Anda di halaman 1dari 18

Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No.

2, April 2019

Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani


Volume 3, Nomor 2 (April 2019)
ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)
http://www.sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis

Submitted: 19 Januari 2019 Accepted: 22 April 2019 Published: 29 April 2019

Merumuskan Etika Politik Kristen dalam Era Gangguan Terorisme


di Indonesia
Paulus Eko Kristianto
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
paulusekokristianto@gmail.com

Abstract
Disruption of terrorism was a serious thing that threatens the life of nationalism in Indonesia.
This disorder must be responded quickly and precisely as soon as possible. This article aimed
to formulate one of the steps that could be taken, namely by building relevant Christian
political ethics. The method used was descriptive analysis of various related literature that
addresses this theme. In conclusion, Christian political ethics that have to be practiced by
Christians is to develop an open understanding of "the other", including developing
neighbouring theology.

Keywords: terrorism; Christian politic ethics; the other; the church

Abstrak
Gangguan terorisme merupakan hal yang serius mengancam kehidupan berbangsa di
Indonesia. Gangguan ini harus direspon dengan cepat dan tepat sesegera mungkin. Artikel ini
bertujuan untuk merumuskan salah satu langkah yang bisa dilakukan yakni dengan
membangun etika politik Kristen yang relevan. Metode yang digunakan adalah deskriptif
analisis pada berbagai literaur terkait yang membahas tema ini. Kesimpulannya, etika politik
Kristen yang harus diamalkan orang Kristen yaitu membangun pemahaman terbuka terhadap
“sang liyan”, termasuk mengembangkan teologi pertetanggaan.

Kata Kunci: terorisme; etika politik Kristen; sang liyan; gereja

223 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

PENDAHULUAN faktual demokratisasi.2 Dari segi normatif,

Bila ada yang bertanya tentang apa demokrasi merupakan suatu proses

yang menjadi motivasi berbagai tindakan membuka peluang untuk kebebasan dan
kesetaraan di antara para warga negara
terorisme? Jawaban atas pertanyaan ini sulit
sehingga mereka dapat menentukan diri
ditemukan dengan mudah. Kebanyakan
mereka sendiri sebagai sebuah komunitas
orang hanya dapat menduga-duganya saja;
politis. Namun dari segi faktual demokrasi,
motifnya tentu terkait persoalan agama.
gangguan terorisme menghasilkan banyak
Mengikuti Trutz von Trotha dan Wolfgang
risiko dan para warga semakin sadar akan
Huber, F. Budi Hardiman menggunakan
risiko tersebut. Sebagai contoh, hal ini
istilah “kekerasan sebagai ibadah”. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya gagasan bahwa ditunjukkan kita dapat meninjau kembali
seberapa jauh perbedaan antara masyarakat
para pelaku bom bunuh diri meyakini
di zaman Orde Baru dan demokratisasi
tindakan kekerasan yang mereka lakukan
sekarang.
sebagai tindakan martir untuk memurnikan
Harus diakui bahwa dengan dibuka-
dunia dari kekafiran. Motivasi demikian
nya pintu kebebasan dan kesetaraan melalui
diyakini merupakan salah satu bentuk
demokratisasi, situasi telah berubah drastis.3
ibadah kepada Allah. Selain itu, mereka
juga meyakini bahwa melalui tindakan Perbedaan pendapat menjadi hal biasa

tersebut, mereka akan diterima sebagai dalam politik. Melalui proses demikian,

orang benar di Surga. Bila dirunut dari sisi berbagai risiko mulai direproduksi dan

sejarah, berbagai terorisme atas motivasi didistribusikan dalam masyarakat. Berbagai

demikian bukan merupakan sesuatu yang komunikasi sosial dan politik pun menjadi

baru. Hal ini dapat kita rujuk sebagaimana tidak terduga. Hardiman juga menunjukkan

teror dalam Perang Salib dan Perang Tiga dari berbagai kecanggihan jaringan,

Puluh Tahun di Eropa.1 organisasi, dan transaksi pelaksanaannya,

Berbagai gangguan terorisme


2
membawa tanggapan kondisi masyarakat Ibid, 123-124. Lihat juga: Paulus Eko Kristianto,
“Persinggungan Agama Dan Politik Dalam Teror:
dan demokrasi dari segi normatif dan Menuju Terbentuknya Teologi Spiritualitas Politik
Dalam Konteks Maraknya Terorisme Di Indonesia,”
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani
3, no. 1 (2019): 1.
1 3
F. Budi Hardiman, Demokrasi Dan Sentimentalitas: Plessis Max Du. “Removals, Terorism And Human
Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, Rights – Reflections on Rashid”. South African
Sampai Post-Sekularisme (Yogyakarta: Kanasius, Journal on Human Rights Vol. 25 No. 2 (2009), 353-
2018), 123. 373, DOI: 10.1080/19962126.2009.11865206.

