Anda di halaman 1dari 14

DISTRES PSIKOLOGIS SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU BERESIKO

KESEHATAN PADA REMAJA YANG MENGALAMI KEKERASAN DI


BOJONEGORO

ARTIKEL PENELITIAN

OLEH
DINI AJENG ANJANI
NIM 130811606777

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2017
LEMBAR PERSETUJUAN

Artikel penelitian oleh Dini Ajeng Anjani ini


Telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing.

Malang, 23 Agustus 2017


Pembimbing I,

Dr. TututChusniyah, M.Si


NIP. 19640602 199802 2 001

Malang, 23 Agustus 2017


Pembimbing II,

Pravissi Shanti, S.Psi., M.Psi, Anggota


NIP 19820330 200912 2 001
DISTRES PSIKOLOGIS SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKI BERESIKO
KESEHATAN PADA REMAJA YANG MENGALAMI KEKERASAN DI
BOJONEGORO

DINI AJENG ANJANI


Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
E-mail: Paaras.anjani@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini betujuan ini untuk mengetahui apakah distress psikologis
merupakan prediktor perilaku beresiko kesehatan pada remaja yang
mengalami kekerasan. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dan
prediktif, dengan subjek 7 remaja perempuan dan 43 remaja laki laki yang
mengalami kekerasan di Kabupaten Bojonegoro. Instrument yang digunakan
adalah Health Risk Behavior Inventory dan Kessler Psychological Distress
Scale (K-10). Analisis data menggunakan regresi sederhana. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja yang mengalami kekerasan (1)
memiliki tingkat distres psikologis tinggi (2) memiliki tngkat perilaku
beresiko kesehata tinggi (3) distres psikologis merupakan prediktor perilaku
beresiko kesehatan pada remaja yang mengalami kekerasan.

Kata Kunci: distres psikologis, perilaku beresiko kesehatan, remaja yang


mengalami kekerasan.

Abstract
the purpose of this research are to understand psychological distress a
predictor of health risk behavior in adolescents who experience violence. The
research uses descriptive and predictive design, with the subject 7 female
adolecents and 43 boys experiencing violence in Bojonegoro. Instrument used
in the form Health Risk Behavior Inventory and Kessler Psychological
Distress Scale. The analysis of this research use simple linear regression
analysis. The result of this research shows that most of the adolescents who
experience violence (1) have a high psychological distress (2) have a high
health risk behavior (3) psychological distress as a predictor of health risk
behavior in adolescents who experience violence.

