Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SINDROM

KORONER AKUT

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Oleh:

Nada Azhar Prandini, S. Kep.


NIM. 1901031002

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Tahun Akademik 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Tinjauan Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskuler


Jantung merupakan organ muskuler yang dapat berkontraksi secara ritmis,
dan berfungsi memompa darah dalam sistem sirkulasi.(Black & Hawks, 2014)
Secara struktural dinding jantung terdiri atas 3 lapisan (tunika) yaitu,
1. Endokardium terletak pada lapisan subendotel. Sebelah dalam dibatasi
oleh endotel. Endokardium tersusun atas jaringan penyambung jarang
dan banyak mengandung vena, syaraf (nervus), dan cabang-cabang
sistem penghantar impuls.
2. Miokardium terdiri atas sel-sel otot jantung. Sel-sel otot jantung dibagi
dalam 2 kelompok; sel-sel kontraktil dan sel-sel yang menimbulkan
dan menghantarkan impuls sehingga mengakibatkan denyut jantung.
3. Epikardium merupakan membran serosa jantung, membentuk batas
viseral perikardium. Sebelah luar diliputi oleh epitel selapis gepeng
(mesotel). Jaringan adiposa yang umumnya meliputi jantung terkumpul
dalam lapisan ini.

Katup-katup jantung terdiri atas bagian sentral yang terdiri atas jaringan
fibrosa padat menyerupai aponeurosis yang pada kedua permukaannya dibatasi
oleh lapisan endotel.
1. Ruang-ruang jantung
Jantung terdiri dari empat ruang yaitu:
a. Atrium dekstra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula di luar, bagian
dalamnya membentuk suatu rigi atau Krista terminalis. Muara atrium
kanan terdiri dari:
1) Vena cava superior
2) Vena cava inferior
3) Sinus koronarius
4) Osteum atrioventrikuler dekstra
5) Sisa fetal atrium kanan: fossa ovalis dan annulus ovalis
b. Ventrikel dekstra: berhubungan dengan atrium kanan melalui osteum
atrioventrikel dekstrum dan dengan traktus pulmonalis melalui osteum
pulmonalis. Dinding ventrikel kanan jauh lebih tebal dari atrium
kanan terdiri dari:
1) Valvula triskuspidal
2) Valvula pulmonalis
c. Atrium sinistra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula
d. Ventrikel sinistra: Berhubungan dengan atrium sinistra melalui
osteum atrioventrikuler sinistra dan dengan aorta melalui osteum aorta
terdiri dari:
1) Valvula mitralis
2) Valvula semilunaris aorta
Vena kava superior dan vena kava inferior mengalirkan darah ke
atrium dekstra yang datang dari seluruh tubuh. Arteri pulmonalis
membawa darah dari ventrikel dekstra masuk ke paru-
paru(pulmo). Antara ventrikel sinistra dan arteri pulmonalis
terdapat katup vlavula semilunaris arteri pulmonalis. Vena
pulmonalis membawa darah dari paru-paru masuk ke atrium
sinitra. Aorta (pembuluh darah terbesar) membawa darah dari
ventrikel sinistra dan aorta terdapat sebuah katup valvula
semilunaris aorta.
2. Elektrofisiologi Sel Otot jantung
Aktifitas listrik jantung merupakan akibat perubahan permeabilitas
membrane sel. Seluruh proses aktifitas listrik jantung dinamakan
potensial aksi yang disebabkan oleh rangsangan listrik, kimia, mekanika,
dan termis. Lima fase aksi potensial yaitu:
a. Fase istirahat: Bagian dalam bermuatan negative(polarisasi) dan
bagian luar bermuatan positif.
b. Fase depolarisasi(cepat): Disebabkan meningkatnya permeabilitas
membrane terhadap natrium sehingga natrium mengalir dari luar ke
dalam.
c. Fase polarisasi parsial: Setelah depolarisasi terdapat sedikit
perubahan akibat masuknya kalsium ke dalam sel, sehingga muatan
positih dalam sel menjadi berkurang.
d. Fase plato(keadaan stabil): Fase depolarisasi diikiuti keadaan stabil
agak lama sesuai masa refraktor absolute miokard.
e. Fase repolarisasi(cepat): Kalsium dan natrium berangsur-angsur tidak
mengalir dan permeabilitas terhadap kalium sangat meningkat.
3. Sistem Konduksi Jantung
Sistem konduksi jantung meliputi:
a. SA node: Tumpukan jaringan neuromuscular yang kecil berada di
dalam dinding atrium kanan di ujung Krista terminalis.
b. AV node: Susunannya sama dengan SA node berada di dalam septum
atrium dekat muara sinus koronari.
c. Bundle atrioventrikuler: dari bundle AV berjalan ke arah depan pada
tepi posterior dan tepi bawah pars membranasea septum
interventrikulare.
d. Serabut penghubung terminal(purkinje): Anyaman yang berada pada
endokardium menyebar pada kedua ventrikel.

Peristiwa listrik pada jantung menghasilkan aneka gelombang dan garis


dasar pada EKG, menurut Thaler (2012) gelombang dan garis lirus di EKG
adalah sebagai berikut:
a. Setiap siklus kontraksi dan relaksasi jantung diawalali dari
depolarisasi spontan nodus sinus
b. Gelombang P merekam depolarisasi dan kontraksi atrium. Bagian
pertama gelombang P menggambarkan aktivitas atrium dekstra,
bagian kedua menggambarkan aktivitas atrium sinistra
c. Ada jeda singkat sewaktu arus listrik mencapai nodus AV, EKG
tampak tenang (segmen PR)
d. Gelombang depolarisasi kemudian menyebar di sepanjang sistem
konduksi ventrikel (berkas his, cabang berkas, dan serabut purkinje)
dan ke dalam miokardium ventrikel. Bagian ventrikel yang pertama
kali terdepolarisasi adalah septum interventrikulare. Depolarisasi
ventrikel menghasilkan kompleks QRS
e. Gelombang T merekam repolarisasi ventrikel
f. Ada beberapa segmen dan interval yang menggambarkan waktu di
antara peristiwa- peristiwa berikut:
1) Interval PR mengukur waktu dari awal depolarisasi atrium sampai
awal depolarisasi ventrikel
2) Segmen PR mengukur waktu dari akhir depolarisasi atrium
sampai awal depolarisasi ventrikel
3) Segmen ST merekam waktu dari akhir depolarisasi ventrikel
sampai awal repolarisasi ventrikel
4) Interval QT mengukur waktu dari awal depolarisasi ventrikel
sampai akhir repolarisasi ventrikel
5) Interval QRS mengukur waktu depolarisasi ventrikel

