolin karbosiklik dan enzim etil brevifolin
pemberian perlakuan yang meningkatkan hormon
karboksilase yang dapat menghambat kerja enzim
epinefrin (Murray et al., 1999).
aldosa reduktase (AR). Diantara ketiga senyawa
Berdasarkan analisis DMRT 5% ternyata
tersebut asam ellagat memberikan aktivitas paling
perlakuan Glibenclamide berpengaruh nyata
kuat yaitu enam kali lebih besar daripada paten
terhadap kadar glukosa darah tikus pada seluruh
quercitrin yang juga dikenal sebagai penghambat
waktu pengamatan. Pada akhir perlakuan,
enzim AR (Shimizu et al., 1989).
Glibenclamide dapat menurunkan kadar glukosa
Aktivitas hipoglikemik EMAM terjadi melalui
darah sebesar 35,66%. Ganiswara (1995) dan
peningkatan penggunaan glukosa dalam hati. Pada
Hardjasaputra et al., (2002), menyatakan bahwa
penderita DM, proses perubahan glukosa menjadi
Glibenclamide merupakan salah satu obat turunan
fruktosa (jalur polyol) mengalami peningkatan,
sulfonilurea dengan potensi penurunan kadar
sehingga keseimbangan metabolisme terganggu
glukosa darah lebih tinggi dibanding sulfonilurea
(Hernawan, 2000). Proses peningkatan penggunaan
lain.
glukosa tersebut terjadi, diperkirakan melalui
Perlakuan EMAM pada berbagai tingkat dosis
penghambatan laju aliran jalur polyol dan
diakhir pengamatan seluruhnya menunjukkan
peningkatan glikolisis sehingga meningkatkan
prosentase penurunan kadar glukosa darah yang
pemasukan glukosa ke dalam siklus TCA. Hal ini
berbeda nyata dan efek ekstrak sebanding dengan
didasarkan pada penelitian yang menunjukkan
kenaikan dosis. Pada perlakuan EMAM 2 mg/200g
bahwa kerja enzim AR pada jalur polyol dapat
BB prosentase penurunan diakhir perlakuan
dihambat oleh senyawa Zopolrestat (Trueblood dan
kelompok ini adalah sebesar 28,61%. Pemberian
Ramasamy, 1998).
ekstrak dosis 4 mg/200 g BB juga menunjukkan
Secara umum, aktifitas hipoglikemik EMAM
prosentase penurunan diakhir perlakuan sebesar
diduga melalui cara sebagai berikut:
30,38%. Kelompok perlakuan ekstrak dosis 6
Meningkatkan kelarutan glukosa darah.
mg/200 g BB mengalami penurunan kadar glukosa
Mekanisme aktifitas hipoglikemik EMAM diduga
darah di akhir perlakuan sebesar 29,40%. Kelompok
karena adanya kandungan senyawa glikosida
perlakuan 8 mg/200 g BB mengalami penurunan
flavonoid. Mekanisme hipoglikemik EMAM diduga
kadar glukosa darah di akhir perlakuan yang tidak
disebabkan senyawa glikosida flavonoid yang
berbeda nyata (30,92%) dengan perlakuan ekstrak
terabsorpsi dalam darah dan meningkatkan
dosis 10 mg/200g BB. Penurunan kadar glukosa
kelarutan glukosa darah sehingga mudah untuk
darah terbesar pada akhir perlakuan ekstrak dicapai
diekresikan melalui urin (Chairul et al., 2000).
oleh perlakuan dosis 10 mg/200 g BB yaitu sebesar
Menghambat kerusakan oksidatif pada sel β
33,58%.
pankreas. Okamoto (1996), melaporkan bahwa
Dosis yang paling efektif untuk menurunkan
alloksan merusak sel β pankreas dengan
kadar glukosa darah, pada penelitian ini, adalah 10
menginduksi pembentukan radikal bebas hidroksil.
mg/200g BB. Perlakuan ini menunjukkan prosentase
Radikal bebas hidroksil menyerang substansi
penurunan yang tidak berbeda nyata dengan
esensial sel β pankreas (seperti membran plasma
perlakuan glibenclamide. Hal ini menunjukkan
sel, lisosom, mitokondria dan DNA) dan mengawali
bahwa pada dosis yang lebih tinggi diduga
kerusakan sel β pankreas.
mengandung senyawa aktif yang lebih banyak,
Terapi dengan EMAM diduga memiliki mekanisme
sehingga dapat menurunkan kadar glukosa lebih
hipoglikemik melalui inaktivasi radikal bebas
besar.
hidroksil yang menyerang sel β pankreas, sehingga
Kemampuan EMAM dalam menurunkan kadar
sel β dapat mensekresi insulin secara lebih baik.
glukosa darah tikus diabetik berkaitan dengan
Tanaman meniran mengandung berbagai
aktivitas biologis senyawa dalam tanaman meniran.
antioksidan terutama golongan flavonoid (Sugati
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa
dan Johnny, 1991). Hal ini sejalan dengan
FAHRI dkk. – Pengaruh ekstrak Phyllanthus niruri terhadap kadar glukosa dan kolesterol darah 5
Tabel 2. Rerata berat badan tikus putih (Rattus norvegicus) pada hari pengamatan ke- 1, namun dalam
3, 6, 9, 12, 15 setelah perlakuan dan persentase penurunannya. prosentase kecil dan
tidak berbeda nyata.
Berat badan tikus putih pada hari ke- (mg/dl) Persentase Penurunan tertinggi
Perlakuan
1 3 6 9 12 15 penurunan hanya sebesar
CMC 1% 235,6c 236,7b 241,5d 251,7d 246c 263,9d 10,72d 11,59%, tidak berbeda
Glibenclamide 220,4b 244d 228,4b 241,7b 243,3b 245,7a 10,3de nyata dengan
Normal 204,7a 208,9a 216,4a 232,7a 234,4a 249,2b 17,76f
penurunan terendah
EMAM 2 mg 235,2c 237,9c 240c 249,4c 258,5d 260,2c 9,61d
EMAM 4 mg 258,6b 257,2g 259,2e 267,5e 279,8f 269,6e 4,0b
5,09%. Berbagai dosis
EMAM 6 mg 268,5e 256f 273,4g 282,9f 265,2e 294,3g 8,77c perlakuan EMAM
EMAM 8 mg 257,7d 253,4e 260,5f 268,4e 298,3g 285,9f 9,86d ternyata juga tidak
EMAM 10mg 296,7f 290,2h 291,7h 297,9g 301,6h 306h 3,03a menunjukkan
Nilai p ANOVA 0,000 0,000 0,000 251,7 0,000 0,000 0,000 perbedaan yang nyata.
Keterangan: angka yang diikuti huruf superscript yang sama dalam satu kolom Dapat disimpulkan
menunjukkan antar perlakuan tidak beda nyata (p>0,05). bahwa EMAM pada
berbagai tingkat dosis
ternyata belum dapat
Tabel 3. Rerata kadar kolesterol total darah tikus putih (Rattus norvegicus) pada hari menurunkan kadar
pengamatan ke- 1, 3, 6, 9, 12, 15 setelah perlakuan dan persentase penurunannya.
kolesterol total
Kadar Kolesterol Total Darah Hari ke- (mg/dl) Persentase
diabetik secara
Perlakuan signifikan.
1 3 6 9 12 15 penurunan
CMC 1% 116,74b 116,52b 112,52b 111,78b 111,81b 110,21b 5,59a Perlakuan
Glibenclamide 114,63b 113,51b 110,11b 110,57b 110,01b 108,71b 5,16a glibenclamide tidak
Normal 97,44a 96,99a 98,94a 100,63a 101,64a 102,40a 5,09a menunjukkan aktivitas
EMAM 2 mg 113,42b 112,61b 108,30ab 108,11ab 107,92ab 106,91ab 5,74a penurunan kolesterol
b b b b b b
EMAM 4 mg 123,98 115,62 112,22 112,01 111,51 109,61 11,59a total yang berbeda
b b b ab ab ab a
EMAM 6 mg 115,23 112,31 109,50 108,71 108,82 105,71 8,26 nyata jika
EMAM 8 mg 115,84b 114,11b 110,41b 108,41ab 109,12ab 108,11ab 6,67a
b b b b b ab a dibandingkan dengan
EMAM 10 mg 116,74 114,11 110,71 109,91 109,72 108,11 7,39
Nilai p ANOVA 0,005 0,024 0,165 0,141 0,166 0,198 0,280 kelompok kontrol
Keterangan: angka yang diikuti huruf superscript yang sama dalam satu kolom diabetik dan kontrol
menunjukkan antar perlakuan tidak beda nyata (p>0,05). normal. Hal ini sesuai
dengan sifat efek
metabolik
Glibenclamide yang
pernyataan Palmer dan Paulson (1997), bahwa tidak mempengaruhi metabolisme lemak penderita
konsumsi senyawa flavonoid dapat mengurangi diabetes (Tjokroprawiro, 2000). Di samping itu,
radikal hidroksil dan radikal peroksil, namun macam adanya mekanisme feedback negatif menyebabkan
senyawa yang berpengaruh dan mekanisme kadar kolesterol selalu dijaga pada kondisi mantap.
hipoglikemik EMAM belum diketahui. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan penurunan
Hasil penelitian ini mencoba mendukung kadar kolesterol total yang berbeda nyata. Hal ini
pernyataan bahwa pada keadaan diabetik berat diduga disebabkan oleh tingkat dosis yang
badan mengalami penurunan. Data hasil terlampau rendah (dosis tertinggi 10 mg/200g BB
penimbangan berat badan diharapkan dapat atau 50 mg/Kg BB), yang digunakan dalam
mendukung pengaruh perlakuan EMAM terhadap penelitian ini, belum dapat menunjukkan aktivitas
kadar glukosa darah. Rerata berat badan tikus penurunan lemak. Pernyataan ini sejalan dengan
dapat dilihat pada Tabel 2. yang dilakukan Khanna et al. (20012), dengan
Berat badan tikus putih sejak awal hingga akhir perlakuan ekstrak meniran dosis tinggi (250 mg/Kg
perlakuan mengalami peningkatan yang bervariasi. BB dan 100 mg/Kg BB) dan waktu pengamatan
Peningkatan berat badan diduga karena tikus yang lebih lama (30 Hari).
mengalami kehilangan kalori yang cukup besar pada
keadaan diabetik. Ini menyebabkan tikus
mengalami gejala kelaparan dan meningkatkan KESIMPULAN
asupan makanan (Murray et al., 1999). Perbedaan
kenaikan berat badan terjadi karena tikus putih Ekstrak metanol akar meniran menunjukkan
tersebut memiliki perbedaan secara genetis aktivitas penurunan kadar glukosa darah pada
sehingga menimbulkan respon yang berbeda seluruh dosis perlakuan yaitu 2 mg/200g BB, 4
terhadap perlakuan yang diberikan. mg/200g BB, 6 mg/200g BB, 8 mg/200g BB dan 10
mg/200g BB. Perlakuan ekstrak dosis 10 mg/200 g
Kadar kolesterol total darah BB menunjukkan penurunan kadar glukosa darah
Pengaruh pemberian Glibenclamide dan EMAM (33,58%) yang tidak berbeda nyata dengan
terhadap kadar kolesterol total darah tikus diabetik perlakuan Glibenclamide (35,66%). Dosis ekstrak
dapat dilihat pada Tabel 3. metanol akar meniran (Phyllanthus niruri L.) yang
Perlakuan EMAM pada semua tingkat dosis tetap paling efektif untuk menurunkan kadar glukosa
menunjuk-an penurunan kadar kolesterol total, darah tikus putih (Rattus norvegicus L.) diabetik
6 Biofarmasi 3 (1): 1-6, Pebruari 2005
dalam penelitian ini adalah 10 mg/200g BB. Ekstrak differentiation-inhibitory activities in 3T3-14Cells.
metanol akar meniran tidak menunjukkan aktivitas Journal of Nutrition 131: 2242-2247.
penurunan kadar kolesterol total darah pada seluruh Montgomery, R., R.L. Dryer, T.W. Conway, dan A.A.
Spector. 1993. Biokimia Studi Pendekatan Berorientasi
dosis perlakuan yaitu 2 mg/200g BB, 4 mg/200g
Kasus. Yogyakarta: UGM Press.
BB, 6 mg/200g BB, 8 mg/200g BB dan 10 mg/200g Moshi M.J., J.J. Lutalle, G.H. Rimoy, Z.G. Abbas, R.M.
BB. Josiah, and A.B. Swai 2001. The Effect of Phyllanthus
amarus Aqueos Extract On Blood Glucose In Non-
Insulin Diabetic Patients. Phytother Research 15 (7):
DAFTAR PUSTAKA 577-580.
Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, and V.W. Rodwell.
1999. Biokimia Harper. Edisi 24. Penerjemah: Hartono,
Budijanto, D., D. Astuti, W. Anggraeni, dan Rahayu. 1999.
A. Jakarta: EGC.
Analisis kecenderungan diabetes mellitus dalam
Nugroho, A.P. 1998. Pengaruh Pemberian Sari Buah Buncis
kaitannya dengan kadar kolesterol darah. Majalah
(Phaseolus vulgaris L.) per oral Terhadap Kadar
Kedokteran Unibraw 15 (1): 1-6
Glukosa Darah Hiperglkemik. [Skripsi]. Yogyakarta:
Ayensu, E.S. 1981. Medicinal Plants of The West Indies.
Fakultas Biologi UGM.
New Delhi: Government of India.
Okamoto, H. 1996. Okamoto Model For β-Cell Damage.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink. 1963.
Recent Advances Lesson From Animal Diabetes VI. 75th
Flora of Java (Spermathophytes Only). Vol. 1.
Anniversary of The Insulin Discovery. Birkhauzer,
Netherlands: Nordhoff-Groningen.
Berlin: Elcazar Shafir.
Baraas, F. 1993. Mencegah Serangan Jantung Dengan
Palmer H.J., and K.E. Paulson. 1997. Reactive oxygen
Menekan Kolesterol. Jakarta: Gramedia Pustaka
species and antioxidants in signal tranduction and gene
Utama.
expression. Nutritional Review 55 (10): 353-361.
Barham, D. and D. Trinder. 1972. An improved color
Plownan, P.N. 1987. Endocrynology and Metabolic Disease.
reagen for determination of blood glucose by the
Toronto: John Wiley and Sons.
oxydase system. Analist 97: 142-145.
Rukmana, R. 1995. Temulawak-Tanaman Rempah dan
Bondy, P.K. and Rosenberg. 1980. Metabolic Control and
Obat. Yogyakarta: Kanisius.
Disease. 8th ed. Tokyo: Saunders Company.
Shimizu, M., S. Horie, S. Terashima, H. Ueno, T. Hayashi,
Chairul, Y. Jamal, dan Z. Zainul. 2000. Efek Hipoglikemik
S. Suzuki, M. Yoshizaki, and N. Morita. 1989. Studies
Ekstrak Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) pada
on aldose reduktase inhibitors from natural products.
Kelinci Putih Jantan. Berita Biologi 5 (1): 93-100.
II. aktif component of a paraguayan crude drug parai-
Delgado, J.N. 1982. Karbohidrat, Buku Teks Wilson dan
parai, Phyllanthus niruri. Chemical and
Gisvold. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik I.
Pharmaceutical Bulletin 37 (9): 2531-2532.
Penerjemah: Fattah, A.M. Semarang: IKIP Semarang
Srividya, N and Periwal. 1995. Diuretic, Hypotensive and
Press.
Hipoglycaemic Effect of Phyllanthus amarus (Syn.
Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.
Phyllanthus niruri). Indian Journal of Experimental
Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.
Biology 33 (11): 861-864.
Harjasaputra, S.L.P., G. Budipranoto, S.U. Sembiring, I.
Sudarsono, 1996. Tumbuhan Obat (Hasil Peneltian, Sifat-
Kamil. 2002. Data Obat Indonesia. Edisi 10. Jakarta:
Sifat dan Penggunaan). Yogyakarta: PPOT UGM.
Grafidian Media Press.
Sugati, S., dan R.H. Johnny. 1991. Inventaris Tanaman
Hernawan, U.E. 2003. Aktivitas Hipoglikemik dan
Obat Indonesia I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Hipolipidemik Ekstrak Air Daun Bungur
Taguchi, Y. 1985. Experimental Animals. Tokyo: Clea
(Lagerstroemia speciosa [L.] Pers.) pada Tikus
Japan, Inc.
Diabetik. [Skripsi]. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA
Taylor, L. 2003. Herbal Secret of The Rainforest. 2nd ed.
UNS.
Austin: Sage Press Inc.
Khanna A.K., F. Rizfi and R. Chander 2001. Lipid lowering
Tjokroprawiro, A. 2000. Diabetes Mellitus: Klasifikasi,
activity of Phyllanthus niruri in hiperlipidemic rats.
Diagnosis dan Terapi. Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia
Journal of Ethnopharmacology 82 (1): 19-22.
Pustaka Utama.
Liu, F., J. Kim, Y. Li, X. Liu, J. Li, and X. Chen. 2001. An
Trueblood, N., and R. Ramasamy. 1998. Aldose reductase
extract of Lagerstremia speciosa L. has insulin like
inhibition improves altered ghucose metabolism of
glucose uptake stimulatory and adipocyte
isolated diabetic rat hearts. The American Physiological
Society 1 (1): 175-183.
Biofarmasi 3 (1): 7-10, Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242 DOI: 10.13057/biofar/f030102
© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Abstract. The objectives of this research were to find out the influence and optimal different shading on growth,
nitrogen, carotenoid, and chlorophyll content of Gynura procumbens leaf. Research was carried out in the greenhouse of
Faculty of Agriculture Sebelas Maret University and Central Laboratory Sebelas Maret University Surakarta, in June until
October 2003. Completely randomized design with single factor was used as follow: 0%, 40%, and 70% shading with 10
replications each treatment. Observation including growth parameters (plant height, surface leaf’s area, dry weight) and
the contents of nitrogen, chlorophyll, and carotenoid. Data collected were analyzed using analysis of variance (ANOVA)
followed by DMRT test at 5% confidence level and regression test. The result indicated that 40% shading had proven to
increase growth parameters, 70% shading giving significant effect on nitrogen and chlorophyll content, while 0% shading
showed to increase carotenoid content.
daun yang lebih kecil dibandingkan perlakuan yang Dengan demikian dapat diketahui bahwa
lainnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa proporsi naungan 0% mengakibatkan meningkatnya
klorofil b dalam tanaman di tempat ternaungi lebih kandungan karotenoid daun. Sedangkan pada
tinggi daripada tanaman yang berada di daerah naungan 70% menghasilkan kandungan karotenoid
terik matahari (Amini dkk., 1990). Klorofil b terjadi daun yang lebih kecil dibandingkan perlakuan yang
akibat adaptasi klorofil a pada kondisi ternaungi. lainnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
Menurut Bidwell (1979) kloroil b terjadi dari klorofil karotenoid berfungsi melindungi klorofil dari
a yang mengalami oksidasi sehingga gugus CH3 kerusakan akibat oksidasi oleh O2 saat tingkat
pada cincin II dalam klorofil a berubah menjadi penyinaran tinggi (Kimball, 1994; Dwidjoseputro,
gugus aldehida pada molekul klorofil b. 1994; Schooley, 1996; Mowli et al. dalam Nastiti,
1999). Ini berarti kandungan karotenoid tinggi pada
Kandungan klorofil total tanaman di bawah intensitas cahaya tinggi.
Parameter ini menunjukkan kandungan klorofil
yang berpengaruh pada proses metabolisme
tumbuhan melalui proses fotosintesis. Hasil analisis KESIMPULAN
varian menunjukkan bahwa perlakuan naungan 0%,
40% dan 70% berpengaruh nyata terhadap Perlakuan dengan menggunakan naungan 40%
kandungan klorofil total daun G. procumbens. Data berpengaruh nyata dalam meningkatkan
rata-rata kandungan klorofil total teruji pada Tabel pertumbuhan G. procumbens, yaitu pada luas daun,
1. Kandungan klorofil total terbesar terdapat pada dan berat kering. Perlakuan dengan menggunakan
perlakuan naungan 70% dan terendah pada naungan 70% berpengaruh nyata dalam
perlakuan naungan 0%. Hasil menunjukkan data meningkatkan kandungan nitrogen dan klorofil.
kandungan nitrogen daun berbeda nyata. Perlakuan naungan 0% meningkatkan kandungan
Dengan demikian dapat diketahui bahwa karotenoid daun G. procumbens.
naungan 70% mengakibatkan meningkatnya
kandungan klorofil total daun. Sedangkan pada
naungan 0% menghasilkan kandungan klorofil total DAFTAR PUSTAKA
daun yang lebih kecil dibandingkan perlakuan yang
lainnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Amini, S. Pramono, C.J. Soegihardjo, dan H. Hartiko.
berdasarkan bobot, daun pada kondisi ternaungi 1990. Biokimia Tumbuhan. Yogyakarta: PAU
Bioteknologi UGM.
umumnya mempunyai klorofil yang lebih banyak
Bidwell, R.G.S. 1979. Plant Physiology. 2nd ed. New York:
(Salisbury dan Ross, 1995). Jumlah klorofil yang Macmillan Publishing Co. Inc.
lebih banyak pada tanaman di bawah naungan 70% Bonner, J. 1965. Plant Biochemistry. New York: Academic
berfungsi untuk memaksimalkan penyerapan Press.
cahaya pada kondisi cahaya rendah. Klorofil pada Ermawati, R. 1990. Kandungan Klorofil Daun Pinus
tanaman ternaungi tersusun dalam keadaan merkusii yang Tumbuh di sekitar Sumur Eksplorasi
fototaksis (Salisbury dan Ross, 1995). Panas Bumi Kamojang Jawa Barat. [Skripsi].
Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Fitter, A.H. and R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan
Kandungan karotenoid
Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kandungan karotenoid merupakan parameter Gardner, F.P. 1995. Fisiologi Tanaman Budidaya
yang menunjukkan kandungan karotenoid yang Penerjemah: Susilo, H. Jakarta: UI Press.
berpengaruh pada proses metabolisme tumbuhan Nastiti, W.K. 1999. Klorofil daun angsana dan mahoni
melalui proses fotosintesis. Hasil analisis varian sebagai bioindikator pencemaran udara. Dalam:
menunjukkan bahwa perlakuan naungan 0%, 40% Lingkungan dan Pembangunan. Jakarta: Universitas
dan 70% berpengaruh nyata terhadap kandungan Indonesia.
karotenoid daun G. procumbens. Data rata-rata Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan.
Jilid 3. Bandung: Penerbit ITB.
kandungan karotenoid teruji pada Tabel 1.
Sastroamidjojo, S.A. 1962. Obat Asli Indonesia. Jakarta:
Kandungan karotenoid terbesar terdapat pada PT. Pustaka Rakyat.
perlakuan naungan 0% dan terendah pada Veenman, N. 1927. De Nuttige Planten van Indonesia I.
perlakuan naungan 70%. Hasil uji DMRT Jakarta: Ruggrok and Co.
menunjukkan data kandungan karotenoid daun
berbeda nyata.
Biofarmasi 3 (1): 11-15 Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242 DOI: 10.13057/biofar/f030103
© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Growth, saponin and nitrogen content of common plantain (Plantago major L.)
tissue with gibberellic acid application (GA3)
Abstract. The aims of this research were to study application effect on growth, saponin content and tissue nitrogen of
common plantain (Plantago major L.). P. major was one of plant which has potency as a medicinal plant. The addition of
GA3 exogenous to the plant would cause GA3 binding with receptor protein in the plasma membrane region, which caused
specific gene activation, so that specific RNA molecule formed, and would trigger one or more enzyme forming which
regulate plant growth and influence protein synthesis also plant secondary metabolite production. Data elicited by
completely randomized design (CRD) with single factor (GA3 application). The application of GA3 was done once a week
for two months, with following concentrations: 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm and 100 ppm, each treatment with five
replications. The measurement of leaves width, dry weight, saponin content and nitrogen tissue were done after harvest.
Data obtained were analyzed by using analysis of variance (ANOVA), and followed by DMRT 5% confidence level. The
result showed that GA3 application giving significant effect to dry weight and saponin content, but was not give significant
effect to leaves width and tissue nitrogen content. The highest GA3 concentration for increased leaves width was 50 ppm.
The highest dry weight and saponin content was on 75 ppm GA3 application, whereas for the highest tissue nitrogen was
on 25 ppm GA3 treatment.
