Latar Belakang
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan, telah memberikan kebijakan sesuai dengan dasar
kesehatan pda ibu pada masa nifas yaitu paling sedikit 4x kunjungan pada masa nifas, yaitu
kunjungan pertama 6-8 jam post patum, kunjungan kedua 6 hari post patum, kunjungan ketiga 2
minggu post partum, dan kunjungan keempat 6 minggu post partum (Suherni dkk, 2008; h.3).
Menurut data world Health Organization ( WHO )tahun 2012, sebanyak 99 % kematian ibu
akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Rasio kematian
ibu di negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi dengan 450 kematian ibu per 100
ribu kelahiran bayi hidup jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju
dan 51 negara persemakmuran. Menurut WHO, 81% angka kematian ibu ( AKI ) akibat
komplikasi selama hamil dan bersalin, dan 25% selama masa post
partum(http://www.kesehatanibu.depkes.go.id)
Departemen kesehatan Republik Indonesia menargetkan angka kematian ibu pada tahun 2010
sekitar 226 orang dan pada tahun 2015 menjadi 102 orang pertahun. Faktor langsung penyebab
tingginya AKI
adalah perdarahan (45%), terutama perdarahan postpartum. Selain itu ada keracunan kehamilan
(24%), infeksi (11%),dan partus lama atau macet (7%). Komplikasi obstetrik umumnya terjadi
pada waktu persalinan, yang waktunya pendek yaitu sekitar 8 jam. Dalam mencapai upaya
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) maka salah satu upaya promotif dan salah
satu prefentif yang nulai gencar dilakukan adalah kelas ibu hamil
(http://www.scribd.com/Depkes-RI, 2010).
AKI yang tinggi menunjukkan rawannya derajat kesehatan ibu. Jumlah kasus kematian ibu yang
dilaporkan di provinsi Lampung sampai dengan bulan Desember tahun 2012 sebanyak 178
kasus. Terjadi peningkatan yang signifikan dibanding tahun 2011 yaitu sebanyak 152 kasus.
Penyumbang kematian terbanyak adalah Kota Bandar Lampung Lampung dengan kasus
perdarahan ( 23% ), infeksi ( 2% )( Profil Dinkes Lampung, 2012)
Infeksi masih menyumbangkan angka kematian pada ibu nifas jika tidak tertangani akan
menimbulkan komplikasi seperti infeksi pada kandung kemih maupun infeksi dari jalan lahir,
infeksi ini tidak bisa dibiarkan karena menyebabkan kematian pada ibu nifas sebanyak 50 %.
(http://anakbayi.com)
Diperkirakan bahwa 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Secara nasional
menurut Purwanto (2001), angka kejadian infeksi pada kala nifas mencapai 2,7% dan 0,7%
diantaranya berkembang kearah infeksi akut. Dengan demikian asuhan pada masa nifas
diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya.
Untuk mencegah timbulnya infeksi atau komplikasi lainnya pada masa nifas utamanya dengan
ruptur pada perineum dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan antara lain
perawatan perineum secaraintensif.(http://mislamegarezkybonel 1990.blogspot.com/2012/02/)
Berdasarkan hasil prasurvey di BPS Martini Amd.Keb Raja Basa Raya Bandar Lampung,data
yang di peroleh dari bulan Januari-Mei 2013 terdapat 39 ibu bersalin,15 diantaranya mengalami
luka pada perineum dan 8 yang mengalami rupture derajat III.
Dan hasil survey di BPS Nurmala Dewi S.ST Raja Basa Raya Bandar Lampung, data yang
diperoleh dari bulan Januari-Mei 2013 terdapat 89 ibu bersalin, dan dari 89 yang bersalin
terdapat 30 yang mengalami luka pada perinem derajat I dan II.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk memberikan asuhan kebidanan
pada ibu nifas dengan perawatan luka perineum, di BPS Ny.Martini Raja Basa Raya Bandar
Lampung, karena masih tingginya jumlah ibu nifas yang mengalami luka perineum di BPS
Ny.Martini Bandar lampung.
Luka perineum
A. Luka perineum
1. Pengertian
Rupture adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara alamiah
karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat proses persalinan. Bentuk rupture
biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan. (Rukiyah,2010;
h.361)
Rupture adalah robek. dan perineum merupakan area berbentuk belah ketupat bila di lipat dari
bawah, dan bisa dibagi antara regio urogenital di anterior dan region anal di posterior oleh garis
yang menghubungkan tuberositasiskia secara horizontal.
Dapat di simpulkan bahwa rupture perineum merupakan robekan jalan lahir baik di sengaja
ataupun tidak untuk memperluas jalan lahir.
