Anda di halaman 1dari 21

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep HIV AIDS

2.1.1 Pengertian

HIV/AIDS adalah singkatan dari Human Immunodefiency Virus yaitu virus yang

menyebabkan AIDS (Acquired Immnune Deficiency Syndrome). AIDS adalah tahap

lanjut dari infeksi HIV yang menyebabkan beberapa infeksi lainnya. Virus akan

memperburuk sistem kekebalan tubuh dan penderita HIV/AIDS akan berakhir

dengan kematian dalam waktu 5-10 tahun kemudian jika tanpa pengobatan yang

cukup. HIV adalah organisme patogen yang menyebabkan AIDS retro virus yang

menyebabkan HIV, menular melalui darah, serum, semen, jaringan tubuh dan cairan

tubuh lainnya (Najmah, 2016).

AIDS merupakan sumber penyakit yang ditimbulkan oleh virus HIV. AIDS

berasal dari benua Afrika dan merupakan suatu penyakit menular yang dengan

cepat menyebar ke seluruh dunia, terutama melalui hubungan seksual. Sampai saat

ini belum diketahui ada vaksin maupun obat yang dapat menanggulangi penyakit

ini, angka kematian AIDS ini sangat tinggi hampir semua penderita penyakit

meninggal dunia dalam waktu lima tahun sesudah menunjukkan gejala pertama

(Saydam, 2012).

AIDS adalah singkatan Acquired Immuno Defficiency Syndrome, yang berarti

sindroma (kumpulan gejala) akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang

didapat (bukan penyakit keturunan). AIDS kumpulan gejala penyakit yang


disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV. HIV cenderung

menyerang jenis sel tertentu, terutama sekali sel darah putih limfosit T4 yang

memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem

kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, HIV dapat juga menginfeksi sel Langerhans

pada kulit, menginfeksi kelenjar limfe, alveoli paru-paru, retina, serviks uteri dan

otak. Virus yang masuk limfosit T4 kemudian mengadakan replikasi sehingga

menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. HIV juga

mempunyai tat, yaitu salah satu dari sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi

maupun pertumbuhan sel yang baru. Tat dapat mempercepat replikasi virus

sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-

besaran yang pada akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi turun

atau lemah. Penurunan sistem kekebalan tubuh ini menyebabkan timbulnya

berbagai infeksi oportunistik dan keganasan kondisi ini disebut AIDS (Pinem, 2012).

2.1.2 Etiologi

Menurut Manan (2011), penyebab etiologi pada HIV adalah sebagai berikut:

a. Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan HIV terjadi

kalau ada cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan

pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik dan alat-alat penusuk (tato, penindik

dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin

atau disusui oleh wanita pengidap HIV.

b. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular.

c. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus tersebut.

11
d. Kemungkinan kecil HIV dapat ditemukan dari air liur, air mata, cairan otak,

keringat dan air susu ibu.

2.1.3 Patofisiologi

Menurut Najmah (2016), patofisiologi terjadinya HIV adalah virus masuk ke

dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret vagina,

sebagian besar 75% penularan terjadi melalui kontak seksual dan virus ini

cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen

permukaan CD4, terutama limfosit T yang memegang peranan penting dalam

mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.

2.1.4 Faktor Resiko

a. Kelompok resiko tertinggi terhadap infeksi HIV adalah homoseksual, pria

biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena dan penderita hemofilia

yang mendapat transfusi darah.

b. Kaum prostitusi dan mitra homoseksual pria.

c. Semua darah harus di skrining terhadap HIV sebelum ditransfusikan untuk

memperkecil risiko melalui darah.

d. Wanita lebih mudah mendapat virus dibandingkan pria.

e. Transmisi HIV dari ibu ke janin (Alam, 2012).