Zat pengatur tumbuh yang dikenal juga sebagai pemberian GA3 dengan lima taraf, yaitu 0, 25, 50,
hormon tumbuhan (fitohormon) dapat menimbulkan 75 dan 100 ppm. Masing-masing perlakuan dengan
tanggapan secara biokimia, fisiologis dan lima ulangan.
morfologis, salah satunya adalah giberelin (GA). GA,
khususnya GA3 dilaporkan banyak digunakan untuk Pelaksanaan penelitian
meningkatkan kualitas tumbuhan, diantaranya Persiapan tanaman P. major. Dipilih biji P.
adalah untuk meningkatkan hasil dan juga untuk major yang akan digunakan yang masih baik, tidak
memperbesar kadar bahan aktif pada pepermin pecah dan ukurannya seragam. Biji disemai dalam
(Mentha piperita L.). Aplikasi GA3 dengan kotak persemaian, dilaksanakan pada pagi hari.
konsentrasi 50 ppm berpengaruh baik dalam Setelah tumbuh 3-5 helai daun, dipindah ke polibag.
meningkatkan biomassa daun tanaman Mentha Untuk pemeliharaan dilakukan penyiraman sekali
piperita L. (Chairani, 1988). Widiastuti et al. (1993) sehari pada waktu pagi hari.
juga melaporkan bahwa penyemprotan GA3 dengan Media tanam. Tanah yang sudah dikeringangin-
konsentrasi 50 ppm pada Phyllanthus niruri L. dapat kan diayak dengan ayakan yang berukuran 2 mm.
meningkatkan hasil herba. Tanah dicampur dengan pupuk kompos, sebanyak 3
Abidin (1994) menjelaskan bahwa hormon dapat kg untuk masing-masing polibag, dengan
mengatur proses-proses fisiologi tanaman, karena perbandingan 2:1.
hormon mempengaruhi sintesis protein dan Perlakuan. Disiapkan larutan GA3 dengan
mengatur aktivitas enzim. Adanya peningkatan konsentrasi masing-masing 25, 50, 75 dan 100
sintesis protein sebagai bahan baku penyusun ppm, yang dibuat dengan cara melarutkan GA ke
enzim dapat memacu kerja enzim dalam proses dalam aquades. Perlakuan diberikan mulai 2 minggu
metabolisme tanaman. Hal ini dapat meningkatkan setelah tanam sampai pemanenan yaitu 2 bulan.
pertumbuhan yang nantinya dapat meningkatkan Pada helaian daun secara merata disemprot dengan
biosintesis metabolit sekunder (Taiz dan Zeiger, GA3 sesuai dengan perlakuan masing-masing.
1998). Mengingat pentingnya manfaat P. major Penyemprotan dilakukan tiap 1 minggu sekali pada
sebagai alternatif tumbuhan obat tradisional, dan waktu pagi hari. Pada masing-masing tanaman
selama ini belum dibudidayakan secara luas, maka disemprot sebanyak 5 ml GA3 (5 kali penyemprotan
dirasa perlu dilakukan penelitian yang bertujuan dengan tekanan yang sama) dengan digunakan
mempelajari pengaruh pemberian GA3 terhadap hand sprayer dan tanaman ditutup dengan tudung
pertumbuhan, kadar saponin dan nitrogen jaringan plastik. Jarak antar tanaman 10 cm (Chairani,
tanaman P. major. 1988).
Pengamatan. Luas daun dihitung dengan
metode gravimetri (Sitompul dan Guritno, 1995)
BAHAN DAN METODE LD = Wr x LK
Wt
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli LD = luas daun
sampai Oktober 2003, bertempat di rumah kaca, Wr = berat kertas replika daun
Sub Laboratorium Biologi, Laboratorium Pusat MIPA, Wt = berat total kertas
Universitas Sebelas Maret. Analisis nitrogen jaringan LK = luas total kertas
dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Berat kering tanaman diukur dengan cara
Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. seluruh tanaman dikeringkan dengan oven pada
suhu 60˚C sampai dicapai berat kering yang
Bahan dan alat konstan, yakni selama lima hari.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian Analisis kadar saponin dengan metode
ini meliputi: biji tanaman Plantago major, tanah, spektrofotometer-uv, dengan langkah sebagai
ZPT GA3 (masing-masing dengan konsentrasi 0, 25, berikut: 0,1 g daun yang telah dikeringkan hingga
50, 75 dan 100 ppm), aquades, etanol 70 %, pupuk mencapai berat konstan digerus dengan mortal
kompos. Untuk penentuan kadar saponin digunakan hingga menjadi serbuk halus, kemudian dilarutkan
etanol 70 % dan saponin Merck. Untuk penentuan dalam 10 ml etanol 70% dalam tabung reaksi.
N-jaringan digunakan H2SO4 pekat, NaOH pekat, Serbuk tersebut diekstraksi di atas penangas air
Na2SO4, CuSO4, Na2SO3, Se, asam borat, indikator pada suhu 80°C selama 15 menit. Absorbansi dari
methil merah-BCG, HCl 0,02 N dan aquades. hasil ekstraksi diukur dengan spektrofotometer uv-
Alat-alat yang digunakan meliputi: polibag, hand vis pada panjang gelombang 365 nm dan digunakan
sprayer, gelas beker, pipet, batang pengaduk, saponin Merck sebagai larutan standar. Nilai
timbangan analitik, oven, gelas ukur, gunting, konsentrasi yang terbaca adalah kadar saponin
kertas payung, ayakan tanah, termometer, labu (Stahl, 1985). Analisis kadar nitogen (N) jaringan
Kjeldahl, lemari asam, alat destilasi, kertas label, dengan metode Kjeldahl (Sudarmadji et al., 1981)
penangas air, tabung reaksi, mortal, perangkat
spektrofotometer dan tudung plastik. Analisis data
Data yang diperoleh diuji dengan analisis varian
Cara kerja (ANAVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan
Rancangan percobaan terhadap parameter yang diukur. Jika terdapat beda
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan nyata, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan’s
Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal, yaitu Multiple Range Test (DMRT) taraf 5%.
KHRISTYANA dkk. – Pengaruh asam giberelat terhadap Plantago major L. 13
Peningkatan berat kering tanaman ini juga dapat mempengaruhi ekspresi gen yang dapat
disebabkan oleh luas daun. Adanya peningkatan menyebabkan serangkaian proses-proses
pada luas daun diikuti juga oleh peningkatan berat metabolisme. Dalam Manitto (1992) dijelaskan
kering tanaman. bahwa tahap awal pembentukan saponin berasal
dari proses glikolisis membentuk asam piruvat.
Kadar saponin Asam piruvat yang terbentuk dioksidasi membentuk
Penelitian tanaman obat tradisional, dalam asetil ko-A. Asetil ko-A merupakan sumber atom
bentuk zat kimia murni yang dihasilkan dengan karbon dalam sintesis saponin. Sedangkan dalam
pemisahan dari bahan tanaman obat tradisional Murray et al. (1996) dan Hopkins (1999) dijelaskan
tersebut, sudah banyak dilakukan. Zat kimia murni bahwa biosintesis saponin dapat dibagi menjadi lima
ini merupakan suatu senyawa metabolit sekunder tahap yaitu (1) asam mevalonat, yang merupakan
hasil metabolisme lebih lanjut dari metabolit primer senyawa enam karbon disintesis dari asetil ko-A, (2)
seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat melalui
nukleat (Herbert, 1995). Salah satu golongan pelepasan CO2, (3) enam unit isoprenoid
metabolit sekunder yang banyak diteliti adalah mengadakan kondensasi untuk membentuk
saponin. Menurut Manitto (1992) nilai ekonomi yang senyawa antara yaitu skualen, (4) skualen
lain dari saponin selain sebagai bahan baku obat mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa
tradisional adalah penggunaan senyawa tersebut terpenoid, (5) senyawa terpenoid ini akan berikatan
sebagai bahan dasar industri hormon seks, dengan glukosa membentuk saponin. Berdasarkan
kortikosteroid dan turunan steroid. uraian di atas diketahui bahwa terdapat kesamaan
Hasil analisis sidik ragam tanaman P. major jalur pembentukan saponin dan giberelin, yaitu
menunjukkan bahwa GA3 memberikan kadar keduanya disintesis dari asetil ko-A melalui asam
saponin yang berbeda nyata pada taraf uji 5%. Data mevalonat sebagai prekusornya. Penambahan GA
pengaruh GA3 terhadap kadar saponin tersaji pada eksogen akan memenuhi kebutuhan hormon dalam
Tabel 1. Semakin tinggi konsentrasi GA3 yang tumbuhan, sehingga asam mevalonat yang
diberikan menyebabkan kadar saponin dalam terbentuk lebih diarahkan untuk menghasilkan
tanaman semakin meningkat, hanya pada senyawa metabolit sekunder yaitu saponin.
konsentrasi GA3 100 ppm kadar saponin tanaman Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi
mengalami penurunan. Kadar saponin tertinggi saponin akan meningkat seiring dengan
diperoleh dari perlakuan GA3 75 ppm. peningkatan konsentrasi GA3, tetapi ketika
Fitohormon, dalam hal ini GA3, mempengaruhi mencapai konsentrasi GA3 100 ppm, produksi
metabolisme asam nukleat yang berperan dalam saponin mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan
sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim untuk disebabkan konsentrasi GA3 di atas 75 ppm yaitu
pertumbuhan tanaman. Adanya peningkatan 100 ppm merupakan respon kejenuhan. Pada saat
sintesis protein sebagai bahan baku penyusun GA3 diberikan, dapat mempengaruhi sintesis
enzim dapat memacu kerja enzim dalam proses saponin; setelah itu sintesis saponin akan terus
metabolisme tanaman. Hal ini dapat meningkatkan meningkat sampai mencapai titik jenuh yaitu pada
laju pertumbuhan yang nantinya dapat konsentrasi yang optimum dari GA3. Pemberian GA3
meningkatkan biosintesis metabolit sekunder, salah dengan konsentrasi yang terus meningkat
satunya adalah saponin. menyebabkan sintesis saponin terganggu, karena
Penambahan GA3 dapat menyebabkan GA3 menjadi bersifat racun atau menghambat
peningkatan pembelahan sel yang diikuti sintesis saponin, sehingga terjadi penurunan kadar
perbanyakan diri, sehingga terjadi peningkatan laju saponin (Salisbury dan Ross, 1995a, b). Produksi
pertumbuhan tanaman, diikuti dengan peningkatan saponin P. major juga berkaitan dengan luas daun
kadar saponin tanaman. Hal ini kemungkinan tanaman (Tabel 1). Pada luas daun tanaman yang
karena senyawa skualen yang dihasilkan tanaman besar, saponin yang disintesis juga tinggi.
langsung diubah menjadi saponin. Skualen ini
merupakan senyawa antara sintesis terpenoid yang Kadar nitrogen jaringan
dihasilkan melalui jalur asam mevalonat. Wattimena Nitrogen (N) pada umumnya merupakan faktor
(1991) mengemukakan bahwa enzim memegang pembatas utama dalam produksi biomassa
peranan penting dalam setiap proses metabolisme, tanaman. Biomassa tanaman rata-rata mengandung
maka setiap proses yang dapat mengatur sintesis, nitrogen sebesar 1-2% dan bahkan mungkin
aktivasi, perombakan dan inaktivasi dari enzim sebesar 4-6% (Gardner et al., 1991). Pada
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap proses tanaman, nitrogen pada prinsipnya dibutuhkan
fisiologi dan biokimia tanaman. Hormon tanaman untuk sintesis protein, baik struktural maupun
berperan dalam pengikatan membran protein yang enzimatik. Enzim bertanggungjawab untuk sintesis,
berpotensi untuk aktivitas enzim. Hasil pengikatan baik itu protein, lemak, pigmen, maupun komponen
ini mengaktifkan enzim tersebut dan mengubah struktur sel lainnya. Senyawa-senyawa ini nantinya
substrat menjadi beberapa produk baru. Produk akan menyusun tubuh tanaman dan dibutuhkan
baru ini selanjutnya menyebabkan serentetan untuk pertumbuhan sel dan organ, termasuk
reaksi-reaksi sekunder, yang salah satunya adalah produksi biomassa tanaman (Lawlor et al., 2001).
pembentukan metabolit sekunder. Analisis sidik ragam pada tanaman P. major
Pengendalian beberapa enzim tertentu sesudah menunjukkan bahwa perlakuan GA3 tidak
terjadi penerimaan hormon eksogen, pada awalnya memberikan pengaruh yang nyata pada kadar
KHRISTYANA dkk. – Pengaruh asam giberelat terhadap Plantago major L. 15
nitrogen jaringan. Pada Tabel 1 terlihat bahwa Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991.
kadar nitrogen jaringan tertinggi diperoleh pada Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: Susilo, H.
perlakuan GA3 konsentrasi 25 ppm, dan kadar Jakarta: UI Press.
Harjadi, S.S. 1993. Pengantar Agronomi. Jakarta: P.T.
terendah diperoleh pada konsentrasi 50 ppm.
Gramedia.
