Anda di halaman 1dari 52

ANALISA PROXIMAT

BAB I: AIR DAN ABU

LAPORAN PRAKTIKUM
ANALISA PANGAN

Disusun oleh:
Dian Kristianto 05.70.0010
Melia 05.70.0051
Editha Octorina 05.70.0098
Kelompok C 2

2006

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
2

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA


SEMARANG

1.
1. PENDAHULUAN

1.1. Tinjauan Pustaka


Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan fungsinya tidak
pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting
dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tesktur, serta cita
rasa makanan kita. Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah
kering, tepung serta biji-bijian, terkandung air dalam jumlah tertentu. Air berperan
sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi
yang menstabilkan pembentukan biopolymer dan sebagainya (Winarno, 1997).

Air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan dan sangat esensial
dalam kelangsungan proses biokimiawi organisme hidup di samping terdapat dalam
bahan makanan secara alamiah. Air terdapat bebas di alam dalam berbagai bentuk. Air
bebas ini sangat penting juga dalam pertanian, pencucian dan sanitasi umum maupun
pribadi, teknologi pangan, dan sebagai air minum. Dalam pabrik pengolahan pangan, air
diperlukan untuk berbagai keperluan, misalnya: pencucian, pengupasan umbi atau buah,
penentuan kualitas bahan (tenggelam atau mengambang), bahan baku proses, medium
pemanasan atau pendinginan, pembentukan uap, strelisasi, melarutkan dan mencuci
bahan sisa, dan keperluan lain – lain (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Dalam pemrosesan bahan makanan, air yang dipergunakan memerlukan persyaratan


kebersihan yang tinggi. Untuk keperluan pengolahan bahan makanan ini, persyaratan air
sama dengan persyaratan air minum (pottable water), yaitu tidak mengandung mikrobia
penyebab sakit perut atau penyakit lain (patogen), tanpa rasa atau bau yang tak
dikehendaki dan tak berwarna (Sudarmadji & Haryono, 1989). Peranan air dalam bahan
pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti
aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan
dan reaksi-reaksi non-enzimatis, sehingga menimbulkan oerubahan sifat-sifat
organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizinya (Syarief & Hahd,
1991).

1
2

Air dapat melarutkan banyak zat dan berperan sebagai medium untuk berlangsungnya
berbagai reaksi kimia (Day & Underwood, 1986). Air merupakan kandungan penting
pada banyak makanan. Air dapat berupa komponen intrasel dan atau ekstrasel dalam
sayuran dan produk hewani, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai
produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk emulsi seperti mentega dan
margarin, serta sebagai komponen tambahan dalam makanan lainnya (De Man, 1997).

Di dalam bahan pangan air terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Air bebas
mudah dihilangkan dengan cara penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat
sangat sukar dihilangkan dari bahan pangan meski dengan cara pengeringan (Winarno
et al., 1980). Air dalam suatu bahan makanan terdapat dalam berbagai bentuk, yaitu air
bebas, air terikat lemah dan air terikat kuat. Air bebas terdapat dalam ruang – ruang
antar sel dan intergranular serta pori – pori yang terdapat pada bahan. Air bebas ini
mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi
reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air bebas diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan
berkisar antara 12-25 % dengan aw (water activity) kira-kira 0,8 tergantung dari jenis
bahan dan suhu. Air terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan
koloid makromolekuler seperti protein, pektin pati, selulosa. Selain itu, air ini juga
terdispersi di antara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat – zat yang ada dalam sel.
Air dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada
proses pembekuan. Ikatan antara air ini dengan koloid tersebut merupakan ikatan
hidrogen. Air dalam keadaan terikat kuat membentuk hidrat. Ikatannya ini bersifat ionik
sehingga relatif sukar dihilangkankan atau diuapkan. Air ini tidak membeku meskipun
pada 0ºF (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan
bahan makanan, misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh
aktivitas serangga perusak. Air bebas mudah dihilangkan dengan dengan cara
penguapan atau pengeringan. Sedangkan air yang dalam bentuk lainnya tidak membantu
terjadinya proses kerusakan tersebut di atas, air terikat sangat sukar dihilangkan dari
bahan pangan tersebut meskipun dengan cara pengeringan. Oleh karenanya kadar air
bukan merupakan parameter yang absolut untuk dapat dipakai meramalkan kecepatan

2.
3

terjadinya kerusakan bahan makanan. Dalam hal ini dapat digunakan pengertian Aw
(aktivitas air) untuk menentukan kemampuan air dalam proses-proses kerusakan bahan
makanan (Sudarmadji et al., 1989).

Berdasarkan derajat keterikatan air, air yang terikat dalam bahan pangan dapat dibagi
atas empat tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Air tipe I tidak dapat membeku pada proses
pembekuan, tetapi dapat dihilangkan sebagian dengan cara pengeringan biasa. Air tipe I
terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya. Air tipe II lebih
sukar dihilangkan dan penghilangannya akan mengakibatkan penurunan a w (water
activity). Bila sebagian air tipe II dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi
kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti reaksi browning, hidrolisis, atau
oksidasi lemak akan berkurang. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan
akan berkisar antara 3 – 7 %, dan umumnya kestabilan optimum bahan makanan akan
tercapai. Air tipe III mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe III ini diuapkan
seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12 – 25 % dengan aw (water activity)
kira-kira 0,8 tergantung dari jenis bahan dan suhu. Air tipe IV adalah air yang tidak
terikat dalam jaringan suatu bahan (air di permukaan) atau air murni, dengan sifat-sifat
seperti air biasa dan keaktifan penuh (Winarno, 1995).

Jenis air yang terikat secara kimia jumlahnya tertentu, mengikuti suatu perbandingan
berat tertentu dan tergantung jenis bahan pangan. Energi yang mengikat air jenis ini
relatif besar, sehingga diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk menguapkannya. Yang
termasuk air yang terikat secara kimia diantaranya air kristal dan air konstitusi. Air
kristal merupakan air yang terikat sebagai molekul-molekul dalam bentuk H 2O.
Pembentukan air kristal sering dijumpai pada eksikator pengeringan. Sedangkan air
konstitusi adalah air yang merupakan bagian dari molekul padatan tertentu dan bukan
dalam bentuk H2O (Syarief & Halid, 1993).

Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Hal ini merupakan salah
satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan air sering dikeluarkan atau dikurangi
dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Pengurangan air di samping

2.
4

bertujuan untuk mengawetkan juga untuk mengurangi besar dan berat bahan pangan
sehingga memudahkan dan menghemat pengepakan (Winarno et al., 1984). Di bidang
mutu, kadar air erat hubungannya dengan daya simpan bahan. Sebagaimana komoditi
pertanian, semakin rendah kadar air maka semakin tinggi daya simpannya (Arpah,
1993).

Kandungan air sangat berpengaruh terhadap konsistensi bahan pangan dimana sebagian
besar bahan pangan segar mempunyai kadar air 70 % atau lebih. Untuk kadar air pada
daging dan ikan utamanya tergantung dari kadar lemaknya dan sedikit oleh beberapa
faktor seperti umur, sumber, dan musim pertumbuhan hewan tersebut. Kadar airnya
berjarak sekitar 50-70 % (Pomeranz & Meloan, 1987).

Aktivitas air adalah pernyataan tentang tingkat mobilitas dan peranan bagi proses
kehidupan atau dinyatakan dengan perbandingan tekanan parsial uap air bahan dengan
tekanan uap air jenuh, atau juga besar kesetimbangan kelembaban relatif (ERH) dibagi
100. Semakin besar aktivitas air dalam bahan semakin tinggi timbulnya jasad renik
dalam bahan pangan (Syarief & Halid, 1991). Kandungan air dalam bahan makanan
mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan
dengan Aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai Aw minimum agar dapat
tumbuh dengan baik, misalnya bakteri Aw : 0,90; khamir Aw : 0,80 – 0,90; kapang
Aw : 0,60 – 0,70 (Winarno, 1997). Aktivitas air dapat dihitung dengan cara tidak
langsung, yaitu dengan menghitung banyaknya air yang terserap dalam kertas saring
kering yang telah diketahui beratnya dalam suatu ruang/ wadah yang berisi zat yang
akan diukur Aw nya. Penentuan cara ini tidak dapat digunakan apabila dalam bahan
terdapat senyawa metanol, etanol, ataupun senyawa yang mudah menguap yang mudah
terserap oleh kertas saring (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Setiap bahan bila diletakkan pada udara terbuka, kadar airnya akan mencapai
keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air bahan ini disebut
dengan kadar air seimbang. Kadar air yang sama belum tentu memberikan Aw yang
sama bergantung pada macam bahannya. Pada kadar air yang tinggi belum tentu

2.
5

memberikan Aw yang tinggi bila bahannya berbeda. Hal ini dikarenakan mungkin
bahan yang satu disusun oleh bahan – bahan yang mudah mengikat air sehingga air
bebas relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya bahan jenis ini mempunyai Aw yang
rendah. Aktivitas air dihitung dengan menggunakan rumus:
Aw = ERH/100
Aw = aktivitas air
ERH = kelembaban relatif seimbang (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Apabila diketahui kurva hubungan antara kadar air seimbang dengan kelembaban relatif
dapat menggambarkan hubungan antara kadar air dan aktivitas air. Kurva ini sering
disebut Isoterm Sorpsi Lembab (ISL). Istilah sorpsi air dipakai untuk penggabungan air
ke dalam bahan pangan dan apabila proses dimulai dengan bahan kering disebut
adsorpsi sedangkan apabila dimulai dengan bahan basah disebut desorpsi (Syarief &
Halid, 1991).

Setiap bahan mempunyai ISL yang berbeda dengan bahan lainnya. Pada kurva tersebut
dapat diketahui bahwa kadar air yang sama belum tentu memberikan A w yang sama
tergantung pada macam bahannya. Hal ini dikarenakan bahan yang satu disusun oleh
bahan – bahan yang mudah mengikat air sehingga air bebas relatif menjadi lebih kecil
dan akibatnya bahan jenis ini mempunyai Aw yang rendah (Sudarmadji, 1989).

Karena air mempunyai peran yang sangat penting, maka perlu dilakukan penentuan
terhadap air. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan
aktivitas air. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan, yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry
basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 %,
sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 % (Syarief & Halid, 1991). Kadar
air dry basis adalah perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat
bahan keringnya. Berat bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan
berat airnya. Kadar air wet basis adalah perbandingan antara berat air dalam bahan
tersebut dengan berat bahan mentah (Winarno & Fardiaz, 1984).

2.
6

Kadar air berat basah dapat ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut:
Ba Ba
Ka = x 100 % = x 100 %
Ba  Bk Bt
Di mana: Ka = kadar air berat basah (%)
Ba = berat air dalam bahan (g)
Bk = berat bahan kering mutlak (g)
Bt = berat total = Ba + Bk (g)
Kadar air berat kering adalah air yang diuapkan dibagi berat bahan setelah pengeringan.
Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan sebelum pengeringan dikurangi berat
bahan setelah pengeringan, sebagaimana persamaan berikut:
Ba 100 ka
Ka = x100% =
Bk 100  ka
Di mana : Ka = kadar air berat kering (%)
Ba = berat air dalam bahan (g)
Bk = berat bahan kering mutlak (g)
ka = kadar air berat basah
Yang dimaksud dengan berat bahan kering yaitu berat bahan setelah mengalami
pemanasan dalam waktu tertentu sampai tercapai berat konstan. Pada keadaan berat
konstan tersebut, tidak seluruh zat yang terkandung dalam bahan teruapkan akan tetapi
hasil yang didapat disebut berat kering (Syarief & Halid, 1991).

Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung
pada sifat bahannya. Pada umumnya, penentuan kadar air dilakukan dengan
mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105ºC – 110ºC selama 3 jam atau sampai
didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah
banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan–bahan yang tidak tahan panas, seperti
bahan berkadar gula tinggi, minyak, daging, kecap, dan lain – lain, pemanasan
dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang lebih rendah. Kadang–kadang
pengeringan dilakukan tanpa pemanasan, bahan dimasukkan dalam desikator dengan
H2SO4 pekat sebagai pengering, sehingga mencapai berat yang konstan (Winarno,
1997). Kadar air dalam makanan dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu metode
pengeringan (thermogravimetri), metode destilasi (thermovolumetri), metode khemis,

2.
7

metode fisis, dan metode khusus (misalnya kromatografi, nuclear, magnetic resonance)
(Sudarmadji et al., 1996).

Metode pengukuran yang umum dilakukan di laboratorium adalah dengan pengeringan


(Thermogravimetri) atau dengan cara destilasi (Thermovolumetri). Cara yang paling
sederhana untuk menentukan kadar air suatu bahan pangan adalah dengan jalan
pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air
sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Ada dua cara yang biasa dilakukan untuk mengukur kadar air secara gravimetri. Cara
pertama adalah pengeringan dalam oven sampai dicapai berat konstan. Dengan
mengasumsikan bahwa kehilangan berat selama pengeringan tersebut seluruhnya adalah
kandungan air bahan, maka persentase kadar air dapat dihitung. Cara lain yaitu dengan
mengontrol aW dan RH. Pengaturan RH dilakukan dengan menggunakan larutan jenuh
garam-garam lithium klorida, potassium asetat, magnesium klorida, potassium karbonat,
sodium bromida, dll. Berbagai jenis larutan garam jenuh tersebut mempunyai
keuntungan dalam mempertahankan suatu kelembaban konstan, selama jumlah garam
masih di atas tingkat jenuh. Kemurnian garam, luas permukaan, cairan dan volume
larutan garam jenuh sangat mempengaruhi ketepatan pengukuran (Syarief & Halid,
1993).

Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus
dihilangkan dengan beberapa cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan
pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan; seperti pada
penjemuran padi, ikan asin, pembuatan dendeng, dan lain sebagainya. Pada pengeringan
bahan makanan ini, terdapat 2 tingkat kecepatan penghilangan air. Pada awal
pengeringan, kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu tetap, kemudian akan
terjadi penurunan kecepatan penghilangan air per satuan waktu. Hal ini berhubungan
dengan jenis air yang terikat dalam bahan (Winarno, 1997).

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air
dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi

2.
8

panas. Metode ini ada kerugiannya yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat
berubah misalnya bentuk, sifat fisik dan juga kimianya bahkan sampai penurunan mutu
dan lain-lainnya (Winarno et al., 1980). Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan
berubah warna menjadi kecoklatan. Perubahan warna ini disebabkan oleh reaksi
browning, baik enzimatis maupun non enzimatis (Winarno, 1993). Metode pengeringan
biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan bahan dalam oven selama 3-4 jam
dengan suhu yang tinggi. Selisih berat sebelum dan sesudah dikeringkan adalah
banyaknya air yang diuapkan (Winarno, 1997). Metode pengeringan prinsipnya ialah
dengan menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan, kemudian
menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini
relatif mudah dan murah. Kelemahan cara ini adalah bahan selain air (misalnya alkohol,
asam asetat, minyak atsiri, dan lain-lain) ikut menguap dan hilang bersama uap air,
dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap
lain (seperti gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi
dan sebagainya), serta bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara
kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan. Untuk mempercepat
penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan terbentuknya air
atau reaksi yang lain karena pemanasan, dapat dilakukan pemanasan dengan suhu
rendah dan tekanan vakum (Sudarmadji et al., 1989). Keuntungan metode ini adalah
bahan menjadi lebih awet, volume bahan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan
proses pengangkutan dan pengepakan, berat bahan berkurang sehingga memudahkan
transportasi, dengan begitu diharapkan biaya produksinya lebih murah (Winarno, 1993).

Meskipun konsepnya sangat sederhana dan pelaksanaannya mudah, tetapi pengukuran


kadar air secara gravimetri sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat
menimbulkan kesalahan perhitungan. Salah satu kesalahan perhitungan yang umum
adalah terbentuknya suatu lapisan luar yang keras (kerak) atau “case hardening” yang
terjadi pada bahan pangan sehingga menghalangi menguapnya kandungan air bahan dari
bagian dalam. Suatu kemungkinan kesalahan penentuan kadar air yaitu adanya bahan
lain yang mudah menguap dan ikut menguap bersama-sama dengan air sewaktu
dipanaskan. Selain itu mungkin pula bahan terurai seperti halnya bahan yang
mengandung karbonat atau macam-macam bahan organik. Kedua hal ini menyebabkan

2.
9

selisih berat yang dicari menjadi terlalu besar yaitu lebih besar daripada berat air yang
hilang. Berat konstan mungkin saja tidak tercapai karena air bisa dihasilkan oleh reaksi
Maillard. Untuk menjamin pengeringan contoh sudah mencukupi, digunakan oven
(Syarief & Halid, 1991).

Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat
dari seluruh permukaan bahan tersebut dan uap air dikeluarkan dari seluruh permukaan
bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah
luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap di udara
(Winarno et al., 1980). Untuk bahan-bahan yang mempunyai kadar gula tinggi,
pemanasan dengan suhu ± 100oC dapat mengakibatkan terjadinya pergerakan pada
permukaan bahan. Suatu bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih
bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan
sebelum penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering,
misalnya dalam eksikator atau desikator yang telah diberi zat penyerap air. Penyerap
air/ uap air dapat menggunakan kapur aktif, asam sulfat, silika gel, aluminium oksida,
kalium klorida, kalium hidroksida, kalsium sulfat, atau barium oksida. Silika gel yang
digunakan sering diberi warna guna memudahkan apakah bahan tersebut sudah jenuh
dengan air atau belum. Bila sudah jenuh akan berwarna merah muda dan bila
dipanaskan menjadi kering berwarna biru (Sudarmadji et al., 1989).

Metode destilasi prinpsinya ialah dengan menguapkan air dengan “pembawa’’ cairan
kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari pada air dan tidak dapat bercampur
dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah dari air (Sudarmadji & Haryono,
1989). Ada beberapa cara penentuan kadar air dalam bahan secara kimiawi yaitu antara
lain cara titrasi Karl Fischer, cara kalsium karbid dan cara asetil klorida. Titrasi Karl
Fischer sering digunakan untuk makanan dengan kandungan kelembaban rendah, yang
mungkin dibawa keluar dengan alat tertentu. Metode ini dilakukan dengan menitrasi
sampel dengan larutan iodin dalam metanol. Metanol dan piridin digunakan untuk
melarutkan iodin dan sulfur dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Air
bereaksi dengan campuran antara iodine dan sulfur dioksida dalam alkohol (methanol)
dan dalam amin (seperti pirimidin tetapi sekarang digantikan oleh dasar yang lebih

2.
10

aman dan lebih kuat seperti imidazole). Biasanya, sulfur dioksida bereaksi dengan
alkohol untuk membentuk ester, yang dinetralisir oleh imidazole. Ester ini kemudian
dioksidasi oleh iodine menjadi metil sulfat yang melibatkan air. Selama masih ada air
dalam bahan, iodine akan bereaksi, tetapi begitu air habis maka iodine akan bebas. Pada
saat timbul iodine bebas, titrasi dihentikan, dan iodine akan memberikan warna kuning
coklat. Untuk memperluas perwarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan akhir
titrasi akan memberikan warna hijau. Tahapan reaksi ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
I2 + SO2 + 2C6H5NI2  C6H5N.SO4 + C6H5NI2
C6H5SO2 + C6H5NI2 + H2O  2 ( C6H5NNI ) + C6H5NSO3
C6H5NSO3 + CH3O4  C6H5N ( H ) SO4 CH3
Dalam pelaksanannya titrasi harus dilakukan dengan kondisi bebas dari pengaruh
kelembaban udara sehingga dilakukan dalam ruang tertentu. Metode ini diaplikasikan
untuk makanan yang memberikan hasil yang tepat ketika dipanaskan atau diletakkan di
bawah kondisi vakum. Cara titrasi ini berhasil dipakai untuk penentuan kadar air dalam
alkohol, ester – ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung, gula, madu, dan bahan
makanan yang dikeringkan. Cara kalsium karbid (Direct reasing instrument)
memberikan pembacaan kadar air dari bahan makanan secara tepat yang didasarkan
pada kenyataan bahwa air akan bereaksi dengan bahan lain untuk menghasilkan gas.
Gas ini meningkatkan tekanan, yang diukur dengan cara ini dan berhubungan dengan
jumlah air sebenarnya yang terdapat dalam bahan makanan. Jumlah gas asetelin yang
terbentuk dapat diukur dengan berbagai cara, seperti menimbang campuran bahan dan
karbid sebelum dan sesudah reaksi selesai, kehilangan berat merupakan berat asetelin;
mengumpulkan gas asetelin yang terbentuk dalam ruang tertutup dan mengukur
volumenya sehingga dapat diketahui banyaknya asetelin dan kemudian dapat diketahui
kadar air bahan; mengukur tekanan gas asetelin yang terbentuk jika dikerjakan dalam
ruangan tertutup sehingga dapat diketahui banyaknya asetilen dan kadar air bahan;
menangkap gas asetelin dengan larutan tembaga sehingga dihasilkan tembaga asetelin
yang ditentukan secara gravimetrik atau volumetrik. Reaksi kalsium karbid dan air
untuk memproduksi asetilen:
CaC2 + 2 H2O C2 H 2 + Ca (OH) 2
Reaksi antara kalsium hidrid dan air untuk memproduksi hidrogen :

2.
11

C 2H4 + 2H 2O H2 + Ca (OH) 2
Cara tersebut telah berhasil untuk menentukan kadar air dalam tepung, sabun, kulit, biji
panili, mentega dan air buah. Cara asetil klorida berdasarkan reaksi asetil klorida dan air
menghasilkan asam yang dapat dititrasi menggunakan basa. Asetil klorida yang
digunakan dilarutkan dalam toluol dan bahan didispersikan dalam piridin. Reaksi yang
terjadi sebagai berikut:
H2O + CH3 COCl CH 3COOH + HCl. Cara ini telah berhasil baik untuk
penentuan kadar air dalam bahan minyak, mentega, margarin, rempah-rempah dan
bahan-bahan yang berkadar air sangat rendah (James, 1995).

Metode fisis dibagi 2, yaitu berdasarkan tetapan dielektrikum dan daya hantar listrik
atau resistensi bahan. Pada metode berdasarkan tetapan dielektrikum, diperlukan adanya
kurva standart yang melukiskan hubungan antara kadar air dan tetapan dielektrikum dari
bahan yang diselidiki untuk mengetahui kadar air bahan. Dengan mengetahui tetapan
dielektrikum bahan sejenis akan dapat dihitung kadar air bahan tersebut. Sedangkan
berdasarkan daya hantar listrik atau resistensi bahan, konduktivitas bahan dapat berubah
karena perubahan temperatur; makin tinggi suhu, konduktivitas makin besar atau
resistennya makin kecil (James, 1995).

Metode khusus dapat dilakukan dengan 2 macam metode. Berdasarkan resonansi nuklir
magnetik, penentuan kadar air didasarkan pada sifat-sifat magnetik dari inti atom yang
mampu menyerap energi, seperti konduktivitas listrik, NMR (Nuclear Magnetc
Resonance) dan NIR (Near Infra red) (James, 1995). Selain itu, dalam metode ini dapat
dilakukan dengan cara kromatografi (Sudarmadji et al., 1996).