2. Pencegahan Laserasi
Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu di lahirkan
kejadian laserasi akan meningkat jika bayi di lahirakan terlalu cepat dan tidak terkendali. Jalin
kerjasama dengan ibu dan gunakan perasat manual yang tepat dapat mengatur kecepatan
kelahiran bayi dan mencegah terjadinya laserasi. Kerjasama akan sangat bermanfaat saat kepala
bayi pada diameter 5- 6 cm tengah membuka vulva
(crowning) karena pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melewati
introitus dan perineum dapat mengurangi terjadinya robekan. Bimbingan ibu untuk meneran dan
istirahat atau bernafas dengan cepat pada waktunya.(Winkdjosastro,2008; h.46)
3. Penyebab laserasi perineum
a. Penyebab maternal laserasi perineum
1) Partus presipitatus yang tidak di kendalikan dan tidak di tolong (sebab paling sering)
2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan
3) Partus di selesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan
4) Edema dan kerapuhan perineum Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
5) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala
bayi ke arah posterior
6) Perluasan episiotomy.
b. Faktor-faktor janin
1) Bayi yang besar
2) Posisi kepala yang abnormal
3) Kelahiran bokong
4) Ekstrasi forceps yang sukar
5) Distosia bahu
6) Anomali kongenital seperti hidrosepalus.
(Oxorn,2010; h.451)
4. Tingkatan Robekan Perineum
a. Tingkat I
Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa atau mengenai kulit
perineum sedikit.
b. Tingkat II
Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput lendir vagina juga mengenai
muskulus perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani
c. Tingkat III
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot –otot sfingter ani.
d. Tingkat IV
Mukosa vagina, komisura posterior, Kulit perineum, otot perineum, otot sfingter ani, dinding
depan rectum. (Sulistyawati,2010; h.181)
5. Luka perineum
Luka perinium setelah melahirkan ada 2 macam, yaitu :
a. Ruptur adalah luka pada perinium yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara almiah karena
proses desakan kepala janin atau bahu pada saat proses persalinan. Biasanya ruptur bentuknya
tidak teratur sehingga jarinagn yang robek sulit dilakukan jahitan.(Rukiyah,2010; h.361)
b. Episiotomi adalah sebuah irisan bedah pada perinium untuk memperbesar muara vagina yang
dilakukan tepat sebelum kepala bayi lahir. (Rukiyah, 2010; h.361)
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih ukuran diameter benang adalah bahwa otot
memerlukan benang yang lebih kuat. Semakin besar nomor benang maka semakin halus benang
(4-0, 6-0, 8-0). Semakin kecil nomor benag maka semakin berat benang dan semakin kuat
tegangan benang (2-0, 1-0).
(Sulistyawati, 2010; h.184-185)
Persiapan Penjahitan.
a. Bantu pasien mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi tempat tidur atau
meja. Topang kakinya dengan alat penopang atau minta anggota keluarganya untuk memegang
kaki pasien sehingga tetap berada dalam posisi litotomi.
b. Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong pasien.
c. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga parineum dapat terlihat lebih jelas.
d. Gunakan teknik aseptik pada saat memeriksa robekan atau episiotomi, berikan anestesi lokal dan
jahit luka.
e. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir.
f. Pakai sarung tangan DTT dan steril.
g. Dengan menggunakan teknik aseptik, persiapkan peralatan dan bahan DTT untuk penjahitan.
h. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah dilihat dan penjahitan
dilakukan tanpa kesulitan.
i. Gunakan kain kassa DTT untuk menyeka vulva, vagina, dan perineum pasien. Bersihkan dengan
lembut sambil menilai luas dan dalamnya luka.
j. Periksa vagina dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa laserasi merupakan laserasi derajat
satu dan dua. Jika laserasinya dalam atau luka episiotominya meluas, periksa lebih jauh dan
pastikan bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukan jari yang sudah bersarung
tangan ekstra ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari tersebut secara perlahan untuk
mengidentifikasi sfingter ani. Raba tonus atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, pasien
mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan harus segera dirujuk.
k. Lepas sarung tangan ekstra yang tadi telah digunakan untuk memeriksa rektum, lalu buang.
l. Berikan anestesi lokal.
m. Sikapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan benang. Gunakan benang cat
gut kromik no, 2-0 atau 3-0.
n. Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, lalu jepit jarum tersebu
4. Waktu Perawatan
Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah terbuka maka ada
kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu
maka perlu dilakukan penggantian pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu
diperlukan pembersihan perineum.
kecil
Pada saat buang air kecil, pada saat buang air kecil kemungkinan besar terjadi kontaminasi air
seni pada rektu akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu
diperlukan pembersihan perineum.
besar.
Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus, untuk
mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan
maka diperlukan proses pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan.
Perawatan perinium dengan laserasi selama 10 hari, yaitu :
a. Ganti pembalut yang bersih setiap 4-6 jam. Posisikan pembalut dengan baik sehinga tidak
bergeser.
b. Lepaskan pembalut dari depan kebelakang sehingga menghindari penyebaran infeks dari anus ke
vagina.
c. Aliran atau bilas dengan air hangat/cairan antiseptik pada area perineum setelah defekasi.
Keringkan dengan air pembalut atau ditepuk-tepuk, dari arah vagina ke anal.
d. Jangan dipegang samapi area tersebut pulih.
e. Raasa gatal pada area sekitar jaahitan adalah normal dan merupakan tanda penyembuhan.
