Anda di halaman 1dari 14

Nama : Rahmawati

NIM : 1702015126

Kelas : 6D Akuntansi

REVIEW JURNAL

a. Judul ASET SEBAGAI INSTRUMEN KESEJAHTERAAN :


PEMAKNAAN PENGELOLA KEUANGAN DAERAH

b. Pendahuluan Kritik terhadap sektor publik yang cenderung birokratis,


tidak efisien, dan korup mendorong lahirnya reformasi pada
sektor publik. Reformasi tersebut telah membawa berbagai
praktik di sektor publik yang semakin mendekati praktik-
praktik di sektor bisnis. Reformasi akuntansi menjadi salah
satu bagian penting dari New Public Management (NPM)
dan merupakan tahap pertama dari reformasi pemerintahan,
lalu diikuti oleh reformasi manajemen pemerintahan,
organisasi dan bagian lain dari administrasi publik
(Christiaens, 1999).
Reformasi sektor publik dengan menganut prinsip-prinsip
NPM diharapkan dapat menggerakkan organisasi sektor
publik (pemerintah) untuk menjadi lebih efisien dan efektif
termasuk dalam pengelolaan dan pelaporan aset-aset yang
dimilikinya. Namun demikian, efisiensi dan efektifitas
pengelolaan dan pelaporan aset pemerintah masih dilingkupi
oleh berbagai kendala dan masalah. Pengelolaan aset masih
merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam
pengadopsian konsep NPM.
Lebih lanjut, pengelolaan aset pemerintah juga belum
dilaksanakan secara efisien dan efektif. Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) masih menemukan
adanya pemborosan anggaran di semua kementerian dan
lembaga pemerintahan khususnya terkait soal perjalanan
dinas pegawai. Persentasenya diperkirakan mencapai 40
persen dari total anggaran perjalanan dinas setahun atau
sekitar Rp.18 triliunan (Pikiran-rakyat.com, 2014).
Pengelolaan aset yang belum efisien dan efektif juga terlihat
pada penggunaan aset oleh pejabat pemerintahan yang tidak
sesuai dengan peruntukkannya, yang mana ada beberapa
pimpinan daerah memperbolehkan penggunaan mobil dinas
untuk keperluan mudik lebaran. Berbagai alasan diberikan
mengapa mereka memperbolehkan mobil dinas dipakai
untuk mudik oleh para pegawai pemerintah (PNS)
(Kompasiana.com, 2015).
Aset negara (daerah) yang sejatinya milik masyarakat
diamanahkan untuk dikelola oleh pemerintah dengan sebaik-
baiknya sehingga aset dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat, ternyata
belum optimal bahkan cenderung kontraproduktif. Sebagai
pemimpin sekaligus pelayan masyarakat, sudah selayaknya
pejabat negara (daerah) tidak menyalahgunakan
kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat kepada
mereka termasuk pengelolaan terhadap aset-aset negara
(daerah) yang berada dalam penguasaannya. Atas dasar ini
menjadi menarik untuk mempertanyakan bagaimana pejabat
negara (daerah) memaknai aset negara (daerah) yang
diamanahkan oleh masyarakat kepada mereka.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas mengindikasikan
bahwa perhatian terhadap aset pemerintah daerah menjadi
penting dalam upaya perbaikan kualitas pengelolaan
keuangan daerah. Sebagai konsekuensi dari pengadopsian
konsep NPM, pemahaman terhadap konsep aset pada sektor
publik khususnya pemerintah daerah menjadi penentu utama
dalam penyajian laporan keuangan, karena aset merupakan
komponen terbesar dari suatu laporan keuangan pemerintah
daerah. Pengelolaan dan pelaporan aset pada sektor
pemerintahan khususnya pemerintah daerah menjadi hal
yang sangat strategis mengingat pemerintah daerah
merupakan level pemerintahan yang paling dekat dengan
masyarakat dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pengelolaan aset yang baik akan sangat
mendukung proses pemberian layanan kepada masyarakat
(Jolicoeur dan Barret, 2004).
Berdasarkan pada fenomena tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengelolaan dan pelaporan aset
senantiasa berkembang sesuai dengan lingkungannya dan
dapat dimaknai berbeda oleh aktor yang berbeda. Oleh
karena itu, studi tentang pemaknaan aset pada pemerintah
daerah menjadi lebih menarik dan memotivasi peneliti untuk
memilih topik ini. Studi ini akan menelisik lebih dalam
tentang makna aset yang dipahami oleh aktor pengelola
keuangan daerah. Pemahaman yang holistik tentang
bagaimana pengelola keuangan daerah memaknai aset hanya
dapat diperoleh melalui ekplorasi terhadap perilaku
aktornya.
Berdasarkan hal tersebut, studi ini melakukan kajian yang
mendalam tentang bagaimana pengelola keuangan daerah
memaknai aset dengan pendekatan non-positivistik. Melalui
studi ini, peneliti dapat memperoleh gambaran yang pasti
dan lebih nyata mengenai persepsi dan pemahaman
pengelola keuangan daerah terhadap aset pemerintah daerah.
c. Landasan Teori 2.1. KONSEP ASET DALAM KONTEKS ORGANISASI
PEMERINTAH
Dalam konteks organisasi pemerintah, aset didefinisikan
sebagai sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau
dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa
lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa
depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,
termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk
penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber
daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya (PP
Nomor 71 Tahun 2010).
Akuntansi aset pemerintah meliputi proses pengakuan,
pengukuran, penilaian, dan penyajian/pengungkapan aset
dalam laporan keuangan pemerintah. Dalam konteks
akuntansi, pengakuan merupakan proses penentuan atas
tercapainya seluruh persyaratan (kriteria) untuk mencatat
suatu peristiwa atau transaksi di dalam catatan keuangan
(akuntansi) yang nantinya akan melengkapi unsur-unsur
laporan keuangan seperti aset, kewajiban, ekuitas dana,
pendapatan, belanja, dan pembiayaan pada suatu entitas
akuntansi atau entitas pelaporan. Pengakuan dalam
akuntansi berbentuk pencatatan atas sejumlah uang tertentu
terhadap unsur-unsur dalam laporan keuangan yang
dipengaruhi oleh peristiwa atau transaksi yang terjadi
(Ulum, 2008:177-178).
Pengakuan terhadap aset tetap dilakukan pada saat
manfaat ekonomi masa depan dapat diterima oleh
pemerintah dan memiliki nilai yang dapat diukur secara
andal. Kriteria-kriteria yang mesti dipenuhi untuk dapat
mengakui suatu aset tetap antara lain: a) berwujud, b)
memiliki umur ekonomis di atas 12 (dua belas) bulan, c)
memiliki biaya perolehan yang dapat diukur secara andal, d)
tidak ditujukan untuk dijual dalam aktivitas normal entitas,
dan e) dibangun atau diperoleh dengan tujuan untuk
dipergunakan. Adapun tujuan utama pemerintah terhadap
peolehan aset tetap adalah agar dapat dipergunakan dalam
mendukung aktivitas operasional pemerintahan dan bukan
ditujukan untuk dijual kembali (PP Nomor 71 Tahun 2010).