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu
dan komposisinya tergantung bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada
hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan
dapat merupakan dua macam mineral, yaitu garam organik dan garam anorganik. Selain
kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawa kompleks
yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya

2.
12

sangat sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menetukan sisa-sisa pembakaran
garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan (Winarno, 1997).

Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi baik macam dan jumlahnya,
sebagai gambaran dapat dikemukakan beberapa contoh berikut ini, seperti Ca, P, Fe,
Na, K, Mg, S, Co, dan Zn. Di antara komponen mineral yang ada, Ca (kalsium) cukup
tinggi pada susu dan hasil olahannya, serealia, kacang-kacangan, ikan, dan telur serta
buah-buahan, dan yang kandungan Ca-nya paling sedikit adalah gula, pati ,dan minyak.
Bahan yang kaya akan Fosfor (P) adalah daging ikan, susu, daging unggas, dan kacang-
kacangan. Bahan yang kaya akan zat besi (Fe) adalah tepung gandum, daging, unggas,
telur, sedang makanan yang paling sedikit mengandung Fe adalah susu, buah dan
sayuran. Bahan yang paling banyak mengandung Sodium (Na) adalah garam yang
banyak digunakan sebagai ingredient (bumbu), salted food. Bahan yang banyak
mengandung mineral Potasium (K) adalah susu, hasil olahan buah-buahan, serealia,
daging, ikan, unggas, telur dan sayur-sayuran. Bahan yang banyak mengandung
Magnesium (Mg) adalah kacang-kacangan, serealia, sayur-sayuran, buah-buahan, dan
daging. Belerang (S) banyak terdapat pada bahan yang kaya akan protein seperti susu,
daging, kacang-kacangan, telur. Kobalt (Co) banyak terdapat pada buah-buahan dan
sayur-sayuran. Bahan makan hasil laut (sea food) merupakan bahan yang banyak
mengandung unsur Zink (Zn) (Sudarmadji et al., 1989).

Abu dalam makanan ditunjukkan oleh berat residu mineral kering dari bahan organik
dipanaskan pada temperatur yang tinggi (sekitar 550ºC). Pada pengeringan abu, sampel
ditimbang dalam wadah, dan bahan organik dibakar tanpa pengapian dan dipanaskan
selama beberapa saat atau sampai didapatkan berat konstan di mana residu harus bebas
dari karbon. Wadah yang mengandung residu didinginkan dalam desikator dan dihitung
jumlah total abu yang ditunjukkan oleh beratnya (Pomeranz & Meloan, 1987). Kadar
abu untuk berbagai bahan pangan berbeda-beda (Arpah, 1993).

Mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi


(pembakaran). Pembakaran ini merusak senyawa organik dan meninggalkan mineral.
Akan tetapi jika ditentukan dengan cara ini, abu tidak mengandung Nitrogen yang

2.
13

terdapat dalam protein dan dalam beberapa segi lain berbeda dengan kandungan mineral
yang sebenarnya. Anion organik menghilang selama insinerasi dan logam diubah
menjadi oksidanya. Karbonat dalam abu dapat terbentuk karena penguraian bahan
organik. Fosfor, belerang protein dan fosfor lipid terdapat juga dalam abu. Beberapa
unsur sesepora dan beberapa garam dapat hilang karena penguapan selama pengabuan
(De Man, 1997).

Pengabuan sampel dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara kering, cara basah dan
cara kondukmetri. Pengabuan cara kering mengeringkan bahan yang akan diabukan
terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam pemanas. Pengabuan cara basah
dilakukan dengan mereaksikan bahan dengan bahan-bahan kimia untuk mempercepat
oksidasi sebelum pengeringan. Pemanasan dalam pengabuan cara basah ini tidak
sepanas metode kering. Pengabuan cara kondukmetri dilakukan pada bahan yang tidak
bersifat elektrolit (James, 1995). Penentuan kadar abu secara tidak langsung (cara
basah) digunakan untuk digesti sampel dalam usaha penentuan trace element dan
logam-logam beracun. Pengabuan cara basah ini prinsipnya adalah memberikan
reagen kimia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan (Pomeranz
& Meloan, 1996). Penentuan kadar abu cara konduktometri didasarkan atas prinsip
bahwa larutan gula atau bahan/ konstituen mineral mengalami disosiasi, sedangkan
sukrosa yang merupakan bahan non elektrolit tidak mengalami disosiasi (Sudarmadji et
al., 1989).

Total abu adalah indeks pemurnian makanan yang diterima secara luas. Penentuan abu
total dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Antara lain menentukan baik tidaknya
suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam
asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir/ kotoran yang lain. Penentuan abu
total dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering atau cara langsung dan dapat
pula secara basah atau cara tidak langsung (Sudarmadji et al., 1989).

Terdapat beberapa perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah. Yang pertama,
cara kering biasa digunakan untuk penentuan total abu dalam suatu bahan makanan dan

2.
14

hasil pertanian, sedangkan cara basah untuk trace element. Yang kedua, cara kering
digunakan untuk penentuan abu yang larut dan tidak larut dalam air serta abu yang tidak
larut dalam asam memerlukan waktu yang relatif lama; sedangkan cara basah
memerlukan waktu yang cepat. Ketiga, cara kering memerlukan suhu yang relatif tinggi
sedangkan cara basah memerlukan suhu relatif rendah. Keempat, cara kering dapat
digunakan untuk sampel yang relatif banyak sedangkan cara basah sebaiknya sampel
sedikit dan memerlukan reagensia yang kadang kala agak berbahaya (Sudarmadji et al.,
1989).

Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) yaitu dengan mengoksidasikan
semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600C dan menimbang zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi sebelum
pengabuan harus dikeringkan lebih dulu. Pengabuan bahan yang mempunyai kandungan
zat yang mudah menguap dan berlemak banyak dilakukan dengan suhu mula-mula
rendah sampai asam hilang, baru kemudian dinaikkan suhunya sesuai dengan yang
dikehendaki. Sedangkan untuk bahan yang membentuk buih, waktu dipanaskan harus
dikeringkan dulu dalam oven dan ditambahkan zat anti buih (Pomeranz & Meloan,
1996).

Kelebihan pengabuan kering adalah metode ini relatif aman. Pada metode ini tidak ada
reagen yang ditambahkan dan hanya membutuhkan perhatian yang sedikit, yaitu ketika
saat pertama pengabuan berlangsung. Kelemahan metode ini yaitu proses pengabuan
memerlukan waktu yang lama (12-18 jam atau lebih) dan mahal peralatannya. Di
samping itu, akan ada kehilangan elemen volatil dan terjadi interaksi antara komponen
mineral (Nielsen, 1998). Kelemahan utama dengan pengabuan secara kering (dry
ashing) yaitu dengan menggunakan oven 550oC menyebabkan kurangnya mineral-
mineral yang volatil pada temperatur tinggi (Tillman, 1984).

Pengabuan dilakukan dalam tanur yang dapat diatur suhunya, tetapi bila tidak tersedia
dapat menggunakan pemanas bunsen. Temperatur pengabuan harus diperhatikan
sungguh-sungguh karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang
tinggi misalnya unsur K, Na, S, Ca, Cl, dan P. Selain itu suhu pengabuan juga dapat

2.
15

menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu. Suhu dan lama pengabuan untuk tiap-tiap
bahan dapat berbeda-beda tergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut. Lama
pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pada proses pengabuan
terlihat bahan hasil pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian tengahnya
terdapat noda hitam, ini menunjukkan pengabuan belum sempurna maka perlu diabukan
lagi sampai noda hitam hilang dan diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan
(warna abu-abu ini tidak selalu abu-abu atau putih tetapi ada juga yang berwarna
kehijauan, kemerah-merahan). Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa
pengabuan berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu
pengabuan 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin,
untuk itu maka cawan porselin yang berisi abu yang diambil dari dalam tanur harus
lebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 0C agar suhunya turun, baru
kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin. Hal ini bertujuan agar cawan
porselin yang digunakan tidak pecah akibat adanya thermal shock (Sudarmadji et al.,
1989).

Desikator yang digunakan harus dilengkapi dengan zat penyerap uap air, misalnya silika
gel atau kapur aktif atau kalsium klorida, dan sodium hidroksida. Agar eksikator mudah
digeser tutupnya, permukaan gelas diolesi dengan vaselin. Penimbangan sampel yang
akan diabukan ialah sejumlah tertentu tergantung macam bahannya. Berat biji-bijian
dan hasil olahannya untuk pengabuan sebesar 2 gram (Sudarmadji et al., 1989).

Bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus yang disebut krus yang
dapat terbuat dari porselin, silika, quartz, nikel atau platina dengan berbagai kapasitas.
Pemilihan wadah disesuaikan dengan bahan yang akan diabukan. Penggunaan krus
porselin sangat luas, karena dapat mencapai berat konstan yang cepat dan murah. Tetapi
penggunannya mempunyai kelemahan, sebab mudah pecah pada perubahan suhu yang
mendadak. Penggunaan krus dari besi atau nikel umumnya untuk analisa abu dengan
sampel dalam jumlah yang besar. Krus dari gelas vycor atau quartz juga dapat
digunakan dan dipanaskan sampai 900oC dan tahan terhadap asam dan beberapa bahan
kimia umumnya kecuali basa. Sedangkan bahan yang bersifat basis dapat menggunakan
krus yang terbuat dari platina (Sudarmadji et al., 1989).

2.
16

Pengabuan sering memerlukan waktu cukup lama. Untuk mempercepat pengabuan,


dapat ditempuh berbagai cara. Pertama, dengan mencampur bahan dengan pasir kuarsa
murni sebelum pengabuan. Hal ini dimaksudkan untuk memperbesar luas permukaan
dan mempertinggi porositas sampel sehingga kontak antara oksigen dengan sampel
selama proses pengabuan akan diperbesar. Dengan demikian oksidasi zat-zat organik
akan berjalan dengan lebih baik dan cepat sehingga waktu pengabuan dapat dipercepat.
Kedua, menambahkan campuran gliserol-alkohol ke dalam sampel sebelum diabukan.
Pada waktu dipanaskan akan terbentuk suatu kerak yang poreus, hal ini disebabkan
karena gliserol-alkohol yang ditambahkan akan dioksidasi dalam waktu yang sangat
cepat pada suhu yang tinggi. Dengan demikian maka oksidasi bahan menjadi lebih
cepat. Dan ketiga menambahkan hidrogen peroksida pada sampel sebelum pengabuan
dapat pula mempercepat proses pengabuan karena peroksida dapat membantu proses
oksidasi bahan (Sudarmadji et al., 1989).

Mengingat adanya berbagai komponen abu yang mengalami dekomposisi atau bahkan
menguap pada suhu tinggi, maka suhu pengabuan untuk tiap-tiap bahan dapat berbeda-
beda tergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut. Sebagai gambaran dapat
diberikan berbagai contoh suhu pengabuan untuk berbagai bahan, antara lain buah-
buahan dan hasil olahannya, daging dan hasil olahannya serta sayuran, dapat diabukan
pada suhu 525C. Pengabuan serealia dan hasil olahannya, susu dan hasil olahannya
kecuali keju yang dilakukan pada suhu 550C sudah cukup baik. Ikan dan hasil
olahnnya serta bahan hasil laut, rempah-rempah, keju, dan anggur dapat menggunakan
suhu pengabuan 500C. Sedangkan biji-bijian dan makanan ternak dapat diabukan pada
suhu 600C. Pengabuan di atas 600C tidak dianjurkan karena menyebabkan hilangnya
zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida dari logam alkali (Sudarmadji et al.,
1996).