Gambar: Interpretasi Gelombang dalam EKG

B. Konsep Medis
1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak
menular dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding
arteri koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium
dan UAP (Unstable Angina Pectoris) serta Infark Miokard Akut (IMA)
seperti Non-ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation
Myocardial Infarct (STEMI) (Muhibbah, et, all, 2019).
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan dekompensasi jantung akut
akibat tidak adekuatnya suplai darah oksigen ke jantung. Hal ini
disebabkan oleh karena peningkatan kebutuhan oksigen, transpor oksigen
darah berkurang dan yang paling sering yaitu pengurangan aliran koroner
karena penyempitan atau obstruksi arteri yang disebabkan oleh
aterosklerosis (Diputra, et all, 2018).
Sindrom koroner akut adalah sindrom klinis yang biasanya disebabkan
oklusi total atau sebagian dari yang mendadak pada arteri koroner akibat
ruptur plak aterosklerosis (Sungkar, 2015 dalam Tebai, 2018).
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya
oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom koroner akut ini
merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada
arteri koronaria (Stoppler dan Sheill, 2008 dalam Jamil, 2017).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Menurut Black & Hawks (2014) penyebab primer penyakit arteri koroner
adalah inflamasi dan pengendapan lemak di dinding arteri. Gambaran
patologis klasik pada ST elevation myocardial infarction terdiri atas fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga ST elevation
myocardial infarction memberikan respon terhadap terapi trombolitik
(Iwan, 2010 dalam Tebai, 2018).
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak yang selanjutnya akan memproduksi
dan melepas sindrom koroner akut tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal
yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen dimana keduanya
adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan menghasilkan ikatan platelet dan agregasi setelah
mengalami konversi fungsinya (Jhon, 2007 dalam Tebai, 2018).
Sindrom koroner akut koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator
pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan
konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin (Jhon,
2007 dalam Tebai, 2018).
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli
arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria
terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik dan berbagai penyakit
inflamasi siST elevation myocardial infarctionk (Zipes, 2008 dalam
Tebai, 2018).
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya SKA dapat dibagi menjadi
tiga yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi.
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
1) Usia
Seiring peningkatan usia, kejadian aterosklerotik semakin mudah
terjadi. Sekitar 82% kejadian SKA pada usia lebih dari 65 tahun
akan menyebabkan angka mortalitas pada individu tersebut
meningkat karena jantung mengalami perubahan fisiologis bahkan
tanpa ada penyakit sebelumnya (Black & Hawks, 2014).
2) Jenis Kelamin
Wanita usia paruh bayah mungkin lebih sering mengalami SKA
dibandingkan pria. Perbedaan ini berkurang secara progresife
setelah menopouse dan ini tejadi terutama dalam peran estrogen.
Kerja estrogen yang berpotensi menguntungkan adalah sebagai
antioksidan,menururnkan LDL dan meningkatkan HDL,
menstimulasi ekspresi dan aktivitas oksida nitrat sintase, serta
menyebabkan vasodilatasi dan meningktakan produksi
plasminogen (Black & Hawks, 2014).
3) Keturunan
Berbagai survei epidemiologi telah menunjukkan adanya
predisposisi familial terhadap penyakit jantung koroner .hal ini
disebabkan karena banyak faktor risiko Penyakit Jantung koroner
misalnya hipertensi memiliki dasar genetik multifaktorial (akibat
gen abnormal multipel yang berinteraksi dengan pengaruh
lingkungan). Pengaruh genetik tambahan yang membahayakan
mungkin juga terlibat karena predisposisi familial tetap ada bila
data epidemiologis dikoreksi terhadap faktor risiko yang telah
diketahui. Angka kejadian meningkat pada pasien dengan riwayat
infark miokard pada ayah atau saudara laki laki sebelum usia 55
tahun dan ibu atau saudara perempuan sebelum usia 65 tahun
(Black & Hawks, 2014).
4) Ras
Omset SKA pada kulit putih umumnya 10 tahun lebih lambat
dibanding pria kulit berwarna dan pada wanita kulit berwarna
lebih lambat sekitar 7 tahun (Black & Hawks, 2014).
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1) Merokok
Tar, nikotin, dan karbon monoksida berkontribusi pada kerusakan.
Tar mengandung hidrokarbon dan zat karsinogenik lain. Nikotin
meningkatkan pelepasan epinefrin yang selanjutnya akan
meningkatkan vasonkontriksi perifer, meningkatkan tekanan darah
dan denyut jantung, konsumsi oksigen yang lebih tinggi, dan
peningkatan risiko disritmia. Selain itu nikotin mengaktifkan
trombosit dan menstimulasi poliferasi otot polos pada dinding
arteri. Karbon monoksida mengurangi darah yang tersedia pada
tunika intima dinding pembuluh darah dan meningkatkan
permeabilitas endotel (Black & Hawks, 2014).
2) Hipertensi
Hipertensi merusak pembuluh darah otak dan ginjal. Semakin
tinggi beban kerja jantung yang ditambah dengan tekanan arteri
yang meningkat juga menyebabkan penebalan dinding ventrikel
kiri, hal ini disebut hipertrofi ventikel kiri merupakan penyebab
sekaligus penanda kerusakan kardiovaskuler yang lebih serius.
Hipertrofi ventikel kiri menjadi predisposisi bagi biokardium
untuk mengalami aritmia dan iskemia dan merupakan kontributor
utama terjadinya gagal jantung,infark miokard dan kematian
mendadak (Black & Hawks, 2014).
3) Peningkatan kadar kolesterol serum
Risiko PJK meningkat seiring dengan peningkatan kadar
kolesterol darah. Kadar kolesterol total berada pada rentang
normal 200-239 mg/ dL. Kolesterol di dalam darah berkombinasi
dengan trigliserida dan fosfolipid terikat protein. Kompleks ini
disebut lipoprotein. Lipoprotein dan fungsinya digolongkan
sebagai berikut:
a) Kilomikron terutama mengangkut trigliserida dan kolesterol
dalam makanan
b) VLDL (veri low density lipoprotein) terutama mengangku
trigliserida yang disintesis oleh hati
c) LDL (low density lipoprotein) memiliki konsentrasi kolesterol
yang paling tinggi dan mengangkut kolesterol endogen ke sel
sel tubuh
d) HDL (high density lipoprotein) memiliki konsentrasi paling
rendah dan mengangkut kolesterol endogen ke sel- sel tubuh.
HDL dikenal sebagai kolesterol baik karena HDL menjaga
pembuluh darah arteri tetap bersih sehingga risiko terkena PJK
akan lebih rendah jika kadar HDL tinggi dalam tubuh.
Sementara itu LDL disebut sebagai kolesterol jahat yang
dikaitkan dengan meningkatkan risiko arteriosklerosis karena
penumpukan plak kolesterol.
4) Inaktifitas fisik
Aktivitas dapat menurunkan risiko PJK, hal tersebut terjadi
karena:
a) Kadar HDL akan lebih tinggi
b) Kadar LDL, trigliserida, dan glukosa darah lebih rendah
c) Sensitivitas insulin lebih baik
d) Tekanan darah lebih rendah
e) IMT lebih rendah
5) Obesitas
Obesitas menambah beban ekstra pada jantung, memaksa otot
jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke jaringan
tambahan. Obesitas juga meningktkan risiko PJK karena sering
berhubungan dengan kolesterol serum dan kadar trigiserida,
tekanan darah tinggi dan diabetes (Black & Hawks, 2014).
6) Diabetes Melitus
Orang dengan diabetes kekurangan insulin secara keseluruhan atau
menjadi resisten terhadap kerjanya. Kondisi resistensi insulin yang
terjadi biasanya pada usia dewasa di sebut diabetes meliitus tipe 2.
Diabetes menyebabkan kerusakan progresif terhadap susunan
mikrovaskuler yang lebih besar selama bertahun tahun (Black &
Hawks, 2014).
3. Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (2016)
klasifikasi SKA dibagi atas:

Gambar: Gambaran Jenis- jenis SKA ditinjau dari gambaran EKG


Gambar: Tabel perbedaan STEMI, NSTEMI, dan unstable angina
pectoris
a. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)
Adalah kejadian oklusi mendadak di arteri koroner epikardial dengan
gambaran EKG elevasi segmen ST. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus
pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Infark miokard
dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung (Irmalita et al., 2015).
Gambar terjadinya ST elevasi pada sadapan V1, V2, V3
b. NON-ST Eevasi Miokard Infark (NONSTEMI)
Adalah sindroma klinik yang disebabkan oleh oklusi parsial atau
emboli distal arteri koroner,tanpa elevasi segmen ST pada gambaran
EKG. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung (Troponin I/T)
terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI) (Irmalita et al., 2015).