2.2 BARANG MODAL (CAPITAL ASSETS)


PEMERINTAH: FUNGSI EKONOMI DAN SOSIAL
Pada umumnya barang modal (capital assets) yang
dimiliki oleh pemerintah dipergunakan dalam kegiatan
operasional pelayanan kepada masyarakat. Ada juga aset
yang diharapkan dapat memberikan aliran kas masuk kepada
pemerintah sendiri di masa yang akan datang. Namun
demikian ada beberapa barang modal yang diperuntukkan
secara murni untuk pelayanan sosial kepada masyarakat.
Pemanfaatan barang modal ini tidak diharapkan untuk
mendatangkan aliran kas masuk kepada pemerintah, tetapi
manfaatnya mengalir kepada masyarakat yang
memanfaatkannya. Barang modal seperti ini meliputi
fasilitas umum, taman kota dan barang warisan sejarah.
Kriteria untuk mengakui barang modal sebagai aset
tergantung dari status yang diberikan oleh pemerintah
terhadap barang modal yang bersangkutan, sehingga
prospek dan karakteristik barang modal sendiri tidak cukup
menentukan perlakuan akuntansinya. Statusnya ditetapkan
oleh hukum, peraturan atau keputusan pemerintah.
Pengakuan dan perlakuan akuntansi terhadap barang modal
pemerintah dapat dibedakan atas barang modal yang bersifat
ekonomis/bisnis (economic/businesslike) dan barang modal
yang bersifat sosial/budaya (social/cultural) (Christiaens et
al.: 2012).

