Anda di halaman 1dari 26

Tugas

”KECERDASAN DALAM KEPEMIMPINAN”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah kepemimpinan


Dosen pengampu : Dr. Besse Marhawati, M.Pd
Kelompok 2
Kelas C
1. Rekzy Pramana P. Mantali (841417136)
2. Salsha Anggraini Selong (841417115)
3. Meyski Amelia Pakude (841417113)
4. Titin Hamzah (841417126)
5. Sri Yulman Panantu (841417139)
6. Chintia Purnama S. Yunus (841417131)

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai
macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa
keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat
kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih
mudah dan penuh manfaat.

Kami menyadari sekali, di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna serta banyak kekurangannya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam
hal materinya yang kami sajikan, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan
saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makalah kami.

Harapan paling besar dari kami yang menyusun makalah ini ialah, mudah-
mudahan apa yang kelompok kami susun ini dapat memberikan manfaat bagi yang
membacanya sehingga dapat di ambil hikmah dari judul tugas ini “KECERDASAAN
DALAM KEPEMIMPINAN” sebagai tambahan dalam menambah referensi yang
telah ada.

Gorontalo, Maret 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan..................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................4
2.1 Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif..........................................................4
2.2 Kecerdasan Emosi................................................................................................6
2.3 Pemimpin yang Efektif dan Transformasional....................................................8
2.4 Kompetensi Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)...............................11
2.5 Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif............................14
BAB III PENUTUP....................................................................................................21
3.1 Kesimpulan........................................................................................................21
3.2 Saran..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumber daya manusia merupakan topik yang menarik untuk dikaji dan diteliti,
karena telah terjadi pergeseran kepemimpinan di bandingkan era tahun 1980-an dan
1990-an yang akan berdampak pada pergeseran di bidang ekonomi global, kompetisi,
dan kebutuhan akan sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemimpin harus
multitalenta dalam mengendalikan kegiatannya agar tujuan organisasi dapat dicapai
dengan baik. Era globalisasi tentu saja membawa banyak perubahan, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Sisi positifnya adalah pada saat sekarang ini
informasi/pengetahuan mudah diperoleh meskipun juga mengalami masa yang cepat,
sedangkan sisi yang lain adalah bahwa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari semakin kompleks dan sekaligus tidak pasti.

Perubahan yang demikian drastis seringkali menjadikan organisasi


menghadapi permasalahan yang semakin kompleks dan tidak hanya menyangkut
masalah finansial, namun seringkali juga sumber daya manusia. Perubahan yang
demikian tidak hanya menuntut seorang manajer yang mempunyai kepandaian
intelektual yang tinggi, namun mampu menghitung seberapa banyak alokasi dana,
berapa perkiraan keuntungan yang harus diperolehnya, dan perhitungan
perkembangan perusahaan secara angka saja. Justru pada saat dinamika perusahaan
naik turun, diperlukan seseorang yang mampu menyeimbangkan kepentingan
organisasi dengan tanpa meninggalkan sumber daya, khususnya sumber daya
manusia yang terlibat di dalamnya, atau dengan kata lain dibutuhkan suatu
kepemimpinan yang tepat. Menurut Tanaka (1998) kepemimpinan memang
menempati posisi sentral dalam manajemen. Tugas seorang pemimpin memang
berkaitan dengan kegiatan manajemen dan kepemimpinan.

1
Melakukan kegiatan manajemen berarti mengerjakan segalanya secara benar,
dan melakukan kegiatan kepemimpinan berarti mengerjakan hal-hal yang benar.
Seorang pemimpin dituntut untuk dapat memenuhi kedua persyaratan di atas secara
menyeluruh. Seringkali para pemimpin menemui dilema dalam pengambilan
keputusan karena hal benar yang dibenarkan secara manajemen dalam kesempatan
yang lain, artinya dimensi waktu bisa menegatifkan pengambilan keputusan
sebelumnya (Gunawan Samsu, 2009). Untuk lebih mengantisipasi hal tersebut, maka
dibutuhkan seorang pemimpin yang visioner dan efektif.

Pemimpin visioner berarti seorang pemimpin yang dalam bertindak, berpikir


memandang jauh ke depan. Ia menetapkan tujuan perusahaan dalam visi dan misi, ia
menetapkan kebijakan dengan melihat baik buruknya alternatif dan resiko atau akibat
yang akan terjadi, sudah dipertimbangkan baik-baik. Setiap persoalan dipandang
secara bijak diambil hikmahnya, jika baik diambil, jika buruk kemudian diperbaiki
agar tetap mengarah dan fokus ke masa depan Agustian Ary Ginajar (2008) seorang
visioner adalah mereka yang memiliki tujuan jangka panjang. Mereka bekerja bukan
untuk sesuatu yang bersifat fisik dan sementara, namun untuk kepentingan orang
banyak.