Gambar: Gambaran EKG pada klien dengan NSTEMI


c. Unstable Angina Pectoris
Adalah sindroma klinik yang disebabkan oleh ketidak-seimbangan
antara kebutuhan (demand) dan suplai aliran arteri koroner.
Klasifikasi derajat angina sesuai Canadian Cardiovascular Society
(CCS). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung (Troponin
I/T) tidak meningkat secara bermakna (Irmalita et al., 2015).

Gambar: Gambaran EKG pada klien dengan unstable angina pectoris


1) Kelas 1: Keluhan angina terjadi saat aktifitas berat yang lama
2) Kelas 2: Keluhan angina terjadi saat aktifitas yang lebih berat dari
aktifitas sehari-hari
3) Kelas 3: Keluhan angina terjadi saat aktifitas sehari-hari
4) Kelas 4: Keluhan angina terjadi saat istirahat
4. Manifestasi Klinis
a. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)
1) Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa
terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas,
dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang
dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat, pucat
dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
2) Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
3) Kelainan lain: di antaranya aritma, henti jantung atau gagal jantung
akut.
4) Bisa atipik:
a) Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
b) Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau
gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada
b. NON-ST Eevasi Miokard Infark (NONSTEMI)
1) Nyeri Dada
Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina
kurang dari itu. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai
dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya
nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke
epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa
hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau
penderita DM berkaitan dengan neuropathy.
2) Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa
menimbulkan hipervenntilasi. Pada infark yang tanpa gejala
nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel
kiri yang bermakna.
3) Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan
biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi
diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
4) Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia
ventrikel, gelisah.
c. Unstable Angina Pectoris
1) Nyeri dada atau tekanan
2) Berkeringat
3) Dispnea
4) Mual, muntah
5) Pusing atau kelemahan mendadak
6) Kelelahan
7) Nyeri atau tekanan di punggung, leher, rahang, perut, atau bahu
atau lengan.
8) Gejala yang terjadi saat istirahat; Menjadi tiba-tiba lebih sering,
parah, atau berkepanjangan berubah dari pola angina biasa; dan
tidak menanggapi beristirahat.
5. Komplikasi
a. Gangguan Hemodinamik
1) Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera
dengan IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat
segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau
obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat
terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan
remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan
jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal
jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang
berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis (Irmalita et al.,
2015).
2) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di
bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung,
namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama
atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat
menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan
berkurangnya urine output (Irmalita et al., 2015).
3) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di
segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti
paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik
dan/atau terapi vasodilator (Irmalita et al., 2015).
4) Penurunan Curah Jantung
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer
yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya
produksi urin (Irmalita et al., 2015).
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang
buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan (Irmalita
et al., 2015).
5) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan
merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di
rumah sakit mendekati 50%. Tanda dan gejala klinis syok
kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan
berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek.
Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak
yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental,
oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru (Irmalita et al.,
2015).
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung
<2,2, L/menit/ m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg.
Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam. Pasien juga dianggap
menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP
dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90
mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan
ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel
kanan (Irmalita et al., 2015).
6) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa
manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia
miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia,
dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan
asam-basa (Irmalita et al., 2015).
a) Aritmia supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark
miokard dan sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri
yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi
selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang.
Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-
limited dan biasanya membaik dengan manuver vagal.
Adenosin intravena dapat dipertimbangkan untuk keadaan ini
bila kemungkinan atrial flutter telah disingkirkan dan status
hemodinamik stabil (Irmalita et al., 2015).

Gambar: EKG pada arirmia atrial fibrilasi


Karakteristik EKG pada atrial pibrilasi yaitu dengan adanya
gelombang P yang tidak beraturan, tidak ada gelombang P
yang jelas dan interval R-R ireguler (Black & Hawks, 2014).

Gambar: EKG pada aritmia atrial flutter


Karakterikstik EKG pada atrial flutter yaitu gelombang P yang
menyerupai gigi gergaji, terdapat tiga gelombang P untuk
setiap kompleks QRS (Black & Hawks, 2014).
b) Aritmia ventrikular
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari
pertama fase akut dan aritmia kompleks seperti kompleks
multiform, short runs atau fenomena R-on-T umum
ditemukan. Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama
idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut terjadi akibat
reperfusi, di mana laju ventrikel <120 detak per menit dan
biasanya tidak berbahaya. Fibrilasi ventrikel memerlukan
defibrilasi segera. Meskipun ditunjukan bahwa lidokain dapat
mengurangi insidensi VF pada fase akut infark miokard, obat
ini meningkatkan risiko asistol. VF yang berlanjut atau VF
yang terjadi melewati fase akut awal (di mana takiaritmia
tersebut terjadi bukan karena penyebab yang reversibel seperti
gangguan elektrolit atau iskemi transien/reinfark) dapat
berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi
(Irmalita et al., 2015).

Gambar: Gambaran EKG pada aritmia Ventricular premature


beats, dimana QRS yang melebar merupakan ciri pasti adanya
Ventricular premature beats

Gambar: EKG pada kasus aritmia takikardi ventrikel


Karakteristik pada takikardi ventrikel adalah gelombang QRS
lebar dengan lebih dari 3 PVC tampak berurutan

Karakteriktik pada ventrikel fibrilasi yaitu komplek QRS yang


tidak dapat ditentukan. Tidak ada gelombang P, QRS, atau T
yang dapat dikenali. Gelombang pada garis dasar terjadi antara
150-500 kali/menit (Black & Hawks, 2014)
Gambar: Gambaran EKG asistol
c) Sinus bradikardi dan blok jantung
Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal
STEMI, terutama pada infark inferior. Dalam beberapa kasus,
hal ini disebabkan oleh karena opioid. Sinus bradikardi
seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan
hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan atropin.
Bila gagal dengan atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan
pacing sementara. Blok jantung derajat satu tidak memerlukan
pengobatan. Untuk derajat dua tipe I (Mobitz I atau
Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan
infark inferior dan jarang menyebabkan efek hemodinamik
yang buruk. Blok AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan blok
total dapat merupakan indikasi pemasangan elektroda pacing,
apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung
(Irmalita et al., 2015).