Biskuit dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer.
Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila
dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau
rendah. Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses

2.
17

fermentasi/pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih terasa asin dan renyah, serta
bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis biskuit
yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah, dan bila dipatahkan
penampang potongannya bertekstur kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang
dibuat dari adonan cair, berpori-pori, kasar, renyah, dan bila dipatahkan penampang
potongannya berongga-rongga. Biskuit keras memiliki kandungan air maksimal 5 %
dan kandungan abu maksimal 1,5 % (SNI 01-2973-1192).

Biskuit untuk bayi dan balita adalah makanan olahan yang dibuat dari tepung terigu,
lemak nabati dengan atau tanpa lemak susu serta bahan makanan lain, bahan tambahan
makanan yang diijinkan, dan diproses dengan pemanggangan, untuk anak usia 4 bulan
sampai 5 tahun. Kandungan air biskuit bayi yang disajikan dengan ataupun tanpa susu
adalah maksimal 5%. Sementara kandungan abu biskuit bayi yang disajikan dengan
ataupun tanpa susu adalah maksimal 2 % (SNI 01-4445-1998).

1.2. Tujuan Praktikum


Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah agar praktikan dapat melakukan analisa
penentuan kadar air dan abu pada suatu bahan pangan, mengetahui kadar air dan abu
yang sesungguhnya dalam berbagai macam merk biskuit (Belvita, Marie Regal dan
Milna), mengetahui berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengukur kadar air dan
abu dari suatu bahan pangan, mengetahui pengaruh kadar air dan abu terhadap bahan
pangan, dan mengetahui berbagai macam aspek yang mempengaruhi kadar air dan abu
dalam bahan pangan.

2.
2. MATERI DAN METODE

2.1. Materi
2.1.1. Alat
2.1.1.1. Air
Dalam praktikum ini, alat-alat yang digunakan antara lain adalah oven, cawan porselin,
neraca digital, penjepit, desikator, lumpang, mortar, dan pensil.

2.1.1.2. Abu
Dalam praktikum ini, alat-alat yang digunakan antara lain adalah tanur, desikator,
cawan porselin, penjepit, kertas, sendok, oven, neraca digital, pensil, lumpang, dan
mortar.

2.1.2. Bahan
2.1.2.1. Air
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain adalah biskuit Belvita,
biskuit marie Regal dan biskuit Milna.

2.1.2.2. Abu
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain adalah biskuit Belvita,
biskuit Marie Regal dan biskuit Milna.

2.2. Metode
Pertama-tama yang perlu dilakukan ialah sampel, yaitu biskuit, dihancurkan dengan
lumpang dan mortar. Selain itu, ada hal yang perlu diperhatikan dalam cara kerja, baik
pada penentuan kadar air dan kadar abu, yaitu bahwa cawan porselin tidak boleh
disentuh dengan tangan. Cawan porselin diambil atau diletakkan dengan menggunakan
penjepit. Hal ini dilakukan karena sifat dari cawan porselin yang sangat higroskopik,
yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungannya. Jika cawan disentuh dengan
tangan, air yang berasal dari tangan dapat diserap ke dalam cawan dan akan
mempengaruhi penimbangan, sehingga pada akhirnya perhitungan kadar, baik air
maupun abu, dapat menjadi salah/ tidak tepat.

18
19

2.2.1. Air
Cawan porselin dikeringkan selama 1 malam di dalam oven, kemudian dimasukkan ke
dalam desikator selama 15 menit. Setelah 15 menit, cawan dikeluarkan dan ditimbang.
Sampel ditimbang di dalam cawan sebanyak 5 gram kemudian dicatat beratnya (sampel
+ cawan). Cawan beserta sampel dimasukkan ke dalam oven selama 1 malam.
Keesokan harinya, cawan dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator
selama 15 menit. Setelah itu, cawan beserta isinya ditimbang. Kemudian, kadar air
dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Berat air dalam sampel (g) = berat sampel awal (g) – berat sampel kering (g)
berat air dalam sampel (g)
Kadar air berat basah (wet basis) =  100 %
berat sampel awal (g)
berat air dalam sampel (g)
Kadar air berat kering (dry basis) =  100 %
berat sampel kering (g)
berat sampel kering (g)
Total padatan (%) =  100 %
berat sampel basah (g)

2.2.2. Abu
Cawan dipersiapkan terlebih dahulu sebelum digunakan, yaitu dimasukkan ke dalam
tanur pada suhu 550ºC, kemudian dimasukkan ke oven selama 1 malam dan
dimasukkan ke desikator 15 menit. Setelah itu, cawan ditimbang dan beratnya dicatat.
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram di dalam cawan. Berat cawan beserta sampel
dicatat. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan penaikkan suhu
yang bertahap hingga mencapai 550ºC. Pengabuan dihentikan ketika suhu sudah
mencapai 550ºC dan telah didapatkan abu yang berwarna putih atau abu-abu. Cawan
beserta isinya dikeluarkan dari tanur, didinginkan dan dimasukkan ke dalam oven
selama 1 malam. Kemudian, cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 15
menit. Setelah cawan dikeluarkan, berat akhir cawan beserta sampel ditimbang dan
kadar abu dihitung berdasarkan rumus:
berat abu (g)
Kadar abu =  100 %
berat sampel (g)

3.
3. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan penentuan kadar air dapat diketahui pada Tabel 1.

Tabel 1.

Kel. Bahan Berat Berat w1 w2 (g) w3 (g) Kadar Air Kadar Air Total
Cawan Cawan+ (g) Dry Basis Wet Basis Padatan (%)
(g) Sampel(g) (%) (%)
1 Belvita 21,02 26,02 5 4,79 0,21 4,38 4,2 95,8
2 Belvita 22,45 27,45 5 4,77 0,23 4,82 4,6 95,4
3 Regal 20,17 25,17 5 4,93 0,07 1,42 1,4 98,6
4 Regal 21,10 26,10 5 4,91 0,09 1,83 1,8 98,2
5 Milna 21,87 26,87 5 4,80 0,2 4,17 4 96
6 Milna 22,52 27,52 5 4,84 0,16 3,31 3,2 96,8
Sumber: Laporan Sementara Praktikum Analisa Pangan Kelompok C2 Senin, 4 September 2006.
Keterangan: w1 = berat sampel awal
w2 = berat sampel akhir
w3 = w1 - w2

Kelompok 1 dan 2 melakukan pengujian kadar air terhadap biskuit Belvita, kelompok 3
dan 4 terhadap biskuit Regal serta kelompok 5 dan 6 terhadap biskuit Milna. Kelompok
1 menggunakan cawan seberat 21,02 gram yang setelah ditambah sampel 5 gram
beratnya menjadi 26,02 gram. Setelah dikeringkan, kelompok 1 mendapatkan
sampelnya menjadi seberat 4,79 gram yang berarti bahwa air yang hilang sebanyak 0,21
gram. Dengan demikian, didapatkan kadar air berdasar dry basis sebesar 4,38 % dan
berdasar wet basis sebesar 4,2 % dengan total padatan 95,8 %. Kelompok 2
menggunakan cawan dengan berat 22,45 gram yang beratnya menjadi 27,45 gram
setelah ditambah sampel 5 gram. Sampel kelompok 2 ini menjadi 4,77 gram setelah
dioven dan berarti air yang hilang sebanyak 0,23 gram. Maka, kadar air berdasar dry
basis ialah 4,82 % dan berdasar wet basis ialah 4,6 % dengan total padatan 95,4 %.
Sementara itu, kelompok 3 menggunakan cawan seberat 20,17 gram untuk
mengeringkan 5 gram sampel. Sampel berubah menjadi 4,93 gram setelah dikeringkan
karena kehilangan 0,07 gram air. Sehingga kadar air berdasar dry basis setelah dihitung
ialah 1,42 % dan berdasar wet basis ialah 1,4 % dengan total padatan 98,6 %. Berat
cawan yang dipakai oleh kelompok 4 ialah 21,10 gram dan menjadi 26,10 gram setelah
diberi 5 gram sampel. Sampel kelompok 4 menjadi memiliki berat 4,91 gram setelah

20
21

kehilangan 0,09 gram air, yaitu 1,83 % berdasar dry basis dan 1,8 % berdasar wet basis.
Hal ini berarti kandungan padatan di dalamnya sebesar 98,2 %. Kelompok 5
menimbang 5 gram sampel di dalam cawan seberat 21,87 gram sehingga menjadi
seberat 26,87 gram. Setelah dikeringkan, sampel kehilangan 0,2 gram air menjadi
seberat 0,48 gram, atau setara dengan 4,17 % kadar air dry basis atau 4 % pada wet
basis. Sedangkan kelompok 6 menggunakan cawan seberat 22,52 gram yang setelah
ditambahi 5 gram sampel menjadi 27,52 gram. Sampel yang dikeringkan menjadi
memiliki berat 4,84 gram atau dengan kata lain kehilangan 0,16 gram air. Dengan
demikian, sampel berarti memiliki kadar air sebanyak 3,31 % berdasar dry basis atau
3,2 % berdasar wet basis dengan total padatan sebesar 96,8 %.

Hasil pengamatan penentuan kadar abu dapat diketahui pada Tabel 2.

Tabel 2.
Kel. Bahan Berat Cawan Berat Cawan Berat Sampel Berat Abu Kadar Abu
(g) & Sampel (g) (g) (g) (%)
1 Belvita 10,71 12,71 2 0,05 2,5
2 Belvita 10,23 12,23 2 0,05 2,5
3 Regal 11,95 13,95 2 0,03 1,5
4 Regal 10,03 12,03 2 gagal gagal
5 Milna 11,18 13,18 2 0,03 1,5
6 Milna 9,56 11,56 2 0,02 1
Sumber: Laporan Sementara Praktikum Analisa Pangan Kelompok C2 Senin, 4 September 2006.

Kadar abu dari biskuit Belita diuji oleh kelompok 1 dan 2, biskuit Regal oleh kelompok
3 dan 4 serta biskuit Milna oleh kelompok 5 dan 6. Kelompok 1 menimbang 2 gram
sampel dalam cawan seberat 10,71 gram sehingga didapatkan berat cawan beserta
sampel sebesar 12,71 gram. Kelompok 2 menggunakan cawan dengan berat 10,23 gram
dan menjadi 12,23 gram setelah ditambah 2 gram sampel. Dengan demikian, sampel
kelompok 1 dan 2 memiliki berat abu yang sama, yaitu 0,05 gram yang berarti kadarnya
ialah 2,5 %. Pada kelompok 3 didapatkan berat abu 0,03 gram dari sampel seberat 2
gram yang diletakkan dalam cawan seberat 11,95 gram. Hal ini berarti sampel dari
kelompok 3 memiliki kadar abu 1,5 %. Perhitungan kadar abu dari sampel kelompok 4
tidak dapat dilakukan atau gagal karena abu yang didapatkan tumpah, sehingga
perhitungan tidak dapat dilakukan. Sebenarnya, kelompok 4 menggunakan cawan

4.
22

dengan berat 10,03 gram untuk mengabukan 2 gram sampel. Kelompok 5 menimbang 2
gram sampel di dalam cawan seberat 11,18 gram sehingga berat cawan dan sampel
menjadi 13,18 gram. Abu yang didapat oleh kelompok 5 ialah seberat 0,03 gram atau
dengan kata lain sebesar 1,5 %. Sedangkan 2 gram sampel dari kelompok 6 ditimbang
dalam cawan seberat 9,56 gram. Abu yang didapatkan memiliki berat 0,02 gram yang
menunjukkan kadar abu pada sampel sebesar 1 %.