Menurut Gunawan Samsu (2008). ”Seorang visioner punya kearifan untuk


bersinergi dengan visioner lainnya, dengan semangat saling memperkuat seperti
layaknya ikatan sapu lidi. Seorang visoner juga harus punya kesabaran untuk
merangkai tiap batang sapu lidi untuk menjadi ikatan yang kuat. Hal ini berarti bahwa
seorang visioner haruslah seorang yang peduli dan empati dengan orang lain
khususnya anak buah atau anggotaanggotanya”. Sedangkan pemimpin efektif adalah
seorang pemimpin yang mampu memimpin dengan segala ucapan, perbuatan dan
sikap atau perilaku hidup yang mendorong dan mengantarkan bawahan pada tujuan
yang hendak dicapai. Riyadiningsih dan Ratna (2007) menyatakan bahwa
kepemimpinan yang efektif akan sangat berpengaruh terhadap kinerja bawahan dalam
suatu organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa bawahan akan memiliki kinerja

2
tinggi jika kepemimpinannya efektif. Kinerja bawahan tinggi dengan sendirinya akan
berimbas pada kinerja organisasi yang tinggi pula.

Di era globalisasi ini kecerdasan emosi memainkan peranan yang penting


dalam semua bidang kehidupan dan semua bidang pekerjaan. Sejak munculnya buku
Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (Goleman, 1995),
kecerdasan emosi makin popular dirujuk sebagai faktor penting dalam menjelaskan
keberhasilan di tempat kerja. Goleman berargumen dalam bukunya itu bahwa
kecerdasan emosi mampu menjelaskan 80% dari kesuksesan kerja, hanya 20%
sisanya dijelaskan oleh faktor lain seperti kecerdasan intelektual. Majalah Time edisi
2 Oktober 1995 menulis di cover-nya, “It's not your IQ. It's even not a number. But
emotional intelligence may be the best predictor of success in life,
redefiningwhatitmeansto be smart (lihat juga Mayer, Salovey, Caruso, &
Cherkasskiy, 2011).”

Banyak bukti penelitian mengungkap bahwa keberhasilan seseorang dalam


kehidupan tidak lagi mendasarkan pada aspek kognitif yaitu berupa inteligensi (IQ),
tetapi aspek afektif yaitu kecerdasan emosi (EQ) yaitu kemampuan menahan diri,
mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, motivasi tinggi, bersikap kreatif,
memiliki empati, bersikap toleransi dan sebagainya yang merupakan karakteristik
yang jauh lebih penting dari sekedar inteligensi.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif
2. Mengetahui Bagaiamana Kecerdasan Emosi
3. Mengetahui Bagaiamana Pemimpin yang Efektif dan Transformasional
4. Mengetahui Bagaiamana Kompetensi Kecerdasan Emosional (Emotional
Quotient)
5. Mengetahui Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif


Ada beberapa karakteristik dari kepemimpinan yang efektif yang
dikemukan oleh berbagai tokoh antara lain:

1. Gordon (1991) kepemimpinan yang efektif meliputi: (1) pemimpin harus


mengenal dan mengetahui kebutuhan bawahan, (2) pemimpin harus
meningkatkan pemberian hadiah kepada bawahannya yang berprestasi, (3)
pemimpin harus dapat memfasilitasi jalan untuk mendapatkan hadiah dengan
memberi pengarahan dan bimbingan, (4) pemimpin seharusnya membantu
bawahan mengklarifikasi harapannya dengan memberi contoh usaha yang
mengarah pada kinerja yang tinggi, (5) pemimpin harus mengurangi
hambatan-hambatan yang membuat frustrasi bawahan dalam memperoleh
hadiah dan hasil, dan (6) pemimpin harus meningkatkan kesempatan untuk
kepuasan pribadi yang merupakan hasil dari kinerja yang efektif.
2. Bennis yang dikutip Bliss (1999) mengemukakan bahwa pemimpin adalah
orang yang memiliki karakteristik: (1) inovatif, (2) fokus pada orang, (3)
membangun kepercayaan, (4) memiliki perspektif jangka panjang, (5)
menanyakan apa dan mengapa, (6) memiliki pandangan yang luas dan
melebar, (7) memiliki orisinalitas, dan (8) suka tantangan.
3. Hogan dkk (1994) dan Robinson (2000) mengemukakan 5 karakteristik
khusus dari kepemimpinan yang efektif, yaitu: (1)kecerdasan mental (mental
agility), pemimpin memiliki minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala
hal, memiliki rasa ingin tahu tentang orang lain dan motivasi yang
mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru, suka membaca dan suka akan
tantangan. (2) stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki nilai yang tinggi
pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya diri, penerimaan diri
(self acepting), keseimbangan (balanced), tahan terhadap stress, toleran