Gambar: Gambaran EKG pada sinus bradikardi


Karakteristik EKG:
Frekuensi : irama teratur dibawah 60
Gelompang P : normal, setiap gelombang P selalu diikuti
QRS dan T
Interval PR : normal (0,12- 0,20)
Gelombang QRS : normal (0,06- 0,12)
Irama : reguler, dan semua gelombang sama

Gambar: EKG pada blok jantung tipe 1


Kecepatan : bergantung pada irama yang mendasari
Irama : reguler
Gelombang P : normal (tegak dan seragam)
Interval PR : memanjang lebih dari 20 detik
QRS : normal (0,06-0,10 detik)

Gambar: EKG blok AV derajat II tipe 1


Kecepatan : bergantung pada irama yang mendasari
Irama : atrium reguler, ventrikel irraguler
Gelombang P : normal (tegak dan seragam), lebih banyak
gelombang P dari kompleks QRS
Interval PR : memanjang secara progeresif sampai satu
gelombang P terhalang dan tidak diikuti oleh QRS
QRS : normal (0,06 – 0,10 detik)

Gambar: EKG blok AV derajat II tipe 2


Kecepatan : atrium biasanya 60-100 kali per menit, ventrikel
lebih lambat dari kecepatan atrium
Irama : atrium reguler ventrikel reguler atau irreguler
Gelombang P : normal (tegak dan seragam) lebih banyak
gelombang P dari kompleks QRS
Interval PR : normal atau memanjang tapi konstan
QRS : dapat normal, tetapi biasanya melebar (lebih dari 10
detik) jika cabang-cabang berkas terlibat.
Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas
bundle of HIS, dan menghasilkan bradikardia transien dengan
escape rhythm QRS sempit dengan laju lebih dari 40 detak per
menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok ini biasanya
berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark
dinding anterior biasanya terletak di bawah HIS (di bawah
nodus AV) dan menghasilkan QRS lebar dengan low escape
rhythm, serta laju mortalitas yang tinggi (hingga 80%) akibat
nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle branch block baru
atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark anterior luas,
dan kemudian dapat terjadi blok AV komplit atau kegagalan
pompa (Irmalita et al., 2015).
b. Komplikasi Kardiak
1) Regurgitasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat
dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung
m. Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai
dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti
paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu
diperhatikan dalam konteks ini (Irmalita et al., 2015).
2) Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase
subakut setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-
tiba dan kolaps kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis.
Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan terjadi
secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur
dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan
perikardiosentesis dan operasi segera (Irmalita et al., 2015).
3) Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang
terjadi dengan cepat dengan gagal jantung akut dan mumur
sistolik yang kencang yang terjadi pada fase subakut (Irmalita et
al., 2015).
4) Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi,
terkait dengan STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya
muncul sebagai triad hipotensi, segmen ST ≥1 mV di V1 dan
V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin
dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan
hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi
ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi
vena hepatika dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat
(Irmalita et al., 2015).
5) Perikarditis
Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan
biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-
elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner
akibat trombosis stent, misalnya. Pericardial rub yang terus-
menerus dapat mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak
ditemukan, terutama apabila terjadi efusi perikardial berat
(Irmalita et al., 2015).
C. Patophysiological Pathway
1. Patofisiologi
Pada jantung normal kebutuhan oksigen miokard disuplai secara kontinyu
oleh arteri koroner selama aktivitas normal, kebutuhan oksigen miokard
naik akan menaikkan aliran arteri koroner. Suplai oksigen miokard
bergantung pada oksigen content darah dan coronary blood flow. Oksigen
content bergantung pada oksigenasi sistemik dan kadar hemoglobin,
sehingga bila tidak anemia atau penyakit paru aliran oksigen koroner
cenderung konstan. Bila ada kelainan maka aliran koroner secara dinamis
menyesuaikan suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen sel. Perfusi
koroner predominan mengalir saat diastol. Hal ini karena saat sistolik
cabang koroner tertutup oleh katup aorta dan aliran koroner tertutup oleh
kontraksi otot. Aliran koroner terbuka saat diastol saat koroner terbuka dan
otot jantung relaksasi (Satoto, 2019).
Akumulasi metabolik lokal mempengaruhi tonus vaskuler, mempengaruhi
suplai oksigen dan dapat merubah kebutuhan oksigen. Selama terjadi
hipoksia maka metabolisme aerob dan defosforilasi oksidatif di
mitokondria terhambat sementara fosfat energi tinggi termasuk ATP tak
dapat diregenerasi sehingga mengakibatkan adenosin difosfat (ADP) dan
adenosin monofosfat (AMP) terkumpul dan terdegradasi sebagian menjadi
adenosin yang merupakan vasodilator poten dan sangat mempengaruhi
vaskular (Satoto, 2019).
Seperti yang diketahui pada endotel pembuluh darah dihasilkan substansi
vasoaktif yang mempengaruhi tonus vaskuler. Vasodilator yang diproduksi
oleh endotel termasuk Nitric oxide (NO), prostasiklin dan endothelium
derived hiperpolarizing factor (EDHF). Endotelin 1 sebagai contoh dari
substansi endotelium berfungsi sebagai vasokonstriktor (Satoto, 2019).
Kontrol saraf dari resistensi vaskuler tergantung dari sistem saraf simpatis
dan parasimpatis. Saat kondisi normal saraf simpatis memegang peran
penting. Arteri koroner terdapat α1- adrenergik reseptor yang berfungsi
sebagai vasokonstriksi dan β2 reseptor berfungsi sebagai vasodilatasi
(Satoto, 2019).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myocardial
infarction) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
bertahap. Sepanjang progresi pembentukan plak, onset dan komplikasi ST
elevation myocardial infarction dengan relevansi tatalaksana pada masing-
masing tahap. Potongan longitudinal arteri menggambarkan timeline
proses atau genesis dari arteri normal. (1) Lesi inisiasi dan akumulasi Iipid
ekstrasetular dalam intima; (2) evolusi stadium fibrofatly, (3) lesi progresi
dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap. Sindrom koroner
akut berkembang jika plak vulnerabei dan risiko tinggi mengalami disrupsi
pada fibrous (4) disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis.
Resorpsi trombus ditanjutkan dengan akumulasi kolagen dan pertumbuhan
sel otot polos. (5). Selanjutnya disrupsi plak vulnerabel atau plak risiko
tinggi mengakibatkan pasien mengalami nyeri iskemia akibat penurunan
aliran arteri koroner epikardial yang iskemia (Iwan,2010 dalam Tebai,
2018).

Setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada


sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu ST elevation myocardial infarction karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. ST elevation
myocardial infarction terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vaskular, injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.(Iwan,2010 dalam Tebai,
2018).
Pada sebagian besar kasus infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau segmen
ST elevation myocardial infarction memicu trombogenesis sehingga
terjadi trombus pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung
mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya
lipid (lipid rich core). Pada ST elevation myocardial infarction gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga ST elevation myocardial infarction memberikan
respons terhadap terapi trombolitik (Iwan,2010 dalam Tebai, 2018)
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang
poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein 11b/Illa. Setelah mengalami konversi fungsinya
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF)
dan fibrinogen keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat
2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi (Iwan,2010 dalam Tebai, 2018).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi dapat dilihat
pada gambar 3 Arteri koroner yang terlibat (Culpirit) kemudian akan
mengalami okulasi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
Interaksi agregasi trombosit (fibrinogen, glikoprotein libi 111a) dan
aktivasi kaskade koagulasi menghasilkan trombin yang menginduksi
pembentukan bekuan yang kaya fibrin. Fibrin akan berikatan dengan
faktor XIII yang meningkatkan kekuatan bekuan (clot). Antikoagulan orai
menghambat. produksi faktor koagulasi, obat lain menghambat aksi faktor
pembekuan yang teraktivasi. Target fibrinolisis adalah degradasi fibrin,
melalui plasmins FDP,s fibrin degrodat'°ni products; IMWH, tow
molecular weight heporin; OACI anticoagulans; PT, prothrombin (Ir),;T,
Thrombin (11a); UFN unfractionated heparin; vWF, von Willebrand
factor (Iwan,2010 dalam Tebai, 2018).
Pada kondisi yang jarang ST elevation myocardial infarction dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi ST elevation myocardial infarction (Iwan, 2010 dalam Tebai,
2018)