Pada penelitian ini diperoleh hasil, pada saat Herbert, R.B. 1995a. Biosintesis Metabolit Sekunder.
aktivitas nitrogen reduktase tinggi, kadar nitrogen Penerjemah: Srigandono, B. Semarang: IKIP Press.
jaringannya rendah. Hal ini kemungkinan karena Hopkins, W.G. 1999. Introduction to Plant Physiology, 2nd
kandungan nitrogennya telah diangkut ke organ edition. New York: John Wiley and Sons, Inc.
reproduktifnya, dalam hal ini diangkut ke buah dan Kusumaatmaja, S. 1995b. Atlas Keanekaragaman di
biji. Menurut Salisbury dan Ross (1995a, b) pada Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan
tumbuhan herba tahunan, sebagian besar nitrogen Hidup dan KONPHALINDO.
Lawlor, D.W., G. Lemaire, and F. Gastal. 2001. Nitrogen,
dan unsur lain yang bergerak di floem akan
plant growth and crop yield. In: Lea, P.J. and J.F.
diangkut menuju tajuk dan akar setelah kebutuhan Gaudry (eds.). Plant Nitrogen. Berlin, Heidelberg,
nitrogen biji terpenuhi. Rendahnya nitrogen jaringan Jerman: Springer-Verlag.
pada pengukuran kemungkinan juga disebabkan Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Penerjemah:
karena nitrogen merupakan unsur yang sifatnya Koensoemardiyah. Semarang: IKIP Press.
mobil, nitrogen akan berpindah dari jaringan tua ke Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, dan V.M. Rodwell.
jaringan muda, sehingga defisiensi nitrogen akan 1996. Biokimia Harper. Penerjemah: Hartono, A.
tampak pertama kali pada daun–daun yang lebih Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Osbourn, A.E. 2003. Saponin in cereals. Phytochemistry 62
tua (Gardner et al., 1991).
(1). http://www.sciencedirect.com/science. [22 Mei
2003].
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan,
KESIMPULAN DAN SARAN Biokimia Tumbuhan. Jilid 2. Penerjemah: Lukman, D.R.
dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan,
kesimpulan yaitu pemberian GA3 berpengaruh Biokimia Tumbuhan. Jilid 3. Penerjemah: Lukman, D.R.
secara nyata terhadap berat kering dan kadar dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB.
Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis
saponin, tetapi tidak berbeda nyata terhadap luas
Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: UGM Press.
daun dan kadar nitrogen jaringan. Konsentrasi GA3 Stahl, E. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan
yang tertinggi untuk meningkatkan luas daun Mikroskopi. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I.
adalah 50 ppm. Kadar saponin dan berat kering Sudiro. Bandung: Penerbit ITB.
yang tertinggi yaitu pada pemberian GA3 75 ppm, Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1981. Prosedur
sedangkan untuk nitrogen jaringan tertinggi pada Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
perlakuan GA3 25 ppm. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Dengan melihat hasil penelitian, disarankan Syamsuhidayat, S.S. dan J.R. Hutapea. 1991. Inventaris
Tanaman Obat Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Pusat
untuk melakukan penelitian dengan menggunakan
Penelitian Farmasi, Badan Penelitian dan
konsentrasi GA3 yang lebih dipersempit yaitu pada Pengembangan Kesehatan Depkes RI.
kisaran antara 50-75 ppm. Diharapkan pada Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiology. Sunderland:
konsentrasi ini dapat diperoleh hasil yang lebih Sinauer Associates, Inc. Publishers.
optimal. Tampubolon, O.T. 1995. Tumbuhan Obat. Jakarta:
Penerbit Bhatara.
Wattimena, G.A. 1991. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Bogor: PAU IPB.
Widiastuti, Y., J.R. Hutapea, dan Suhadi. 1993. Usaha
peningkatan hasil biomassa Phyllanthus niruri L.
Abidin, Z. 1994. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat
melalui pemberian asam giberelat. Warta Tumbuhan
Pengatur Tumbuh. Bandung: Penerbit Angkasa.
Obat Indonesia 2 (4): 1-37.
Chairani, F. 1988. Pengaruh aplikasi fitohormon asam
Wijayakusuma, H.M.H., A.S. Wirian, I. Yaputra, S.
giberelat terhadap biomassa tajuk dan koefisien partisi
Dalimartha, dan B. Wibowo. 1994. Tanaman Berkhasiat
fotosintat tanaman peppermin. Pemberitaan Penelitian
Obat di Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Kartini.
Tanaman Industri 14 (1-2): 28-33.
Biofarmasi 3 (1): 16-21, Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242 DOI: 10.13057/biofar/f030104
© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
The influence of indol acetic acid on growth, quantity and diameter of secretory
cells of turmeric rhizome (Curcuma domestica Val.)
Abstract. The aims the research were to study the influence of indol acetic acid (IAA) on growth, quantity and diameter
of secretory cells of Curcuma domestica rhizome. Indol acetic acid has ability to stimulate division, enlargement and
differentiation of parenchymal cell. Completely randomized design (CRD) with one factor of IAA application with
concentration of 0, 100, 200, and 300 ppm subsequently in with triplicate was used in this study. The first application
given when the plant was one month age, and then given once every two weeks until the plant was four months age.
Parameters of growth including height, quantity and width of leaves were observed once every two weeks. The last
observation was done for wet and dry weight of plant and rhizome. Anatomical parameter was done by preparing a semi-
permanent preparat, and continued with observation of quantity and diameter of the secretory cells. Data were then
analyzed statistically by Anova followed with DMRT in 5% confidence level. The results indicated that IAA significantly
influences plant height, leave width, plant weight at 200 ppm. Higher concentration of IAA raised the quantities of
secretory cells, but decrease secretory cells diameters.
dipilih yang seragam, larutan IAA dengan berbagai ulangan dan masing-masing ulangan diamati
konsentrasi, alkohol 70%, kloralhidrat, safranin 1%, dengan sepuluh bidang pandang. Langkah terakhir
akuades, cat kuku bening, pupuk kompos, tanah dilakukan pemotretan menggunakan kamera digital.
tipe regosol, plastik, pasir kali yang sudah dicuci
bersih dan diayak. Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis
Cara kerja varian dan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak dengan DMRT taraf 5%.
lengkap (RAL) dengan faktor tunggal IAA (I) yaitu:
I0 = konsentrasi IAA 0 ppm, I1 =konsentrasi IAA
100 ppm, I2 = konsentrasi IAA 200 ppm, I3 = HASIL DAN PEMBAHASAN
konsentrasi IAA 300 ppm. Masing-masing perlakuan
dengan tiga ulangan. Pertumbuhan tanaman
Persiapan media, meliputi media pertunasan Perlakuan IAA dengan berbagai konsentrasi pada
yang terdiri dari pasir kali, dan media penanaman penelitian ini diberikan pada tanaman kunyit
yang terdiri dari campuran tanah: kompos dengan berumur satu bulan sampai saat panen muda yaitu
perbandingan 1: 1 (Pudjiasmanto, 2000). umur 4 bulan. Hasil penelitan dapat dilihat pada
Persiapan bibit, bibit dipilih yang seragam Tabel 1.
berumur 9 bulan, kemudian dipotong dan ditimbang
dengan berat yang sama. Bibit ditunaskan pada Tinggi tanaman
media pertunasan dan disiram dua kali sehari pagi Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui
dan sore. Setelah tanaman bertunas setinggi 5 cm bahwa perlakuan akan memberikan pengaruh yang
dipindahkan ke dalam polybag (Pudjiasmanto, nyata pada konsentrasi 200 ppm. Secara
2000). keseluruhan pemberian IAA akan meningkatkan
Pemberian IAA, dilakukan saat tanaman tinggi tanaman, kecuali pada konsentrasi 100 ppm.
berumur satu bulan, dengan cara menyemprotkan Hal ini dimungkinkan konsentrasi IAA yang
larutan hormon tumbuh tersebut secara merata diberikan tidak optimal sehingga pemberian ini
pada daun sebanyak 5 ml. Penyemprotan dilakukan justru akan menghambat pertumbuhan tanaman itu
dua minggu sekali sampai tanaman berumur 4 sendiri (Hopkins, 1995). Noggle dan Fritz (1983)
bulan (Azhar, 1991). menambahkan bahwa pemberian IAA akan mening-
Pemeliharaan tanaman, dilakukan dengan katkan pemanjangan sel terutama ke arah vertikal
cara menyiramkan air ledeng sebanyak 100 ml tiap sehingga akan meningkatkan tinggi tanaman,
polybag sehari satu kali. Penyiangan dan seperti pada konsentrasi 200 dan 300 ppm.
penggemburan dilakukan tiap satu minggu sekali. Auksin (IAA) berperan terhadap pelonggaran
Pengamatan parameter pertumbuhan, dinding sel dengan melepaskan ikatan hidrogen
meliputi: yang terdapat pada dinding sel. Ikatan hidrogen
(i) Pengamatan tinggi tanaman. dapat dipengaruhi suhu, tetapi terutama oleh ion
(ii) Jumlah dan luas daun, jumlah daun dihitung proton (H+). Untuk pemanjangan suatu jaringan
secara manual, luas daun dihitung dengan diperlukan pH sekitar 4,0. Telah diketahui bahwa
metode gravimetri. kation dan anion termasuk H+ bergerak melalui
(iii) Berat basah tanaman dan rimpang. membran plasma oleh suatu proses yang dikenal
(iv) Berat kering tanaman dan rimpang. dengan istilah pompa ion. Peranan IAA adalah akan
Pembuatan dan pengamatan preparat mengaktifkan pompa ion pada plasma membran
anatomi. Pengamatan anatomi rimpang dilakukan yang akan menyebabkan tertimbunnya ion H+ pada
dengan cara membuat terlebih dahulu preparat dinding sel, sehingga terjadilah pelonggaran pada
semi permanen rimpang kunyit umur 4 bulan dinding sel (Noggle dan Fritz, 1983; Wattimena,
dengan metode dari Sass (1958). Pengamatan 1991).
diameter dan jumlah sel sekretori dilakukan pada Mekanisme pelonggaran dinding sel dipengaruhi
perbesaran 100 kali dengan luas bidang pandang oleh proses pengaktifan gen yang terlibat dalam
2,6867 mm2. Pengamatan dilakukan dengan tiga sintesis protein. Pengontrolan sintesis protein
Tabel 1. Pengaruh berbagai konsentrasi IAA terhadap pertumbuhan tanaman kunyit sampai umur 4 bulan.
Rata-rata
Konsentrasi
Tinggi Jumlah Luas daun Berat basah Berat kering Berat basah Berat kering
IAA (ppm)
Tanaman (cm) daun (cm2) tanaman (g) tanaman (g) rimpang (g) rimpang (g)
0 24,957a 3,857a 106,40a 5,608a 0,659a 4,525a 0,489a
100 24,100a 3,762a 115,43a 6,112a 0,697a 2,843a 0,289a
b a b b b a
200 32,619 3,810 211,10 15,455 1,671 4,755 0,960a
300 26,119a 3,762a 144,12a 10,029ab 1,180ab 4,011a 0,453a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada analisis
DMRT taraf 5%.