4
terhadap ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif
dalam menangani konflik dan umpan balik negatif, (3) (surgency), yaitu
pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif, dan memiliki energi yang tinggi,
berani mengambil keputusan, (4) (conscientiousness), yaitu pemimpin
memiliki sifat hati-hati dan sabar, motivasi yang tinggi untuk berprestasi,
tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki
kemampuan mengorganisasi, dan (5) (agreeableness) yaitu pemimpin dapat
kooperatif, dapat berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat
dipercaya.
4. Bliss (1999) semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang umum
yaitu: (1) mengarah pada visi dan tujuan, (2) memiliki kemampuan untuk
mengkomunikasikan kemauannya kepada orang lain, (3) memiliki integritas
meliputi: pengetahuan diri (self knowledge) yaitu tahu akan kelemahan dan
kelebihan dirinya sendiri, terus terang (candor), dan kematangan (maturity)
yang merupakan hasil belajar yang telah dijalani.
5. Steers (1985) menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan
kepemimpinan, yaitu: (1) ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat menjadi
kendala dalam menjadi pemimpin yang efektif. Misal, penelitian tentang
kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif memiliki
karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari ketrampilan tersebut dapat
menghalangi perilaku pemimpin yang efektif, (2) ketidakmampuan pemimpin
dalam membuat berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang tepat, (3)
pada tingkat tertentu, pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah
seperti menaikkan gaji, promosi dan lain-lain, (4) karakteristik dari situasi
kerja juga dapat menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan.
6. Klemm (1999) menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi positif
dengan kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-ciri pemimpin
yang kreatif meliputi: (1) memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, (2)
dapat menerima informasi dengan baik (well informed), (3) memiliki

5
pemikiran yang asli (original thinkers), 4) menjawab pertanyaan dengan benar
(ask the right questions), dan 5) disiapkan untuk menjadi kreatif (prepared to
be creative).
7. Dunning (2000) mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan keberhasilan
pemimpin yang baru di era milenium, yaitu: (1) harus memahami dan
mempraktekkan pentingnya suatu penghargaan terhadap kemampuan,
sehingga pemimpin dituntut memiliki kemampuan, (2) senantiasa
mengingatkan bahwa pentingnya mengembangkan bawahannya, (3)
senantiasa memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan (4)menjalin
keakraban dengan rekan sekerja.
8. Kane (1998) menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk dimiliki
pemimpin pada era melinium yaitu: (1) kompetensi dasar (core competencies)
seperti: inteligensi, integritas (integrity) dan perhatian (caring), (2)
ketrampilan/pengetahuan (skills/knowledge), membangun tim (team
building), mengorganisir bawahan (people management), keterlibatan pada
aktivitas di masyarakat (community involvement), dapat mengelola konflik
secara produktif (productive use of conflict) dan kecerdasan emosi (emotional
intelligence), (3) sikap terhadap keberhasian kepemimpinan (attitudes for
successful leadership), yaitu: memiliki komitmen (comitment), perbaikan
yang terus menerus (continuous improvement) (Yoenanto, Herry (2002).

2.2 Kecerdasan Emosi


Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan
sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi
dalam tiga bidang kecerdasan yaitu: (1) kecerdasan abstrak, seperti: kemampuan
memahami dan memanipulasi simbol verbal dan matematika, (2) kecerdasan
kongkrit, yaitu kemampuan memahami dan memanipulasi objek, dan (3)
kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan orang lain (Goleman,
1995). Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip Goleman (1995)

6
adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak
bijaksana dalam menjalin hubungan, meliputi: kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk
mengelola diri sendiri, sedangkan kecerdasan interpersonal adalah kemampuan
memahami orang lain.

Kemudian, konsep kecerdasan emosi berkembang menjadi istilah emosi


yang dikemukakan oleh Mayer dan Salovey pada tahun 1993 (Davies,1998;
Kierstead, 1999; Caruso, 2000; Simmons, 2001 dan Goleman, 2000) dengan
memberikan definisi emosi yang merupakan kompilasi dari 4 macam
ketrampilan, yaitu: 1) mengidentifikasi emosi (identifying emotions), yaitu
kemampuan mengenali dan merasakan perasaannya, 2) menggunakan emosi
untuk memfasilitasi pikiran (using emotion to facilitate thought), yaitu
kemampuan mengekspresikan emosi dan kemudian memberi alasan dengan
emosinya, 3) memahami emosi (understanding emotions), yaitu kemampuan
emosi secara kompleks dan rangkaian emosi serta bagaimana emosi berpindah
dari satu tahap ke tahap lainnya, dan 4) mengelola emosi (managing emotions),
yaitu kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan dalam berhubungan
dengan orang lain.

pengertian kecerdasan emosi berkembang tidak hanya sekedar 4


ketrampilan, tetapi lebih luas. Menurut Goleman yang dikutip Bliss (1999),
kecerdasan emosi didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri,
penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang, dan kemampuan
seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif
perubahan dan menerimanya. Atau dengan kata lain Goleman (2000) memberi
pengertian kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan untuk mengenali
perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam
hubungannya dengan orang lain.