4.
4. PEMBAHASAN

4.1. Air
Praktikum penentuan kadar air ini dilakukan mengingat air merupakan merupakan salah
satu unsur penting dalam bahan makanan dan sangat esensial dalam kelangsungan
proses biokimiawi organisme hidup (Sudarmadji & Haryono, 1989). Air merupakan
komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tesktur, serta cita rasa makanan kita. Bahkan dalam bahan makanan yang kering
sekalipun, seperti buah kering, tepung serta biji-bijian, terkandung air dalam jumlah
tertentu. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme,
sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolymer dan sebagainya.
Selain itu, air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan
fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air berperan sebagai
pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang
menstabilkan pembentukan biopolymer dan sebagainya (Winarno, 1997). Peranan air
dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas
metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu
terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non-enzimatis, sehingga menimbulkan
oerubahan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizinya
(Syarief & Hahd, 1991). Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu
terjadinya proses kerusakan bahan makanan, misalnya proses mikrobiologis, kimiawi,
enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak (Sudarmadji et al., 1989). Selain
faktor-faktor tersebut, perhitungan kadar air juga diperlukan mengingat berdasarkan
teori Winarno & Fardiaz (1984), kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan
pangan. Inilah mengapa di dalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau
dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Pengurangan air di
samping bertujuan untuk mengawetkan juga untuk mengurangi besar dan berat bahan
pangan sehingga memudahkan dan menghemat pengepakan. Arpah (1993)
menambahkan bahwa kadar air erat hubungannya dengan mutu bahan, yaitu pada daya
simpannya. Sebagaimana komoditi pertanian, semakin rendah kadar air maka semakin
tinggi daya simpannya.

23
24

Sudarmadji & Haryono (1989) menyatakan bahwa air terdapat secara bebas di alam. Air
bebas ini sangat penting juga dalam pertanian, pencucian dan sanitasi umum maupun
pribadi, teknologi pangan, dan sebagai air minum. Dalam pabrik pengolahan pangan, air
diperlukan untuk berbagai keperluan, misalnya: pencucian, pengupasan umbi atau buah,
penentuan kualitas bahan (tenggelam atau mengambang), bahan baku proses, medium
pemanasan atau pendinginan, pembentukan uap, sterilisasi, melarutkan dan mencuci
bahan sisa, dan keperluan lain – lain. Hal ini juga menerangkan mengapa kita, dalam
teknologi pangan, perlu mempelajari tentang air, seperti dalam praktikum kali ini. Air
dalam bahan pangan terdapat dalam berbagai bentuk. Menurutnya, air dapat dibedakan
menjadi air bebas, air terikat lemah dan air terikat kuat. Air bebas terdapat dalam ruang
– ruang antar sel dan intergranular serta pori – pori yang terdapat pada bahan. Air bebas
ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media
bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air bebas diuapkan seluruhnya, kandungan air
bahan berkisar antara 12-25 % dengan aw (water activity) kira-kira 0,8 tergantung dari
jenis bahan dan suhu. Air terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada
permukaan koloid makromolekuler seperti protein, pektin pati, selulosa. Selain itu, air
ini juga terdispersi di antara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat – zat yang ada
dalam sel. Air dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat
dikristalkan pada proses pembekuan. Ikatan antara air ini dengan koloid tersebut
merupakan ikatan hidrogen. Air dalam keadaan terikat kuat membentuk hidrat.
Ikatannya ini bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkankan atau diuapkan. Air ini
tidak membeku meskipun pada 0ºF. Winarno (1997) berpendapat bahwa jenis air dalam
bahan pangan ada 2 macam, yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas mudah
dihilangkan dengan cara penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sangat
sukar dihilangkan dari bahan pangan meski dengan cara pengeringan. Sementara pada
tahun 1995, ia menyebutkan jenis air berdasarkan derajat keterikatannya, tipe I, II, III,
dan IV. Air tipe I tidak dapat membeku pada proses pembekuan, tetapi dapat
dihilangkan sebagian dengan cara pengeringan biasa. Air tipe I terikat kuat dan sering
kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya. Air tipe II lebih sukar dihilangkan dan
penghilangannya akan mengakibatkan penurunan aw (water activity). Bila sebagian air
tipe II dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak
bahan makanan seperti reaksi browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak akan berkurang.

5.
25

Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3 – 7 %, dan
umumnya kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai. Air tipe III mudah
diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-
reaksi kimiawi. Apabila air tipe III ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan
berkisar antara 12 – 25 % dengan aw (water activity) kira-kira 0,8 tergantung dari jenis
bahan dan suhu. Air tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan (air
di permukaan) atau air murni, dengan sifat-sifat seperti air biasa dan keaktifan penuh.
Sedangkan menurut De Man (1997), air dibedakan sebagai komponen intrasel dan atau
ekstrasel dalam sayuran dan produk hewani, sebagai medium pendispersi atau pelarut
dalam berbagai produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk emulsi seperti
mentega dan margarin, serta sebagai komponen tambahan dalam makanan lainnya.
Syarief & Halid (1991) mengelompokkan air menjadi air kristal dan air konstitusi. Air
kristal merupakan air yang terikat sebagai molekul-molekul dalam bentuk H 2O.
Pembentukan air kristal sering dijumpai pada eksikator pengeringan. Sedangkan air
konstitusi adalah air yang merupakan bagian dari molekul padatan tertentu dan bukan
dalam bentuk H2O.

Berdasarkan berbagai teori tersebut di atas, kadar air yang kita hitung dapat
digolongkan sebagai air bebas karena mudah diuapkan menurut Sudarmadji & Haryono
(1989) dan Winarno (1997) dan air tipe III karena mudah diuapkan berdasarkan teori
Winarno (1995). Pertimbangan ini dipilih mengingat metode yang kita gunakan ialah
metode pengeringan yang berarti dilakukan dengan menguapkan air dari bahan. Dengan
demikian, kadar air yang dihitung pada praktikum penentuan kadar air ini merupakan
jenis air bebas dengan menggunakan metode pengeringan. Hal ini membuktikan teori
Sudarmadji et al. (1989) bahwa air bebas mudah dihilangkan dengan dengan cara
penguapan atau pengeringan, sedangkan air yang dalam bentuk lainnya (air terikat)
sangat sukar dihilangkan dari bahan pangan tersebut meskipun dengan cara
pengeringan.

Selama prosedur penentuan kadar air ini, cawan porselin tidak boleh disentuh dengan
tangan. Hal ini dilakukan agar cawan tidak menyerap air/ kelembaban dari tangan.
Karena, setiap benda, menurut Sudarmadji & Haryono (1989), akan berusaha untuk

5.
26

mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air ini disebut
dengan kadar air seimbang. Begitu juga dengan bahan pangan. Peranan air dalam bahan
pangan berdasarkan teori Syarief & Halid (1991) biasa dinyatakan sebagai kadar air dan
aktivitas air. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan, yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry
basis). Winarno & Fardiaz (1984) menjelaskan bahwa kadar air dry basis adalah
perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya. Berat
bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. Kadar air
wet basis adalah perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat bahan
mentah. Syarief & Halid (1991) menyebutkan cara menghitung kadar air berat basah
dan berat kering, yaitu:
Ba Ba
Ka = x 100 % = x 100 %
Ba  Bk Bt
Di mana: Ka = kadar air berat basah (%)
Ba = berat air dalam bahan (g)
Bk = berat bahan kering mutlak (g)
Bt = berat total = Ba + Bk (g)
dan
Ba 100 ka
Ka = x100% =
Bk 100  ka
Di mana : Ka = kadar air berat kering (%)
Ba = berat air dalam bahan (g)
Bk = berat bahan kering mutlak (g)
ka = kadar air berat basah
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kadar air berat basah mempunyai batas maksimum
teoritis sebesar 100 %, sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 %. Namun,
hal ini tidak tampak pada hasil pengamatan selama praktikum, yaitu baik dry maupun
wet basis, keduanya berada di bawah 100 %. Hal ini ditunjukkan pada kadar air dry
basis kelompok 1 sampai 6 berturut-turut ialah 4,38 %; 4,82 %; 1,42 %; 1,83 %; 4,17
%; dan 3,31 %. Sedangkan kadar air wet basis kelompok 1 sampai 6 berturut-turut ialah
4,2 %; 4,6 %; 1,4 %; 1,8 %; 4 %; dan 3,2 %. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
kadar air wet basis selalu lebih kecil dari kadar air dry basis. Jika dibandingkan dengan
SNI 01-2973-1992 mengenai biskuit dan SNI 01-4445-1998 mengenai biskuit untuk

5.
27

bayi dan balita, kadar air dari semua merk yang digunakan dalam praktikum (Belvita,
Marie Regal dan Milna) sudah memenuhi syarat, yaitu maksimal 5 % untuk biskuit
keras maupun biskuit bayi dan balita (lampiran 7.4). Sedangkan kadar air yang
didapatkan selama praktikum tidak dapat dibandingkan dengan komposisi yang
semestinya pada merk Belvita dan Marie Regal, karena kadar air dari masing-masing
biskuit tidak dicantumkan di komposisi pada kemasan (lampiran 7.3). Namun pada
biskuit Milna dapat dibandingkan karena tercantum, yaitu 1 gram per 21,4 gram, atau
sebesar 4,67 %. Dengan demikian dapat dilihat kadar air biskuit Milna antara komposisi
dengan hasil percobaan tidak sama. Ketidakcocokan ini mungkin dikarenakan
kelemahan metode pengeringan yang dipakai, yaitu dapat merubah bahan yang
dikeringkan dari sisi bentuk, sifat fisik dan juga kimianya bahkan sampai penurunan
mutu (Winarno & Fardiaz, 1984); warna bahan menjadi kecoklatan akibat reaksi
browning, baik enzimatis maupun non enzimatis (Winarno, 1993); bahan selain air
(alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain-lain) ikut menguap; air yang terikat kuat
sulit dilepaskan meskipun dengan pemanasan; dan dapat terjadi reaksi yang
menghasilkan air atau zat mudah menguap lain (seperti gula mengalami dekomposisi
atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan sebagainya) selama pemanasan.
Untuk mengatasi kelemahan yang terakhir ini dan mempercepat penguapan, pemanasan
hendaknya dilakukan dengan suhu rendah dan tekanan vakum (Sudarmadji et al., 1989).

Untuk menentukan kadar air, terdapat berbagai macam cara yang dapat digunakan.
Yaitu metode pengeringan (thermogravimetri), metode destilasi (thermovolumetri),
metode khemis, metode fisis, dan metode khusus (misalnya kromatografi, nuclear,
magnetic resonance) (Sudarmadji et al., 1996). Metode yang digunakan tergantung
pada sifat dari bahan yang akan ditentukan kadar airnya. Metode yang paling sering
digunakan ialah metode pengeringan/ thermogravimetri (Sudarmadji et al., 1996),
seperti yang dilakukan pada praktikum ini, yaitu di mana bahan dikeringkan di dalam
oven selama 1 malam (Sudarmadji & Haryono, 1989). Namun menurut Winarno
(1997), metode pengeringan seharusnya dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam
oven selama 3-4 jam dengan suhu yang tinggi. Namun, suhu yang tinggi tidak dapat
dijadikan patokan, sebab ada beberapa bahan yang tidak tahan terhadap panas, yaitu
seperti bahan berkadar gula tinggi, minyak, daging, kecap, dan lain – lain. Untuk bahan-

5.
28

bahan tersebut, pemanasan sebaiknya dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang
lebih rendah atau dimasukkan ke dalam desikator saja dengan H 2SO4 pekat sebagai
pengering. Sudarmadji et al. (1989) menjelaskan bahwa bahan dengan kadar gula tinggi
jika dipanaskan pada suhu ± 100oC dapat terjadi pergerakan pada permukaan bahan.