Keywords: psychological distress, health risk behavior, adolescents who


experience violence.
Fenomena perilaku beresiko dapat dipandang dari berbagai sudut pandang,
salah satunya adalah perilaku beresiko dari sudut pandang sosial, misalnya
merokok, meminum minuman keras, penggunaan obat terlarang dan perilaku seks
bebas adalah beberapa perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial,
apabila perilaku ini dikaitkan dengan abnormalitas maka perspektif psikologi
klinis dapat digunakan. Perilaku beresiko seperti merokok, minum-minuman
keras dan perilaku seks bebas apabila dapat menimbulkan abnormalitas maka
akan menjadi permasalahan dari sudut pandang psikologi klinis. (Muhhidin,
2016).
Dalam Newby dan Synder (2009), perilaku remaja yang dikategorikan sebagai
perilaku beresiko adalah penggunaan produk tembakau (merokok), kekerasan,
penggunaan marijuana, dan minuman keras serta perilaku seks bebas. Perilaku
beresiko kesehatan ini menjadi semakin umum, pada beberapa dekade terakhir
ini, menjadi masalah kesehatan public yang signifikan dengan mahasiswa atau
remaja (Schwartz dan Weisskirch,dkk,2010).
Menurut Badan Narkotika Nasional (Kementrian Kesehatan RI,2014),perilaku
beresiko kesehatan seperti merokok, penyalahgunaan narkoba dan seks bebas di
Indonesia sendiri telah banyak terjadi. Menurut data dari Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia selama tahun 2008-2012 ada 77.255 kasus penyalahgunaan
narkoba yang berhasil dicatat dan provinsi Jawa Timur merupakan provinsi
dengan kasus narkoba yang terbanyak yaitu sebanyak 20.834 kasus sepanjang
tahun 2010-2012.
Menurut Steptoe dan Wardle (dalam Baban and Craciun, 2007), health risk
behavior merupakan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang dengan
frekuensi atau intensitas yang meningkatkan risiko penyakit atau cidera. Preistein,
Boergers and Spirtto(2001), mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku beresiko kesehatan adalah rendahnya dukungan dalam
pertemanan atau keluarga, atau psikopatologi, barangkali membuat remaja mudah
terkena pengaruh negative pertemanan dan lebih cenderung meniru perilaku
beresiko kesehatan yang dilakukan oleh temannya. Remaja dengan status
keluarga yang tidak berfungsi dan juga mengalami depresi akan rentan untuk
melakukan perilaku beresiko kesehatan. Rendahnya dukungan sosial dan
pengawasan keluarga juga dapat mempengaruhi seorang remaja mengalami
perilaku beresiko kesehatan.
Menurut Preistein, Boergers and Spirtto (2001), beberapa faktor yang dapat
menyebabkan munculnya perilaku seperti penggunaan obat-obatan terlarang pada
remaja, kekerasan dan bunuh diri adalah (1) family dysfunction atau keluarga
yang tidak berfungsi. Keadaan keluarga yang dapat memberikan pengaruh
terhadap perilaku beresiko kesehatan yang muncul pada remaja adalah keluarga
yang tidak dapat memberikan pengawasan yang baik dan tidak adanya
komunikasi yang baik didalam keluarga. (2) penerimaan sosial. Remaja yang
merasa ditola oleh teman sebaya juga berhubungan denagn depresi, penggunaan
obat-obatan terlarang dan bunuh diri. (3) peran simtom depresi. Depresi dan
perasaan negatif memiliki hubungan dengan perilaku merokok, marijuana, dan
meminum-minuman beralkohol, agresi dan bunuh diri.
Matthews (dalam Ayunindyah, 2012), mengemukakan psychological distress
atau distres psikologis merujuk kepada suatu istilah yang menggambarkan respon
stress subjektif yang dialami oleh individu yang biasanya terwujud dalam bentuk
kecemasan atau depresi. Mirowsky dan Ross (2003) menyebutkan bahwa distress
merupakan sebuah keadaan subjektif yang tidak menyenangkan. Distress
memiliki dua bentuk utama, yaitu depresi dan kecemasan. Depresi sendiri dapat
digambarkan sebagai keadaan dimana seorang individu senantiasa merasa sedih,
tidak memiliki semangat, merasa kesepian,putus asa, tidak berharga,
mengaharapkan kematian, sulit untuk tidur, menangis secara terus-menerus,
merasaa bahwa segalanya sangat sulit untuk dilakukan sehingga membuat
individu merasa sulit untuk memulai suatu aktivitas. Sementara itu kecemasan
sendiri memiliki ciri adanya ketegangan, kegelisahan, kekhawatiran, mudah
marah, dan ketakutan.
Indrawati dan Hyosciamina,dkk (2014), mendefinisikan keluarga
disfungsional sebagai pola keluarga yang secara umum diasosiasikan dengan
rendahnya tingkat kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan pengaruh-pengaruh
positif jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga lainnya, ditandai dengan
adanya beberapa hal, seperti penyalah-gunaan zat, gangguan mental, konflik
orang tua, tindakan kriminal dan kemiskinan yang kronis. Kekerasan di yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anak, baik kekerasan verbal maupun kekerasan
fisik merupakan salah satu bentuk keluarga yang tidak berfungsi. Karena
kekerasan yang dilakukan oleh orang tua merupakan sebuah konflik yang terjadi
didalam keluarga, selain itu keluarga menjadi tidak berfungsi karena tidak dapat
memberikan rasa aman,nyaman serta kasih sayang kepada remaja. Kekerasan
merupakan ancaman bagi seorang remaja di dalam keluarganya. Ancaman ini
dapat menimbulkan rasa sedih yang mendalam bagi remaja dan menimbulkan
kecemasan dalam diri remaja.
Remaja yang hidup di dalam lingkungan keluarga yang tidak berfungsi akan
rentan mengalami stress, depresi dan perassaan sedih. Seperti yang diungkapkan
oleh Matthews (dalam Ayuningdyah, 2012), psychological distress sebagai faktor
afektif-kognitif yang ditandai oleh ketegangan, mood yang tidak menyenangkan,
kurangnya control kognitif dan rendahnya kepercayaan diri.
Remaja yang mengalami kekerasan dalam keluarga yang tidak berfungsi
mengalami distress karena tidak mendapatkan fungsi keluarga yang semestinya
seperti rasa aman,rasa nyaman dan kasih sayang dari keluarga. Munculnya
distress ini akan membuat remaja mengalihkannya kedalam perilaku beresiko
kesehatan merokok, meminum minuman keras, penggunaan obat-obatan dan
perilaku seks bebas.
Menurut penelitian mengenai perilaku beresiko kesehatan yang dilakukan
oleh Felliti (1998), dalam penelitiannya menemukan bahwa ada hubungan positif
yang signifikan antara disfungsi keluarga dengan perilaku beresiko kesehatan.
Remaja yang mengalami distres psikologis memiliki kecenderungan untuk
melakukan perilaku beresiko kesehatan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Preinstein, dkk (2001), yang mengatakan bahwa faktor –faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku beresiko kesehatan adalah rendahnya dukungan dalam
pertemanan atau keluarga, atau psikopatologi.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan rancangan penelitian