224 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

perang kecil global dapat dilihat sebagai terlebih dahulu. Bila dirunut, politik
radikalisasi kekerasan-kekerasan merupakan seni yang bersangkut-paut
terglobalisasi lainnya yang sudah ada dengan proses pengambilan keputusan oleh
sebelumnya, contohnya bandar-bandar orang-orang yang berbeda-beda
narkoba, perdagangan manusia, sindikat kepentingannya, di mana pengambilan
organ-organ manusia, penyelundupan keputusan ini menyangkut masa depan
senjata.4 Bila ditelusuri, berbagai kekerasan orang banyak.5 Etika politik merupakan
global tersebut telah bekerja dalam jejaring kaidah-kaidah moral yang dipertimbangkan
global yang sulit dikontrol dalam berbagai dalam proses pengambilan keputusan.
batas negara. Oleh karenanya, hal ini Pengambilan keputusan di sini tidak
memproduksi dan mendistribusi risiko senantiasa bersifat formal, tetapi lebih
terorisme juga terjadi secara global. banyak berupa warisan kegiatan-kegiatan
Berpijak pada berbagai kompleksitas mental yang berjalan secara operatif.
terorisme demikian, penulis mengajukan Sedangkan, terorisme dipahami sebagai
rumusan masalah yaitu bagaimana rumusan paham atau ideologi yang memproduksi
etika politik Kristen yang relevan dalam era berbagai tindakan teror. Pelaku yang
gangguan terorisme? Dalam hal ini, etika mengolah paham atau ideologi tersebut
politik dirasa penting. Hal itu dikarenakan disebut teroris. Tindakan teror sendiri
etika politik Kristen menentukan orientasi dikategorikan sebagai aksi hasil produksi
dan tindakan yang dapat dilakukan orang penyemaian terorisme. Tindakan ini biasa
Kristen dalam menanggapi berbagai dilakukan dengan bom dan senjata.
gangguan terorisme di Indonesia. Oleh
METODE PENELITIAN
karenanya, orang Kristen perlu merumuskan
Artikel ini merupakan penelitian
etika politiknya. Hal ini dilakukan dengan
dengan pendekatan kualitatif yang bersifat
melihat berbagai pendekatan etika politik
kajian literatur. Metode yang digunakan
pada kurun waktu sebelumnya, di antaranya
adalah deskriptif analitis, yaitu mengajukan
masa lalu dan reformasi. Sebelum penulis
berbagai sumber literature seperti buku dan
menjawab rumusan masalah tersebut, kita
jurnal yang terkait dengan tema ini dan
perlu memahami dua istilah kunci (politik
menganalisisnya secara mendalam sehingga
dan etika politik) dan beberapa pemahaman
menghasilkan sebuah refleksi etis atas
kunci berkaitan terorisme, teroris, dan teror

4 5
F. Budi Hardiman, Demokrasi Dan Sentimentalitas: Emanuel Gerrit Singgih, Iman Dan Politik Dalam
Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, Era Reformasi Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung
Sampai Post-Sekularisme, 125. Mulia, 2004), 27.

225 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

sebuah persoalan sosial politik yang malah digarami? Singgih menyatakan


melibatkan orang Kristen di dalamnya. Ada bahwa tantangan terbesar keterlibatan dalam
beberapa hal terkait dengan etika politik di politik yaitu struktur yang menyangkut
masa kini dalam konteks gangguan kuasa.7 Kuasa di sini dimaknai dominasi dan
terorisme yang harus diperhatikan, yakni penindasan terhadap orang lain di
tentang etika politik kekristenan di masa sekitarnya. Orang lain terkondisikan ikut
lalu, termasuk di dalamnya era pasca- dan harus memenuhi apa yang dituntut
reformasi. pemilik kuasa. Sekali orang membiarkan
diri dikuasai oleh perasaan yang nikmat dan
Etika Politik Kristen di Masa Lalu
mempesonakan dari pemilik kuasa, orang
Berbicara tentang fondasi dan pola
lain menjadi terjebak dan tenggelam dalam
etika politik Kristen di masa lalu, penulis
struktur. Dengan kata lain, orang Kristen
menegaskan bahwa kita perlu melihat apa
yang berniat menggarami dan menerangi
yang menjadi motivasi orang Kristen untuk
dunia politik malah terlilit struktur.
terlibat dalam politik yang cenderung dekat
Setidaknya, orang Kristen harus bersedia
dengan urusan kuantitas. Singgih
menerima dan melakukan segala macam
memetakan adanya pemahaman masa lalu
adat kebiasaan yang berlaku dalam struktur.
bahwa orang-orang Kristen harus berpolitik
Oleh karenanya, Singgih menegaskan
secara konkrit dengan berupaya
keputusan masuk dalam struktur merupakan
memasukkan sebanyak mungkin orang
sebuah keputusan yang keliru.8
Kristen ke berbagai kedudukan strategis di
Selain keterlibatan dalam politik,
pemerintahan dan politik.6 Hal ini biasa
etika politik Kristen di masa lalu ditandai
dipahami sebagai upaya berpartisipasi
dengan adanya sikap dan posisi sebagai
dalam pembangunan politik. Politik diyakini
anak manis terhadap penguasa dan sebagai
sebagai strategi menempatkan orang di
golongan minoritas yang dikuasi perasaan
dalam struktur yang ada mengandaikan
minority complex.9 Minority complex
bahwa struktur yang ada dapat dipengaruhi
merupakan perasaan menganggap diri
dengan semangat Kristen cinta kasih dan
sebagai golongan minoritas yang mudah
keadilan. Bahasa yang sering dipakai yaitu
menjadi garam dan terang (Mat. 5:13, 14).
7
Ibid, 30.
Masalahnya, apakah harapan ini sudah 8
Ibid.
9
Javier Argomaniz and Orla Lynch, “Introduction to
tercapai? Apakah mereka menggarami atau the Special Issue: The Complexity of Terrorism-
Victims, Perpetrators and Radicalization,” Studies in
Conflict and Terrorism 41, no. 7 (2018): 491–506,
6
Ibid, 28. https://doi.org/10.1080/1057610X.2017.1311101.