2.1.5 Cara Penularan HIV/AIDS

Terdapat beberapa cara penularan HIV/AIDS menurut Kusmiran (2012), yaitu

sebagai berikut:

12
a. Melalui hubungan seksual

Merupakan jalur utama penularan HIV/AIDS yang paling umum ditemukan, virus

dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena HIV kepada mitra seksualnya

melalui hubungan seksual tanpa pengaman seperti kondom, jalur ini dapat

dicegah dengan cara tidak berhubungan seksual, saling setia dengan satu

pasangan, selalu menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dan

tidak menggunakan obat-obat terlarang.

b. Parental

Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah atau

penggunaan alat-alat yang sudah dikotori darah seperti jarum suntik, jarum tato,

tindik. Hal ini dapat dicegah dengan memastikan bahwa darah yang diterima

pada saat transfusi tidak mengandung HIV dan memastikan bahwa peralatan

seperti jarum suntik, jarum tato dan tindik telah disterilkan dan apabila

memungkinkan gunakan peralatan yang sekali pakai buang.

c. Perinatal

Penularan melalui ibu kepada anaknya, hal ini bisa terjadi saat anak berada di

dalam kandungan, ketika dalam proses lahir atau sudah lahir.

2.1.6 Diagnosis HIV/AIDS

Terdapat beberapa cara dalam mendiagnosis HIV/AIDS yang pertama yaitu

dengan cara ELISA (Enzym Liked Immuno Sorbent Assay) tes ini digunakan mencari

antibodi yang ada dalam darah seseorang termasuk HIV, sifat tes ini sangat sensitif

dalam membaca kelainan darah. Cara kedua yaitu Western Bolt, tes ini dapat

mendeteksi kehadiran antibodi HIV dengan lebih akurat tetapi lebih mahal dari

13
ELISA dan ketiga dengan cara dipstick HIV, yaitu tes ini cepat dan murah dengan

sifat sensitif dan spesifik dalam melihat kelainan darah (Kusmiran, 2012).

2.1.7 Stadium HIV/AIDS

Menurut Najmah (2016), Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya

menjadi AIDS yaitu sebagai berikut:

a. Stadium I

Belum menunjukkan gejala dan dalam hal ini pasien dengan HIV tidak

menunjukkan gejala klinis yang berarti, sehingga pasien akan tampak sehat

seperti orang normal dan mampu melakukan aktifitasnya seperti biasanya.

b. Stadium II

Sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan dan gejala ringan seperti

penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi yang berulang pada saluran

nafas dan kulit.

c. Stadium III

Pasien sudah tampak lemah, gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan,

enderita akan mengalami penurunan berat badan yang lebih berat, diare yang

tidak kunjung sembuh, demam yang hilang timbul dan mulai mengalami infeksi

jamur pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar ke paru-paru.

d. Stadium IV

Pasien akan menjadi AIDS, aktivitas pasien akan banyak dilakukan di tempat tidur

karena kondisi dan keadaannya sudah mulai lemah dan infeksi mulai

bermunculan dimana-mana dan cenderung berat.

14
2.1.8 Pencegahan HIV/AIDS

Upaya pencegahan HIV/AIDS dapat berjalan efektif apabila adanya komitmen

masyarakat dan pemerintah untuk mencegah atau mengurangi perilaku risiko tinggi

terhadap penularan HIV. Terdapat beberapa upaya pencegahan HIV/AIDS yang

dapat dilakukan yaitu:

a. Tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau hanya

berhubungan seks dengan satu orang saja yang diketahui tidak terinfeksi HIV.

b. Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual, penggunaan kondom

yang benar saat melakukan hubungan seks baik secara vaginal, anal dan oral

dapat melindungi terhadap penyebaran infeksi menular seksual. Fakta

menunjukkan bahwa penggunaan kondom lateks pada laki-laki memberikan

perlindungan yang lebih besar terhadap penyebaran infeksi menular seksual

lainnya sebanyak 5%.

c. Menyediakan fasilitas konseling dan tes HIV sukarela. Konseling dan tes ini secara

sukarela ini sangat disarankan untuk semua orang yang terkena salah satu faktor

sehingga mereka mengetahui status infeksi serta dapat melakukan pencegahan

dan pengobatan dini.

d. Melakukan sunat bagi laki-laki, sunat pada laki-laki yang dilakukan oleh

profesional kesehatan terlatih dan sesuai dengan aturan medis dapat

mengurangi risiko infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual sekitar 60%.