deskriptif prediktif. Populasi yang digunakan adalah 80 remaja yang mengalami
kekerasan di Bojonegoro. Sample dalam penelitian ini berjumlah 50 orang
remaja yang mengalami kekerasan yang berada di kabupaten Bojonegoro.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 instrumen yaitu: 1) Health
Risk Behavior Inventory untuk variabel perilaku beresiko kesehatan yang terdiri
dari 75 aitem, Berdasarkan uji coba skala yang telah dilakukan diperoleh 38 aitem
valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,904. 2) Kessler Psychological
Distress Scale (K-10) dari Department of Health Government of South Australia
untuk mengukur variabel distress psikologis yang terdiri dari 10 aitem, dengan
koefisien reliabilitas sebesar 0,740. Berdasarkan uji coba skala yang telah
dilakukan diperoleh 8 aitem valid namun tetap dipakai 10 aitem.

HASIL
Berdasarkan hasil skor T dan persentase jumlah subjek pada masing-masing
kategori dapat disimpulkan bahwa 28 remaja yang mengalami kekerasan atau
sebanyak 56% dari jumlah subjek memiliki distres psikologis yang tinggi. 27
remaja yang mengalami kekerasan atau sebanyak 54% dari jumlah subjek
memiliki perilaku beresiko kesehatan yang tinggi.
Berdasarkan perhitungan uji normalitas, seluruh data yang didapat
berdistribusi normal. Hasil uji linieritas menunjukkan bahwa tidak ada
penyimpangan dari linieritas, sehingga dapat diketahui bahwa terdapat hubungan
linier antara variabel distress psikologis dengan perilaku beresiko kesehatan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh uji asumsi prasyarat
terpenuhi.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, diperoleh nilai signifikansi disres psikologis
0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahawa distress psikologis merupakan
prediktor perilaku beresiko kesehatan pada remaja yang mengalami kekerasan
dalam keluarga yang tidak berfungsi. Selain itu, didapatkan nilai R sebesar 0,636
yang berarti bahwa distress psikologis memiliki korelasi positif dengan perilaku
beresiko kesehatan dan menyumbang sebesar 40,5% sebagai prediktor perilaku
beresiko kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku beresiko kesehatan
dapat diprediksikan dari distress psikologi.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data secara deskriptif diketahui bahwa sebagian
besar remaja yang mengalami kekerasan di dalam keluarga yang tidak berfungsi
memiliki tingkat distres psikologis yang tinggi. Hal ini dikarenakan tidak adanya
dukungan di dalam keluarga, perselisihan di dalam keluarga dan ketidak
harmonisan keluarga dapat menyebabkan munculnya distress.
Menurut Matthews (dalam Ayuningdyah, 2012), distress merefleksikan baik
pengaruh situasional dan lingkungan termasuk salah satunya adalah pengaruh
sosial. Pengaruh sosial diantaranya adalah keadaan berduka, perselisihan di
dalam keluarga, pengangguran dan faktor lain yang dapat memunculkan distress.
Lebih lanjut, Mirowsky dan Ross (2003) menyebutkan bahwa distress
merupakan sebuah keadaan subjektif yang tidak menyenangkan. Distress
memiliki dua bentuk utama , yaitu depresi dan kecemasan.
Remaja yang tumbuh di dalam sebuah keluarga yang tidak berfungsi akan
mengalami peristiwa hidup yang mengancam apabila mereka mengalami
kekerasan di dalam sebuah keluarga. Peristiwa hidup yang dialami remaja yang
mengalami kekerasan akan menimbulkan trauma didalam diri remaja. Kekerasan
yang dialami oleh subjek merupakan stressor eksternal yang membuat subjek
mengalami kesulitan dalam beradaptasi. Hal ini membuat munculnya distres
psikologis dalam diri subjek.

Berdasarkan hasil analisis data secara deskriptif diketahui bahwa sebagian


besar remaja yang mengalami kekerasan di dalam keluarga yang tidak berfungsi
memiliki tingkat perilaku beresiko kesehatan yang tinggi. Perilaku beresiko
kesehatan yang ditunjukkan oleh subjek adalah merokok.