2.3 TATA KELOLA ASET PEMERINTAH : DARI


ADMINISTRASI PUBLIK KE GOOD GOVERNANCE
Sindane (2004) menjelaskan bahwa administrasi publik
adalah organisasi, mobilisasi, dan manajemen sumber daya
manusia dan material yang terintegrasi untuk mencapai
tujuan pemerintah. Dalam hal ini, administrasi publik harus
menjadi tanggung jawab pemerintah. Konsep pemerintahan
yang akuntabel diberlakukan sebelum pemerintah cacat oleh
korupsi, sebelum pejabat publik mulai dianggap sebagai
birokrat bertindak tanpa bertanggung jawab atas tindakan
mereka, dan bahkan lebih buruk, sebelum efek berbahaya
dari kerja pejabat publik di mana masyarakat mulai
dilupakan. Konsep ini telah dihidupkan kembali dan
dipopulerkan dengan pendekatan NPM.
Pemerintah cenderung dikaitkan dengan tren reformasi
sektor publik internasional yang lebih luas mengenai
pengelolaan pengeluaran publik dan penggunaan sumber
daya yang harus dilakukan dengan dua konsep dasar yakni
tata kelola dan transparansi. Dalam model NPM,
administrasi publik yang cenderung akomodatif harus
didasarkan pada peningkatan keterlibatan masyarakat
sebagai pelanggan, serta pada peningkatan transparansi dan
aksesibilitas informasi publik kepada masyarakat. Hal ini
mendorong kontrol yang efisien dan memperkuat tingkat
akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik secara
proaktif. Dengan demikian, tiga isu penting model NPM
yakni: pelayanan masyarakat yang terintegrasi, nilai uang
pembayar pajak, dan sumber daya manusia pelayanan publik
yang bertanggung jawab (Bourgon, 2007).
Tata kelola pemerintahan yang baik didefinisikan sebagai
cara di mana kekuasaan dilaksanakan dalam pengelolaan
sumber daya ekonomi dan sosial suatu negara untuk
pembangunan. Good governance dicontohkan oleh
pembuatan kebijakan terprediksi dan tercerahkan (proses
transparan); birokrasi dijiwai dengan semangat profesional;
eksekutif bertanggungjawab atas tindakannya; dan
masyarakat sipil yang kuat berpartisipasi dalam urusan
publik dan semua berperilaku berdasarkan aturan hukum.
Tata kelola yang baik juga dibahas dalam literatur sebagai
model pemerintahan yang telah menghasilkan tren dari
pemerintah untuk pemerintahan (Argyriades, 2006).
d. Hipotesis H1 : Konsep aset dalam konteks organisasi pemerintah
terhadap efisiensi dan efektivitas pengelolaan aset
H2 : Barang modal (Capital Assets) Pemerintah : fungsi
ekonomi dan sosial terhadap efisiensi dan
efektivitas pengelolaan aset
H3 : Tata kelola aset pemerintah : dari administrasi
publik ke Good Governance terhadap efisiensi dan
efektivitas pengelolaan aset
e. Metode Penelitian 1. Jenis dan Paradigma Penelitian
Pemahaman atas makna aset dapat diperoleh melalui
penelitian kualitatif, di mana penelitian kualitatif
bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang
fenomena yang dialami oleh terteliti (subjek penelitian),
seperti persepsi, motivasi, tindakan, dan perilaku secara
holistik, serta dideskripsikan dalam bentuk bahasa dan
kata-kata, dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dengan
pendekatan kualitatif ini peneliti berusaha untuk
memahami beragam peristiwa dan interaksi manusia
dalam situasi yang khusus. Artinya, penelitian akan
menekankan aspek subjektif dari pengelola keuangan
pemerintah untuk mengerti apa dan bagaimana makna
dari praktik pengelolaan dan pelaporan aset.
Untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang
makna aset, maka penggunaan paradigma interpretif
merupakan pilihan yang tepat. Paradigma interpretif ini
menekankan bahwa penelitian pada dasarnya dilakukan
untuk memahami realitas dunia apa adanya, dalam
beberapa hal paradigma ini juga disebut sebagai
paradigma konstruktif. Paradigma interpretif berusaha
untuk mengenali dunia apa adanya dengan pendekatan
pengalaman subyektifnya sendiri. Dasar pemikiran
dalam menggunakan paradigma interpretif adalah
peneliti lebih menekankan pada peranan bahasa dan
interpretasi serta pemahaman akan makna dari realitas
pengelolaan dan pelaporan aset seperti apa adanya.
Agar dapat mengungkap makna aset pemerintah
daerah secara naturalistik, lebih tepat jika menggunakan
pendekatan fenomenologi untuk mengeksplorasi
fenomena yang terjadi dalam situs sosial penelitian.
Pendekatan fenomenologi merupakan salah satu
alternatif metodologi yang tepat dalam upaya memahami
makna aset pada pemerintah daerah. Penggunaan
pendekatan fenomenologi dianggap lebih sesuai karena
fenomenologi secara konsep telah menjadi filosofi,