e. Menggunakan Antiretroviral (ARV), sebuah percobaan yang dilakukan pada

tahun 2011 telah mengkonfirmasi bahwa orang HIV positif yang telah mematuhi

15
pengobatan ARV, dapat mengurangi risiko penularan HIV kepada pasangan

seksual HIV negatif sebesar 96%.

f. Pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba suntikan, penggunaan

narkoba suntikan dapat melakukan pencegahan terhadap infeksi HIV dengan

menggunakan alat suntik steril untuk setiap injeksi atau tidak berbagi jarum

suntik kepada pengguna lainnya.

g. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan dan

menyusui yaitu dengan pemberian ARV untuk ibu dan bayi selama kehamilan,

persalinan dan pasca persalinan serta memberikan pengobatan untuk wanita

hamil dengan HIV positif.

h. Melakukan tindakan kewaspadaan universal bagi petugas kesehatan, petugas

kesehatan harus berhati-hati dalam menangani pasien, memakai dan membuang

jarum suntik agar tidak tertusuk, menggunakan APD (Najmah, 2016).

2.1.9 Pengobatan

HIV/AIDS dapat diatasi dengan pemberian obat ARV, tetapi obat ini hanya

mengontrol replikasi virus pada tubuh penderita serta memperkuat sistem

kekebalan tubuh sehingga infeksi HIV tidak menjadi lebih parah (Saydam, 2012).

2.1.10 Dampak HIV/AIDS

Perempuan dan laki-laki yang terinfeksi HIV atau sudah menderita AIDS

mengalami trauma mental dan penderitaan fisik. Stigma tentang AIDS

menyebabkan mereka sering mengalami diskriminasi di rumah, tempat kerja dan di

masyarakat luas. Hal ini semua dapat menimbulkan stress. Selain itu wanita yang

menderita AIDS akan berpengaruh sangat buruk terhadap anak dan seluruh anggota

16
keluarganya. Hal yang lebih parah adalah jika ibu yang terinfeksi HIV menularkannya

kepada bayinya baik selama di dalam kandungan, selama proses persalinan atau

sesudah bayi lahir (Pinem, 2012).

2.2 Perilaku Kesehatan

Perilaku merupakan suatu tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis,

tertawa, bekerja dan lain-lain,baik yang diamati langsung maupun tidak langsung.

Skinner (1938) seorang ahli psikologi menyatakan bahwa perilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), oleh karena

itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan

kemudian organisme tersebut merespon (Purwoastuti, 2015)

Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep

Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku dipengaruhi oleh tiga

faktor utama yaitu:

1. Faktor Predisposisi

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,

tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial

ekonomi dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan

bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat

pembuangan tinja, ketersediaan makan yang bergizi dan sebagainya. Termasuk

17
juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik,

Posyandu dan Polindes.

3. Faktor penguat

Faktor ini mencakup faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (Toma), tokoh

Agama (Toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan, undang-undang,

peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait

dengan kesehatan.

2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Pencegahan HIV/AIDS

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012), beberapa faktor yang

mempengaruhi perilaku seseorang adalah mencakup pengetahuan dan sikap

masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-

hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat,

informasi, tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi, ketersediaan.

2.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan HIV/AIDS

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya

tindakan seseorang, pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Irsyad (2014), tentang pengaruh pengetahuan terhadap perilaku pencegahan

HIV/AIDS pada remaja, diketahui bahwa semakin baik pengetahuan remaja tentang

HIV/AIDS maka semakin baik pula perilaku pencegahan HIV/AIDS.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aditya (2015), tentang hubungan tingkat

pengetahuan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS, diketahui bahwa terdapat

18
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan

HIV/AIDS, semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula perilaku siswa dalam

hal pendidikan kesehatan reproduksi remaja khususnya dalam pencegahan HIV dan

AIDS. Remaja yang memiliki pengetahuan baik akan memiliki perilaku yang positif.

Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamdi (2016), tentang pencegahan

penularan HIV/AIDS, diketahui bahwa rendahnya perilaku pencegahan remaja

terhadap HIV/AIDS disebabkan karena kurangnya pengetahuan remaja tentang

HIV/AIDS, sehingga remaja tidak termotivasi untuk melakukan pencegahan.

Kurangnya pengetahuan remaja juga disebabkan karena sebagian besar masyarakat

Indonesia membicarakan seks adalah hal yang tabu dan bertentangan dengan

budaya, sehingga remaja tidak mendapat informasinya dari teknologi dan semakin

mudah mendapat informasi tentang hal yang berhubungan dengan seksualitas.

2.3.2 Hubungan Sikap dengan Pencegahan HIV/AIDS

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

stimulus atau objek. Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal

psikologis yang murni dari individu, sikap merupakan kesadaran yang sifatnya

individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap

individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal

dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu

(Mubarak, 2011).

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

stimulus atau objek. Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak

19
melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal

psikologis yang murni dari individu, sikap merupakan kesadaran yang sifatnya

individual. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Enggarwati

(2015), tentang pengaruh sikap terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS pada

remaja, diketahui bahwa semakin baik sikap remaja tentang HIV/AIDS maka

semakin baik pula perilaku pencegahan HIV/AIDS.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Faradhina (2013), tentang hubungan

tingkat sikap dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS, diketahui bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS,

mayoritas remaja memiliki sikap yang baik dan positif terhadap pencegahan

HIV/AIDS, yang ditunjukkan dengan pernyataan yang mendukung terhadap upaya

pencegahan penyakit HIV/AIDS dan remaja tidak mendukung kegiatan memakai

jarum suntik yang sama secara bergantian saat memakai narkoba dan mendukung

penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liawati (2018), tentang faktor-faktor yang

berhubungan terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS pada pekerja seks komersial,

diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan anatara sikap dengan perilaku

pencegahan HIV/AIDS, dimana responden yang baik dalam pencegahan HIV/AIDS

cenderung memiliki sikap yang positif terhadap pencegahan HIV/AIDS dan

sebaliknya responden yang perilaku pencegahan kurang baik cenderung memiliki

sikap negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS.

20
2.3.3 Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan HIV/AIDS

Pendidikan adalah suatu kegiatan proses pembelajaran untuk

mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga pendidikan

itu dapat berdiri sendiri. Jadi pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi

misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga makin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat

perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan

(Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam kesehatan

karena dengan pendidikan yang baik dapat menerima segala informasi dari luar

terutama tentang menjaga kesehatan, selain itu pendidikan merupakan faktor

yang mempengaruhi perilaku seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang

maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya jika

pendidikan rendah maka akan menghambat perkembangan sikap seseorang

terhadap penerimaan informasi. Sehingga terdapat hubungan antara pendidikan

dengan pencegahan HIV/AIDS, remaja yang memiliki pendidikan yang tinggi

cenderung melakukan pencegahan terhadap HIv/AIDS karena memiliki

pengetahuan yang lebih luas tentang HIV/AIDS yang didapatkan dari berbagai

sumber informasi (Kambu, 2012).

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang

yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.

Penggolongan pendidikan menurut Sisdiknas No 20 tahun 2003:

a. Tinggi, jika DIII/Pendidikan tinggi (D IV, S1, S2, S3).

21
b. Menengah, jika SMA/sederajat.

c. Dasar, jika SD/SMP/sederajat.

2.3.4 Hubungan Teman Sebaya dengan Pencegahan HIV/AIDS

Teman sebaya mempunyai pengaruh terhadap perilaku seksual remaja,

dimana hasil penelitian ditemukan ada hubungan secara bermakna. Pengaruh

negatif dari teman sebaya adalah gaya pergaulan bebas, perilaku teman sebaya

dalam kelompok menjadi acuan atau norma tingkah laku yang diharapkan dalam

kelompok. Gaya berpacaran teman sebaya menjadi model atau acuan yang

digunakan seseorang remaja dalam pacaran. Teman biasa melakukan ciuman

dengan pacarnya, maka dibenarkan kalau dia juga berciuman. Remaja cenderung

mengembang norma sendiri yang bertentangan dengan norma umum yang berlaku.