226 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

didiskriminasi. Sebenarnya, perasaan ini tidak otomatis berlaku ketika berhadapan


tidak boleh berlangsung terus. Kita perlu dengan pemerintah yang penuh korupsi dan
menyadari bahwa kita seperti mayoritas tidak memihak pada rakyat. Pemerintah
lainnya, memiliki hak yang sama sebagai model demikian harus dikritisi kebijakannya
warga negara Indonesia sehingga tidak ada melalui berbagai tindakan advokasi. Rakyat
alasan bagi kita untuk didiskriminasi dalam boleh hormat pada pemerintah sebagai wakil
berbagai bentuk. Dengan kata lain, orang Tuhan bila pemerintah bersikap anti korupsi
Kristen perlu menyadari bahwa mayoritas dan memperhatikan kepentingan rakyat.
dan minoritas sama-sama atau setara sebagai Etika politik masa lalu yang masih
warga negara Indonesia yang tidak boleh terus terjadi hingga kini yakni bersikap
dibeda-bedakan. tegas terhadap pemerintah terhadap masalah
Warisan teologi yang kerap pembangunan rumah ibadah, berbagai
dikumandangkan di masa lalu yaitu ketaatan perusakan dan pembakaran gedung gereja.
10
pada pemerintah (Rom. 13:1-7). Teks Masalahnya, orang Kristen atau gereja
tersebut dengan tegas menyatakan bahwa cenderung hanya bersuara ketika mengalami
tidak ada pemerintahan yang tidak berasal berbagai gangguan tersebut dan terlalu
dari Allah dan karena itu semua orang, memikirkan kepentingan sendiri. Singgih
termasuk orang Kristen, harus tunduk menunjukkan etika politik sebenarnya
kepada pemerintah. Bahkan, dengan tegas menuntut agar dalam beretika politik, orang
pada ayat 2, ditunjukkan barang siapa Kristen tidak menutup mata terhadap
melawan pemerintah diimplikasikan kepentingan bersama.11 Kepentingan
melawan ketetapan Allah dan siapa yang bersama di sini bukan ditentukan oleh
melakukannya akan mendatangkan mereka yang berkuasa sebagaimana zaman
hukuman atas dirinya. Dengan kata lain, Orde Baru, melainkan situasi dan kondisi
teks ini dapat dipahami bahwa Tuhan masyarakat terkini. Kalau dalam masyarakat
menghendaki agar orang Kristen patuh ada kebutuhan kebebasan yang lebih besar,
kepada pemerintah dan kalau tidak patuh demokrasi, keadilan di bidang hukum dan
berarti melawan kehendak Tuhan. perekonomian, kesejahteraan bagi mereka
Masalahnya, apakah tafsiran terhadap Roma yang lemah dan tidak beruntung, maka
13: 1-7 harus dilakukan apa adanya orang Kristen melalui komunitas gereja
demikian? Bagi penulis, tafsiran tersebut diharapkan mendukung berbagai usaha ini.
Dengan demikian, etika politik Kristen
10
Emanuel Gerrit Singgih, Iman Dan Politik Dalam
11
Era Reformasi Di Indonesia, 31. Ibid, 34.