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air
dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi
panas (Winarno & Fardiaz, 1984). Dalam metode pengeringan ini, kadar air dihitung
dari banyaknya air yang diuapkan dengan mengurangkan berat sampel sesudah dan
sebelum pengeringan. Penggunaan metode pengeringan sebagai cara penentuan kadar
air ada memiliki kelebihan dan kekurangan. Keuntungannya antara lain tergolong
sebagai cara yang relatif mudah dan murah (Sudarmadji et al., 1989), bahan menjadi
lebih awet, volume bahan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan proses
pengangkutan dan pengepakan, berat bahan berkurang sehingga memudahkan
transportasi, dan pada akhirnya diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah
(Winarno, 1993).

Pengeringan dapat digunakan untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, yaitu baik
dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan; seperti pada penjemuran padi,
ikan asin, pembuatan dendeng, dan lain sebagainya. Pada pengeringan bahan terdapat 2
tingkat kecepatan penghilangan air. Pada awal pengeringan, kecepatan jumlah air yang
hilang per satuan waktu tetap, kemudian akan terjadi penurunan kecepatan
penghilangan air per satuan waktu. Hal ini dinyatakan oleh Winarno (1997)
berhubungan dengan jenis air yang terikat dalam bahan.

Pada prosedur kerja praktikum, selama pendinginan sebelum penimbangan bahan selalu
ditempatkan dalam ruang desikator yang telah diberi zat penyerap air. Hal ini
dikarenakan bahan yang telah mengalami pengeringan lebih bersifat higroskopis
daripada bahan asalnya. Penyerap air/ uap air yang dapat digunakan antara lain kapur
aktif, asam sulfat, silika gel, aluminium oksida, kalium klorida, kalium hidroksida,
kalsium sulfat, atau barium oksida. Silika gel yang digunakan sering diberi warna guna
memudahkan apakah bahan tersebut sudah jenuh dengan air atau belum. Bila sudah

5.
29

jenuh akan berwarna merah muda dan bila dipanaskan menjadi kering berwarna biru
(Sudarmadji et al., 1989). Sifat higroskopis/ menyerap air ini didapatkan dari sifat
bahan yang akan berusaha mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di
sekitarnya ketika diletakkan pada udara terbuka. Kadar air yang sama belum tentu
memberikan Aw yang sama bergantung pada macam bahannya. Pada kadar air yang
tinggi belum tentu memberikan Aw yang tinggi bila bahannya berbeda. Hal ini
dikarenakan mungkin bahan yang satu disusun oleh bahan-bahan yang mudah mengikat
air sehingga air bebas relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya bahan jenis ini
mempunyai Aw yang rendah. Aktivitas air dihitung dengan menggunakan rumus:
Aw = ERH/100
Aw = aktivitas air
ERH = kelembaban relatif seimbang (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Syarief & Halid (1991) membagi cara gravimetri menjadi 2. Cara yang pertama dengan
pengeringan. Cara yang kedua dengan mengontrol Aw dan RH. Pengaturan RH
dilakukan dengan menggunakan larutan jenuh garam-garam lithium klorida, potassium
asetat, magnesium klorida, potassium karbonat, sodium bromida, dll. Penggunaan
larutan garam jenuh mempunyai keuntungan dalam mempertahankan kelembaban
konstan selama jumlah garam masih di atas tingkat jenuh. Kemurnian garam, luas
permukaan, cairan dan volume larutan garam jenuh sangat mempengaruhi ketepatan
pengukuran. Lebih lanjut pada tahun 1991, mereka mengungkapkan bahwa pengukuran
secara gravimetri sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat menimbulkan
kesalahan perhitungan. Hal inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa
dari 1 merk yang sama bisa dihasilkan kadar air yang berbeda, seperti misalnya karena
terbentuknya suatu lapisan luar yang keras (kerak) atau “case hardening” yang terjadi
pada bahan pangan sehingga menghalangi menguapnya kandungan air bahan dari
bagian dalam. Kesalahan penentuan kadar air juga dapat disebabkan adanya bahan lain
yang mudah menguap dan ikut menguap bersama-sama dengan air sewaktu dipanaskan.
Hal inilah yang mungkin juga mendasari kadar air hasil praktikum menjadi lebih rendah
daripada kadar air pada komposisi biskuit Milna. Selain itu mungkin pula bahan terurai
seperti halnya bahan yang mengandung karbonat atau macam-macam bahan organik.
Kedua hal ini menyebabkan selisih berat yang dicari menjadi terlalu besar yaitu lebih

5.
30

besar daripada berat air yang hilang. Berat konstan mungkin saja tidak tercapai karena
air bisa dihasilkan oleh reaksi Maillard. Untuk menjamin pengeringan contoh sudah
mencukupi, digunakanlah oven, seperti yang digunakan selama penentuan kadar air
pada praktikum. Atau dapat juga dikarenakan berdasarkan teori Winarno & Fardiaz
(1984), pemanasan tidak terjadi pada setiap tempat dari seluruh permukaan bahan
sehingga uap air tidak dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut, akibatnya
sampel penentuan kadar air antar kelompok dengan merk yang sama bisa mendapatkan
penguapan yang berbeda sehingga kadar airnyapun berbeda. Atau dapat juga
dikarenakan luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap di
udara yang tidak sesuai sehingga hasil tidak tepat. Untuk mendapatkan luas permukaan
yang besar, biskuit terlebih dahulu dihaluskan, namun mungkin karena tingkat
kehalusan yang berbeda, hasil dari 1 merk biskuit juga ikut berbeda karena tingkat
pengeringan yang terjadi pada permukaan bahan berbeda akibat luas permukaan yang
berbeda.

Untuk penentuan kadar air ini, dapat juga dilakukan metode destilasi. Metode ini tidak
dilakukan dalam praktikum ini, melainkan metode pengeringan, hal ini dilakukan
mengingat metode pengeringan ini relatif mudah dan murah. Metode destilasi dilakukan
dengan menguapkan air dengan “pembawa’’ cairan kimia yang mempunyai titik didih
lebih tinggi dari pada air dan tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat
jenis lebih rendah dari air (Sudarmadji & Haryono, 1989).

Sedangkan secara kimiawi, penentuan kadar air dibagi menjadi cara titrasi Karl Fischer,
cara kalsium karbid dan cara asetil klorida. Cara titrasi Karl Fischer tidak digunakan
dalam praktikum karena kandungan kelembaban bahan yang digunakan (biskuit) tidak
terlalu rendah dan biskuit tidak perlu dipanaskan atau diletakkan di bawah kondisi
vakum untuk mendapat hasil yang tepat. Selain itu, cara ini hanya berhasil untuk
penentuan kadar air dalam alkohol, ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung, gula, madu,
dan bahan makanan yang dikeringkan. Metode ini dilakukan dengan menitrasi sampel
dengan larutan iodin dalam metanol. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan
iodin dan sulfur dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Air bereaksi dengan
campuran antara iodine dan sulfur dioksida dalam alkohol (methanol) dan dalam amin

5.
31

(seperti pirimidin tetapi sekarang digantikan oleh dasar yang lebih aman dan lebih kuat
seperti imidazole). Sulfur dioksida bereaksi dengan alkohol untuk membentuk ester
yang dinetralisir oleh imidazole dan dioksidasi oleh iodine menjadi metil sulfat yang
melibatkan air. Selama masih ada air dalam bahan, iodine akan bereaksi, tetapi begitu
air habis maka iodine akan bebas. Pada saat timbul iodine bebas, titrasi dihentikan, dan
iodine akan memberikan warna kuning coklat. Untuk memperluas perwarnaan maka
dapat ditambahkan metilen biru dan akhir titrasi akan memberikan warna hijau.
Tahapan reaksi ini dapat digambarkan sebagai berikut :
I2 + SO2 + 2C6H5NI2  C6H5N.SO4 + C6H5NI2
C6H5SO2 + C6H5NI2 + H2O  2 (C6H5NNI) + C6H5NSO3
C6H5NSO3 + CH3O4  C6H5N(H)SO4CH3
Titrasi ini harus dilakukan dalam kondisi bebas dari pengaruh kelembaban udara, maka
sebaiknya dilakukan dalam ruang tertentu. Cara kalsium karbid (Direct reasing
instrument) didasarkan reaksi air dengan bahan lain yang menghasilkan gas. Gas
meningkatkan tekanan dan berhubungan dengan jumlah air sebenarnya yang terdapat
dalam bahan makanan. Jumlah gas asetelin yang terbentuk dapat diukur dengan
menimbang campuran bahan dan karbid sebelum dan sesudah reaksi selesai, kehilangan
berat merupakan berat asetelin atau dengan mengumpulkan gas asetelin yang terbentuk
dalam ruang tertutup dan mengukur volumenya sehingga dapat diketahui banyaknya
asetelin dan kemudian dapat diketahui kadar air bahan atau dapat pula dengan
mengukur tekanan gas asetelin yang terbentuk jika dikerjakan dalam ruangan tertutup
sehingga dapat diketahui banyaknya asetilen dan kadar air bahan atau dengan
menangkap gas asetelin dengan larutan tembaga sehingga dihasilkan tembaga asetelin
yang ditentukan secara gravimetrik atau volumetrik. Reaksi kalsium karbid dan air
untuk memproduksi asetilen:
CaC2 + 2 H2O C2 H 2 + Ca (OH) 2
Reaksi antara kalsium hidrid dan air untuk memproduksi hidrogen:
C 2H4 + 2H 2O H2 + Ca (OH) 2
Cara ini tidak digunakan dalam penentuan kadar air biskuit karena hanya tepat jika
digunakan pada tepung, sabun, kulit, biji panili, mentega dan air buah. Cara asetil
klorida didasarkan reaksi asetil klorida dan air menghasilkan asam yang dapat dititrasi

5.
32

menggunakan basa. Asetil klorida yang digunakan dilarutkan dalam toluol dan bahan
didispersikan dalam piridin. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
H2O + CH3 COCl CH 3COOH + HCl. Cara ini telah berhasil baik untuk
penentuan kadar air dalam bahan minyak, mentega, margarin, rempah-rempah dan
bahan-bahan yang berkadar air sangat rendah. Dengan demikian, cara ini tidak dapat
dipakai pada biskuit (James, 1995).

Metode fisis dibagi 2, yaitu berdasarkan tetapan dielektrikum dan daya hantar listrik
atau resistensi bahan. Pada metode berdasarkan tetapan dielektrikum, diperlukan adanya
kurva standart yang melukiskan hubungan antara kadar air dan tetapan dielektrikum dari
bahan yang diselidiki untuk mengetahui kadar air bahan. Dengan mengetahui tetapan
dielektrikum bahan sejenis akan dapat dihitung kadar air bahan tersebut. Sedangkan
berdasarkan daya hantar listrik atau resistensi bahan, konduktivitas bahan dapat berubah
karena perubahan temperatur; makin tinggi suhu, konduktivitas makin besar atau
resistennya makin kecil (James, 1995). Metode khusus dapat dilakukan dengan 2
macam metode. Berdasarkan resonansi nuklir magnetik, penentuan kadar air didasarkan
pada sifat-sifat magnetik dari inti atom yang mampu menyerap energi, seperti
konduktivitas listrik, NMR (Nuclear Magnetc Resonance) dan NIR (Near Infra red)
(James, 1995). Selain itu, dalam metode ini dapat dilakukan dengan cara kromatografi
(Sudarmadji et al., 1996). Baik metode fisis dan khusus tidak dilakukan selama
praktikum.