18 Biofarmasi 3 (1): 16-21, Pebruari 2005
sendiri diatur oleh gen pengatur, gen operator dan dimulai dari pembelahan, pembesaran dan
gen struktural. Kombinasi antara gen struktural dan diferensiasi sel. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh
gen operator disebut operon. Gen pengatur keberadaan hormon tumbuh seperti IAA. Hasil
berperan dalam membentuk protein pengatur yang percobaan sejalan dengan pendapat Noggle dan
disebut represor. Represor ini berperan dalam Fritz (1983) bahwa pemberian IAA eksogen
menjaga gen operon dalam keadaan tertutup dan berperanan dalam menghambat pertumbuhan dari
keadaan ini menandakan operon tidak aktif. Molekul ibu tulang daun. Penghambatan pembentukan ibu
induser dalam hal ini IAA apabila bergabung dengan tulang daun tersebut juga akan menghambat
operon yang tidak aktif akan menonaktifkan pembentukan dari daun itu sendiri.
represor sehingga akan mengaktifkan operon. Berdasarkan rerata hasil penelitian dari Tabel 1
Operon yang aktif menandakan dapat terjadinya dapat diketahui bahwa luas daun tertinggi dicapai
transkripsi mRNA yang kemudian akan pada konsentrasi 200 ppm dan luas daun terendah
mengarahkan translasi protein enzim ATP-ase. pada konsentrasi 0 ppm. Hasil analisis varian yang
Pemberian IAA dapat meningkatkan sintesis enzim dilanjutkan DMRT taraf 5% menunjukkan bahwa
ini sehingga H+ akan dipompakan keluar. Peristiwa pemberian IAA pada konsentrasi 200 ppm
ini akan menyebabkan lingkungan menjadi asam. memberikan beda yang nyata antar perlakuan
Pada kondisi asam enzim-enzim yang dapat lainnya. Pemberian IAA akan meningkatkan luas
memotong ikatan antara dinding sel akan daun yang terbentuk. IAA berperanan dalam
teraktifkan, di antaranya glukonase yang akan pembentukan jaringan mesofil daun. Pemberian IAA
menghidrolisis rantai utama hemiselulosa, akan memacu pembentukan jaringan ini sehingga
xylosidase berperan dalam rantai cabang dari rantai luas daun yang terbentuk juga akan semakin
utama xyloglukan, transglikosidase yang dapat bertambah (Noggle dan Fritz, 1983).
memotong dan menggabungkan selulase, dan Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa
pektinase yang akan menghidrolisis rantai penyusun secara keseluruhan pemberian IAA akan
pektin. Proses ini menyebabkan pelonggaran meningkatkan luas daun yang terbentuk,
dinding sel, sehingga air dapat masuk dan tekanan dibandingkan dengan kontrol terlihat dari nilainya
turgor akan naik. Tekanan turgor yang naik akan yang lebih tinggi. Luas daun mengalami
menyebabkan sel mengembang dan apabila peningkatan setiap pengamatan dan sampai pada
pengembangan sel berlangsung searah misal ke titik optimum lalu mengalami penurunan pada
arah vertikal akan menyebabkan pemanjangan sel. minggu kesepuluh. Pertambahan luas daun secara
Hal ini dapat terlihat dari peningkatan tinggi pesat terjadi pada fase awal dari pertumbuhan
tanaman pada penelitian ini (Taiz dan Zeiger, suatu tanaman. Pertambahan luas daun ini akan
1998). berangsur-angsur naik sampai ke suatu titik lalu
Proses pembentangan dinding sel ini diakhiri akan menurun perlahan-lahan. Penurunan luas daun
dengan pembentukan dinding sel yang baru. Enzim ini disebut sebagai luas daun kritis (Gardner et al.,
yang berperan dalam pembentukan dinding sel 1991).
adalah XET (xyloglucans endotrans glikoxylase)
yang mempunyai kemampuan untuk memotong Berat basah dan berat kering tanaman
backbone dari xyloglukan serta penggabungan salah Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa
satu ujungnya dengan ujung bebas pertama pada pemberian IAA berpengaruh nyata terhadap berat
reseptor xyloglukan. Enzim yang lain adalah basah tanaman, yaitu pada konsentrasi 200 ppm
glukosidase, pektin esterase dan berbagai oksidase menunjukkan adanya beda nyata dibandingkan
(Taiz dan Zeiger, 1998). dengan konsentrasi 0 dan 100 ppm, tetapi tidak
berbeda nyata dengan konsentrasi 300 ppm.
Jumlah dan luas daun Pemberian IAA secara keseluruhan akan
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa meningkatkan berat basah tanaman, tetapi tidak
pemberian IAA tidak memberikan beda yang nyata berpengaruh terhadap berat basah dan berat basah
terhadap jumlah daun yang terbentuk. Jumlah daun rimpang. Hal ini dimungkinkan karena rimpang yang
menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) sangat dipanen masih berada dalam kondisi panen muda,
ditentukan oleh faktor genetik. Pada percobaan ini jadi belum mencapai hasil pertumbuhan yang
terlihat bahwa faktor genetik berperan lebih optimal.
dominan dibandingkan dengan adanya perlakuan IAA berperan dalam pemanjangan sel.
IAA. Jumlah daun tanaman kunyit secara umum Pemanjangan sel ini terutama terjadi pada arah
adalah 3-8 buah (Sudarsono, 1996). Hal ini sesuai vertikal. Pemanjangan ini akan diikuti dengan
dengan hasil penelitian yang menunjukkan jumlah pembesaran sel dan meningkatnya bobot basah.
daun berkisar 3-4 buah. Peningkatan bobot basah terutama disebabkan oleh
Pemberian IAA justru menghambat pembentukan meningkatnya pengambilan air oleh sel tersebut
daun. Hal ini dapat diketahui dari jumlah rata-rata (Noggle dan Fritz,1983). Auksin (IAA) dapat
kontrol yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata- menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan
rata jumlah daun dengan perlakuan. Semakin tinggi permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan
konsentrasi IAA yang diberikan, maka semakin berkurangnya tekanan dinding sel, meningkatkan
sedikit jumlah daun yang terbentuk. Calon daun sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan
pertama kali dibentuk pada daerah apeks batang, pengembangan dinding sel (Abidin, 1982).
tempat pertumbuhan dan perkembangan akan Plastisitas dan pengembangan dinding sel didorong
WIJAYATI dkk. – Pengaruh IAA terhadap rimpang Curcuma domestica 19
Abstract. The aims of the research were: to know species diversity of fern (Pteridophyte) from Pangajaran, Wonosalam,
Jombang, to know fern species containing volatile oil, to know concentration and percentage similarity of substances and
characteristics of the substances containing in the oil, and to know the structure of cell producing volatile oil in trees and
leaf of the fern. Fern diversity was studied by field survey, volatile oil concentration measured by hydro-distillation
followed with gas chromatography to further know the components in the oil, while structure of the cell producing volatile
oil was detected cross section of the trees and leaf for microscopic analysis. Based on the data and analysis result can be
concluded that there were 13 fern species in Pangajaran. Two of the 13 species were confirmed as producing volatile oil,
Pteris beaurita Linn. and Cyathea contaminans, that were produced volatile on their leaf only. Concentration of volatile oil
of leaf P. beaurita was 0,005%, while in C. contaminans 0,01%. Percentage similarity of the volatile oil between two
species based on its Retention Time (RT) was 2,5%, at the RT point of 21.247 in P. beaurita and at RT point of 21.294 in
C. contaminans. Percentage similarity of both species based on morphological characters was 36.36%. Location of
volatile oil producing cells in both species of fern was spreadly dispersed in schlerenchyma tissue and in mesophyll tissue
of the leaf.
Cara kerja
Inventarisasi. Untuk mengenal jenis-jenis HASIL DAN PEMBAHASAN
tumbuhan paku, dilakukan inventarisasi dengan
cara menjelajahi (survei) area, diutamakan pada Jenis-jenis tumbuhan paku
tempat yang relatif ditumbuhi lebih banyak Dari hasil inventarisasi diperoleh 13 jenis
tumbuhan paku (purposive random) (Oosting, tumbuhan paku yang tergolong dalam 5 famili. Dari
1956). Identifikasi dilakukan secara langsung di berbagai jenis tumbuhan paku yang diperoleh
lapangan untuk jenis tumbuhan paku yang sudah terdapat paku epifit, paku air, dan paku tanah
dikenal, sedangkan untuk jenis yang belum dikenal (terestrial). Jenis-jenis tumbuhan paku tersebut
diidentifikasikan di laboratorium Jurusan Biologi disajikan pada Tabel 1.
FMIPA UNS dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan
Fakultas Biologi UGM Yogyakarta.
Ekstraksi minyak atsiri. Ada tidaknya minyak Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan paku di kawasan air terjun
atsiri pada setiap jenis tumbuhan paku hasil Pangajaran, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang,
inventarisasi, ditentukan dengan metode distilasi air Jawa Timur.
(hydrodistillation). Caranya sebagai berikut: Bahan
dikeringkan lalu dihaluskan hingga menjadi serbuk. Nama jenis Famili
Sebanyak 200 g (50 g x 4) serbuk batang atau daun
1. Adiantum polyphyllum Willd. Polipodiaceae
secara terpisah dimasukkan dalam labu penyulingan
2. Asplenium belangeri Polipodiaceae
dan diisi air hingga ¾ bagian dari labu (500 ml).
Kemudian labu dipanaskan di atas kompor listrik 3. Cyathea contaminans (Hook) Copel*) Cyatheaceae
dengan nyala diatur hingga penyulingan 4. Drynaria sporsisora Moora Polipodiaceae
berlangsung secara lambat dan teratur selama 5. Drynaria quersifolia J. Sm. Polipodiaceae
kurang lebih lima jam. Volume minyak atsiri yang 6. Marsilea crenata Presl. Marsileaceae
keluar dari buret dicatat (Guenther, 1987). 7. Neprolepis hirsutula (korst) Pr. Polipodiaceae
Analisis komponen minyak atsiri. Untuk 8. Polypodium membranaceum Don. Polipodiaceae
menganalisis komponen minyak atsiri agar men- 9. Pteris beaurita Linn. *) Polipodiaceae
dapat hasil yang cepat, akurat dan memisahkan 10. Pyrrosia numularifilia (sw) Ching. Polipodiaceae
campuran rumit digunakan metode GC-MS 11. Selaginella ornata Spring. Selaginellaceae
(kromatografi gas - spektrometri massa). Adapun 12. Thelypteris paleata (copel) Holtt. Thelyptericeae
kondisi kromatografi GC-MS adalah sebagai berikut: 13. Thelypteris singalanensis (Bak) Thelyptericeae
Cuplikan: minyak atsiri pada tumbuhan paku, jenis Ching Bull.
pengionan: EI (Electron Impact), gas pembawa: He,
Keterangan: *) mengandung minyak atsiri.
jenis kolom: CPSIL 5 CB dengan panjang 25 meter,
suhu awal kolom: 60ºC, suhu akhir kolom: 300ºC,
kenaikan suhu kolom: 10ºC, waktu awal kolom: 5
Kadar minyak atsiri
menit, suhu detektor: 300ºC, dan suhu injektor:
Hasil proses penyulingan air (hidrodestilasi) yang
300ºC.
telah dilakukan terhadap batang dan daun dari
Pembuatan preparat. Untuk mengetahui
berbagai jenis tumbuhan paku hasil inventarisasi di
susunan anatomi batang dan daun dari jenis paku
kawasan air terjun Pangajaran, Kecamatan
yang mengandung minyak atsiri khususnya ada
Wonosalam, Kabupaten Jombang, diperoleh dua
tidaknya sel ekskresi yang kemungkinan sebagai
jenis tumbuhan paku yang mengandung minyak
penghasil minyak atsiri tersebut, maka dibuat
atsiri yaitu P. beaurita dan C. contaminans. Kadar
penampang melintang dari batang dan daun.
minyak atsiri dari kedua jenis tumbuhan paku
Caranya bahan difiksasi, dehidrasi, dealkoholisasi,
tersebut disajikan pada Tabel 2.
infiltrasi parafin, penanaman dalam parafin,
Berdasarkan Tabel 2. terlihat jelas adanya
penyayatan (section), penempelan, pewarnaan,
perbedaan kadar minyak atsiri yang dihasilkan oleh
penutupan dan pelabelan (Soerodikoesoemo, 1987).
24 Biofarmasi 3 (1): 22-25. Pebruari 2005.
Tabel 2. Kadar minyak atsiri batang dan daun pada P. beaurita dan C. untuk batang kedua tumbuhan paku
contaminans. tersebut tidak terdeteksi adanya minyak.
Daun C. contaminans dengan metode
Jenis Rata-rata kadar
Warna minyak atsiri
penyulingan yang sama menghasilkan
tumbuhan minyak atsiri (%) kadar minyak atsiri sebesar 0,01%
paku Batang Daun Batang Daun dengan lama waktu penyulingan 5 jam.
P. beaurita 0 0,005 - Keruh kekuningan Perbedaan ini kemungkinan disebabkan
C. contaminans 0 0,01 - Jernih kekuningan oleh perbedaan jumlah sel dan ukuran
sel penghasil minyak atsiri, besarnya
kecepatan penguapan minyak pada
waktu proses penyulingan, sifat alami
Tabel 3. Nilai retention time pada P. beaurita dan C. contaminans.
bahan itu sendiri yang mudah menguap,
dan suhu yang tidak selalu stabil.
P. beaurita C. contaminans Nama dan rumus senyawa
1 9.576 - Heptanal (C7H14O) Komponen penyusun minyak atsiri P.
2 12.138 - beaurita dan C. contaminans
3 13.240 - Naphthalene,decahidro-,trans (C10H18) Jumlah atau macam komponen
4 13.474 - penyusun minyak atsiri pada daun P.