Menurut Preinstein, dkk (2001), penggunaan obat-obatan terlarang, perilaku


kekerasan serta perilaku beresiko lainnya muncul karena adanya faktor-faktor
seperti tidak berfungsinya sebuah keluarga dan adanya symptom depresi.
Tingginya tingkat perilaku beresiko kesehatan pada subjek yang mengalami
kekerasan disebabkan oleh tidak adanya hubungan yang harmonis di dalam
keluarga, pengawasan yang kurang karena hubungan antara keluarga dengan
subjek tidak baik, sehingga subjek mengalihkannya kepada perilaku beresiko
kesehatan.

Pada penelitian ini ditemukan banyak remaja yang mengalami kekerasan


dalam keluarga yang tidak berfungsi melakukan perilaku beresiko kesehatan yaitu
merokok. Subjek yang rata-rata berusia diantara 15-17 tahun melakukan perilaku
beresiko diantaranya adalah merokok. Dalam penelitian ini banyak ditemukan
subjek yang masih berusia dibawah umur melakukan perilaku merokok yang
seharusnya tidak mereka lakukan. Perilaku merokok mereka lakukan sejalan
dengan perilaku lain yang juga beresiko terhadap kesehatan seperti pola makan
yang tidak sehat dan kurangnya aktifitas tubuh seperti berolahraga. Subjek yang
mengalami kekerasan tidak memiliki semangat untuk melakukan hidup sehat.
Mereka malakukan hal yang dapat membahayakan kesehatan mereka. Sejalan
dengan itu penemuan oleh Newby and Synder (2009), bahwa banyaknya remaja
yang merokok di usia sekolah bahkan sebelum mereka berusia tiga belas tahun.

Pada remaja yang mengalami kekerasan, simtom depresi ini akan lebih mudah
ditemukan karena salah satu penyebab distres psikologis adalah tidak
berfungsinya sebuah keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan
nyaman bagi remaja yang sedang dalam masa perkembangan. Remaja yang
mengalami kekerasan kemudian memiliki tingkat ditress psikologi yang cukup
tinggi akan memungkinkan untuk melakukan perilaku beresiko kesehatan. Hal ini
dibuktikan dengan hasil uji hipotesis yang menunjukkan adanya pengaruh positif
pada distres psikologis terhadap perilaku beresiko kesehatan pada remaja yang
mengalami kekerasan pada keluarga yang tidak berfungsi.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang serupa yang telah
dilakukan. Dimana distres psikologis yang dialami oleh remaja yang mengalami
kekerasan dalam keluarga yang tidak berfungsi merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi munculnya perilaku beresiko kesehatan. Menurut penelitian
mengenai perilaku beresiko kesehatan yang dilakukan oleh Felliti (1998), dalam
penelitiannya menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
disfungsi keluarga dengan perilaku beresiko kesehatan. Dalam penelitian tersebut
juga disimpulkan bahwa pengalaman menderita kekerasan dalam rumah tangga
dan hidup dalam keluarga yang disfungsional merupakan faktor risiko munculnya
gangguan kesehatan, pola hidup tidak sehat (alkoholisme, penyalahgunaan zat,
depresi,upaya-upaya bunuh diri, merokok, obesitas, dan sebagainya).