227 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

diharapkan dapat membangun jembatan kebebasan beragama, dan didukung mental


antara orang Kristen dengan masyarakat pemberdayaan rakyat untuk penegakan
secara efektif melalui semangat berbela rasa keadilan dan pemerataan.
dan berjuang mewujudkan Hak Asasi Teologi adalah hasil refleksi
Manusia. mengenai iman orang Kristen dalam sebuah
situasi tertentu. Kalau orang Kristen itu
Etika Politik Kristen di Era Reformasi
berada dalam situasi era reformasi, maka
Singgih menjelaskan etika politik di
refleksinya tentu menyangkut apa artinya
era reformasi ditandai adanya perhatian isi
aspek-aspek yang telah disebutkan di atas
peribadahan, khususnya doa-doa syafaat,
bagi kehidupan berimannya.15 Refleksi
apakah memang menyentuh persoalan
tersebut terindikasi dalam berbagai wacana
politik atau tidak.12 Doa perlu diungkapkan
di komunitas iman. Dalam ibadahnya, orang
secara konkret berkenaan berbagai
Kristen menempatkan wacana sebagai
pergumulan yang ada pada saat itu,
penghubung antara kehendak Ilahi dengan
contohnya berbagai persoalan pembakaran
tindakan manusia. Ketika menyampaikan
gereja. Namun, Singgih menegaskan doa
kehendak-Nya, Tuhan berkenan
saja tidak cukup, melainkan kita perlu
menggunakan bahasa manusia. Oleh
bersedia menyatakan solidaritas pada
karenanya, tekanan utama pada ibadah
mereka yang lemah, yang ditempatkan di
Kristen yaitu khotbah atau penyampaian
luar struktur.13 Solidaritas ditujukan kepada
firman Allah. Selain khotbah, kita juga
para korban, bukan yang mengorbankan.
mengenal pemahaman Alkitab (PA) dan
Solidaritas juga dapat ditumbuhkan dengan
katekisasi. Kedua hal ini juga dipengaruhi
mengajarkan gereja tentang sikap
oleh paradigma khotbah. PA harus menjadi
nasionalisme.14 Hal ini menjadi penting
alternatif atau kelanjutan dari sebuah tema
apalagi dalam kondisi maraknya mekanisme
yang dibicarakan dalam khotbah.
“kambing hitam” di era reformasi. Orang
Etika politik Kristen di era reformasi
Kristen diharapkan dapat meneruskan misi
menimbulkan adanya desakan pada gereja
atau pekabaran Injil dalam rangka
bahwa pola ibadah Kristen, termasuk PA
pemahaman Hak Asasi Manusia mengenai
dan katekisasi, harus masuk dan
12
Ibid, 35. bersolidaritas aktif dengan konteks yang
13
Ibid, 36.
14
Harls Evan Siahaan, “Mengajarkan Nasionalisme
sedang terjadi saat itu, contohnya perusakan
Lewat Momentum Perayaan Paskah: Refleksi Kritis
Keluaran 12:1-51,” DUNAMIS (Jurnal Teologi dan
15
Pendidikan Kristiani) Vol 1, no. 2 (2017): 39–54, Emanuel Gerrit Singgih, Iman Dan Politik Dalam
www.sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis. Era Reformasi Di Indonesia, 40.

228 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

dan pembakaran rumah ibadah. Ibadah bukan Islam.16 Padahal, pemahaman


Kristen saat itu tidak disarankan terus lari demikian tidak sepenuhnya benar. Banyak
dari konteks dengan alih-alih merasa orang Islam yang tidak menginginkannya
bersyukur atas kebaikan Tuhan atas demikian karena mereka memegang
penyertaannya bagi komunitas iman semangat kebhinekaan. Namun, sebagai
tertentu, tetapi di sisi lain seolah Tuhan abai orang Kristen, kita perlu memandang “yang
atau mengizinkan kerusuhan bagi komunitas lain” tetap secara terbuka dan tidak
iman lainnya. menghakimi apapun pandangan yang
dimilikinya sebagai bentuk nyata
HASIL DAN PEMBAHASAN
penerimaan keberagaman. Tidak hanya itu,
Pemahaman terhadap “Yang Lain” (The
kita juga perlu membudayakan sikap
Other) sebagai Fondasi Etika Politik di
mengasihi. Dalam rangka mengasihi “yang
Era Gangguan Terorisme di Indonesia
lain”, orang harus berbuat baik dan saling
Apa yang sudah diupayakan dalam menghargai. Memang, kita perlu mengakui
etika politik Kristen pada masa lalu dan bahwa sejarah pertemuan Kristen-Islam
reformasi diharapkan tetap diperhitungkan tidak mulus, baik di dalam maupun luar
nilai positifnya, di antaranya keinginan Indonesia.17 Berbagai benturan terjadi dan
membangun jembatan dan keterbukaan meninggalkan bekas yang selalu
dalam beretika, termasuk pemberdayaan memberikan pengaruh subyektif dan bias
rakyat dalam rangka penegakan keadilan terhadap kelompok manapun.
dan pemerataan. Penulis memetakan Singgih menegaskan keterbukaan
jembatan terbangun dengan baik dan paradigma ketika memahami “yang lain”
membawa dampak positif bila dilengkapi membawa implikasi tiga hal.18 Pertama,
dengan pemahaman yang utuh dan terbuka menghayati dan menghidupkan kembali
mengenai “yang lain” (the other) ketika suara kenabian sebagai bagian dari
membangun etika politik masa kini dengan kehidupan orang beriman dalam
banyaknya gangguan terorisme. Dari sisi masyarakat. Gagasan ini berarti sebagai
orang Kristen, “yang lain” biasa orang Kristen, kita harus belajar
ditempelkan pada orang Islam. Orang Islam
digeneralisasikan sebagai kelompok yang 16
Elizabeth Shakman Hurd, “Politics of Religious
mencita-citakan pendirian negara Islam di Freedom in the Asia-Pacific: An Introduction,”
Journal of Religious and Political 4, no. 1 (2018): 9–
Indonesia dan bahwa sebuah negara Islam 26.
17
Emanuel Gerrit Singgih, Iman Dan Politik Dalam
pasti akan menomorduakan warganya yang Era Reformasi Di Indonesia, 18-19.
18
Ibid, 21-25.