Sementara itu Muchid, et all (2006) mendeskripsikan patogenesis SKA


dalam tabel dibawah ini:
No Manifestasi Patogenesis
1. Unstable Angina Pada angina pektoris tidak stabil terjadi erosi
Pectoris atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif
kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang
transien. Trombus biasanya labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang
berlangsung antara 10-20 menit
2. NSTEMI Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih
berat dan menimbulkan oklusi yang lebih
persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1
jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI,
terjadi oklusi trombus yang berlangsung lebih
dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan
terdapat koleteral. Trombolisis spontan,
resolusi vasikonstriksi dan koleteral
memegang peranan penting dalam mencegah
terjadinya STEMI
3. STEMI Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah
yang lebih besar dan menyebabkan
terbentuknya trombus yang fixed dan
persisten yang menyebabkan perfusi miokard
terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung
lebih dari 1 (satu) jam dan menyebabkan
nekrosis miokard transmural
2. Pathway

Faktor yang dapat dimodifikasi Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

Usia Jenis kelamin Keturunan Ras Merokok Hipertensi Kolesterol meningkat Inaktivitas fisk Obesitas DM

PD kaku Perempuan Gen yg Peningkatan Kerusakan


Kerusakan Penumpukan lemak dalam
dan rentan SKA abnormal telakan mikrovaskuler
PD pembuluh darah
menenebal vaskuler

ARTERIOSKLEROSIS

Lesi inisiasi dan akumulasi lipid ekstraseluler intima

Evolusi stadium fibroflati Lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrosus cup Disrupsi plak

Disrupsi plak vulnorable Akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel otot polos

SINDROM KORONER AKUT

Oklusi Trombus Stenosis arteri koroner Ruptur arteri koroner Kolagen, ADP, epinefrin, dan serotonin meningkat

Aktivasi faktor VII dan X Pelepasan tromboksan A2 dan perubahan konformasi glikoprotein IIB/ IIIa Aktivasi trombosit

Spasme koroner Penurunan aliran darah ke arteri koroner Iskemik Metabolisme anaerob Peningkatan asam laktat

Penurunan suplai O2 dalam jaringan jantung Nyeri dada substernal

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan jantung Nyeri akut


Iskemik Jantung

Peningkatan kontraktilitas miokardium

Vasokonstriksi PD

Sirkulasi jaringan terganggu

Penumpukan cairan di Paru Penumpukan cairan di Terjadinya Suplai darah ke Suplai darah ke otak
vena porta hepatica bendungan di ginjal menurun menurun
vena cava
Akumulasi darah di PD paru inferior
Perpindahan cairan ke Iskemik Iskemik
rongga interstesiel ginjal otak
Perpindahan cairan ke ruang
interstesiel Menekan
gaster Penurunan Penurunan
Ascites Fungsi hati
GFR kesadaran
Difusi osmosis Edema terganggu
terganggu paru Peningkatan
ekskresi HCl Peningkatan Risiko ketidakefektifan
Kadar retensi Na perfusi jaringan otak
Pertukaran O2 Daya kembang SGOT dan
dan CO2 paru menurun SGPT Munculnya
terganggu Aktifasi Produksi
meningkat rasa mual renin- urine
Pernapasan Cairan angiotensin- menurun
Hambatan
cepat menumpuk di aldosteron
pertukaran gas Inflamasi Mual
dangkal ruang jaringan
paru interstesiel TD Penurunan
Hipoksemia hepar
meningkat curah
Ketidakefektif jantung
an pola napas
Hipoksia Sesak
Risiko Penurunan sirkulasi
jaringan gangguan darah ke jaringan
Kelebihan volume cairan fungsi hati perifer tubuh
Peningkatan
asam laktat
Sianosis
Lemas Intoleran aktivitas
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
D. Penatalaksanaan
Tebai (2018) menjelaskan bahwa tatalaksana pada klien SKA dibagi atas
tatalaksana pra rumah sakit, tatalaksana emergency, dan tatalaksana di rumah
sakit.
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Tatalaksana yang dapat dilakukan sebelum perawatan di rumah sakit
adalah sebagai berikut:
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis.
b. Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
c. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
d. Melakukan terapi reperfusi

Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada


paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan
EKG dan tatalaksana ST elevation myocardial infarction serta ada kendali
komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi
(Tebai, 2018).

2. Tatalaksana Emergency (IGD)


Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/ menghilangkan nyeri
dada mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan ST
elevation myocardial infarction (Tebai, 2018).
Adapun tatalaksana yang dapat dilakukan di IGD adalah sebagai berikut:
a. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien ST elevation myocardial
infarction tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
b. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit.
c. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana ST elevation myocardial
infarction . Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
d. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai ST
elevation myocardial infarction dan efektif pada spektrum sindroma
koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
e. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak
lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap
6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.
3. Tatalaksana di Rumah Sakit
a. Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
b. Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut
dalam 4-12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah
infark miokard.
c. Sedasi: pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5
mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4
kali/hari
d. Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mg/hari)
Menurut Black & Hawks (2014) secara garis besar penatalaksanaan SKA
dibagi atas manajemen medis, manajemen keperawatan, manajemen bedah,
manajemen keperawatan sebelum dan sesudah bedah, perawatan mandiri,
serta modifikasi pada klien lansia
1. Manajemen medis
a. Mengurangi faktor risiko
Penurunan faktor risiko dapat membatasi dan mencegah
perkembangan plak arteriosklerosis, mengurangi trombogenisitas, dan
membatasi stress eksternal pada pembuluh darah. Pencegahan pada
klien sengan SKA bertujuan untuk mengurangi insiden peristiwa
koroner selanjutnya, mengurangi kebutuhan terapi angioplasti dan
cangkok pintas arteri koroner (coronary artery bypass graft/ CABG),
meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup (Black & Hawks,
2014).
Menjaga tekanan darah pada kisaran < 140/90 mmHg (<135/85
mmHg pada klien gagal jantung, DM, dan insulfisiensi ginjal) dapat
mengurangi risiko SKA. Menjaga tekanan darah dalam kisaran normal
dapat dilakukan dengan olahraga setidaknya 5x/ minggu selama 30
menit, mempertahankan berat badan normal (IMT pada kisaran 18,5-
24,9 kg/m2, lingkat pinggang < 101,6 cm pada pria dan < 88,9 cm
pada wanita), megurangi asupan alkohol, berhenti merokok, serta
menerapkan diet rendah natrium. Pada klien dengan hipertensi dapat
diberikan terapi antihipertensi. Selain itu menjaga kadar kolesterol
dalam rentang normal merupan cara mencegah terjadinya SKA
dengan ketentuan LDL < 160 mg/ dl (jika terdapat 1 atau tidak ada
faktor risiko yang menyertai), LDL < 130 mg/dl (jika terdapat dua
atau lebih faktor risiko), HDL > 40 mg/ dl, dan trigliserida < 150 mg/
dl (Black & Hawks, 2014).
Kadar gula darah puasa sebaiknya dipertahankan dalam nilai normal
pada klien dengan DM. Terapi hipoglikemik sebaiknya digunakan
untuk mencapai rentang nilai normal glukosa sebagaimana
direkomendasikan oleh nilai hemoglobin A1c (HbA1c) (Black &
Hawks, 2014).
Klien yang sudah didiagnosis dengan SKA dapat diberikan terapi
antitrombosit seperti asam asetilsalisilat (aspirin), heparin, dan heparin
dengan berat molekul rendah jika tidak direkomendasikan. Terapi
adjuvan seperti inhibitor ACE, penyekat beta dan nitrat juga
direkomendasikan (Black & Hawks, 2014).
b. Memperbaki suplai darah
1) PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty)
PTCA merupakan suatu teknik dimana suatu kateter berujung
balon dipasang pada arteri femoralis dan ditelusuri dengan
panduan rontgen menuju arteri yang mengalami sumbatan. Balon
dikembangkan beberapa kali untuk membentuk ulang lumen
pembuluh darah dengan meregangkan pembuluh dan menekan
plak aterosklerosis ke arah dinding arteri (Black & Hawks, 2014).