7
Dalam buku yang terbaru bekerja dengan kecerdasan emosi dalam
konteks dunia kerja, Goleman yang dikutip oleh Blisss, (1999); Simon (2001)
membagi 2 wilayah dari kerangka kecerdasan emosi, yaitu: (1) kompetensi
pribadi (personal competency), yaitu bagaimana mengatur diri sendiri yang
terdiri dari: a) kesadaran diri (self awareness), yaitu kemampuan untuk mengenal
perasaan dirinya sendiri, b) kemampuan mengatur diri sendiri (self regulation/
self management) yaitu kemampuan mengatur perasaannya dan c) motivasi
(motivating) yaitu kecenderungan yang memfasilitasi dirinya sendiri untuk
mencapai tujuan walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan. (2) kompetensi
sosial ( social competence), yaitu kemampuan mengatur hubungan dengan orang
lain, yang terdiri dari (a) empati, yaitu kesadaran untuk memberikan
perasaan/perhatian, kebutuhan dan kepedulian kepada orang lain, dan (b)
memelihara hubungan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain,
ketrampilan sosial seperti: kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi.

2.3 Pemimpin yang Efektif dan Transformasional


Ukuran yang paling banyak digunakan untuk mengukur efektivitas
pemimpin adalah seberapa jauh unit organisasi pemimpin tersebut berhasil
menunaikan tugas pencapaian sasarannya (Yukl, 2006). Contoh ukuran kinerja
yang obyektif mengenai pencapaian kinerja atau sasaran adalah keuntungan,
margin keuntungan, peningkatan penjualan, pangsa pasar, penjualan dibanding
target penjualan, pengembalian atas investasi, produktivitas, biaya per unit
keluaran, biaya yang berkaitan dengan anggaran pengeluaran dan seterusnya.
Sedangkan ukuran subyektifnya adalah tingkat efektivitas yang dihasilkan oleh
pemimpin tertinggi, para pekerja atau bawahan sikap para pengikut terhadap
pemimpin merupakan indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif
(Yukl, 2006). Seberapa baik pemimpin tersebut memenuhi kebutuhan dan
harapan pengikutnya? Apakah para pengikut menyukai, menghormati dan
mengagumi pemimpinnya? Apakah pengikut benar-benar mau mengerjakan

8
keinginan pemimpinnya? Indikator berikutnya adalah berdasar kontribusi
pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut.
Apakah pemimpin mampu meningkatkan kohesivitas anggota kelompok,
kerjasama anggota, motivasi anggota, penyelesaian masalah, pengambilan
keputusan dan mendamaikan konflik antaranggota? Apakah pemimpin
berkontribusi terhadap efisiensi pembagian peran, pengorganisasian aktivitas,
pengakumulasian sumber-sumber dan kesiapan kelompok untuk menghadapi
perubahan atau krisis? Apakah pemimpin dapat memperbaiki kualitas kehidupan
kerja, membangun rasa percaya diri pengikutnya, meningkatkan ketrampilan
mereka dan berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologis
para pengikutnya.

Dalam kebanyakan konteks organisasi, kepemimpinan transformasional


dianggap sebagai gaya kepemimpinan yang lebih efektif dibandingkan dengan
transaksional dan secara konsisten ditemukan meningkatkan kinerja organisasi
yang lebih besar (Lowe dan Kroeck, 1996). Kepemimpinan transformasional
secara tradisional didefinisikan sebagai perwujudan komponen-komponen
karisma, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual (Avolio et al., 1999).
Dimensi karisma terkait dengan pemimpin yang menanamkan kebanggaan,
iman, dan rasa hormat pada bawahan dan yang menetapkan visi dan misi untuk
sebuah tim melalui keterampilan komunikasi yang baik. Stimulasi Intelektual ciri
seorang pemimpin yang meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, kehatihatian
dalam pemecahan masalah, dan yang mendorong bawahan untuk melakukan
inovatif dalam menyelesaikan suatu masalah. Seorang pemimpin yang
memberikan perhatian pribadi kepada bawahan, memperlakukan setiap
karyawan sebagai seorang individu, dan mengambil minat dalam jangka panjang
pengembangan kepribadian setiap karyawan merupakan komponen
kepemimpinan transformasional Kepemimpinan Transformasional (Sivanathan,
Niroshaan dan G.Chinthia F, 2002) adalah kemampuan pemimpin untuk

9
memotivasi pengikutnya untuk mencapai melebihi apa yang mulanya dianggap
mungkin. Bass (1985) mengusulkan empat faktor karakteristik kepemimpinan
transformasional yang sering disebut sebagai ”Four I’s :

1. Pengaruh ideal/Idealized Influence yakni pengikut mengidealkan dan meniru


perilaku pemimpin terpercaya mereka;
2. Inspirasional motivasi/Inspirational Motivation yaitu pengikut termotivasi
oleh pencapaian tujuan yang sama;
3. Stimulasi intelektual/Intellectual Stimulation yakni pengikut didorong untuk
melepaskan diri dari cara berpikir lama dan didorong untuk mempertanyakan
nilainilai, keyakinan dan harapan mereka; dan
4. Pertimbangan individual/Individualized Consideartion yaitu kebutuhan
pengikut yang ditujukan baik secara individu dan tujuan keadilan (Bass dan
Avolio, 1997)

Kepemimpinan transformasional secara konsisten menunjukkan efek


menguntungkan pada berbagai hasil individu dan organisasi (Bass, 1998). Sebagai
contoh, Barling et al. (1996) menemukan bahwa komitmen organisasi bawahan
berkorelasi positif dengan perilaku kepemimpinan transformasional supervisor
mereka.