229 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

membangun kepekaan terhadap penderitaan siapa yang menjadi pelaku aksi terorisasi.
rakyat, dan bukan hanya sensitif terhadap Dugaan ini tidak boleh dikembangkan
penderitaan warga gereja saja. Kedua, dengan memandang siapapun negatif,
menjaga jarak tertentu dengan pemerintah terutama mereka yang kita anggap sebagai
dan negara. Hal ini perlu diiringi dengan “yang lain” dengan nada negatif. Pekerjaan
adanya kesadaran bahwa orang Kristen di rumah yang perlu dikembangkan pada
Indonesia telah hidup di bawah konteks gangguan terorisme yaitu
pemerintahan dan negara tertentu. Meskipun memegang dan mengamalkan pemahaman
demikian, orang Kristen tidak dapat terlalu yang utuh dan terbuka mengenai “yang lain”
mengandalkan pemerintah atau negara. (the other). Pemahaman “yang lain” yang
Sikap ini pun perlu diiringi dengan terbuka dapat dikembangkan sebagai
keyakinan bahwa hidup kita tidak fondasi etika politik di era gangguan
sepenuhnya ditentukan oleh negara, terorisme di Indonesia. Mengapa dapat
melainkan Tuhan. Oleh karenanya, kita juga terjadi demikian? Kata kunci keterbukaan
perlu berani dan dengan tegas mengatasi memandang “yang lain” yaitu melihat
berbagai perasaan minorty complex. Ketiga, mereka sebagai sesama. Kalau ada yang
setelah kita melakukan dua hal tersebut, kita tidak baik itu bukan karena agamanya
juga diharapkan memiliki sebuah gambaran demikian, melainkan “oknum”. Bahkan,
teologis yang kuat dan terbuka mengenai tidak menutup kemungkinan terjadi
“yang lain”. Dalam hal ini, orang Kristen suburnya budaya ketidakkonsistenan.20
juga perlu memandang “yang lain” dengan Ketidakkonsistenan di sini menunjuk pada
semangat penerimaan dan pengakuan kesenjangan wacana antara pergaulan yang
terhadap kemajemukan agama-agama lebih luas dengan mereka yang lain dan
sebagai bagian yang penting dalam realita. pergaulan di kalangan sendiri. Bisa saja
Secara spesifik, Singgih, dengan mengikuti seorang tokoh agama dikenal di dalam
gagasan Kosuke Koyama, menawarkan masyarakat umum sebagai tokoh yang
alternatif konsep teologi pertetanggaan yang terbuka dan positif terhadap agama lain
dapat mendorong orang Kristen untuk karena ceramah-ceramah yang mengikuti
bersahabat dan bergaul dengan orang prinsip kerukunan beragama yang telah
beragama lain.19 ditentukan oleh pemerintah, namun dapat
Berbagai gangguan terorisme yang berbicara sangat negatif, bahkan membuat
kian terjadi menimbulkan banyak dugaan karikatur mengenai agama lain begitu dia

19 20
Ibid, 25-27. Ibid, 55.