metode riset, dan perspektif yang melingkupi dari makna
semua riset kualitatif berasal. Jenis fenomenologi yang
lebih sesuai untuk mengungkap makna aset pada
pemerintah daerah adalah fenomenologi transendental.
Fenomenologi transendental adalah ilmu tentang
penampakan (fenomena). Konsep-konsep praktis tadi
dianalisis dengan cara mengkomparasikan temuan atau
pemahaman atas kenyataan sosial organisasi yang
bersifat empiris dengan konsep aset. Dari pemilihan
metode penelitian di atas, peneliti yakin dapat
memperoleh pemahaman atas makna aset secara holistik.
2. Situs Sosial Penelitian dan Informan
Pemilihan informan dilakukan secara purposive
sampling didasarkan atas subjek yang dianggap
mengetahui dan menguasai permasalahan dan memiliki
data yang akurat. Penentuan informan selanjutnya
menggunakan teknik snowball sampling, karena
penentuan informan yang dilakukan bersamaan dengan
penggalian data melalui wawancara mendalam dari
seorang informan ke informan lainnya dan seterusnya
sampai peneliti tidak menemukan informasi baru lagi,
atau sudah jenuh, atau sampai pada informasi yang tidak
berkualitas lagi.
3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Secara spesifik, data yang akan diambil dalam studi
ini adalah data emik (tampak dalam diri manusia,
persepsi, mindset, sikap, kepercayaan, prasangka,
prinsip-prinsip hidup, pengalaman, sudut pandang,
tindakan, dan pikiran) sebagai data utama, sedangkan
data sensual (berupa data sekunder yang dapat disensor)
sebagai data pendukung. Data emik tersebut
dimaksudkan untuk mendalami proses dan pengalaman
serta untuk memahami persepsi maupun konteks
keadaan dari pihak terteliti.
Untuk memperoleh data tersebut, teknik pengumpulan
data yang dilakukan pada studi ini adalah observasi atau
pengamatan dan wawancara sebagai data utama,
sedangkan teks dan dokumentasi sebagai pendukung.
Oleh karena itu pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan rancangan yang fleksibel agar informasi
yang sesuai dengan keinginan dapat diperoleh. Untuk
mengeksplorasi realitas sosial sebagai bahan empirik,
dalam studi ini dilakukan kolaborasi beberapa metode
yakni observasi atau pengamatan, wawancara mendalam
(indepth interview), dan analisa teks dan dokumentasi.
Pengayaan bahanbahan empirik yang dilakukan dalam
studi ini, lebih banyak menggunakan metode wawancara
dengan tidak mengesampingkan keutamaan dalam
pengamatan dan dokumentasi.
f. Hasil Penelitian Aset-aset pemerintah daerah umumnya dipergunakan
sebagai fasilitas bagi pengelola keuangan daerah dan
masyarakat, oleh karena itu aset-aset tersebut merupakan
instrumen kesejahteraan. Aset instrumen kesejahteraan
(welfare assets) adalah barang modal yang digunakan dalam
rangka pelayanan kepada masyarakat (publik) baik yang
dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan
kegiatan pelayanan maupun yang dipergunakan secara
langsung oleh masyarakat. Masyarakat dapat menggunakan
layanan dari aset tersebut dengan sedikit atau tanpa biaya
dan pemerintah daerah mendanai penyediaan aset tersebut
seluruhnya atau sebagian besar dari penerimaan pajak. Hal
ini dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh stakeholder dari pemerintah daerah
khususnya masyarakat. Pemerintah daerah dapat melakukan
intervensi terhadap kesejahteraan sosial (masyarakat)
melalui 3 (tiga) ruang lingkup yaitu lingkup kesejahteraan
individu (mikro), lingkup kesejahteraan kelompok/
komunitas (mezzo), dan lingkup kesejahteraan masyarakat
(makro).
1. Aset Untuk Kesejahteraan
Setiap jabatan yang ada pada pemerintah daerah,
mulai dari Walikota/Wakil Walikota sampai dengan
jabatan pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dilengkapi dengan fasilitas pendukung
pelaksanaan tugas pemerintahan sesuai dengan
tingkatannya masingmasing. Fasilitas tersebut dapat
berupa rumah dinas, kendaraan dinas, dan beberapa
fasilitas pendukung lainnya seperti laptop.
Kendaraan dinas, biasanya dibawa pulang ke rumah
masing-masing pejabat yang bersangkutan pada saat jam
kantor berakhir. Hal ini dilakukan demi keamanan aset
itu sendiri. Kalau disimpan di kantor, keamanan
kendaraan dinas tersebut tidak terjamin, sementara
kendaraan tersebut merupakan tanggung jawab mereka.
Setiap pejabat bertanggung jawab atas setiap aset
(kendaraan dinas) dari kerusakan dan terjadinya
kehilangan. Atas pertimbangan tersebut, kendaraan
dinas diperbolehkan untuk dibawa pulang ke rumah
mereka masing-masing. Jika terjadi kehilangan atau
kerusakan, maka ada majelis Tuntutan Ganti Rugi (TGR)