Remaja sangat terbuka terhadap kelompok teman sebaya (Fauziah, 2016).

Perkembangan sosial pada remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya

dibandingkan orang tua, remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah

dengan teman sebaya. Pada diri remaja pengaruh lingkungan dalam menentukan

perilaku diakui cukup kuat, walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan

kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan

diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok

teman sebaya. Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan

dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Informasi mengenai kesehatan

reproduksi dan hubungan seksual yang diperoleh dari teman sebaya sedikit banyak

telah memberikan dorongan untuk menentukan sikap remaja dalam melakukan

interkasi dengan pasangan (Manafe, 2014).

22
Remaja cenderung memperoleh informasi kesehatan reproduksi melalui

teman sebayanya, apabila pengetahuan teman sebaya tentang kesehatan

reproduksi positif maka informasi yang disampaikan kepada teman sebayanya juga

berdampak positif. Sebaliknya apabila pengetahuan teman sebaya bersifat negatif

maka akan memberikan dampak negatif pada teman sebayanya (Ismiyatno, 2013).

2.3.5 Hubungan Informasi dengan Pencegahan HIV/AIDS

Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat

seseorang memperoleh pengetahuan yang baru. Informasi adalah suatu rekaman

fenomena yang diamati atau berupa putusan-putusan yang dibuat seseorang dan

mempunyai potensi untuk dimanfaatkan oleh seseorang. Jenis informasi sangat

banyak dan jumlahnya terus bertambah karena setiap saat lahir informasi baru

(Kholid, 2012). Terdapat beberapa sumber informasi adalah sebagai berikut:

a. Media cetak

Media cetak berupa booklet (dalam bentuk buku), leaflet (dalam bentuk kalimat

atau gambar), flyer (selebaran), flif chart (Lembar balik), rubrik (surat kabar atau

majalah kesehatan), poster, foto yang mengungkapkan informasi kesehatan.

b. Media elektronik (Audio Visual)

Media elektronik berupa televisi, radio, film dan iklan.

c. Internet.

d. Petugas kesehatan.

Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk

menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik

itu melalui media cetak, eletronik dan media luar ruang, sehingga sasaran dapat

23
meningkat pengetahuannya yang akhirnya dapat merubah perilaku kearah positif

terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Paparan informasi terhadap media massa seperti surat kabar, televisi, radio,

selebaran dan poster dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dalam

memahami sesuatu hal, begitu pula yang dihadapi oleh para pengguna napza

suntik. Informasi HIV/AIDS ini juga akan mempengaruhi tingkat pengetahuan

tentang cara pencegahan HIV/AIDS, semakin banyak terpapar informasi khususnya

tentang pencegahan HIV/AIDS, maka tingkat pengetahuan remaja juga akan

bertambah yang nantinya akan mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap

pencegahan HIV/AIDS (Chartika, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Romdiyah (2017), tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi pencegahan HIV/AIDS, diketahui bahwa terdapat

hubungan antara informasi dengan pencegahan HIV/AIDS, dimana remaja yang

tidak pernah mendengar informasi tentang HIV/AIDS cenderung tidak melakukan

pencegahan, hal ini disebabkan karena banyak remaja yang tidak pernah

mendengar tentang HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fadhali (2016), tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan HIV/AIDS, diketahui bahwa

terdapat hubungan antara informasi dengan pencegahan HIV/AIDS. Informasi

kesehatan ini erat kaitannya dengan pengetahuan dan sikap remaja. Remaja yang

memiliki banyak informasi positif tentang HIV/AIDS akan termotivasi untuk

melakukan pencegahan karena mengingat sangat bahaya penyakit ini.