230 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

mendapat kesempatan untuk berceramah di terhadap kemajemukan suku dan agama di


antara kawan-kawannya sendiri. Indonesia.21 Sejarah membuktikan bahwa
Keterbukaan terhadap “yang lain” dalam kepemimpinan yang kuat di masa
dalam terorisme memerlukan perluasan lalu, nasionalisme sanggup merelatifkan
wawasan dan pemahaman yang bisa perbedaan suku dan agama. Sebaliknya,
membuat kita melihat agama bukan dari merebaknya berbagai kasus intoleransi
sudut pandang kita sendiri, melainkan juga sering dikaitkan dengan menipisnya
secara obyektif, yaitu agama sebagai kesadaran kebangsaan. Belakangan,
fenomena. Keterbukaan secara perlahan demokrasi dituding menjadi penyebab
diharapkan mengikis eksklusif yang negatif. Hal ini dihayati bahwa demokrasi
menekankan mutlak pada perbedaan akan membawa hak-hak asasi manusia dan nilai-
terhalang untuk melihat berbagai nilai universal lainnya ke dalam kehidupan
keberagaman di antara agama-agama, berbangsa dan bernegara sehingga identitas
termasuk kesediaan belajar sampai ke nasionalisme menjadi lemah. Hal ini
sumber-sumber pertama. Keterbukaan disebabkan adanya pemahaman bahwa
terhadap “yang lain” tidak dimaksudkan demokrasi merupakan produk barat yang
proselitisme, melainkan pelayanan kasih dan bukan lahir dari pergumulan Indonesia.
kesaksian tanpa pamrih, khususnya bagi Namun, asumsi demikian tidak dapat
mereka yang tersisih. Bila agama tidak dipegang kuat. Solidaritas terhadap
dijadikan acuan proselitisme dan dipolitisasi kemajemukan dan berbagai kasus
sebagai dasar terorisme, tentu siapapun intoleransi dan problem identitas yang
mampu bersikap terbuka dan melihat “yang mendera masyarakat bukanlah hasil akhir
lain” sebagai sesama, terlebih tidak demokrasi, melainkan problem transisi
menjadikan “yang lain” sebagai sasaran menuju demokrasi.22 Sebagai warga negara,
terorisisasi. kita perlu memegang fakta bahwa “bangsa
Indonesia” dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) menunjukkan bahwa
Etika Politik Kristen dalam Era
demokrasi merupakan sebuah narasi besar
Gangguan Terorisme di Indonesia
(grandnarrative) yang sanggup mewadahi
Bercermin dari perjalanan sejarah, kemajemukan sehingga ide kebangsaan
kita perlu mengakui bahwa suatu kesadaran
21
yang kuat akan identitas sebagai suatu A M Hendropriyono, “Ide Dan Praksis Neo-
Nasionalisme Dalam Menghadapi Tantangan
bangsa dianggap dapat mendorong toleransi Globalisasi,” Jurnal Filsafat 18, no. 1 (2008).
22
Ibid.

231 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

perlu diaktualisasikan secara kreatif dalam berbagai keterlibatan dan keteladanan di


23
konteks demokrasi. dalam ruang publik.
Kalaupun kita ingin mengupayakan Terorisme turut dilakukan dengan
teologi pertetanggaan dalam hubungan antar bersamaan dengan berbagai kekerasan
agama, hal ini tentu tidak mudah dilakukan. berbasis agama. Kita pun harus sadar bahwa
Kita perlu peka adanya berbagai kegagalan pada berbagai kekerasan berbasis agama,
umat agama ketika menemukan nilai-nilai para penonton dan korban sendiri juga ikut
iman mereka di praksis konstitusi negara andil dalam peristiwa kekerasan dengan
hukum dan demokratis. Budi Hardiman sikap pengecut mereka. Dalam tiap drama
memetakan dua hal kegagalan tersebut.24 kekerasan, korban seolah merupakan
Pertama, doktrin agama yang sempit dan komponen panggung yang terpisah dari
kaku yang tidak memberi ruang untuk nilai- penonton. Padahal dalam ketidakberanian
nilai yang lebih luas dari nilai-nilai agama korban melawan penindasan, korban dan
itu yaitu nilai kehidupan bersama secara penonton sesungguhnya telah berkolaborasi
politis. Kedua, karena praksis konstitusi itu secara diam-diam untuk menguatkan peran
sendiri tidak diterangi oleh nilai-nilai pelaku. Korban menyalahkan diri karena
universal, seperti hak-hak asasi manusia, ketidakberdayaannya dan kebungkaman
melainkan cenderung kepada berbagai para penonton ketika memberi dalih tersirat
kepentingan politis praktis tertentu. bahwa peristiwa tersebut sudah selayaknya
Keunikan iman Kristiani yang perlu terjadi demikian. Dalam arti ini,
diperhatikan yaitu suatu disposisi kemunculan peran korban dalam drama
fundamental yang tidak menarik diri dari kekerasan itu dimungkinkan baik oleh sikap
dunia, melainkan justru melibatkan diri di pasif penonton maupun dirinya sendiri. Hal
dalam sejarah untuk suatu perubahan ini juga senada ketidakberanian para
menuju keadaan yang lebih baik. Kalau kita penonton ketika mengintervensi mekanisme
hendak menafsirkan teologi pertetanggaan, kekerasan telah memberi kontribusi besar
maka gagasan yang muncul adalah bagi formasi karakter seorang pelaku
panggilan untuk menjadi garam dunia dan kekerasan sehingga ia tidak mampu
terang dunia sebagaimana mengacu pada mengembangkan bentuk relasi lain, selain
mendiskriminasikan, memojokkan, dan
25
menindas orang lain.
23
F. Budi Hardiman, Demokrasi Dan Sentimentalitas:
Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama,
Sampai Post-Sekularisme, 65..
24 25
Ibid, 66. Ibid, 165.