yang akan melakukan investigasi untuk menentukan
apakah hal tersebut terjadi karena adanya kesengajaan,
kelalaian atau murni kecelakaan. Hasil investigasi
tersebut akan menentukan seberapa besar tanggung
jawab pejabat yang bersangkutan atas kejadian tersebut.
Penggunaan aset (kendaraan dinas) untuk kepentingan
individu pejabat juga berimplikasi pada biaya
pemeliharaan kendaraan. Biaya pemeliharaan kendaraan
yang dikeluarkan tidak sepenuhnya untuk kepentingan
pemerintah daerah tetapi juga untuk kepentingan
individu pejabat (bukan kepentingan organisasi). Dana
(aset) yang dikeluarkan untuk belanja pemeliharaan
kendaraan dinas merupakan fasilitas yang dinikmati oleh
individu pejabat, karena dana ini diberikan tanpa adanya
pemilahan yang jelas atas penggunaan kendaraan dinas
untuk kepentingan organisasi atau untuk kepentingan
pribadi (individu) pejabat dalam lingkup pemerintah
daerah. Selanjutnya, dalam perspektif akuntansi hal ini
akan dapat memengaruhi kewajaran penyajian belanja
pemeliharaan kendaraan dalam laporan keuangan
pemerintah daerah. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan yang jelas dan tegas dari pemerintah daerah
tentang penggunaan aset (kendaraan dinas) untuk
kepentingan individu, khususnya konsekuensi terhadap
belanja pemeliharaan kendaraan.
2. Aset Untuk Kesejahteraan Organisasi
Aset operasional pemerintah daerah yang berupa aset
operasional kantor dimaknai sebagai aset yang dapat
dipergunakan oleh seluruh staf dalam melaksanakan
tugas-tugas operasional pemerintahan sehari-hari. Aset
untuk kesejahteraan organisasi ini meliputi seluruh aset
operasional pemerintah daerah yang berupa gedung dan
bangunan kantor, peralatan dan mesin, kendaraan dan
inventaris kantor, kecuali rumah dinas pejabat,
kendaraan dinas pejabat, dan inventaris tertentu seperti
laptop yang cenderung hanya dipergunakan oleh pejabat
yang bersangkutan. Aset milik pemerintah daerah
tersebut dapat dipergunakan dalam menunjang kegiatan
pelayanan kepada masyarakat sekaligus sebagai fasilitas
untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh staf yang ada
(kesejahteraan organisasi).
Kendaraan dinas yang ada di setiap SKPD lebih
diprioritaskan untuk kendaraan operasional pejabat.
Hanya beberapa SKPD yang memiliki kendaraan
operasional kantor, sehingga terkadang staf harus
menggunakan kendaraan pribadinya untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu yang berkaitan dengan
operasional kantor seharihari. Sementara mobil dinas
pejabat tidak dipergunakan penuh sepanjang jam kerja
(digunakan sesuai aktivitas pejabatnya). Berdasarkan
hasil observasi, ketika seorang pejabat berada di kantor
maka kendaraan dinasnya akan terparkir (tidak
dipergunakan) sampai yang bersangkutan keluar dari
kantornya. Kemudian, ketika seorang pejabat sedang
melakukan perjalanan dinas ke luar kota/daerah,
kendaraan dinas pejabat yang bersangkutan untuk
sementara waktu tidak dipergunakan (menganggur)
sampai dengan yang bersangkutan kembali bekerja.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa kendaraan operasional pemerintah daerah lebih
banyak dipergunakan sebagai fasilitas bagi pejabat pada
pemerintah daerah, sementara kendaraan operasional
kantor sangat minim, sehingga staf terkadang harus
menggunakan kendaraan pribadinya untuk kegiatan-
kegiatan tertentu yang berhubungan dengan tugasnya.
Seluruh kendaraan dinas hendaknya dapat dipergunakan
secara efektif dan efisien untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemerintahan
sehari-hari. Pengelolaan kendaraan dinas dapat
dilakukan oleh unit khusus yang ada di setiap SKPD.
Unit inilah yang diberi kewenangan dan tanggung jawab
untuk mengatur penggunaan setiap kendaraan dinas
(operasional) pada masing-masing SKPD. Dengan
demikian, seluruh kendaraan dinas dapat dikelola dengan
baik dan penggunaannya dapat lebih optimal dalam
menunjang kegiatan operasional pemerintah daerah.
3. Aset Untuk Kesejahteraan Masyarakat (Kolektif)
Berdasarkan fungsi dan kegunaannya, aset layanan
publik ini terdiri dari dua macam yaitu aset yang
dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam
memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat secara
individual (aset layanan terbatas) seperti sekolah, rumah
sakit, pasar, dan lain-lain. Kemudian aset yang dapat
dipergunakan oleh seluruh masyarakat secara kolektif
(aset layanan tak terbatas) seperti jalan, jembatan,
gedung/bangunan bersejarah, dan aset warisan sejarah