Kelloway dan Barling (1993) juga telah menunjukkan prediksi kuat


kesetiaan seseorang kepada organisasinya, sejauh mana dipraktikkan
kepemimpinan transformasi. Selain itu, hubungan yang positif juga telah
ditemukan antara kepemimpinan transformasional dan motivasi bawahan (Masi
dan Cooke, 2000). Beberapa penelitian yang lain menunjukkan bukti-bahwa
kepemimpinan transformasional secara positif berhubungan dengan kinerja bisnis
intinya (Barling et al.,1996; Howell dan Avolio, 1993).

Menurut Bass (1998) kepemimpinan transformasi adalah berhubungan


secara positif dengan efektivitas pemimpin. Karena hasil organisasi positif

10
berhubungan dengan kepemimpinan transformasi, para peneliti mengeksplorasi
faktor-faktor yang memprediksi perilaku kepemimpinan transformasional (Rost,
1991). Faktor yang banyak dinyatakan adalah kecerdasan emosional (Sosik dan
Megerian, 1999; Barling et al.,2000) Avolio mengemukakan bahwa para
pemimpin yang efektif adalah orang-orang yang mempunyai gaya kepemimpinan
transformasional daripada gaya kepemimpinan transaksional (1995).
Kepemimpinan Transformasional lebih berdasarkan emosi dibandingkan dengan
kepemimpinan transaksional dan melibatkan tingkat emosional tinggi
(Yammarino dan Dubinsky, 1994).

2.4 Kompetensi Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)


Kompetensi didefinisikan sebagai kapabilitas atau kemampuan
(Boyatzis,2008) dan kompetensi Kecerdasan Emosional (EQ) merujuk pada
kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan sendiri, sadar akan perasaan
orang lain, membedakan diantara keduanya, dan menggunakan informasi untuk
membimbing seseorang berpikir dan berperilaku. Definisi ini terdiri dari tiga
kategori kemampuan: evaluasi dan ekspresi emosi, regulasi emosi dan
menggunakan emosi dalam pengambilan keputusan.

Goleman (Polychroniou, PV, 2009) memberikan definisi yang sama:


"kemampuan untuk mengatur perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk
memotivasi diri kita sendiri, dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri
kita sendiri dan dalam berhubungan orang lain "Bar-On (Stein, SJ. Et al, 2009)
menyatakan bahwa orang dengan tingkat emosional lebih tinggi memiliki
kemampuan untuk menangani situasi yang menekan tanpa kehilangan kontrol dan
dapat mempertahankan ketenangannya ketika berhubungan dengan orang lain
bahkan ketika intens mengalami emosi. Sosik dan Megerian (Stein, SJ. Et al,
2009) menyatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional merasa lebih aman
dalam kemampuan mereka untuk mengontrol dan pengaruh peristiwa kehidupan

11
dan, sebagai hasilnya, individu memberikan fokus pada orang lain serta
merangsang intelektual dan memotivasi pengikutnya.

Stein dan Book (2000) berpendapat bahwa para pemimpin dengan


kecerdasan emosional yang lebih besar akan menjadi pemimpin yang efektif.
Barling dari suatu studi menemukan bahwa para manajer di pabrik yang
kecerdasan emosionalnya ditingkatkan (diperhatikan dan dijaga) menunjukkan
pengaruh yang lebih besar pada faktor pengaruh ideal, inspirasional motivasi dan
pertimbangan individual (Barling, et al., 2000). Menurut Goleman (2000)
kecerdasan emosi berperan dua kali lipat bahkan lebih dalam menentukan
kesuksesan seseorang di tempat kerja. Bahkan jika dikombinasikan dengan
kecerdasan spiritual (ESQ) mampu menjadi benteng dalam pelaksanaan tanggung
jawab atas pekerjaaannya (Hidayat, Riskin, 2008).

Kepedulian dan sikap berempati terhadap bawahan atau pengikutnya


merupakan salah satu indikator adanya kecerdasan emosional pada orang tersebut.
Semenjak ditemukannya konsep EQ (Kecerdasan Emosi) oleh Daniel Goleman,
peduli dan empati menjadi sesuatu yang teramat penting. Masyarakat barat yang
cenderung individualis seakan tersadarkan akan pentingnya nilai-nilai yang
selama ini dianggap kurang penting terhadap kesuksesan seseorang. Peduli berarti
mampu untuk memahami kebutuhan orang lain, merasakan persaannya serta
menempatkan diri dalam posisi orang lain. Seseorang yang memiliki kepedulian
tinggi adalah orang yang peka, yang bukan saja perhatian pada dirinya sendiri
(self-centered), melainkan juga tertuju kepada orang lain (extra centered
sensitivity) sehingga mudah merasa iba pada orang lain. Kepedulian membuat
orang melihat keluar dari dirinya dan menyelami perasaan dan kebutuhan orang
lain, lalu menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan untuk orang-
orang disekelilingnya (ESQ Nebula, 2009).