Gambar: PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary


Angioplasty)
2) Aterektomi Koroner Direksional
Aterektomi koroner direksional mengurangi stenosis arteri
koroner dengan mengeksisi dan mengangkat plak ateromatosa
(Black & Hawks, 2014).
3) Stent Intrakoroner
Stent intrakoroner awalnya dirancang untuk mengurangi stenosis
ulang dan penutupan mendadak arteri koroner akibat komplikasi
angioplasti koroner. Stent saat ini digunakan untuk menggantikan
risiko PTCA untuk menghilangkan risiko penutupan akut dan
untuk memperbaiki kepatenan jangka panjang (Black & Hawks,
2014).
4) Ablasi Laser
Laser digunakan bersama angioplasti balon untuk menguapkan
plak arterosklerosis. Setelak dilakukan angioplasti balon, radiasi
laser pendek diberikan dan plak sisa yang tertinggal diangkat
(Black & Hawks, 2014).
5) Revaskularisasi Transmiokardial
Suatu tipe baru kateter laser digunakan dalam suatu prosedur
yang disebut transmyocardial revascularization (TMR). Laser
berenergi tinggi dipandu ke dalam ventrikel kiri di antara denyut
jantung saat ventrikel terisi darah. Teori yang mendasari tindakan
ini adalah dengan adanya trauma terkontrol yang disebabkan oleh
terbentuknya saluran/ lorong dapat memacu perkembangan
pembuluh darah yang baru yang kecil, suatu proses yang dikenal
dengan angiogenesis (Black & Hawks, 2014).
2. Manajemen keperawatan
a. Mengurangi faktor risiko
Manajemen keperawatan untuk SKA berfokus pada modifikasi
faktor risiko melalui pengkajian risiko, skrining, dan edukasi. Usaha
pencegahan primer dilakukan dengan cara memberikan edukasi
mengenai penurunan faktor risiko SKA. Anjurkan klien untuk
mengurangi asupan lemak dan kolesterol makanan, olahraga,
pengendalian hipertensi dan DM, menjaga berat badan tetap ideal,
serta berhenti merokok. Selain itu penting untuk mengenalkan tanda
dan gejala terjadinya angina pada klien (Black & Hawks, 2014).
b. Memperbaiki suplai darah
Sebelum prosedur intervensi, klien biasanya diberikan obat
antiplatelet seperti aspirin. Klien juga diberikan antikoagulan
(heparin) untuk mencegah oklusi dan penyekat saluran natrium atau
nitrat untuk mengurangi spasme koroner selama prosedur. Setelah
prosedur klien klien dapat melanjutkan obat- obatan ini untuk
mencegah oklusi ulang atau spasme pembuluh darah (Black &
Hawks, 2014).
3. Manajemen bedah
Terdapat 3 tipe pembedahan jantung yaitu:
a. Prosedur reparatif, membuat suatu penyembuhan atau perbaikan
yang tahan lama. Contohnya penutupan duktus arteriosus paten,
ASD, VSD, perbaikan mitral stenosis, serta TOF (Black & Hawks,
2014).
b. Prosedur rekonstruktif, bersifat lebih kompleks, tidak selalu kuratif
dan dapat memerlukan operasi ulang. Contohnya CABG dan
rekonstruksi katup mitral, triskuspid, dan aorta (Black & Hawks,
2014).
c. Prosedur substitusional, tidak selalu kuratif karena kondisi
praoperasi klien. Contohnya penggantian katup, operasi cangkok
jantung, dan penggantian ventrikel (Black & Hawks, 2014).
Dalam kasus SKA prosedur bedah yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Bedah jantung terbuka
Pintas kardiopulmonar selama pembedahan jantung untuk
mengalihkan darah klien yang tidak teroksigenasi ke suatu mesin
tempat berlangsungnya oksigenasi dan sirkulasi. Darah yang telah
direoksigenasi dikembalikan ke sirkulasi darah klien (Black &
Hawks, 2014).
b. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Bedah CABG melibatkan pintas dari sumbatan pada satu atau lebih
arteri koroner dengan menggunakan vena safena, arteri mamaria,
atau arteri radialis sebagai pengganti atau saluran pembuluh darah,
selama pembedahan CABG, dilakukan insisi sternotomi medial
sehingga jantung dan aorta dapat terlihat. Vena safena, arteri
mamaria, dan arteri radialis dapat digunakan sebagai arteri koroner
yang baru (Black & Hawks, 2014).

Gambar: Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


4. Manajemen keperawatan sebelum pembedahan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan sebelum pembedahan
jantung pada klien SKA menurut Black & Hawks (2014). adalah sebagai
berikut:
a. Kaji kesiapan psikologis untuk pembedahan dan reaksi klien
terhadap pentingnya pembedahan jantung
b. Biarkan klien menyampaikan masalah terkait masalah jantung dan
bedah. Luruskan jika terdapat konsep yang salah.
c. Diskusikan ventilator yang akan membantu pernapasan dalam
beberapa jam sampai 24 jam setelah pembedahan.
5. Manajemen keperawatan setelah pembedahan
Pengkajian awal difokuskan pada tingkat kesadaran, suara paru, nadi
perifer, dan tanda vital termasuk irama jantung, nadi perifer, indeks
jantung, dan suhu. Klien tetap mendapatkan intubasi dengan respirator.
Drainase selang mediastinum diukur setiap jam. Keluaran urine juga
diukur tiap jam. Dilakukan pemerikasan laboratorium termasuk
hemoglobin, hematokrit, angka trombosit, glukosa darah, elektrolit, BUN,
kreatinin, wakto protrombin, waktu parsial tromboplastin, dan analisis gas
darah arteri. Dalam 4-8 jam, jika hemodinamik stabil, saat klien sadar dan
dapat mempertahankan napas secara spontan, klien dapat diekstubasi atas
perintah dokter (Black & Hawks, 2014).
Tujuan perawatan pasca bedah dalam 24 jam pertama adalah
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung yang adekuat,
mengoreksi masalah dengan koagulasi dan kadar kalsium, serta
menstabilkan tekanan intravaskuler (Black & Hawks, 2014).
Program rehabilitasi fase I (rawat inap) dimulai setelah klien kembali dari
pembedahan dengan tujuan sebagai berikut:
a. Mencegah efek tirah baring yang terlalu lama
b. Mengkaji respon fisiologis klien terhadap latihan fisik
c. Mengatur isu psikososial terkait dengan pemulihan dari bedah
CABG
d. Mengedukasi klien dan keluarga mengenai pemulihan serta adopsi
perilaku penurunan risiko
6. Perawatan mandiri
Sebelum pulang dari rumah sakit, instruksikan keluarga dan klien
mengenai kerja dan efek samping obat, pembatasan aktivitas fisik, dan
kemajuannya serta perawatan luka pasca bedah sebelum pulang dari
rumah sakit, tes/ uji latihan terbatas dan gejala tingkat rendah dapat
dilakukan untuk mengevaluasi aktivitas harian dan latihan fisik sebagai
dasar program latihan fisik awal fase 2 (Black & Hawks, 2014).
Program rehabilitasi fase 2 (latihan fisik saat rawat jalan) dimulai pada
hari ke-10-14 setelah pulang dari rumah sakit dan membutuhkan rujukan
dokter, tujuan dari program rehabilitasi fase 2 yaitu:
a. Mengembalikan kapasistas latihan klien ke status kesehatan, gaya
hidup, dan pekerjaan semula
b. Memberikan edukasi tambahan dan dukungan untuk klien dan
keluarganya untuk mengadopsi perilakupenurunan risiko
c. Memenuhi kebutuhan psikososial klien dan keluarganya,
mengembalikan kepercayaan diri dan meminimalkan kecemasan dan
depresi
d. Meningkatkan identifikasi awal masalah kesehatan melalui
pengamatan jarak dekat dan pemantauan klien selama latihan fisik
e. Membantu klien kembali ke aktivitas pekerjaan dan rekreasi.