5 15.018 - beaurita dengan kromatografi gas
6 15.367 - adalah sebanyak 21 komponen,
7 15.809 - Beta,-Ionone (C13H20O) sedangkan pada C. contaminans dengan
8 16.251 - kromatografi gas adalah sebanyak 20
9 18.722 - komponen. Berdasarkan pola
10 20.193 - Hexahydropseudoionone (C13H26O) kromatogram yang terbentuk terlihat
11 20.867 - adanya senyawa utama yaitu senyawa
12 20.941 - 3-Heptyne,7-iodo-2,2-dimethyl (C9H15I) yang mempunyai kandungan persentase
13 21.094 - tinggi (> 10%). Pada P. beaurita
14 21.247 21.294 1H-Inden-1-one,5-2,3-dihydro-3,3- senyawa utama tersebut memiliki nilai
dimethyl (C15H20O) retention time 21.484 (36,33%) dan
15 21.484*) - Pentadecanoic acid (C15H30O2) 23.642 (11,20%), sedangkan pada C.
16 21.611 - Alpha,-Farnesene (C15H24) contaminans memiliki nilai retention
17 22.036 -
time 25.072 (12,02%). Nama dan rumus
18 - 22.603
kimia senyawa-senyawa yang
19 - 22.811
teridentifikasi dengan kepustakaan NIST
20 22.963 - 1-Hexacosanol (C26H54O)
Library disajikan pada Tabel 3.
21 - 23.061 Heptadecanoic acid (C17H34O2)
Daun C. contaminans yang memiliki
22 23.170 - Hexadecanoic acid (C16H32O2)
jumlah komponen punyusun minyak
23 - 23.435
atsiri lebih sedikit (20 komponen)
24 23.642*) -
dibanding dengan daun P. beaurita (21
25 - 24.253
komponen), namun memiliki kadar
26 24.623 -
minyak atsiri lebih tinggi. Data kualitatif
27 - 24.703
28 - 25.072*) 1-Iodo-2-methylundecane (C12H25I)
pada daun dari P. beaurita dan C.
29 - 25.303
contaminans berdasarkan nilai RT
30 - 25.685
(menit) disajikan pada Tabel 3.
31 - 25.862 Heptadecane,2,6-dimethyl (C19H40) Berdasarkan data kualitatif pada tabel
32 - 26.634 Hexatriacontane (C36H74) tersebut diketahui bahwa secara
33 - 27.385 Hexatriacontane (C36H74) keseluruhan terdapat 40 komponen
34 - 28.101 Hexatriacontane (C36H74) minyak atsiri pada daun P. beaurita dan
35 - 28.794 Hexatriacontane (C36H74) C. contaminans yang terdeteksi, dengan
36 - 29.486 Hexatriacontane (C36H74) prosentase persamaan 2,5%, yakni
37 - 30.240 hanya 1 senyawa yang sama. Komponen
38 - 31.072 Hexatriacontane (C36H74) tersebut terdapat pada retention time
39 - 32.025 21.247 dan 21.294.
40 - 33.118
Keterangan: *) senyawa utama (kadar > 10%) (Data selengkapnya Struktur anatomi batang dan daun
tidak ditunjukkan). Pengamatan mikroskopis menunjuk-
kan adanya sel-sel penghasil minyak
atsiri yang terletak menyebar pada
masing-masing tumbuhan paku. Dapat diketahui batang dan daun tumbuhan P. beaurita dan C.
bahwa organ yang paling potensial dalam contaminans. Sel penghasil minyak atsiri pada
menghasilkan minyak atsiri adalah daun. Daun P. batang P. beaurita dan C. contaminans terletak
beaurita dengan metode penyulingan air menyebar pada jaringan sklerenkim, sedangkan
menghasilkan kadar minyak atsiri sebesar 0,005% pada daun terletak pada jaringan mesofil. Sel-sel
dengan lama waktu penyulingan 5 jam. Sedangkan minyak tersebut tampak sebagai butiran-butiran
MARINI dkk., – Minyak atsiri pada pterydophyta 25
yang paling kuat menyerap zat warna, karena Wonosalam, Kabupaten Jombang, berjumlah 13
dalam jaringan tanaman setelah diberi pewarnaan jenis (5 famili) yaitu: Adiantum polyphyllum Willd.,
minyak atsiri akan lebih aktif mengikat zat warna. Asplenium belangeri, Cyathea contaminans (Hook)
Sekresi minyak dari kedua tumbuhan tersebut Copel., Drynaria sporsisora Moora., Drynaria
tampak di dalam sel kelenjar internal. Pada batang quersifolia J.Sm., Marsilea crenata Presl., Neprolepis
P. beaurita dan C. contaminans letak sel minyak hirsutula (korst) Pr., Polypodium membranaceum
atsiri menyebar pada jaringan sklerenkim, Don. Pteris biaurita Linn., Pyrrosia numularifilia
sedangkan pada daun sel tersebut terletak pada (Sw) Ching., Selaginella ornata Spring., Thelypteris
jaringan mesofil (Guenther, 1987). paleata (Copel) Holtt., Thelypteris singalanensis
Pada penelitian ini, setelah proses penyulingan (Bak) Ching Bull. (ii) Tumbuhan paku yang
ternyata kedua tumbuhan tersebut menghasilkan mengandung minyak atsiri sebanyak dua jenis yaitu
minyak atsiri hanya pada daunnya saja. Sedangkan P. beaurita dan C. contaminans. (iii) Kadar minyak
untuk batang tidak terdeteksi adanya minyak atsiri. atsiri pada daun P. beaurita adalah 0,005%
Hal ini sangat bertolak belakang dengan hasil sedangkan untuk batang tidak terdeteksi. Adapun
pengamatan mikroskopis yang menunjukkan kadar minyak atsiri pada daun C. contaminans
adanya sel-sel penghasil minyak atsiri pada batang adalah 0,01%, untuk batang juga tidak terdeteksi.
dan daun P. beaurita dan C. contaminans. Tidak Persentase persamaan komponen-komponen
terdeteksinya minyak atsiri pada batang kedua penyusun minyak atsiri daun antara P. beaurita dan
tumbuhan paku tersebut kemungkinan disebabkan C. contaminans adalah 2,5%. (iv) Sel penghasil
menguapnya minyak atsiri selama pra-perlakuan minyak atsiri pada batang P. beaurita dan C.
penyulingan, yaitu selama periode pengeringan contaminans terletak menyebar pada jaringan
bahan. Hilangnya minyak selama penyimpanan sklerenkim, sedangkan pada daun terletak pada
(dikeringanginkan) juga tergantung kondisi bahan jaringan mesofil.
serta komposisi kimia minyak dalam bahan itu
sendiri (Guenther, 1987). Menurut Agusta (2000),
minyak atsiri dalam suatu tumbuhan mudah
mengalami perubahan walaupun sudah dipanen, DAFTAR PUSTAKA
karena proses pembentukan senyawa kimia minyak
atsiri dalam jaringan tumbuhan berlangsung melalui Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika
reaksi enzimatis yang prosesnya juga tergantung Indonesia. Bandung: ITB Press.
pada proses penyimpanan. Pada pengamatan BPS dan Bappeda Jombang. 2001. Kabupaten Jombang
dalam Angka 2001. Jombang: BPS dan Bappeda.
mikroskopis, tampak intensitas sel-sel penghasil
Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Penerjemah:
minyak atsiri batang tumbuhan P. beaurita dalam Ketaren, S. Jakarta: UI Press.
mengikat zat warna, jauh lebih lemah dibandingkan Lembaga Biologi Nasional-LIPI (LBN-LIPI). 1979. Jenis
dengan daun. Pada daun, sel-selnya kelihatan lebih Paku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
jelas mengikat zat warna, hal ini disebabkan karena Oosting, J.H. 1956. Study of Plant Communities, Second
ukuran sel yang lebih besar. Edition, London: W.H. Freeman and Co.
Pemerintah Kabupaten Jombang. 2002. Monografi
Kecamatan Wonosalam 2002. Jombang: Pemerintah
Kabupaten Jombang.
KESIMPULAN
Soeradikoesoemo, W. 1987. Petunjuk Praktikum
Mikroteknik Tumbuhan. Yogyakarta: Laboratorium
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat Embriologi dan Mikroteknik Tumbuhan Fakultas Biologi
disimpulkan bahwa: (i) Jenis tumbuhan paku di UGM.
kawasan air terjun Pangajaran Kecamatan
Biofarmasi 3 (1): 26-31, Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242 DOI: 10.13057/biofar/f030106
© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Abstract. The phytochemical screenings and analysis of chemical compounds in ethanol extract of labu siam fruit
(Sechium edule Jacq. Swartz.) with Thin Layer Chromatography (TLC) has been carried out. Isolation was done by
Soxhlet extraction for 6 hours with petroleum ether and the residue was extracted by maceration during 24 hours with
ethanol.The isolated compounds in ethanol extract were identified by phytochemical screenings method and TLC. The
result showed the presence of alkaloid, saponin, cardenolin/bufadienol and flavonoid.
Residu kemudian dimaserasi (direndam dalam sampai heksana jernih. Residu yang tertinggal
etanol selama 24 jam disertai dengan pengadukan). dipanaskan diatas penangas air kemudian
Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan buchner ditambahkan 3 mL pereaksi FeCl3 dan 1 mL
untuk memisahkan ekstrak etanol dari ampasnya. H2SO4 pekat. Jika terlihat cincin merah bata
Filtrat yang terkumpul dipekatkan dengan destilasi menjadi biru atau ungu maka identifikasi
biasa. menunjukkan adanya kardenolin dan
bufadienol.
Analisis skrining fitokimia (ii) Metode Lieberman-Burchard yaitu dengan cara
Uji alkaloid. Uji Alkaloid dilakukan dengan menguapkan sampel sampai kering. Kemudian
metode Mayer,Wagner dan Dragendorff. Sampel ditambahkan kedalamnya 10 mL heksana,
sebanyak 3 mL diletakkan dalam cawan porselin diaduk selama beberapa menit lalu biarkan.
kemudian ditambahkan 5 mL HCl 2 M , diaduk dan Selanjutnya diuapkan diatas penangas air dan
kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. ditambahkan 0,1 g Na2S04 anhidrat lalu diaduk.
Setelah sampel dingin ditambahkan 0,5 g NaCl lalu Larutan disaring sehingga diperoleh filtrat.
diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh Kemudian filtrat dipisahkan menjadi 2 bagian, A
ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes , kemudian dan B. Filtrat A sebagai blangko dan filtrat B
dipisahkan menjadi 4 bagian A, B, C, D. Filtrat A ditambahkan 3 tetes pereaksi asam asetat
sebagai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer, glasial dan H2SO4, senyawa kardenolin dan
filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan bufadienol akan menunjukkan warna merah
filtrat D digunakan untuk uji penegasan. Apabila sampai ungu.
terbentuk endapan pada penambahan pereaksi (iii) Metode Kedde yaitu dengan cara menguapkan
Mayer dan Wagner maka identifikasi menunjukkan sampel sampai kering kemudian menambahkan
adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan dengan 2 mL kloroform, lalu dikocok dan disaring. Filtrat
menambahkan amonia 25% pada filtrat D hingga dibagi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A
PH 8-9. Kemudian ditambahkan kloroform, dan sebagai blangko, dan filtrat B ditambah 4 tetes
diuapkan diatas waterbath. Selanjutnya reagen Kedde. Senyawa kardenolin dan
ditambahkan HCl 2M, diaduk dan disaring. Filtratnya bufadienol akan menunjukkan warna ungu
dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat A sebagai blangko, Uji flavonoid. Sebanyak 3 mL sampel diuapkan,
filtrat B diuji dengan pereaksi Mayer, sedangkan dicuci dengan heksana sampai jernih. Residu
filtrat C diuji dengan pereaksi Dragendorff. dilarutkan dalam 20 mL etanol kemudian disaring.