12
Ada dua jenis cara pandang, pertama melalui cermin dan kedua melalui
kaca jendela. Seseorang yang self centered memandang hanya melalui kaca
cermin sehingga yang ia lihat hanya dirinya sendiri. Sedangkan seorang
extracetered memandang melalui kaca jendela, yang dilihat bukanlah dirinya
sendiri. melainkan orang lain dan kebutuhannya. Orang yang perhatiannya tertuju
kepada orang lain akan bersikap: 1) Lebih sadar akan kepentingan dan kebutuhan
orang lain; 2) Perhatiannya terhadap kepentingan diri sendiri berkurang; 3)
Bertambah kesadarannya bahwa setiap orang memiliki keunikan sendirisendiri; 4)
Bertambah keinginan untuk memberikan bantuan dan pertolongan bagi orang
lain; 5 ) Berkurangnya rasa kesedihan, karena melihat bahwa orang lain banyak
yang kurang beruntung.

Empati yang secara umum dikenal sebagai kebijakan universal, sangat


berkaitan dengan kebajikan lainnya seperti cinta, toleransi, kebaikan, kepedulian,
penerimaan dan lainlain. Daniel Goleman menganggap empati sebagai komponen
besar dalam kecerdasan emosi sebab empati memungkinkan seseorang
memahami dan memprediksi emosi dan kebutuhan orang lain. Pengetahuan
tersebut dapat membantu kita untuk mempengaruhi orang lain. Empati dapat
menjadi kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan dengan orang lain
(Connecting with).

Menurut Daniel Goleman (ESQ Nebula, 2009), meningkatkan empati


dapat melalui beberapa cara yaitu : 1 )Understanding Other, yaitu cepat
menangkap isi perasaan dan pikiran orang lain; 2) Service Orientation, yaitu
memberikan pelayanan yang dibutuhkan orang lain, bukan mengambil apalagi
memanipulasi; 3) Developing Others yaitu memberikan masukan-masukan positip
atau membangun orang lain; 4) Leveraging Others yaitu mengambil manfaat dari
perbedaan, bukan menciptakan konflik dari perbedaan, da n 5 )Political
Awareness yaitu memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis
dalam hubungannya dengan orang lain.

13
Sikap peduli dan empati dapat meningkatkan emosi positif, dimana emosi
positif akan mendorong orang untuk bereaksi positif juga. Dengan demikian jika
pemimpin menginginkan ada respon yang baik dan motivasi untuk bekerja
menjadi lebih baik adalah dengan menumbuhkan sikap peduli dan empati. Selain
kepedulian dan empati, ada beberapa dimensi keterampilan yang lain yang ada
dalam kecerdasan emosional. Dimensi ketrampilan tersebut meliputi Intrapersonal
sebagai indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk
mengukur Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal, Manajemen Stress
digunakan untuk Manajemen dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan
sebagai indikator kemampuan untuk Mengelola Perubahan, dan General Mood
digunakan sebagai indikator Motivasi diri.

Pengukuran dimensi ketrampilan dan indicator kecerdasan emosional


dapat dilakukan dengan menggunakan Emosional Quotient Inventory (EQ-i).
Menurut Bar-On (Stein, SJ. Et al, 2009) model EQ-i melibatkan daftar
kemampuan dan ketrampilan pribadi, emosional, dan sosial. Skor yang lebih
tinggi pada hasil EQ-i ini mengimplikasikan ketrampilan Emotional Intelligence
yang kuat dan lebih positif memprediksikan sebagai efektif dalam memenuhi
tuntutan dan tantangan. Sebaliknya, skor EQ-i yang lebih rendah menunjukkan
keterampilan EI yang buruk dan mengurangi kemampuan untuk menjadi efektif
dalam memenuhi tuntutan dan tantangan.

2.5 Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif


Kepemimpinan (leadership) diartikan sebagai kemampuan untuk
memegaruhi suatu kelompok guna mencapai visi atau serangkaian tujuan yang
sudah ditetapkan. Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia, tetapi
tidak sembarang pemimpin dapat melakukannya. Tidak mudah mencari sosok
pemimpin ideal. Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya penobatan,
kudeta, pelantikan, pemilu dan perubahan rezim. Raja, perdana menteri,
pangeran, presiden, sekretaris jendral dan diktator datang silih berganti. Sejarah

14
membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek dan dukungan
rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan kondisi hidup
yang terjamin. Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin akan segera
mengantikan.

Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan


biasanya menjadi pemicu pergantian. Karismatik, bila kita menengok sejarah
para pemimpin yang kuat seperti Napoleon, Mao Tze Tung, Churchil, Margaret
Thatcher, Ronald Reagen, Bung Karno, Gandhi, semuanya merupakan orang-
orang yang sering kali disebut sebagai pemimpin karismatik. Apa yang dimaksud
dengan kepemimpinan karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya
definisi sendiri. Lebih dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat
dari seseorang yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya
dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki
oleh orang biasa, karena merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi. Telaah
literatur menunjukan adanya empat karakteristik sehubungan dengan pemimpin
karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi untuk
mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan dan memiliki
prilaku yang luar biasa. Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk
dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia
walau dengan risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap
demi mencapai visi.

Kecerdasan emosi dewasa ini sangat dibutuhkan dalam semua bidang


kerja. Yate (1997) yang dikutip Caruso (2000) membuat penelitian yang sangat
menarik dengan mengungkap peranan kecerdasan emosi dalam karir dan tempat
kerja dengan mengacu seberapa besar kecerdasan emosi sebagai syarat yang
dibutuhkan untuk keberhasilan kerja. Berikut daftar pekerjaan yang
membutuhkan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (dari tertinggi hingga ke
terendah): (1) dokter jiwa, (2) pekerja sosial, (3) spesialis merawat orang

15
manula, (4) dokter medis keluarga, (5) ahli terapi fisik, (6) guru/kepala sekolah,
(7) manajer sumber daya manusia, (8) perawat, (9) humas, (10) manajer
pelatihan, (11) polisi, (12) dokter gigi, (13) wartawan, (15) pemasar, (16) editor,
(17) agen asuransi, (18) ahli kacamata, (19) sekretaris, (20) agen perjalanan, (21)
asisten medis, (22) pelayan, (23) insinyur piranti lunak, (24) ahli geofisik, (25)
akunta, (26) insinyur listrik, (27) analis sistem, (28) teller, dan (29) ahli botani.

Dari berbagai penelitian juga dibuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat


dibutuhkan bagi pemimpin yang efektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Patricia Pitcher’s yang dikutip oleh Bliss (1999) menyimpulkan bahwa
pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi tinggi lebih berhasil dibandingkan
dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan emosi. Bennis yang dikutip Simmons
(2001) juga mendukung peneliti sebelumnya dengan mengatakan bahwa
kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan dengan inteligensi (IQ) dalam
menentukan pemimpin yang efektif. Penelitian yang dilakukan Cooper (1997)
menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi lebih
berhasil dalam karir pekerjaan, dapat membangun hubungan personal yang lebih
baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat
memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Lebih lanjut Cooper menjelaskan
bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat meningkatkan
kekuatan intuisi, senantiasa mempercayai dan dipercayai oleh orang lain,
memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan
dapat melakukan kepemimpinan yang efektif.

Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan


personil dalam mempengaruhi orang lain. Hubungan personil dibangun
menggunakan ketrampilan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi tidak hanya
membedakan pemimpin yang menonjol dengan yang tidak, tetapi juga berkaitan
dengan kinerja yang baik (Goleman, 1998). Penelitian lain yang sejenis
dilakukan Fieldman yang dikutip Simmon (2001), menyimpulkan bahwa

16
pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik secara langsung dapat
mempengaruhi kinerja bawahannya dan produktivitas dalam segala hal. Cooper
dan Sawaf (1998 dan 2001) yang menyoroti perbedaan kecerdasan emosi dari
pemimpin dapat membuat faktor keberhasilan karir dan organisasi dalam hal: 1)
pengambilan keputusan, (2) kepemimpinan, (3) komunikasi secara jujur dan
terbuka, (4) hubungan yang saling mempercayai dan kerjasama tim, dan (5)
kepuasan pelanggan.

Penelitian lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosi juga dilakukan


oleh beberapa ahli. Seperti yang dilakukan oleh Simmon (2001) dengan
mengaitkan antara jenis kelamin (gender) dengan kecerdasan emosi didapatkan
kesimpulkan bahwa orang wanita rata-rata lebih baik kecerdasan emosi dalam
hal kesadaran dirinya, empati dan ketrampilan sosialnya, sementara orang pria
rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri, optimistik,
dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap stres.

Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan


tingkat usia, diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan
kecerdasan emosi, yaitu nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan
pertambahan usia dan puncaknya pada akhir tahun ke-40 dan awal tahun ke-50.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi berasal dari usia dan
pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan lingkungan
dari orang yang lebih muda. Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu: (1) mandiri
dalam cara berfikir dan bertindak, (2) sadar akan perasaan orang lain, (3)
memiliki tanggung jawab sosial, (4) dapat beradaptasi, (5) dapat mengatasi
masalah, dan (6) dapat mengatur tingkat stres.

Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan


yang efektif? Ini jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence

17
adalah empati. Sejarawan Fred Greenstein mengadakan penelitian dan
menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah satu unsur terpenting untuk
meramalkan kebesaran seorang pemimpin. Jelas argumen dari sejarawan ini bisa
dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati dan
mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang
dipimpinnya, maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator.
Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin (presiden) yang
memiliki Emotional Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam
berpolitik. Hal ini terlihat ketika George W Bush memenangkan Pemilu 2004,
mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang komentator politik menjelaskan
sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap bahwa Kerry memiliki
Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry memiliki
kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa
yang jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang
lebih memberi kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh
semangat dan Dia menang.“ Musuh utama dari kepemimpinan yang efektif
adalah kekuasaan yang dapat merubah visi utama dari seorang pemimpin.

Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka
yang mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka
yang pandai mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita
mungkin sudah mendengar ungkapan power corroupts, absolute power
corroupts absolutely (kekuasaan itu korup dan kekuasaan penuh akan
sepenuhnya korup). Para pemimpin akan menggunakan kekuasaan sebagai
sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah sarana untuk
memudahkan usaha mereka.
Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau
bawahan, tapi melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin
menguasai secara menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai

18
pribadi-pribadi yang tidak sempurna. Pemimpin ideal harus memenuhi aspek-
aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini adalah ciri dari kepribadian seorang
pemimpin yang ideal: Pertama, Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus
sehingga dapat menantang musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik,
sehingga masyarakat akan tergerak untuk menjadi pendukungnya
(karismatik).Kedua, Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril,
materil, penghiburan bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati
(emotional Intellgence). Ketiga, Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas
sebagai seorang pemimpin, tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan,
mau melayani masyarakat bukan hanya dilayani turun kebawah).
Pemimpin memiliki manajemen diri dan manajemen waktu yang baik dan
efektif. Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat
dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan
itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi
peranan tersebut.
Jika suatu bangsa dapat memilih para pemimpinnya dengan baik, maka
bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi negara yang besar. Tetapi, jika
salah memilih pemimpin, bangsa tersebut akan menuju kehancuran.
Keberhasilan dan jatuhnya suatu negara berada di tangan para pemimpinnya. Ini
sama halnya seperti dalam dunia bisnis. Tidak peduli betapa hebatnya
kemampuan para pekerja di suatu perusahaan, jika kepemimpinannya kurang,
maka perusahaan tersebut akan segera mengalami kebangkrutan. Tetapi, jika
sang pemilik atau para direksi menyediakan suatu kepemimpinan yang handal,
maka perusahaan tersebut akan berkembang dan berhasil. Orang biasa cenderung
untuk meniru para pemimpinnya. Mereka mulai meniru para pemimpinnya
bukan hanya dalam hal penggunaan kata-kata dan kelakuan, tetapi mereka juga
meniru cara berpikir para pemimpin mereka. Coba kita lihat komunitas milist
(mailing list). Jika pemimpin milist ini handal, maka seluruh komunitas milist ini
akan meningkat hari demi hari. Sebaliknya, jika komunitas milist ini kurang

19
dalam hal kepemimpian maka komunitas milist ini akan mengalami banyak
penurunan.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik
pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif
jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki
kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan
suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi.
Kecerdasan emosi merupakan aspek sangat dibutuhkan dalam semua
bidang kerja dan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih
cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam hidup di masyarakat. Dengan
demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi (kesadaran diri dan
kemampuan mengelola diri sendiri) dan kompetensi sosial (motivasi, empati dan
ketrampilan sosial) yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih
berhasil dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan.
Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada
bawahan, memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan
melakukan pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan
komponen kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam
kepemimpinan transformasional adalah cerdas secara emosional.

Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada


bawahan, memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan
melakukan pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan
komponen kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam
kepemimpinan transformasional adalah cerdas secara emosional, Intelligence
adalah Intrapersonal, sebagai indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri,

21
Interpersonal digunakan untuk mengukur Kesadaran sosial dan hubungan
interpersonal , Manajemen Stress digunakan untuk Manajemen dan Pengendalian
Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan untuk Mengelola
Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri.

3.2 Saran
Sebagai seorang pemimpinan kita harus dapat memiliki kecerdasaan emosi
yang tinggi sebab seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi lebih berhasil dibandingkan dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan
emosi dan kecerdasan emosi lebih berpengaruh dari pada intelegensi (IQ).

22
DAFTAR PUSTAKA

Goleman, D. 1995. Emotion and Emotional Intelligence, (Online),


(htpp://trochim.human.cornell.edu/gallery/young/emotion.html, diakses 29 Maret
2020)
Nurtantiono, Andri (2012) :Kecerdasan Emosional, Kompetensi Kepemimpinan
Transformasional, Jurnal Graduasi Vol. 27 Edisi Maret

(Suryana, 2019)Suryana. (2019). Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Kepemimpinan


yang Efektif di The Importance of Emotional Intelligence for Millennium
Leadership in the Era of Revolution 4 . 0 . Jurnal Inspirasi |, 10(1), 78–97.

…………., 2000, Kecerdasan Emosional : mengapa Emotional Intelligence lebih


penting dari pada IQ, Penerbit Gramedia Pustaka Utama

23

Anda mungkin juga menyukai