Namun, untuk meredakan rasa tidak nyaman, atasi dengan mandi berendam air hangat atau
kompres dingin dengan kain pembalut yang telah diinginkan.
f. Berbaring miring, hindari berdiri atau duduk lama untuk mengurangi tekanan pada daerah
tersebut.
g. Lakukan latihan kegel sesering mungkin guna merangsang peredaran darah disekitar perinium.
Dengan demikian, akan mempercepat penyembuhan dan memperbaiki fungsi otot-otot. Tidak
perlu terkejut bila tidak merasakan apa pun saat pertama kali berlatih karena area tersebut akan
kebal setelah persalinan dan pulih secara bertahap dalam beberapa minggu.
http://books.google.co.id/books/about/Buku_Ajar_Asuhan_Kebidanan_Nifas_Normal.html?
id=ZkPup-5Ozy8C&redir_esc=y
5. Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Perineum
a. Gizi
Faktor gizi terutama protein akan sangat mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada
perineum karena penggantian jaringan sangat membutuhkan protein.
Obat-obatan
1) Steroid
Dapat menyamarkan adanya infeksi dengan Menggangu respon inflamasi normal.
2) Antikoagulan
Dapat menyebabkan hemoragi.
b. Keturunan
Sifat genetik seseorang akan mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka.Salah satu sifat
genetic yang mempengaruhi adalah kemampuan dalam sekresi insulin dapat di hambat, sehingga
dapat menyebabkan glukosa darah meningkat. Dapat terjadi penipisan protein-kalori.
c. Sarana Prasarana
Kemampuan ibu dalam menyediakan sarana dan prasarana dalam perawatan perineum akan
sangat mempengaruhi penyembuhan perineum, misalnya kemampuan ibu dalam menyediakan
antiseptic.
d. Budaya dan Keyakinan
Budaya dan keyakinan akan mempengaruhi penyembuhan perineum, misalnya kebiasaan kerak
telur, ikan dan daging ayam, akan mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat
mempengaruhi penyembuhan luka. ikan protein-kalori. (Rukiyah,2010; h.361-362)
Dari data Penelitian yang didapatkan di Rumah Sakit Bersalin Paradise Simpang Empat Kabupaten Tanah
Bumbu Yang dilakukan oleh (meiharwati Tuti, 2017) sebagian besar (55%) dari responden adalah
kelompok yang melakukan mobilsasi dini, sedangkan hampir setengahnya (45%) dari responden adalah
kelompok tidak melakukan mobilisasi dini. Dari data yang didapatkan di Rumah Sakit Bersalin Paradise
Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu sebagian besar (60%) dari responden yang termasuk
penyembuhan luka rupture perineum pada fase proliferasi, sedangka hampir setengahnya (40%) dari
responden yang termasuk proses penyembuhan luka rupture perineum pada fase proliferasi yang tidak
sembuh. Terdapat hubungan yang sangat erat dengan Hubungan Antara Mobilisasi Dini dengan Proses
Penyembuhan Luka Ruptur Perineum pada fase proliferasi di RSB Paradise Simpang Empat Kabupaten
Tanah bumbu di buktikan dari hasil uji statistik p value 0.000. Luka perenium di definisikan sebagai
adanya robekan jalan lahir maupun karena episiotomi pada saat melahirkan janin. Robekan pereniun
terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga terjadi pada perslinan berikutnya.
Perenium adalah merupakan bagian permukaan pintu bawah panggul, yang terletak antara vulva dan
anus. Perenium terdiri dari otot dan fascia urogenetalis seta diafragma pelvis (Winkjosastro,H
2007).Setelah kelahiran, vagina dan perineum tetap terbuka lebar, mungkin mengalami beberapa
derajat edema dan memar, dan celah pada introitus. Setelah satu hingga dua hari pertama
pascapartum, tonus otot vagina kembali, celah vagina tidak lebar dan vagina tidak lagi edema. Sekarang
menjadi berdinding lunak, lebih besar dari biasanya, dan umumnya longgar. Ukurannya menurun
dengan kembalinya rugae vagina sekitar minggu ketiga pasca partum. Ruang vagina selalu sedikit lebih
besar dari pada sebelum kelahiran pertama. Akan tetapi, latihan pengencangan otot perineum akan
mengembalikan tonusnya dan memungkinkan wanita secara perlahan mengencangkan vaginanya.
Pengencangan ini sempurna pada akhir puerperium dengan latihan setiap hari (Saleha,S 2010).
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat
proses penyakit, untuk aktualisasi diri dan percepatan kesembuhan luka. banyak manfaat dari mobilisasi
dini diantaranya mengurangi pengeluaran lokia dan mengurangi infeksi perineum. Selain itu dapat juga
memperlancar sirkulasi darah, membantu proses pemulihan dan mencegah terjadinya infeksi yang
timbul karena gangguan pembuluh darah balik serta menjaga pedarahan lebih lanjut.Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka peneliti berasumsi bahwa mobilisasi dini yang baik dapat membantu
penyembuhan luka perineum dengan cepat dikarenakan mobilisasi dini atau pergerakan segera yang
dilakukan ibu post partum memperlancar sirkulasi darah membantu pemulihan dan mencegah
terjadinya infeksi.
Celly, 2010)