Terbentuknya endapan menunjukkan adanya Filtrat dibagi 4 bagian A, B, dan C. Filtrat A sebagai
alkaloid. blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 mL HCl pekat
Uji tanin dan polifenol. Sebanyak 3 mL sampel kemudian dipanaskan pada penangas air, jika
diekstraksi akuades panas kemudian didinginkan. terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu
Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan menunjukkan hasil yang positif (metode Bate
disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. Filtrat A Smith-Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 mL HCl
digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat B dan logam Mg kemudian diamati perubahan warna
ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam yang terjadi (metode Wilstater). Warna merah
filtrat C ditambah garam gelatin. Kemudian diamati sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna
perubahan yang terjadi. merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon,
Uji saponin. Uji Saponin dilakukan dengan warna hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau
metode Forth yaitu dengan cara memasukkan 2 mL glikosida. Filtrat D digunakan untuk uji KLT.
sampel kedalam tabung reaksi kemudian Uji antrakuinon. Uji antrakuinon dilakukan
ditambahkan 10 mL akuades lalu dikocok selama 30 dengan uji Brontrager dan uji Brontrager
detik, diamati perubahan yang terjadi. Apabila termodifikasi. Uji Brontrager dilakukan dengan cara
terbentuk busa yang mantap (tidak hilang selama melarutkan 2 mL sampel dengan 10 mL akuades
30 detik) maka identifikasi menunjukkan adanya kemudian disaring, filtrat diekstrak dengan 5 mL
saponin. Uji penegasan saponin dilakukan dengan benzena. Hasil ekstrak dibagi menjadi 2 bagian, A
menguapkan sampel sampai kering kemudian dan B. Filrat A digunakan sebagai blangko dan filtrat
mencucinya dengan heksana sampai filtrat jernih. B ditambahkan 5 mL ammonia kemudian dikocok,
Residu yang tertinggal ditambahkan kloroform, bila terdapat warna merah berarti hasil positif.
diaduk 5 menit, kemudian ditambahkan Na2SO4 Uji Brontrager termodifikasi dilakukan dengan
anhidrat dan disaring. Filtrat dibagi menjadi menjadi melarutkan 2 mL sampel dengan 10 mL 0,5 N KOH
2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat dan 1 mL larutan hidrogen peroksida. Kemudian
B ditetesi anhidrat asetat, diaduk perlahan, dipanaskan pada waterbath selama 10 menit, didi-
kemudian ditambah H2SO4 pekat dan diaduk nginkan dan disaring. Pada filtratnya ditambahkan
kembali. Terbentuknya cincin merah sampai coklat asam asetat bertetes-tetes sampai pada kertas
menunjukkan adanya saponin. lakmus menunjukkan asam. Selanjutnya diekstrak
Uji Kardenolin dan bufadienol. Uji Kardenolin dengan 5 mL benzena. Hasil ekstrak dibagi menjadi
dan Bufadienol menggunakan 3 metode yaitu 2 bagian, A dan B. Larutan A digunakan sebagai
metode Keller Killiani, metode Liebeman-Burchard blangko, sedangkan larutan B dibuat basa dengan
dan metode Kedde. 2-5 mL larutan amonia. Perubahan warna pada
(i) Metode Keller-Killiani yaitu dengan menguapkan lapisan basa diamati. Warna merah atau merah
2 mL sampel, dan mencucinya dengan heksana muda menunjukkan adanya antrakuinon.
28 Biofarmasi 3 (1): 26-31. Pebruari 2005.
Analisis kromatografi lapis Tabel1. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol labu siam.
tipis (KLT)
Uji alkaloid. Filtrat D pada Kandungan
Metode pengujian Hasil Ket.
skrining fitokimia ditambah kimia
amonia 25% hingga PH 8-9. Alkaloid Pendahuluan
Kemudian ditambahkan Mayer Endapan putih +
Wagner Endapan coklat muda +
kloroform, dan dipekatkan diatas
Dragendorff Endapan coklat muda +
waterbath. Fase kloroform Penegasan
ditotolkan pada plat silika gel Fraksi CHCl3
G60. Elusi dilakukan dengan Mayer Endapan putih +
metanol : NH4OH pekat = 200 : Wagner Endapan kuning +
3. Plat dikeringkan dan diamati Dragendorff Endapan kuning +
pada cahaya tampak, UV 254 nm Fraksi air
dan 366 nm. Kemudian plat Mayer Endapan putih +
Wagner Endapan putih kekuningan +
disemprot dengan pereaksi
Dragendorff Endapan putih kekuningan +
Dragendorff, dikeringkan dan
diamati pada cahaya tampak, UV Tanin & + FeCl3 Tidak ada perubahan -
254 nm dan 366 nm. Polifenol + Gelatin Tidak ada perubahan -
Uji saponin. Sampel
ditambah dengan HCl 2M, Saponin Pendahuluan
diaduk, direfluks 6 jam diatas -Uji Forth Membentuk buih +
waterbath, kemudian Penegasan
-Uji Lieberman Burchard Cincin warna hijau +
didinginkan. Setelah itu
dinetralkan dengan amonia, Kardenolin/ Uji Lieberman Burchard Cincin hijau +
diuapkan diatas waterbath, Bufadienol Uji Keller Killiani Merah +
ditambah n-heksana kemudian Uji Kedde Merah jambu muda +
disaring. Filtratnya kemudian
diuapkan diatas waterbath, Flavonoid Uji Bate Smith & Mertcalf Orange +
ditambah 5 tetes kloroform, dan Uji Wilstater sianidin Merah +
ditotolkan pada plat silika gel
Antraquinon Uji Borntrager Tidak ada perubahan -
G60. Elusi dilakukan dengan
Uji Brontrager termodifikasi Tidak ada perubahan -
kloroform : aseton = 4 : 1. Plat
dikeringkan dan diamati pada Keterangan: (+) = ada, (-) = tidak ada
cahaya tampak, UV 254 nm dan
366 nm. Kemudian plat
disemprot dengan SbCl3 dioven
24 jam dan disertai pengadukan. Hasil ekstrak
pada suhu 110oC selama 10 menit, dan diamati
etanol diperoleh cairan berwarna kuning. Ekstrak
pada cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm.
etanol ini selanjutnya digunakan untuk analisis
Uji kardenolin/bufadienol. Sampel ditotolkan
berikutnya.
pada plat silika gel G60. Dielusi menggunakan CHCl3
: MeOH = 1:1. Plat dikeringkan dan diamati pada
Analisis skrining fitokimia
cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm.
Komponen yang terdapat dalam ekstrak etanol
Selanjutnya disemprot dengan pereaksi kedde,
labu siam dianalisis golongan senyawanya dengan
dikeringkan di udara, dan diamati pada cahaya
tes uji warna dengan beberapa pereaksi untuk
tampak, UV 254 nm dan 366 nm. Noda biru sampai
golongan senyawa alkaloid, tanin dan polifenol,
ungu mengindikasikan adanya lakton tak jenuh.
saponin, kardenolin dan bufadienol, flavonoid, dan
Uji flavonoid. Filtrat C pada skrining fitokimia
antrakuinon. Pereaksi-pereaksi spesifik yang
ditotolkan pada plat silika gel G60. Dielusi dengan
digunakan kebanyakan bersifat polar sehingga bisa
butanol : asam asetat : air = 3:1:1, kemudian
berinteraksi dengan sampel berdasarkan prinsip
dikeringkan dan diamati pada cahaya tampak, UV
‘like dissolve like’. Hasil skrining fitokimia ekstrak
254 nm dan 366 nm. Selanjutnya plat disemprot
etanol disajikan pada Tabel 1.
dengan amonia, dikeringkan dan diamati kembali
Terbentuknya endapan pada uji Mayer, Wagner
pada cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm.
dan Dragendorff berarti dalam ekstrak etanol labu
siam terdapat alkaloid. Tujuan penambahan HCl
adalah karena alkaloid bersifat basa sehingga
HASIL DAN PEMBAHASAN
biasanya diekstrak dengan pelarut yang
mengandung asam (Harborne, 1996). Perlakuan
Ekstraksi sampel labu siam
ekstrak dengan NaCl sebelum penambahan pereaksi
Hasil ekstraksi Soxhlet 35 gram serbuk labu siam
dilakukan untuk menghilangkan protein. Adanya
dengan 350 ml petroleum eter diperoleh ekstrak
protein yang mengendap pada penambahan
encer berwarna hijau muda. Ekstraksi ini dilakukan
pereaksi yang mengandung logam berat (pereaksi
untuk mengambil komponen non polar dari sampel
Mayer) dapat memberikan reaksi positif palsu pada
buah labu siam. Residu dari ekstraksi Soxhlet
beberapa senyawa (Santos et al., 1998).
kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol selama
MARLIANA dkk. – Fitokimia buah Sechium edule 29
Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai Pada uji tanin diperoleh hasil negatif, adanya
dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai tanin akan mengendapkan protein pada gelatin.
kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk
kalium-alkaloid. Pada pembuatan pereaksi Wagner, kopolimer mantap yang tidak larut dalam air
iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida (Harborne, 1996). Reaksi ini lebih sensitif dengan
menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji penambahan NaCl untuk mempertinggi
Wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan penggaraman dari tanin-gelatin.
kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid Timbulnya busa pada uji Forth menunjukkan
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang adanya glikosida yang mempunyai kemampuan
mengendap. Reaksi yang terjadi pada uji Wagner membentuk buih dalam air yang terhidrolisis
ditunjukkan pada Gambar 2. menjadi glukosa dan senyawa lainnya (Rusdi,
1990). Reaksi pembentukan busa pada uji saponin
I 2 + I- I3- ditunjukkan pada Gambar 5. Selain uji Forth juga
coklat dilakukan uji Lieberman-Burchard yang merupakan
uji karakteristik untuk sterol tidak jenuh dan
+ KI + I2 triterpen (Santos et al., 1978).
+ I3-
N N
K+ coklat
Kalium-Alkaloid CH2OH
OH O
endapan H2O + OH
CO CO2H OH
Gambar 2. Perkiraan reaksi uji Wagner.
O
CH2OH
Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff juga OH O
OH
ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda
sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium- OH
alkaloid. Pada pembuatan pereaksi Dragendorff, 1-Arabinopiriosil-3β-asetil oleanolat Aglikon Glukosa
bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi
reaksi hidrolisis karena garam-garam bismut mudah
terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+), yang Gambar 5. Reaksi hidrolisis saponin dalam air.
reaksinya ditunjukkan pada Gambar 3.
30 Biofarmasi 3 (1): 26-31. Pebruari 2005.
Hasil positif pada uji Keller Kiliani menunjukkan Wilstater disebabkan karena terbentuknya garam
adanya deoksi gula untuk glikosida (Santos et al., flavilium (Achmad, 1986) seperti pada Gambar 8.
1978). Warna merah yang terbentuk kemungkinan
disebabkan terbentuknya kompleks. Atom oksigen
yang mempunyai pasangan elektron bebas pada
gugus gula bisa mendonorkan elektronnya pada O HCl
O
Fe3+ membentuk kompleks. Perkiraan reaksi yang + Cl-
OH OH
terjadi pada uji Keller Killiani ditunjukkan pada O
+
OH
Gambar 6. Flavonol
O O ..
CH2OH CH2OH O +O
Cl -
+
+ Cl-
OH O + FeCl3 O- -
O
OH O OH OH
OH OH
OH O-
Garam Flavilium
Deoksi gula Fe3+ merah tua
Tabel 2. Hasil uji kromatografi lapis tipis (KLT) ekstrak etanol labu siam.
Abstract. This research was aimed to isolate and identify the flavonoid compounds from curcuma’ rhizome (Curcuma
aeruginosa Roxb: Zingiberaceae). The extraction was carried out by Soxhlet method using petroleum eter, chloroform, n-
butanol and methanol as the solvent agent. Those extract then qualitatively tested to identify the presence of flavonoid.
Flavonoid then isolated from the extract of petroleum eter by column chromatography. The fraction resulted from
chromatographic was analyzed by thin layer chromatography (TLC) method. Flavonoid identification was tested by color
test, spectrophotometer UV-Vis, IR and GC-MS. The color test result showed that extract of petroleum eter, chloroform
and n-butanol contain flavonoid. The analyzed single fraction from column chromatography showed that f2 contains
isoflavone with 2 methoxy and 1 ethyl substitutes, f4 contains isoflavone with 2 methoxy substitutes, then f9 contains
isoflavone with 1 hydroxy and 2 methoxy substitutes.
orto-hidroksi, dimerisasi (pembentukan) biflavonoid, eluen yang sesuai untuk langkah selanjutnya yaitu
pembentukan bisulfat, dan terpenting glikosilasi kromatografi kolom.
gugus hidroksi (pembentukan flavonoid O-glikosida) Penentuan eluen pada ekstrak petroleum eter
atau inti flavonoid (pembentukan flavonoid C- (PE) dilakukan dengan menggunakan eluen PE-
glikosida)(Markham, 1988). kloroform pada berbagai perbandingan volume.
Flavonoid terdapat pada semua bagian Untuk ekstrak kloroform, eluen yang digunakan
tumbuhan hijau, seperti pada: akar, daun, kulit adalah kloroform-etil asetat pada berbagai
kayu, benang sari, bunga, buah dan biji buah. perbandingan volume. Sedangkan pada ekstrak n-
Sedangkan pada hewan hanya dijumpai pada butanol digunakan eluen etil asetat-metanol pada
kelenjar bau berang-berang, "sekresi lebah" berbagai perbandingan volume. Ekstrak metanol
(propolis) dan dalam sayap kupu-kupu (Harborne, tidak dicari eluen yang sesuai.