lainnya (heritage assets).
Makna aset dapat dipahami berdasarkan fungsi aset
yang dipergunakan dalam kegiatan operasional dan
penyediaan layanan utama pemerintah kepada
masyarakat. Aset ditafsirkan dalam batasan fungsi dan
kegunaan yang ditetapkan terhadap aset pemerintah yang
mencerminkan tujuan kepemilikan pemerintah daerah
atas aset tersebut. Fungsi aset pemerintah daerah sebagai
aset layanan publik dimaksudkan untuk pelayanan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara kolektif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aset untuk
kesejahteraan masyarakat (kolektif) merupakan barang
modal yang dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Untuk itu perlu pengaturan yang bijak dari pemerintah
daerah dalam menentukan status suatu aset, mengingat
tujuan utama dari organisasi pemerintah daerah adalah
memberikan pelayanan sosial demi kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, kriteria untuk mengakui
barang modal sebagai aset instrumen kesejahteraan
tergantung pada status atau fungsi yang diberikan oleh
pemerintah daerah terhadap barang modal yang
bersangkutan, sehingga prospek dan karakteristik barang
modal sendiri tidak cukup menentukan perlakuan
akuntansinya.
Aset layanan tak terbatas dapat dipergunakan oleh
semua golongan masyarakat secara bersama dan sukar
memungut pembayaran atau dengan pembayaran yang
relatif sangat kecil. Aset layanan tak terbatas ini
memiliki sifat non-rival dan noneksklusif, di mana
konsumsi atas aset tersebut oleh suatu individu tidak
akan mengurangi jumlah aset yang tersedia untuk
dikonsumsi oleh individu lainnya dan semua orang
berhak menikmati manfaat dari aset layanan tak terbatas
tersebut.
Aset pemerintah daerah dimaknai sebagai instrumen
kesejahteraan yakni barang modal (capital assets) yang
dipergunakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
pegawai (pejabat) dan masyarakat. Aset instrumen
kesejahteraan terdiri dari aset untuk kesejahteraan
individu, aset untuk kesejahteraan organisasi, dan aset
untuk kesejahteraan masyarakat (kolektif). Sementara,
aset untuk kesejahteraan masyarakat (kolektif) terdiri
dari aset layanan terbatas yang digunakan masyarakat
secara individual dan aset layanan tak terbatas yang
dapat dipergunakan/dinikmati oleh seluruh masyarakat
secara kolektif.
4. Makna Di Balik Realitas Aset Sebagai Instrumen
Kesejahteraan
Sesuai dengan karakteristiknya, pelaksanaan aktivitas
pemerintah daerah terutama ditujukan untuk
memberikan pelayanan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sehingga penggunaan aset
untuk memberikan kesejahteraan masyarakat (social
welfare) lebih diutamakan dibanding dengan
penggunaan aset untuk memberikan kesejahteraan
individu maupun organisasi. Pemerintah daerah
membuat keputusan untuk menggunakan aset-asetnya
semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat merupakan karakteristik khusus pemerintah
daerah sebagai organisasi publik.
Keputusan pemerintah daerah untuk menyediakan
aset layanan publik ditentukan atas dasar pertimbangan
bahwa mereka menganggap manfaatnya cukup penting
untuk melakukannya, yaitu pemerintah menganggap
bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan
utama dari penggunaan aset pemerintah daerah. Manfaat
(nilai) sosial yang terkandung dalam aset layanan publik
melebihi nilai ekonomi dari biaya finansial atas
penyediaan aset ini.
Penggunaan aset yang ditujukan dalam rangka
mencapai tujuan pemerintah daerah yakni untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare)
seperti yang dibahas dalam teori negara kesejahteraan
dan kesejahteraan sosial dimaknai sebagai suatu hal yang
lebih utama dibandingkan dengan penggunaan aset untuk
peningkatan kesejahteraan individu dan organisasi.
Pemaknaan ini mengindikasikan bahwa di dalam
penggunaan aset pemerintah daerah, nilai atau prinsip
kesejahteraan sosial (social welfare) melebihi prinsip
kepentingan pribadi (self interest).
5. Nilai Transendental Dalam Pemaknaan Aset Sebagai
Instrumen Kesejahteraan
Pengelolaan aset pemerintah daerah dilakukan dengan
tidak semena-mena, dan senantiasa tetap tunduk pada
peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu
penggunaan aset pemerintah daerah senantiasa
memperhatikan rambu-rambu aturan normatif maupun
nilai-nilai etika dalam masyarakat.
Nilai-nilai etika dalam masyarakat sebagai bagian dari
budaya masyarakat menjadi batas-batas kewajaran
penggunaan aset pemerintah daerah. Dalam konteks ini,