Terapi latihan fisik dilakukan 3x/ minggu selama 2-3 bulan. Durasi
latihan aerobik berkisar dari 20-40 menit pada intensitas 70-85% dari
kondisi denyut jantung awal (Black & Hawks, 2014).

Program rehabilitasi fase 3 (komunitas) memiliki tujuan sebagai berikut:

a. Mempertahankan dan jika memungkinkan meningkatkan kapasistas


latiahan fisik
b. Melakukan pemantauan jangka panjang pada perubahan perilaku
pengurangan risiko
c. Mendorong klien bertanggung jawab pada perubahan gaya hidup
yang berkelanjutan
7. Modifikasi klien lansia
Klien yang berusia lanjut memiliki pemulihan pasca operasi yang serupa
dengan klien yang lebih muda, tetapi pemacunya lebih lambat.
Komplikasi pascaoperasi lebih sering terjadi pada klien denga usia lanjut
meliputi disritmia, toksisitas obat terkait dengan penurunan perfusi hati
dan ginjal, interaksi obat multipel, dan penurunan stamina fisik (Black &
Hawks, 2014).

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikasan yang dapat dilakukan guna menegakkan diagnosis SKA menurut
(Tebai, 2018) adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi jenis nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA.
Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien 1MA. Sifat nyeri dada angina
sebagai berikut:
a. Lokasi: substernal, retrosternal dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.
c. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah
makan.
f. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
merupakan kecurigaan kuat adanya ST elevation myocardial infarction
(Iwan, 2010 dalam Tebai, 2018).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin
kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang
dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk
pasien ST elevation myocardial infarction yang disertai kerusakan otot
skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB
(Iwan, 2010 dalam Tebai, 2018).
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung (Iwan, 2010 dalam Tebai, 2018).
a. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
b. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah
2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/ul (Iwan, 2010 dalam Tebai, 2018).
4. EKG
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai ST elevation myocardial
infarction , dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak diagnostik untuk ST elevation myocardial infarction tetapi
pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat ST elevation
myocardial infarction , EKG serian dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Elektrokardiogram
(EKG) sisi kanan harus diambil pada pasien dengan ST elevation
myocardial infarction inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark
ventrikel kanan (Iwan, 2010 dalam Tebai, 2018).
Lokasi infrak dan gelombang pada EKG dapat dilihat dari tabel brikut:
Sadapan dengan defiasi segmen ST Lokasi Iskemia dan Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Laterar
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R,V4R Ventrikel dekstra
Gambar: Pemasangan elektrode EKG
F. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan,
pendidikan, alamat, tanggal MRS dan diagnosa medis.
(Wantiyah,2010)
b. Keluhan utama
Pasien pjk biasanya merasakan nyeri dada dan dapat dilakukan dengan
skala nyeri 0-10, 0 tidak nyeri dan 10 nyeri palig tinggi. Pengakajian
nyeri secara mendalam menggunakan pendekatan PQRST, meliputi
prepitasi dan penyembuh, kualitas dan kuatitas, intensitas, durasi,
lokasi, radiasi/penyebaran,onset.(Wantiyah,2010)
c. Riwayat kesehatan lalu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien antara lain
apakah klien pernah menderita hipertensi atau diabetes millitus, infark
miokard atau penyakit jantung koroner itu sendiri sebelumnya. Serta
ditanyakan apakah pernah MRS sebelumnya. (Wantiyah,2010)
d. Riwayat kesehatan sekarang
Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa systom PQRST. Untuk
membantu klien dalam mengutamakan masalah keluannya secara
lengkap. Pada klien PJK umumnya mengalami nyeri dada.
(Wantiyah,2010)
e. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji pada keluarga, apakah didalam keluarga ada yang menderita
penyakit jantung koroner. Riwayat penderita PJK umumnya mewarisi
juga faktor-faktor risiko lainnya, seperti abnormal kadar kolestrol, dan
peningkatan tekanan darah. (A.Fauzi Yahya, 2010)
f. Riwayat psikososial
Pada klien PJK biasanya yang muncul pada klien dengan penyakit
jantung koroner adalah menyangkal, takut, cemas, dan marah,
ketergantungan, depresi dan penerimaan realistis. (Wantiyah,2010)
g. Pola aktivitas dan latihan
Hal ini perlu dilakukan pengkajian pada pasien dengan penyakit
jantung koroner untuk menilai kemampuan dan toleransi pasien dalam
melakukan aktivitas. Pasien penyakit jantung koroner mengalami
penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.(Panthee & Kritpracha, 2011)
h. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu
dengan klien dilanjutkan mengukur tanda-tand vital. Kesadaran
klien juga diamati apakah kompos mentis, apatis, samnolen,
delirium, semi koma atau koma. Keadaan sakit juga diamati
apakah sedang, berat, ringan atau tampak tidak sakit.
2) Tanda-tanda vital
Tekanan darah dapat turun (hipotensi) sebagai manifestasi adanya
syok kardiogenik. Nadi dapat mengalami takikardia maupun
bradikardia.
3) Pemeriksaan fisik persistem
a) Sistem persyarafan, meliputi kesadaran, ukuran pupil,
pergerakan seluruh ekstermitas dan kemampuan menanggapi
respon verbal maupun non verbal.
b) Sistem penglihatan, pada klien PJK mata mengalami
pandangan kabur.
c) Sistem pendengaran, pada klien PJK pada sistem pendengaran
telinga , tidak mengalami gangguan.
d) Sistem abdomen, bersih, datar dan tidak ada pembesaran hati.
e) Sistem respirasi, pengkajian dilakukan untuk mengetahui
secara dinit tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan
oksigenasi. Pengkajian meliputi persentase fraksi oksigen,
volume tidal, frekuensi pernapasan dan modus yang digunakan
untuk bernapas. Pastikan posisi ETT tepat pada tempatnya,
pemeriksaan analisa gas darah dan elektrolit untuk mendeteksi
hipoksemia.
f) Sistem kardiovaskuler, pengkajian dengan tekhnik inspeksi,
auskultrasi, palpasi, dan perkusi perawat melakukan
pengukuran tekanan darah; suhu; denyut jantung dan
iramanya; pulsasi prifer; dan tempratur kulit. Auskultrasi bunyi
jantung dapat menghasilkan bunyi gallop S3 sebagai indikasi
gagal jantung atau adanya bunyi gallop S4 tanda hipertensi
sebagai komplikasi. Peningkatan irama napas merupakan salah
satu tanda cemas atau takut
g) Sistem gastrointestinal, pengkajian pada gastrointestinal
meliputi auskultrasi bising usus, palpasi abdomen (nyeri,
distensi).
h) Sistem muskuluskeletal, pada klien PJK adanya kelemahan dan
kelelahan otot sehinggah timbul ketidak mampuan melakukan
aktifitas yang diharapkan atau aktifitas yang biasanya
dilakukan.
i) Sistem endokrin, biasanya terdapat peningkatan kadar gula
darah.
j) Sistem Integumen, pada klien PJK akral terasa hangat, turgor
baik.
k) Sistem perkemihan, kaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri
pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah
abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan
kaji tentang jenis cairan yang keluar .
2. Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri akut ybd agent cidera bioogis iskhemia jaringan sekunder
terhadap sumbatan arteri koroner
b. Penurunan curah jantung ybd Gangguan stroke volume (preload,
afterload, kontraktilitas)
c. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen
d. Ketidakefektifan pola napas ybd beban kerja jantung meningkat
3. Intervensi
a. Nyeri akut
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil
Nyeri akut NOC : NIC :
Setelah dilakukan  Lakukan pengkajian nyeri
tindakan keperawatan secara komprehensif
selama 3x24 jam nyeri termasuk lokasi,
pasien teratasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
Mampu mengontrol nyeri
faktor presipitasi
(tahu penyebab nyeri,  Observasi reaksi
mampu menggunakan nonverbal dari
tehnik nonfarmakologi ketidaknyamanan
untuk mengurangi nyeri,  Kontrol lingkungan yang
mencari dengan kriteria dapat mempengaruhi nyeri
hasil: bantuan) seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
 Melaporkan bahwa nyeri
kebisingan
berkurang dengan
 Kurangi faktor presipitasi
menggunakan
nyeri
manajemen nyeri
 Kaji tipe dan sumber nyeri
 Mampu mengenali nyeri
untuk menentukan
(skala, intensitas,
intervensi
frekuensi dan tanda
nyeri)  Ajarkan tentang teknik
non farmakologi: napas
 Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri dala, relaksasi, distraksi,
berkurang kompres hangat/ dingin
 Tanda vital dalam Kolaborasi:
rentang normal  Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri

b. Penurunan curah jantung


Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil
Penurunan curah NOC : NIC :
jantung Setelah dilakukan asuhan  Evaluasi adanya nyeri
selama 3x24 jam dada
penurunan kardiak output  Catat adanya disritmia
klien teratasi dengan jantung
kriteria hasil:  Catat adanya tanda dan
gejala penurunan cardiac
 Tanda Vital dalam putput
rentang normal
 Monitor respon pasien
(Tekanan darah, Nadi,
terhadap efek pengobatan
respirasi) antiaritmia
 Dapat mentoleransi  Anjurkan untuk
aktivitas, tidak ada menurunkan stress
kelelahan
 Monitor TD, nadi, suhu,
 Tidak ada edema paru, dan RR
perifer, dan tidak ada
 Monitor jumlah, bunyi
asites
dan irama jantung
 Tidak ada penurunan
 Monitor sianosis perifer
kesadaran
Kolaborasi:
 AGD dalam batas
normal  Berikan obat anti aritmia,
 Tidak ada distensi vena inotropik, nitrogliserin dan
leher vasodilator untuk
mempertahankan
 Warna kulit normal
kontraktilitas jantung
 Berikan antikoagulan
untuk mencegah trombus
perifer
c. Intoleran Aktivitas
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil
Intoleran aktivitas NOC : NIC :
Setelah dilakukan tindakan  Observasi adanya
keperawatan selama 3x24 pembatasan klien
jam Pasien bertoleransi dalam melakukan
terhadap aktivitas dengan aktivitas
 Kaji adanya faktor
kriteria hasil :
yang menyebabkan
 Berpartisipasi dalam kelelahan
aktivitas fisik tanpa  Monitor nutrisi dan
disertai peningkatan sumber energi yang
tekanan darah, nadi dan adekuat
RR
 Monitor pasien akan
 Mampu melakukan adanya kelelahan fisik
aktivitas sehari hari dan emosi secara
(ADLs) secara mandiri berlebihan
 Keseimbangan aktivitas  Monitor respon
dan istirahat kardivaskuler terhadap
aktivitas (takikardi,
disritmia, sesak nafas,
diaporesis, pucat,
perubahan
hemodinamik)
 Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang mampu
dilakukan
 Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten
yang sesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan sosial
 Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk
mendpatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
d. Ketidakefektifan pola napas
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Hasil

Pola Nafas tidak efektif NOC: NIC:


berhubungan dengan
beban kerja jantung Setelah dilakukan  Posisikan pasien untuk
tindakan keperawatan memaksimalkan ventilasi
meningkat
selama 3x24 jam pasien  Lakukan fisioterapi dada
menunjukkan keefektifan jika perlu
pola nafas, dibuktikan  Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
dengan kriteria hasil: tambahan
 Berikan pelembab udara
 Mendemonstrasikan
Kassa basah NaCl Lembab
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak  Atur intake untuk cairan
ada sianosis dan mengoptimalkan
dyspneu (mampu keseimbangan.
mengeluarkan sputum,  Monitor respirasi dan status
mampu bernafas dg O2
mudah, tidakada pursed  Bersihkan mulut, hidung
lips) dan secret trakea
 Menunjukkan jalan  Pertahankan jalan nafas
nafas yang paten (klien yang paten
tidak merasa tercekik,  Observasi adanya tanda
irama nafas, frekuensi tanda hipoventilasi
pernafasan dalam  Monitor adanya kecemasan
rentang normal, tidak pasien terhadap oksigenasi
ada suara nafas  Monitor vital sign
abnormal)  Informasikan pada pasien
 Tanda Tanda vital dan keluarga tentang tehnik
dalam rentang normal relaksasi untuk
(tekanan darah, nadi, memperbaiki pola nafas.
pernafasan)  Ajarkan bagaimana batuk
efektif
 Monitor pola nafas
DAFTAR PUSTAKA

Black, M. J., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier.
Diputra, M. D. R., Wita, I. W., & Aryadana, W. (2018). Karakteristik Penderita
Sindroma Koroner Akut di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2016. E-
JURNAL MEDIKA, 7(10), 1–10.
Indonesia, P. D. S. K. (2016). Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical
Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Edisi Pert). Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis KardiovaskulerIndonesia.
Irmalita, Juzar, D. A., Andrianto, Setianto, B. Y., Tobing, D. P., Firman, D., &
Firdaus, I. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (3rd ed.).
Jakarta: Centra Communications.
Jamil, M. (2017). Perbedaan Rerata Nilai Troponin pada Pasien Sindrom
Koroner Akut dengan ST Elevasi dan Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi
di ICCU Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2016.
Muchid, A., Umar, F., Chusun, Purnama, N. R., & Istiqomah, S. N. (2006).
Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus
Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Departemen kesehatan RI.
Muhibbah, Wahid, A., Agustina, R., & Oskiillliandri. (2019). Karakteristik Pasien
Sindrom Koroner Akut pada Pasien Rwat Inap Ruang Tulip di RSUD Ulin
Banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences, 3(1), 6–12.
Satoto, H. H. (2019). Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner Coronary Heart
Disease Pathophysiology. Jurnal Anastesiologi Indonesia, V1(3), 209–224.
Tebai, D. K. (2018). Gambaran Pasien Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi
Segmen ST di RSUD Jayapura Periode Januari- Desember 2017. Universitas
Jayapura.
Thaler, M. S. (2012). Satu- Satunya Buku EKG yang Anda Perlukan (7th ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wantiyah, Sitorus, R., & Gayatri, D. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Efikasi Diri Pasien Penyakit Jantung Koroner Dalam Konteks
Asuhan Keperawatan Di RSUD Dr. Soebandi Jember. Tesis FIKUI.

Anda mungkin juga menyukai