232 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

Hardiman menawarkan tinjauan rasa keadilan.28 Sikap keberanian sipil (civil


keberanian sipil (civil courage) yang courage) perlu dikembangkan dimulai dari
berpijak pada gagasan Kurt Singer, rumah sampai ke tempat ibadah, kampus,
menggambarkannya pada enam hal yaitu: gedung parlemen, dan birokrasi pemerintah.
(1) keutamaan demokratis warganegara Ketidakpedulian terhadap diskriminasi,
yang mengacu pada semangat konstitusi dan represi, dan marginalisasi dimulai ketika
Hak Asasi Manusia; (2) keberanian anak-anak dilarang berbeda pendapat
menyatakan pendirian secara publik, mesti dengan orang tuanya. Bahkan, sikap diam
ditentang orang-orang lain; (3) memiliki isi yang sama kita temui di antara umat yang
publik dan bukan privat, yakni berorientasi hanya menyetujui khotbah-khotbah
kebaikan bersama; (4) mengimbau suara kebencian kepada agama lain yang
hati sesama warganegara untuk dituangkan dari tempat-tempat ibadah.
menghentikan penindasan dan mengubah Semua dilakukan dalam bentuk kekerasan
keadaan; (5) tindakan tanpa kekerasan, tidak struktural. Kekerasan struktural merupakan
merendahkan lawan, tidak memaksa orang sebab-sebab impersonal dari berbagai
lain; (6) bukanlah tanpa rasa takut, ketidakadilan distributif dalam sistem
melainkan upaya mengatasi rasa takut demi kapitalis atau dari dikotomi kawan-lawan
membela kebaikan bersama.26 dalam ideologi konservatif agama.29
Bagi Hardiman, kita dapat berbicara Dengan semangat keberanian sipil,
tentang keberanian sipil (civil courage) etika politik Kristen harus memfasilitasi
apabila salah seorang atau lebih siapapun berani menyatakan perlawanan
meninggalkan posisi penonton dan mulai terhadap reproduksi kebencian dan
mengintervensi kejadian dan menyatakan penindasan di lingkungan dekatnya. Sikap
ketidaksetujuannya secara publik.27 diam terhadap ketidakadilan bukanlah
Memupuk keberanian sipil (civil courage) pasivitas murni, melainkan sebuah aktivitas
berarti menumbuhkan keinginan mereka penindasan atas suara hati sendiri. Dalam
yang berada di sisi kiri untuk beralih ke sisi hal itu, rumah, sekolah, tempat ibadah,
kanan dengan mengasah empati, kantor atau mimbar yang meneguhkan
keberpihakan kepada yang lemah, konformisme kelompok, paternalisme
meningkatkan tanggung jawab moral dan otoritas dan membius individu dengan
eksklusivisme kelompok sendiri ikut

26 28
Ibid, 166.. Ibid, 167.
27 29
Ibid. Ibid, 167.