nilai-nilai kepemimpinan dalam pemerintahan yang
terdapat dalam kalo yang masih melekat pada diri
individu masyarakat lokal (Tolaki), senantiasa mewarnai
sikap dan perilaku mereka dalam menjalankan aktivitas
kesehariannya. Nilai-nilai budaya yang ada dalam kalo
antara lain kalo merupakan simbol cita-cita (prinsip)
pemerintahan (politik) yaitu prinsip kesatuan dan
persatuan, kesucian dan keadilan, serta prinsip
kemakmuran dan kesejahteraan. Aset dimaknai sebagai
instrumen kesejahteraan merupakan refleksi dari nilai-
nilai budaya dalam kalo yang diyakini oleh aktor
pengelola keuangan daerah yakni prinsip kemakmuran
dan kesejahteraan.
Upaya untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran dan
kesejahteraan dalam penggunaan aset merupakan
refleksi atas norma-norma kepemimpinan yang
senantiasa berpegang teguh pada prinsip norma dan
sistem hukum yang berlaku, yang segalanya bersumber
dari ajaran Tuhan melalui agama dan adat istiadat. Oleh
karena itu penggunaan aset dengan prinsip kesejahteraan
sosial (social welfare) melebihi prinsip kepentingan
pribadi (self interest) merupakan wujud dari kepatuhan
terhadap ajaran (perintah) Tuhan. Hal ini
mengindikasikan adanya nilai transendental dalam
pemaknaan aset sebagai instrumen kesejahteraan.
g. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada
bab-bab sebelumnya, beberapa temuan studi ini
memberikan pemahaman bahwa pemaknaan terhadap aset
lebih dipengaruhi oleh karakteristik organisasi pemerintah
dan nilai-nilai budaya yang melekat pada diri aktor
pengelola keuangan daerah. Aset dimaknai berdasarkan
fungsi dan kegunaan dari setiap aset yang ada pada
pemerintah daerah. Pemaknaan aset berdasarkan perspektif
fungsi dan kegunaan, aset pemerintah daerah dipahami
sebagai instrumen kesejahteraan yang terdiri dari aset untuk
kesejahteraan individu, aset untuk kesejahteraan organisasi,
dan aset untuk kesejahteraan masyarakat (kolektif).
Penggunaan aset untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat lebih utama dibanding kesejahteraan individu
dan organisasi mengindikasikan bahwa nilai atau prinsip
kesejahteraan sosial (social welfare) melebihi prinsip
kepentingan pribadi (self interest).
Upaya untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran dan
kesejahteraan dalam penggunaan aset merupakan refleksi
atas norma-norma kepemimpinan yang senantiasa
berpegang teguh pada prinsip norma dan sistem hukum
yang berlaku, yang segalanya bersumber dari ajaran Tuhan
melalui agama dan adat istiadat. Oleh karena itu
penggunaan aset dengan prinsip kesejahteraan sosial (social
welfare) melebihi prinsip kepentingan pribadi (self interest)
merupakan wujud dari kepatuhan terhadap ajaran (perintah)
Tuhan. Hal ini mengindikasikan adanya nilai transendental
dalam pemaknaan aset sebagai instrumen kesejahteraan.
h. Keterbatasan dan Rekomendasi 1. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu :
untuk penelitian selanjutnya Peneliti sangat menyadari bahwa hasil penelitian ini
masih terdapat kekurangan walaupun peneliti telah
berupaya semaksimal mungkin memberikan yang terbaik
dalam proses, paradigma dan metode, serta analisis data
dalam penelitian ini. Beberapa hal yang peneliti anggap
menjadi keterbatasan studi ini adalah: Pertama, proses
pengambilan data dalam studi ini kurang lebih dilakukan
selama 1 (satu) tahun, di mana kurun waktu ini dianggap
masih relatif singkat untuk sebuah penelitian dengan
fenomenologi transendental sehingga kedalaman data
yang dikumpulkan belum optimal. Kedua, informan
dalam penelitian ini seluruhnya merupakan aktor
pengelola keuangan daerah baik dari eksekutif maupun
dari legislatif, sementara informan yang bersumber dari
masyarakat sebagai stakeholder pemerintah daerah tidak
dilibatkan dalam pelaksanaan penelitian ini, sehingga
sangat memungkinkan ada data yang tidak diperoleh
secara mendalam dalam penelitian ini.
Penelitian selanjutnya dapat dikembangkan dengan
melakukan penelitian lebih mendalam dengan
melibatkan informan yang lebih luas termasuk
masyarakat sebagai stakeholder pemerintah daerah.
Penelitian selanjutnya juga dapat menggunakan
paradigma lain seperti paradigma kritis untuk dapat
melakukan kritisi terhadap konsep aset berdasarkan
makna aset dalam perspektif aktor pengelola keuangan
daerah. Selain itu, dapat menggunakan paradigma
nonpositivistik yang lain untuk dapat merekonstruksi
makna aset pada sektor publik khususnya pada
pemerintah daerah sehingga dapat memperkaya konsep
aset pada sektor publik.