1987). Efek flavonoid terhadap macam-macam Persiapan pertama kromatografi kolom adalah
organisme sangat banyak, antara lain sebagai memanaskan silika gel pada suhu 1600C selama 3
reduktor. Beberapa flavonoid dalam makanan jam kemudian didinginkan. Setelah dingin, silika
mempunyai efek antihipertensi. Isoflavan tertentu dibuat bubur dan dimasukkan dalam kolom, lalu
merangsang pembentukan estrogen pada mamalia dibiarkan semalam.
(Robinson, 1995). Isoflavon juga dapat berfungsi Ekstrak pekat dilarutkan dalam eluen yang
sebagai antifungal dan insektisidal (Geissman, kurang polar dan dimasukkan kolom menggunakan
1962) pipet. Sampel dibiarkan turun sampai permukaan-
nya hampir “terbuka”, kemudian ditambah eluen
pelan-pelan sampai mendapat eluen yang tidak
BAHAN DAN METODE berwarna pada permukaan penyerap. Langkah
selanjutnya ditambah eluen, dengan laju elusi 20
Bahan dan alat tetes/menit. Setiap 2 mL eluat, ditampung dalam
Bahan penelitian yang digunakan adalah rimpang botol sampel.
temu ireng yang berasal dari Kabupaten Bantul, Untuk pembagian fraksi, masing-masing botol
Yogyakarta. Sedangkan pelarut yang digunakan dianalisis secara fisika menggunakan sinar UV-VIS
adalah petroleum eter p.a (E Merck), kloroform p. a pada λ = 254 nm dan λ = 366 nm dan TLC, serta
(BDH), n-butanol, p.a. (E Merck), dan metanol p.a secara kimia menggunakan uji warna. Fraksi
(E Merck). Untuk uji warna digunakan ammonium tunggal yang mempunyai harga Rf sama dan uji
hidroksida (Baker analized reagent), vanilin, HCl (E fisika serta kimia sama dikumpulkan, dan
Merck), AlCl3 (E Merck), FeCl3(E Merck), dan pelarutnya diuapkan. Selanjutnya dilakukan
Shinoda test. Selain itu digunakan bahan lain yaitu: identifikasi struktur untuk menggunakan
plat TLC SG 60 F254(E Merck), Silika Gel Kieselgel spektrofotometer UV-VIS, IR dan GC-MS.
60, 43-60 μm (230-400 mesh ASTM: E Merck).
Alat yang digunakan untuk penelitian ini berupa
seperakat alat ekstraksi Soxhlet, pemanas mantel, HASIL DAN PEMBAHASAN
evaporator Buchii, kolom kromatografi, lampu UV
(Camac UV-cabinet II), bejana pengembang, Isolasi flavonoid
spektrofotometer UV-Vis (UV, Milton Roy- Persiapan awal ekstraksi adalah mengangin-
Spectronic-300-Array), spektrofotometer infra anginkan rimpang temu ireng yang bertujuan untuk
merah (IR, Shimadzhu FTIR-8201 PC) dan mengurangi kadar air. Penghancuran rimpang temu
kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS, ireng berguna untuk memperbesar luas permukaan
Shimadzu QP-5000). rimpang temu ireng, sehingga interaksi pelarut
dengan senyawa yang akan diambil dapat lebih
Isolasi flavonoid efektif. Hasil penjaringan flavonoid untuk masing-
Rimpang temu ireng sebanyak 1 g dimasukkan masing ekstrak yaitu ekstrak petroleum eter (PE),
dalam erlenmeyer dan ditambah etanol 25 mL, kloroform, n-butanol dan metanol disajikan pada
kemudian dipanaskan sampai mendidih dan Tabel 1.
dilanjutkan dengan penyaringan. Filtrat yang
diperoleh diuapkan, sampai volume pelarut tinggal
setengahnya. Adanya flavonoid diuji dengan Tabel 1. Hasil penjaringan flavonoid masing-masing
Shinoda Tes. ekstrak rimpang temu ireng.
Tahap selanjutnya adalah mengangin-anginkan
rimpang temu ireng pada suhu kamar sampai Ektsrak Ekstrak
Ekstrak Ekstrak
kering. Rimpang kering dihaluskan, kemudian Pereaksi petroleum n-
kloroform metanol
eter butanol
dimasukkan ke dalam alat ekstraktor Soxhlet.
Vanilin-HCl mj/+ mj/+ km/+ -
Ekstraksi dilakukan secara berturutan menggunakan
Mg/HCl m/+ - - -
pelarut petroleum eter, kloroform, n-butanol dan
FeCl3 5% Ha/+ ha/+ ch-ha/+ -
metanol masing-masing selama 8 jam.
Hasil ekstraksi berupa ekstrak petroleum eter, AlCl3 5% kf/+ kf/+ oc -
kloroform, n-butanol dan metanol masing-masing Keterangan: mj: merah jambu, ha: hitam/abu-abu, m:
dilakukan uji warna untuk flavonoid. Ekstrak yang merah, ch: coklat kehijauan, kf: kuning flurosense, oc:
positif mengandung flavonoid kernudian ditentukan orange-coklat, km: kemerahan, +: positif uji flavonoid.
34 Biofarmasi 3 (1): 32-38, Pebruari 2005
Dari hasil uji wama terlihat bahwa ekstrak yang yang paling banyak dibandingkan ekstrak kloroform
mengandung flavonoid adalah ekstrak PE, dan ekstrak n-butanol. Larutan pengelusi yang akan
kloroform, dan n-butanol. Ekstrak metanol tidak digunakan adalah campuran pelarut PE-kloroform
positif terhadap uji warna untuk flavonoid, sehingga (1:9; v/v).
dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol tidak Hasil dari kromatografi kolom dibedakan
mengandung flavonoid. Pemisahan flavonoid dari berdasarkan harga Rf. Botol yang berisi fraksi
campuran dilakukan dengan menggunakan tunggal dengan Rf sama dikelompokkan menjadi
kramatografi kolom. Sebelum masuk ke satu, sehingga diperoleh 9 fraksi tunggal (Tabel 5).
kromatografi kolom perlu dilakukan penentuan Setelah itu dilakukan identifikasi menggunakan uji
eluen yang sesuai, yaitu yang dapat memisahkan warna dan dilihat kenampakannya dibawah sinar
setiap komponen dengan baik. Penentuan eluen ini UV-VIS pada λ = 254 nm dan λ = 366 nm .
dilakukan dengan TLC untuk ekstrak PE, kloroform,
dan n-butanol. Eluen yang memberikan hasil Tabel 5. Hasil uji warna eluen dari kromatografi kolom.
pemisahan terbaik, ditentukan harga Rf-nya dan
dianalisis dengan sinar UV-VIS pada λ = 254 nm UV Pereaksi
No.
dan λ = 366 nm seperti ditunjukkan pada Tabel 2, 3 Fraksi Rf 366 V- AlCl3 NH3 Mg-
botol FeCl3 AlCl3
nm HCl (UV ) (UV) HCl
dan 4.
1 1-4 0,95 - ha mj - kf - mm
2 5,6 0,79 bm ha - - kf - mj
Tabel 2. Hasil TLC ekstrak petroleum eter dengan eluen
3 7 0,7 - ha mj - kf - m
PE-Kloroform (1:9).
4 8, 0,55 - ha mj - kf - c
5 10,11 0,45 - ha mj - kf - c
No. Harga Warna pada Warna pada 6 15-17 0,28 - ha mj - - - -
Noda Rf x 100 λ = 254 nm λ = 366 nm 7 27 0,21 - - mj - - - -
1 95 hitam - 8 18-26 0,09 - ha mj - kf - kc
2 79 - biru muda 28-34
3 7 hitam - 9 35-40 0,01 k ha mj - kf - c
4 55 hitam -
5 45 hitam - keterangan: bm: biru muda, ha: hitam/abu-abu, -: tidak
6 28 hitam - berwarna, mm: merah muda, kf: kuning fluoresense, m:
7 21 hitam - merah, mj: merah jambu, kc: kuning kecoklatan, c:
8 15 hitam - coklat, Mg/HCl: Mg dalam HCl, V-HCl: Vanilin dalam HCl.
9 9 hitam kuning
10 1 hitam kuning
Flavonoid adalah turunan senyawa fenolat,
Tabel 3. Hasil TLC ekstrak kloroform dengan eluen
sehingga untuk identifikasi awal dapat digunakan
kloroform-etil asetat(1:2). pereaksi FeC13. Pereaksi FeCl3, bereaksi dengan ion
fenolat. membentuk ion kompleks [Fe(Oar)6]3-. Test
No. Harga Warna pada Warna pada fenolat memberikan hasil positif jika setelah
Noda Rf x 100 λ = 254 nm λ = 366 nm beberapa saat terbentuk warna hijau, merah, ungu,
1 95 hitam - biru atau hitam kuat (Harborne, 1987). Pereaksi lain
2 83 hitam - untuk identifikasi fenol adalah larutan vanilin-HCl.
3 68 hitam - Test positif memberikan warna merah jambu biru,
4 60 hitam -
merah bata atau merah beberapa saat setelah
5 44 hitam -
6 31 hitam -
penambahan pereaksi (Harborne et al., 1975).
7 21 hitam - Analisis dengan uji warna menunjukkan bahwa
8 13 hitam - f7 bukan flavonoid, karena tidak bereaksi positif
9 4 hitam - terhadap pereaksi FeCl3. Pereaksi ini spesifik untuk
10 0 hitam - senyawa yang merupakan turunan dari fenol, dan
flavonoid yang merupakan turunan dari fenol
seharusnya memberikan uji positif. Fraksi f7
Tabel 4. Hasil TLC ekstrak n-butanol dengan eluen etil memberi test positif terhadap pereaksi vanilin-HCl,
asetat-metanol (1:1).
yang berarti bahwa f7 merupakan senyawa fenol
No. Harga Warna pada Warna pada sederhana atau turunannya. Adapun kedelapan
Noda Rf x 100 λ = 254 nm λ = 366 nm fraksi yang lain memberikan hasil positif turunan
1 93 hitam - fenol.
2 53 hitam - Harborne et al. (1975) menyatakan bahwa
3 40 hitam - pelarut PE bersifat kurang polar, sehingga hanya
4 0 hitam - dapat melarutkan flavonoid yang bersifat kurang
polar. Dilain pihak hasil uji ammonia terhadap
kedelapan fraksi yang diduga flavonoid bereaksi
Untuk langkah selanjutnya, yaitu kromatografi negatif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
kolom, digunakan ekstrak PE sebagai sampel yang bahwa jenis flavonoid yang bersifat kurang polar
akan dipisahkan komponen-komponennya. Hal ini yang mungkin terdapat pada kedelapan fraksi
dengan pertimbangan bahwa ektrak PE memberikan adalah leucoantosianidin (flavan-3,4-diol), flavanon,
hasil uji warna positif terhadap adanya flavonoid isoflavon atau katekin (Geissman, 1962)
NUGRAHANINGTYAS dkk. – Flavonoid pada Curcuma aeruginosa 35
Hal yang menarik adalah bahwa spektrum UV- Gambar 8. Spektra massa fraksi f4.
VIS fraksi f4 juga sesuai dengan spektrum UV-VIS
untuk isoflavon, hanya ada sedikit perbedaan
bentuk spektrum dan panjang gelombangnya. Hal
Dari spektra Gambar 8 terlihat bahwa m/z
ini dimungkinkan karena perbedaan gugus
terbesar adalah 281, yang berarti bukan ion
substituennya. Berdasarkan keterangan ini, maka
molekul, karena m/z-nya ganjil. Berdasarkan hasil
disimpulkan bahwa fraksi f4 mengandung isoflavon
analisis sebelumnya, maka spektra ini berasal dari
dengan sustituen gugus yang menyebabkan
isaoflavon dengan subtituen 2 gugus metoksi. Ion
terjadinya pergeseran hipsokromik, dengan
molekul tidak terdeteksi karena tidak stabil. Spektra
perbedaan jenis ataupun jumlah gugus
mempunyai puncak dasar pada m/z = 163, dengan
hipsokromiknya. Analisis selanjutnya adalah
puncak-puncak lain pada m/z 281, 232, 149, 133,
menggunakan spektrofotometer IR untuk
dan lain-lain. Fragmentasi senyawa ini disajikan
menentukan gugus-gugus fungsional yang ada pada
Gambar 9.
fraksi f4 seperti disajikan Gambar 7.
NUGRAHANINGTYAS dkk. – Flavonoid pada Curcuma aeruginosa 37
DAFTAR PUSTAKA
VOLUME 3
NOMOR 1
PEBRUARI 2005
ISSN: 1693-2242 Terbit dua kali setahun