24
2.4 Komunitas Anak Jalanan

Anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marjinal, dan teraliensi dari

perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus

berhadapan dengan lingkungan kota yang keras dan bahkan sangat tidak

bersahabat. Di berbagai sudut kota sering terjadi, anak jalanan harus bertahan

hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima

masyarakat umum, sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan

untuk membantu keluarganya. Tidak jarang pula mereka dicap sebagai pengganggu

ketertiban dan membuat kota menjadi kotor, sehingga yang namanya razia atau

penggarukan bukan lagi hal yang mengangetkan mereka (Kementrian Sosial RI,

2015).

Anak jalanan atau gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat

tinggal tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili secara otentik. Disamping itu

mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak,

menurut ukuran masyarakat pada umumnya dan sebagaian besar dari mereka tidak

mengenal nilai-nilai keluhuran. Anak jalanan memiliki karakteristik khas baik secara

psikologisnya maupun kreativitasnya, antara lain (Irsyad, 2014):

a. Mudah tersinggung perasaannya.

b. Mudah putus asa dan cepat murung.

c. Nekat tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin

membantunya.

d. Tidak berbeda dengan anak-anak yang lainnya yang selalu menginginkan kasih

sayang.

25
e. Tidak mau bertatap muka dalam arti mereka diajak bicara, mereka tidak mau

melihat orang lain secara terbuka.

f. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak, mereka

sangatlah labil.

g. Mereka memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak selalu sesuai

bila diukur dengan ukuran normatif masyarakat umumnya.

Berdasarkan kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam

tiga kelompok

a. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi –

sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat

dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada

kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi

keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak

dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

b. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik

secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai

hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak

menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab

lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak

pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial,

emosional, fisik maupun seksual.

c. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga

yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan

26
kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu

tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari

kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi,

bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan

mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang

rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum

diketahui secara pasti.

Penyebab keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat

mikro (Immediate Causes), faktor pada tingkat messo (Underlying Causes), dan faktor

pada tingkat makro (Basic Causes).

a. Tingkat Mikro (Immediate Causes)

Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan

keluarganya. Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan

keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:

1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah

putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.

2) Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua

menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau

kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga,

terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak,

keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah

fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya

27
masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan pengangguran,

perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga.

3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi

membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh

pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan pemerintah.

4) Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua sudah

tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak, telah

menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.

b. Tingkat Messo (Underlying Causes)

Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini yaitu

faktor yang ada di masyarakat. Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang

dapat diidentifikasi meliputi:

1) Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu

peningkatan pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang

menyebabkan drop out dari sekolah.

2) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anak-anak

mengikuti kebiasaan itu.

3) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.

c. Tingkat Makro (Basic Causes)

Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu faktor

yang berhubungan dengan struktur makro. Pada tingkat makro (struktur

masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:

28
1) Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu

membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama dijalanan dan

meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong

urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang diakibatkan

kesenjangan pembangunan desa-kota, kemudahan transportasi dan ajakan

kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian

dari mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke

jalanan.

2) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka

dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya dengan

kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih memguntungkan segelintir

orang.

3) Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif,

dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan

kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus sekolah karena alasan

ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk menjadi pencari kerja dan

jalanan mereka jadika salah satu tempat untuk mendapatkan uang.

4) Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara

sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan)

dam pendekatan yang mengangga anak jalanan sebagai trouble maker atau

pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan).

5) Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring

pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anak menghadapi kesulitan.

29
6) Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan,

taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-

daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai

ajang bermain dan bekerja.

2.5 Kerangka Teori

Teori faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan HIV/AIDS di adaptasi

dari L., Green dalam Notoatmodjo, 2012).

Faktor predisposisi
- Usia
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pengetahuan
- Penghasilan
- Sikap

Perilaku Faktor pendukung


Pencegahan Kualitas
Individu - Ketersediaan fasilitas
HIV/AIDS Hidup
terhadap atau sarana-sarana
pencegahan kesehatan
HIV/AIDS - Jarak atau akses
menuju Puskesmas

Faktor penguat
- Informasi tentang
HIV/AIDS
- Teman Sebaya

Gambar 2.3 Kerangka Teori di Modifikasi Green dalam Notoatmodjo, 2012).

30

Anda mungkin juga menyukai