2. Implikasi (Rekomendasi) untuk penelitian ini yaitu:


Studi ini merupakan salah satu penelitian
nonpositivistik dengan paradigma interpretif yang
menggunakan fenomenologi transendental bertujuan
untuk memperoleh pemahaman dan pemaknaan aset
sektor publik khususnya pemerintah daerah.
Penggunaan paradigma dan metode tersebut merupakan
pendekatan yang relatif baru dan masih jarang dilakukan
dalam kajian akuntansi secara khusus di Indonesia,
karenanya peneliti berharap bahwa studi ini dapat
memberikan kontribusi dalam pengembangan paradigma
interpretif di dunia akuntansi khususnya akuntansi aset.
Temuan dalam studi ini diharapkan dapat memperkaya
konsep aset sektor publik khususnya aset pemerintah
daerah.
Pada tataran praktis, pemahaman pengelola
keuangan daerah atas makna aset sebagai instrument
kesejahteraan, memberikan makna aset yang lebih
kepada pemanfaatan aset fisik. Pemahaman ini lebih
dipengaruhi oleh kondisi yang dihadapi oleh pemerintah
daerah saat ini yang mana salah satu yang menjadi
permasalahan pengelolaan keuangan daerah adalah aset
tetap (aset fisik). Hasil studi ini kiranya dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam
mengembangkan sistem pengelolaan dan pelaporan aset,
agar pemerintah daerah dapat mengelola asetnya secara
efektif dan efisien.
Sebagai implikasi kebijakan, pemerintah daerah
kiranya meningkatkan upaya untuk mengoptimalkan
penggunaan seluruh aset-aset yang dimilikinya demi
kesejahteraan masyarakat. Hasil studi ini kiranya dapat
menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam
mengembangkan sistem pengelolaan dan pelaporan aset
pemerintah daerah dan dapat menjadi masukan bagi
pemerintah daerah dalam menyusun rancangan peraturan
daerah tentang sistem pengelolaan dan pelaporan aset
pemerintah daerah.

Anda mungkin juga menyukai