4.2. Abu
Abu yang dihitung dalam praktikum ini merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran
suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung bahan dan cara
pengabuannya. Perhitungan kadar abu sebenarnya menunjukkan kandungan mineral
dari bahan. Mineral dapat dibedakan menjadi garam organik dan garam anorganik.
Selain itu, kadang mineral berbentuk senyawa kompleks yang organis. Dalam
penentuan kadar abu ini dilakukan pengabuan pada sampel, yaitu dengan penentuan
sisa-sisa pembakaran garam mineral. Hal ini dikarenakan sangat sulit untuk menentukan
jumlah mineral dalam bentuk asli (Winarno, 1997). Abu dalam makanan ditunjukkan
oleh berat residu mineral kering dari bahan organik dipanaskan pada temperatur yang

5.
33

tinggi (sekitar 550ºC). Suhu inilah yang dipakai selama praktikum, yaitu suhu pada
tanur. Pada pengeringan abu, sampel ditimbang dalam wadah, dan bahan organik
dibakar tanpa pengapian dan dipanaskan selama beberapa saat atau sampai didapatkan
berat konstan di mana residu harus bebas dari karbon. Wadah yang mengandung residu
didinginkan dalam desikator dan dihitung jumlah total abu yang ditunjukkan oleh
beratnya (Pomeranz & Meloan, 1987). Kadar abu untuk berbagai bahan pangan
berbeda-beda (Arpah, 1993).

Praktikum penentuan kadar abu ini dilakukan karena menurut Sudarmadji et al. (1989),
kadar abu dapat digunakan untuk berbagai tujuan. MANFAAT Penentuan kadar abu
dapat dipakai untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui
jenis bahan yang digunakan dan sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya
kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya
pasir/ kotoran yang lain. Abu total yang dihitung ini sebenarnya merupakan indeks
pemurnian makanan yang diterima secara luas.

Metode pengabuan atau insinerasi (pembakaran) yang dipakai dalam praktikum ini
memang biasa digunakan untuk penentuan mineral pada suatu bahan pangan. Metode
pembakaran ini merusak senyawa organik dan meninggalkan mineral. Abu yang
didapakan dari metode ini tidak mengandung Nitrogen yang terdapat dalam protein dan
dalam beberapa segi lain berbeda dengan kandungan mineral yang sebenarnya. Anion
organik menghilang selama insinerasi dan logam diubah menjadi oksidanya. Karbonat
dalam abu dapat terbentuk karena penguraian bahan organik. Fosfor, belerang protein
dan fosfor lipid terdapat juga dalam abu. Beberapa unsur sesepora dan beberapa garam
dapat hilang karena penguapan selama pengabuan. Hal tersebut di atas menunjukkan
kelemahan-kelemahan dari metode insinerasi (de Man, 1997).

Menurut James (1995), pengabuan dapat dilakukan dengan cara kering, cara basah dan
cara kondukmetri. Pengabuan cara kering dilakukan dengan mengeringkan bahan
terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam pemanas. Pengabuan cara basah
dilakukan dengan mereaksikan bahan dengan bahan-bahan kimia untuk mempercepat
oksidasi sebelum pengeringan. Pemanasan dalam pengabuan cara basah ini tidak

5.
34

sepanas metode kering. Pengabuan cara kondukmetri dilakukan pada bahan yang tidak
bersifat elektrolit. Pomeranz & Meloan (1987) menjelaskan bahwa penentuan kadar abu
secara tidak langsung (cara basah) digunakan untuk digesti sampel dalam usaha
penentuan trace element dan logam-logam beracun. Pengabuan cara basah ini
prinsipnya adalah memberikan reagen kimia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan
pengabuan. Sudarmadji et al. (1989) menjelaskan bahwa penentuan kadar abu cara
konduktometri didasarkan atas prinsip bahwa larutan gula atau bahan/ konstituen
mineral mengalami disosiasi, sedangkan sukrosa yang merupakan bahan non elektrolit
tidak mengalami disosiasi

Berdasarkan teori yang disampaikan oleh Pomeranz & Meloan (1987), cara penentuan
abu yang dilakukan dalam praktikum merupakan penentuan kadar abu secara langsung
(cara kering). Hal ini dapat dilihat dari prosedur kerjanya, yaitu dengan
mengoksidasikan semua zat organik pada suhu sekitar 500-600C (pada praktikum
digunakan 550ºC) dan menimbang zat yang tertinggal setelah proses pembakaran.
Karena biskuit tidak tergolong sebagai bahan berkadar air tinggi (kadar airnya hanya <
5%), maka sebelum pengabuan tidak dilakukan pengeringan. Sedangkan untuk bahan
yang membentuk buih, waktu dipanaskan harus dikeringkan dulu dalam oven dan
ditambahkan zat anti buih. Pada cara kerja praktikum, suhu tanur dinaikkan secara
bertahap hingga mencapai 550ºC. Hal ini dilakukan karena biskuit dapat digolongkan
sebagai bahan yang mempunyai kandungan zat yang mudah menguap dan berlemak
banyak. Kenaikan suhu yang bertahap dimaksudkan agar asam hilang, baru kemudian
dinaikkan suhunya sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut Sudarmadji et al. (1989),
pengaturan penaikkan suhu yang bertahap ini penting karena banyak elemen abu yang
dapat menguap pada suhu yang tinggi, misalnya K, Na, S, Ca, Cl, dan P. Selain itu,
suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu. Suhu 550ºC
ini dipilih mengingat biskuit merupakan salah satu produk olahan dari serealia
(gandum). Sudarmadji et al. (1996) menambahkan bahwa jika pengabuan dilakukan di
atas 600C, zat tertentu seperti garam klorida ataupun oksida dari logam alkali dapat
hilang.

5.
35

Suhu dan lama pengabuan berbeda-beda untuk masing-masing bahan tergantung pada
komponen yang ada dalam bahan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya berbagai
komponen abu yang mudah mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu
yang tinggi. Lama pengabuan biasanya berkisar antara 2-8 jam. Namun, pada
praktikum, suhu dan lama pengabuan adalah sama, sebab bahan yang digunakan sama,
yaitu biskuit. Untuk mempercepat pengabuan, dapat ditempuh berbagai cara. Pertama,
dengan mencampur bahan dengan pasir kuarsa murni sebelum pengabuan untuk
memperbesar luas permukaan dan mempertinggi porositas sampel sehingga kontak
antara oksigen dengan sampel selama proses pengabuan akan diperbesar. Dengan
demikian oksidasi zat-zat organik akan berjalan dengan lebih baik dan cepat sehingga
waktu pengabuan dapat dipercepat. Kedua, menambahkan campuran gliserol-alkohol ke
dalam sampel sebelum diabukan. Pada waktu dipanaskan akan terbentuk suatu kerak
yang poreus, hal ini disebabkan karena gliserol-alkohol yang ditambahkan akan
dioksidasi dalam waktu yang sangat cepat pada suhu yang tinggi. Dengan demikian
maka oksidasi bahan menjadi lebih cepat. Dan ketiga menambahkan hidrogen peroksida
pada sampel sebelum pengabuan dapat pula mempercepat proses pengabuan karena
peroksida dapat membantu proses oksidasi bahan (Sudarmadji et al. , 1989).

Abu yang didapat dari hasil praktikum berwarna putih abu-abu sesuai teori (Sudarmadji
et al., 1989). Namun ada juga yang masih terlihat berwarna putih abu-abu dengan noda
hitam di bagian tengahnya seperti pada abu kelompok 1 dan 2, ini menunjukkan
pengabuan belum sempurna. Seharusnya, abu ini perlu diabukan lagi sampai noda hitam
hilang dan diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan (warna abu-abu ini tidak
selalu abu-abu atau putih tetapi ada juga yang berwarna kehijauan, kemerah-merahan).
Namun karena hal ini tidak dilakukan pada praktikum, kadar abu yang didapat menjadi
tidak teliti dan menjadi tidak sesuai dengan SNI 01-2973-1992 mengenai biskuit. Dari
hasil pengamatan didapatkan bahwa kadar abu biskuit Belvita yang dihitung oleh
kelompok 1 dan 2 ialah 2,5 %. Sementara berdasarkan SNI 01-2973-1992 kadar abu
maksimal hanya 1,5 %. Sedangkan untuk biskuit Marie Regal yang diuji kelompok 3
(seharusnya kelompok 4 juga melakukan, namun karena abu tumpah pada saat
praktikum, perhitungan selanjutnya tidak dapat dilakukan) sudah sesuai dengan SNI,
yaitu tepat 1,5 %. Dan untuk biskuit Milna yang diuji kelompok 5 dan 6 didapatkan

5.
36

hasil yang berbeda namun tetap memenuhi SNI 01-4445-1998 tentang biskuit untuk
bayi dan balita, yaitu berturut-turut 1,5 % dan 1 %, di mana standarnya ialah maksimal
2 %. Sedangkan jika dibandingkan dengan komposisi kemasan, hanya biskuit Milna
yang dapat dibandingkan. Sementara pada biskuit Marie Regal tidak dicantumkan dan
pada biskuit Belvita tidak dicantumkan secara jelas. Pada komposisi kemasan biskuit
Milna, abu yang dikandung seharusnya sebesar 0,4 gram per 21,4 gram, atau sebesar
0,019 %. Pada kemasan biskuit Belvita tercantum kadar Na sebesar 70 mg per 30 gram
(0,002 %) dan Ca 160 mg per 30 gram (0,005 %), berarti jika ditotal sekitar 0,007 %.
Ketidaksesuaian antara praktikum dengan komposisi ini dapat disebakan karena
pengabuan belum sempurna, yang ditandai dengan adanya spot hitam di bagian tengah
abu. Dengan demikian, hasil yang didapatkan lebih besar dari yang semestinya.
Namun, antara komposisi kemasan dan SNI sudah terjadi kesesuaian. Selain faktor di
atas, perbedaan hasil dengan SNI maupun perbedaan kadar dalam 1 merk juga
didapatkan karena metode pengeringan tidak tepat untuk digunakan. Metode kering
seharusnya digunakan untuk jumlah sampel yang relatif banyak, sementara sampel yang
pada saat praktikum hanya sedikit (Sudarmadji et al., 1989).

Sampel yang akan diabukan terlebih dahulu digerus hingga halus. Hal ini dimaksudkan
agar luas permukaan sampel menjadi lebih besar. Dengan demikian, kontak dengan
panas semakin besar dan pengabuan menjadi lebih merata dan maksimal. Di sinilah
mungkin mengapa pada 1 merk yang sama (Milna), antara kelompok 5 dan 6 didapatkan
kadar abu yang berbeda. Sebab jika tingkat kehalusan antar kelompok berbeda, panas
yang diterima menjadi berbeda sehingga pada akhirnya abu yang didapatpun berbeda.
Sampel yang akan diabukan (biskuit) diletakkan dalam cawan porselin yang biasa
disebut krus. Selain porselin, Sudarmadji et al. (1989) menyebutkan bahwa silika,
quartz, nikel atau platina juga dapat dibuat sebagai wadah dengan berbagai kapasitas.
Pemilihan wadah disesuaikan dengan bahan yang akan diabukan. Pada praktikum
dipilih digunakan cawan porselin karena penggunannya sangat luas, yaitu dapat
mencapai berat konstan yang cepat dan murah. Tetapi penggunannya mempunyai
kelemahan, yaitu mudah pecah pada perubahan suhu yang mendadak. Inilah sebabnya
mengapa pada saat praktikum setelah keluar dari tanur, cawan dimasukkan dulu ke
dalam oven, yaitu agar tidak pecah akibat adanya thermal shock. Penggunaan krus dari

5.
37

besi atau nikel umumnya untuk analisa abu dengan sampel dalam jumlah yang besar.
Krus dari gelas vycor atau quartz juga dapat digunakan dan dipanaskan sampai 900oC
dan tahan terhadap asam dan beberapa bahan kimia umumnya kecuali basa. Sedangkan
bahan yang bersifat basis dapat menggunakan krus yang terbuat dari platina. Setelah
cawan dimasukkan oven, cawan perlu dimasukkan ke dalam desikator. Hal ini
dilakukan mengingat suatu bahan yang telah mengalami pengeringan lebih bersifat
higroskopis daripada bahan asalnya. Penyerap air/ uap air dalam desikator dapat
menggunakan kapur aktif, asam sulfat, silika gel, aluminium oksida, kalium klorida,
kalium hidroksida, kalsium sulfat, atau barium oksida.