Kekerasan yang dialami oleh remaja yang dilakukan oleh orang tua atau
pengasuhnya merupakan bentuk dari ketidak berfungsinya sebuah keluarga.
Kekerasan tersebut berupa kekerasan verbal maupun kekerasan fisik. kekerasan
fisik dalam sebuah keluarga yang tidak berfungsi juga dapat menyebabkan
munculnya simptom depresi. simptom depresi ini menjadi salah satu penyebab
terjadinya perilaku beresiko kesehatan pada remaja yang mengalami kekerasan
dalam keluarga yang tidak berfungsi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: (1)
sebagian besar remaja yang mengalami kekerasan dalam keluarga yang tidak
berfungsi memiliki tingkat distress psikologis yang tinggi. (2) sebagian besar
remaja yang mengalami kekerasan dalam keluarga yang tidak berfungsi
memiliki tingkat perilaku beresiko kesehatan yang tinggi (3) distress psikologis
merupakan prediktor perilaku beresiko kesehatan yang tidak berfungsi.
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti mengajukan beberapa saran bagi
remaja yang mengalami kekerasan, bagi peneliti selanjutnya, bagi orang tua
atau pengasuh dari remaja yang mengalami kekerasan, dan bagi guru dari
remaja yang mengalami kekerasan. Bagi remaja yang mengalami kekerasan
peneliti menyarankan sebaiknya untuk menghindari perilaku beresiko
kesehatan, mengikuti kegiatan yang dapat menghindari diri dari perilaku
beresiko kesehatan. Mengadakan diskusi dengan teman sebaya tentang bahaya-
bahaya perilaku beresiko kesehatan. Apabila memiliki masalah dengan orang
tua, berkonsultasi pada guru BK, teman sebaya atau orang lain yang dirasa
mampu membantu. Bagi peneliti selanjutnya pemilihan populasi untuk
penelitian selanjutnya sebaiknya lebih dipertimbangkan untuk kasus lain seperti
Remaja dengan orang tua bercerai, remaja dengan orang tua yang bekerja di
luar negeri, atau pada homoseksual dan Peneliti selanjutnya disarankan untuk
menggunakan variabel Self Regulation, penerimaan sosial, Gender, dan
Pengaruh kelekatan teman sebaya dalam penelitian perilaku beresiko kesehatan,
untuk mengetahui apakah hasil penelitian sama atau berbeda. Bagi orang tua
atau pengasuh dari remaja yang mengalami kekerasan memberi kesempatan
remaja untuk berkomunikasi dengan orang tua. Mengikuti kegiatan yang dapat
menambah pengetahuan tentang parenting atau pengasuhan seperti seminar
parenting, konseling keluarga dan membiasakan diri untuk menyelesaikan
masalah dengan anak secara kekeluargaan. Bagi guru dari remaja yang
mengalami kekerasan guru diharapkan lebih peka dengan siswa-siswanya dan
melakukan pendekatan yang lebih untuk mengetahui keadaan siswanya. Agar
apabila ditemukan siswa yang bermasalah dapat diberi penanganan yang sesuai
dengan kebutuhan siswa tersebut. memberikan kegiatan seperti Focus Group
Discusion (FGD) mengenai bahaya yang ditimbulkan dari perilaku beresiko
kesehatan yang dalam hal ini seperti merokok,seks bebas,dan pola hidup yang
tidak teratur. Memberikan penyuluhan tentang bahaya merokok dan seks bebas.
Memberi wadah bagi orang tua untuk dapat berdiskusi dengan guru mengenai
pengasuhan yang baik.

DAFTAR RUJUKAN
Baban, A & Craciun, C. 2007. Changing Health Risk Behavior: a review of
theory and evidence-based interventions in health psyvhology. (online).
(http://jebp.psychotherapy.ro) diakses pada 17 November 2016.

Felliti, V.J & Anda, R.F, dkk. 1998. Relationship of Childhood Abuse and
Household Dysfunction to Many of The Leading Causes of Death in
Adults: The Adverse Childhood Experience (ACE) Study. (online).
(www.ncbi.nlm.nih.gov) diakses pada 3 Desember 2016

Indrawati,S & Hyoscymina,E,dkk. 2014. Profil Keluarga Disfungsional pada


Penyadang Masalah di Kota Semarang. (online). (ejournal.undip.ac.id).
diakses pada 3 Desember 2016.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan.
(online).(https//www.kemkes.go.id), diakses pada 22 November 2016.

Mirowsky,John & Ross,E.Catherine. 2003. Social Causes of Psychological


Distress. United States: Walter de Gruyter,Inc.

Muhiddin,Syuraswati. 2016. Shyness dan Perilaku Beresiko. Artikel tidak


diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanudin.

Newby and Synder. 2009. Fact Sheet Family and Consumer Sciences “ Teen Risk
Behavior”. (online). (http://ohioline.osu.edu), diakses pada 20 November
2016.

Preinstein,J.M,Boergers,J & Spirito, A. 2001. Adolescents and Their Friends


Health Risk Behavior : Factors That Alter or Add to Peer Influence, 26 (5)
pp 287-298. (online). (https ://www.ncbi.nlm.nih.gov). diakses pada 1
november 2016.

Schwartz J.S & Weisskirch S. R,dkk. 2010. Running Head : Acculturation and
Health Risk Behavior “ Associations with Health Risk Behavior among
College Students From Immigrant Families. (online).
(http://www.sethschwartz.info), diakses 21 November 2016.

Sekararum,Ayuningdyah. 2012. Interpesonal Psychotherapy (IPT) untuk


Meningkatkan ketrampilan Sosial Mahasiswa Universitas Indonesia yang
Mengalami Distress Psikologi. Tesis tidak diterbitkan. Depok: Universitas
Indonesia.
.

Anda mungkin juga menyukai