Perlakuan memasukkan cawan beserta abu ke dalam oven setelah dari tanur ialah karena
penimbangan terhadap bahan harus dilakukan dalam keadaan dingin. Cawan
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105ºC agar suhunya turun. Setelah itu, cawan
dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin. Desikator yang digunakan harus
dilengkapi dengan zat penyerap uap air seperti yang digunakan dalam praktikum. Bahan
penyerap uap air ini misallnya silika gel atau kapur aktif atau kalsium klorida dan
sodium hidroksida. Agar mudah digeser tutupnya, permukaan gelas dari desikator
diolesi dengan vaselin (Sudarmadji et al., 1989).

Nielsen (1998) menyebutkan bahwa kelebihan dari metode pengabuan kering ialah
relatif aman. Dikatakan aman karena tidak ada reagen yang ditambahkan, sehingga
hanya membutuhkan sedikit perhatian, yaitu saat pertama pengabuan berlangsung.
Walau begitu, metode ini tetap mempunyai kelemahan. Kelemahan metode ini yaitu
memerlukan waktu yang lama (12-18 jam atau lebih) dan peralatan mahal serta ada
kehilangan elemen volatil dan terjadi interaksi antara komponen mineral. Tillman
(1984) lebih menekankan lagi bahwa kelemahan utama pengabuan kering (dry ashing)
yang menggunakan oven 550oC ialah dapat menyebabkan kurangnya mineral-mineral
yang volatil pada temperatur tinggi.

Mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi baik macam dan jumlahnya. Ca (kalsium)
cukup tinggi pada susu dan hasil olahannya, serealia, kacang-kacangan, ikan, dan telur
serta buah-buahan, dan yang kandungan Ca-nya paling sedikit adalah gula, pati ,dan

5.
38

minyak. Bahan yang kaya akan Fosfor (P) adalah daging ikan, susu, daging unggas, dan
kacang-kacangan. Bahan yang kaya akan zat besi (Fe) adalah tepung gandum, daging,
unggas, telur, sedang makanan yang paling sedikit mengandung Fe adalah susu, buah
dan sayuran. Bahan yang paling banyak mengandung Sodium (Na) adalah garam yang
banyak digunakan sebagai ingredient (bumbu), salted food. Bahan yang banyak
mengandung mineral Potasium (K) adalah susu, hasil olahan buah-buahan, serealia,
daging, ikan, unggas, telur dan sayur-sayuran. Bahan yang banyak mengandung
Magnesium (Mg) adalah kacang-kacangan, serealia, sayur-sayuran, buah-buahan, dan
daging. Belerang (S) banyak terdapat pada bahan yang kaya akan protein seperti susu,
daging, kacang-kacangan, telur. Kobalt (Co) banyak terdapat pada buah-buahan dan
sayur-sayuran. Bahan makan hasil laut (sea food) merupakan bahan yang banyak
mengandung unsur Zink (Zn) (Sudarmadji et al., 1989). Berdasarkan daftar komposisi
biskuit (Lampiran 7.3), mineral yang terkandung untuk setiap merk berbeda-beda. Pada
biskuit Belvita, mineral yang terbesar ialah Ca sebanyak 20 %, sedangkan sisanya ialah
Na sebanyak 3 %.

5.
5. KESIMPULAN

 Air sangat penting bagi kehidupan manusia.


 Air mempengaruhi penampakan, tesktur, serta cita rasa pada makanan.
 Air dapat dikelompokkan menjadi air terikat dan air bebas; air tipe I, II, III, dan
IV; serta air kristal dan air konstitusi.
 Air bebas ialah jenis air yang dapat dihilangkan dengan metode penguapan yang
terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan intergranular serta pori-pori yang
terdapat pada bahan dan mampu menyebabkan kerusakan akibat proses
mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak.
 Air terikat sangat sulit dihilangkan meski dengan cara pengeringan dan tidak
membantu terjadinya proses kerusakan
 Air tipe I terikat kuat pada bahan pangan.
 Air tipe II lebih sukar dihilangkan dan penghilangannya akan menurunkan a w
(water activity).
 Air tipe III mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi.
 Air tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan (air di
permukaan) atau air murni, dengan sifat-sifat seperti air biasa dan keaktifan
penuh
 Air kristal merupakan air yang terikat sebagai molekul-molekul dalam bentuk
H2O.
 Air konstitusi adalah air yang merupakan bagian dari molekul padatan tertentu
dan bukan dalam bentuk H2O.
 Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan metode pengeringan
(thermogravimetri), metode destilasi (thermovolumetri), metode khemis, metode
fisis, dan metode khusus (misalnya kromatografi, nuclear, magnetic resonance).
 Metode yang dipilih untuk penentuan kadar air tergantung pada sifat bahannya.
 Metode pengeringan prinsipnya ialah menguapkan air dalam bahan dengan
pemanasan di oven, kemudian menimbang sampai berat konstan.
 Metode pengeringan

39
40

 Pada awal pengeringan, kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu
tetap, kemudian akan terjadi penurunan kecepatan penghilangan air per satuan
waktu.
 Pengeringan bahan pangan bertujuan untuk mengawetkan, dan mempermudah
transportasi dan pengepakan.
 Kelemahan metode pengeringan ialah bahan dapat berubah bentuk, warna, sifat
fisik, dan sifat kimia; bahan volatil selain air ikut menguap; dapat terjadi reaksi
selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain; serta
bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit
melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
 Kelebihan metode pengeringan ialah tergolong mudah dan murah, bahan
menjadi lebih awet, memudahkan proses pengangkutan dan pengepakan,
memudahkan transportasi, dan biaya produksi lebih murah.
 Kadar air dapat dihitung berdasarkan dry basis, yaitu perbandingan antara berat
air dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya dan wet basis, yaitu
perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah.
 Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 %,
sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 %.
berat air dalam sampel (g)
 Kadar air berat basah (wet basis) =  100 %
berat sampel awal (g)
berat air dalam sampel (g)
 Kadar air berat kering (dry basis) =  100 %
berat sampel kering (g)

 Kesalahan pada metode gravimetri disebabkan oleh case hardening, adanya


bahan lain yang mudah menguap dan ikut menguap bersama-sama dengan air
dan adanya bahan terurai.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan
bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap di udara.
 Bahan yang mengalami pengeringan lebih bersifat higroskopis daripada asalnya.
 Penghalusan berfungsi memperluas area kontak makanan dengan panas.
 Desikator dilengkapi silika gel, kapur aktif atau kalsium klorida, sodium
hidroksida sehingga dapat menyerap air pada bahan dan membuat bahan
menjadi kering.

6.
41

 Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran bahan organik yang berkaitan
dengan kandungan mineral suatu bahan.
 Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi macam dan jumlahnya.
 Penentuan abu dalam bahan pangan (pengabuan/ insinerasi) dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu cara kering, cara basah dan kondukmetri.
 Penentuan abu digunakan untuk penentuan baik tidaknya suatu proses
pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan dan sebagai parameter nilai
gizi bahan makanan.
 Prinsip metode pengabuan (cara kering) ialah menghitung berat residu kering
dari bahan organik setelah dimasukkan tanur pada suhu 550ºC.
 Suhu dan lama pengabuan berbeda-beda tergantung komponen yang ada dalam
bahan tersebut.
 Kelebihan pengabuan kering adalah relatif aman, tidak memerlukan reagensia
tambahan, hanya butuh sedikit perhatian.
 Kelemahan pengabuan kering adalah memerlukan waktu lama (12-18),
peralatannya mahal, akan ada kehilangan elemen volatil, terjadi interaksi antara
komponen mineral.
 Pengabuan dihentikan ketika sudah didapatkan abu yang berwarna putih keabu-
abuan.
 Pengabuan dengan hasil ada noda hitam di tengah abu menunjukkan pengabuan
belum sempurna.
 Cawan porselin dipilih sebagai wadah sampel pengabuan karena dapat mencapai
berat konstan yang cepat dan murah.
 Sampel dan cawan dimasukkan ke dalam oven setelah pengabuan dalam tanur
untuk menghindari thermal shock.
 Pengabuan di atas 660oC tidak diajurkan karena menyebabkan hilangnya garam
klorida ataupun oksida dari logam alkali.

6.
6. DAFTAR PUSTAKA

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Day, R. A. & A. L. Underwood. (1986). Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.

De Man, J. M. (1997). Kimia Makanan Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung.

James, C. S. (1995). Analytical Chemistry of food. The Aldren Press. Oxford.

Pomeranz, Y. & C. E. Meloan. (1987). Food Analysis: Theory and Practice 2 nd ed. Van
Nostrand Reinhold Company, Inc. USA.

Sudarmadji, S & B. Haryono. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty
Bekerja Sama Dengan PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta

Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan
dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty. Yogyakarta.

Syarief, R. & H. Halid. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan. Arcan. Jakarta.

Tillman, A. D. (1984). Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM. Yogyakarta

Winarno, F. G. (1993). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F. G. (1995). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F. G. (1997). Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia. Jakarta.

Winarno, F. G. & S. Fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta

42
7. LAMPIRAN

7.1. Perhitungan
7.1.1. Perhitungan kadar air
w3
dry basis =  100%
w2

w3
wet basis =  100%
w1

w2
total padatan =  100%
w1

Keterangan: w1 = berat sampel awal


w2 = berat sampel akhir
w3 = w1-w2

7.1.1.1. Kelompok 1
0.21
dry basis =  100%  4.38%
4.79
0.21
wet basis =  100%  4.2%
5
4.79
total padatan =  100%  95.8%
5
7.1.1.2. Kelompok 2
0.23
dry basis =  100%  4.82%
4.77
0.23
wet basis =  100%  4.6%
5
4.77
total padatan =  100%  95.4%
5

7.1.1.3. Kelompok 3
0.07
dry basis =  100%  1.42%
4.93
0.07
wet basis =  100%  1.4%
5
4.93
total padatan =  100%  98.6%
5

7.1.1.4. Kelompok 4
0.09
dry basis =  100%  1.83%
4.91
0.09
wet basis =  100%  1.8%
5
4.91
total padatan =  100%  98.2%
5

7.1.1.5. Kelompok 5
0.2
dry basis =  100%  4.17%
4.8
0.2
wet basis =  100%  4%
5
4.8
total padatan =  100%  96%
5

7.1.1.6. Kelompok 6
0.16
dry basis =  100%  3.31%
4.84

8.
0.16
wet basis =  100%  3.2%
5
4.84
total padatan =  100%  96.8%
5

7.1.2. Perhitungan kadar abu


berat abu (g)
Kadar abu =  100%
berat sampel (g)

7.1.2.1. Kelompok 1
0.05
Kadar abu =  100%  2.5%
2

7.1.2.2. Kelompok 2
0.05
Kadar abu =  100%  2.5%
2

7.1.2.3. Kelompok 3
0.03
Kadar abu =  100%  1.5%
2

7.1.2.4. Kelompok 4
Kadar abu = ----- (gagal)

7.1.2.5. Kelompok 5
0.03
Kadar abu =  100%  1.5%
2

7.1.2.6. Kelompok 6
0.02
Kadar abu =  100%  1%
2
7.2. Laporan Sementara

8.
7.3. Komposisi Biskuit

7.3.1. Biskuit Belvita


7.3.2. Biskuit Marie Regal
7.3.3. Biskuit Milna
7.4. SNI

7.4.1. SNI Biskuit


7.4.2. SNI Biskuit Bayi

Anda mungkin juga menyukai