233 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

bersalah dalam penindasan suara hati dilakukan dengan memobilisasi massa.31


individu.30 Protes, pemogokan, non- Hal itu dikarenakan kita dapat terjebak
kooperasi, penolakan yang dilakukan tanpa dalam konformisme dan sikap pengecut para
kekerasan tidak lahir dari sikap pengecut anggota gerombolan yang menindas
atau kemarahan, melainkan dari disiplin, minoritas. Bentuk solidaritas yang tepat
pengendalian diri, kesabaran, dan untuk gerakan tanpa kekerasan sebenarnya
keutamaan warga. bukanlah massa, melainkan komunitas.
Dalam beretika politik Kristen, kita Secara prinsip, Hardiman menguraikannya
perlu memperhatikan tiga kekuatan pada lima poin.32 Pertama, memproduksi
struktural yang menghambat individu untuk dan menguatkan instansi, lembaga, forum
tampil dengan keberanian sipil (civil komunikasi interreligius pada masing-
courage) dan merajut solidaritas satu sama masing agama sehingga dalam situasi
lain. Pertama, globalisasi pasar telah konflik dapat bertindak menengahi dengan
mereproduksi massa konsumeris yang nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, lebih
tersusun dari para individu yang apolitis, memilih komunikasi dan jalur hukum,
teratomisasi atau tercerabut dari solidaritas daripada manipulasi dan pemaksaan. Ketiga,
komunalnya, contohnya para borjuis kota multiplikasi komunitas-komunitas warga
yang memenuhi pusat perbelanjaan (mall). yang sadar hak dan forum-forum deliberasi.
Kedua, kekuatan endogen dari kolektivisme Keempat, menggunakan kekuatan penetrasi
dan etnosentrisme dalam masyarakat yang ke dalam parlemen dengan tilikan moral dan
mengkolektifkan individu sebagai massa pertimbangan teknis yang memadai. Kelima,
ideologis, contohnya gerombolan orang membantu reformasi kepolisian dan militer
yang memaksa penghentian kegiatan ibadah dalam membangun kode etik dan
atau menyerang aliran religius yang pengawasannya untuk menumbuhkan sikap
distigma sesat. Ketiga, kombinasi massa lebih beradab dan fairness dalam perkara
konsumeris dan ideologis yang meng- diskriminasi, marginalisasi, dan represi.
hasilkan individu-individu oportunistis- Dari sisi individu, keberanian sipil
apatis yang cenderung bermain sebagai (civil courage) dapat dilakukan dalam enam
pemain aman di antara gelombang sikap.33 Pertama, tidak menyesuaikan diri
kepentingan. dengan kelompok, melainkan bertindak
Hardiman mengingatkan memupuk menurut kepribadian dan pendiriannya
keberanian sipil (civil courage) tidak dapat 31
Ibid, 171.
32
Ibid, 172.
30 33
Ibid, 169. Ibid, 170.

234 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

sendiri. Kedua, tidak membiarkan diri demiliterisasi masyarakat.34 Semua


menjadi obyek pelecehan, melainkan dilakukan dalam rangka pembelajaran bagi
menunjukkan sikap sebagai subyek yang masyarakat yang tidak hanya untuk
turut membangun hubungan positif. Ketiga, berdemokrasi, melainkan melakukan
keluar dari kelompok yang hidup dalam perlawanan atas otokrasi secara dewasa.
dusta, dan belajar menanggung rasa sepi dan Masyarakat yang melakukan ketidakpatuhan
terisolasi demi sebuah pendirian yang benar. warga (civil disobedience) memiliki cukup
Keempat, menunjukkan respek terhadap latar belakang nilai-nilai dan pandangan
kepribadian sendiri dan orang lain dengan hidup yang lebih memilih pengampunan
menunjukkan tanggung jawab dan daripada pembalasan, persetujuan daripada
kepedulian. Kelima, menghargai pemaksaan, suara hati daripada perintah
kebebasannya sendiri dengan kepercayaan atasan atau desakan kelompok.
diri yang sehat dan menghargai kebebasan Konsepsi yang ditawarkan Budi
orang lain dengan sikap toleran. Keenam, Hardiman berkenaan pembangunan
mulai melatih kepercayaan (trust) di tengah keberanian sipil (civil courage) pada
iklim kecurigaan. konteks terorisme sebenarnya berangkat dari
Hardiman menunjukkan keberanian adanya berbagai kegagalan umat agama
sipil (civil courage) perlu dilengkapi dengan ketika menemukan nilai-nilai iman mereka
ketidakpatuhan warga (civil disobedience). di praksis konstitusi negara hukum dan
Gagasan ini didukung atas pemahaman demokratis. Agama sering dikemas dengan
kekuatan jaringan yang terbesar yang boleh bingkai sempit sehingga kurang dapat
diharapkan dari jejaring warga dengan menyatu dan menanggapi konteks yang
keberanian sipil (civil courage) adalah bergerak cepat. Setidaknya, kegagalan ini
ketidakpatuhan warga (civil disobedience). dimungkinkan adanya iklim kekerasan
Ketidakpatuhan warga (civil disobedience) kultural. Kekerasan ini dihayati sebagai
merupakan sebuah gerakan moral pantang berbagai sebab impersonal dari
kekerasan yang dilakukan dalam kerangka ketidakadilan distributif pada sistem
negara hukum demokratis. Hal ini dilakukan kapitalistis atau dari dikotomi kawan-lawan
melalui adanya tradisi penyelesaian konflik dalam ideologi konservatif agama. Ideologi
tanpa kekerasan, ruang (platform) moral dan konservatif agama dianggap sebagai hasil
agama yang pantang kekerasan, peranan impersonal dari agregat apatisme umat
kelas menengah yang kuat, dan terhadap marginalitas, diskriminasi, dan

34
Ibid, 55.

235 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

represi dalam skala mikroskopis. Oleh conventional wisdom, bahkan semacam


karenanya, dalam mengamalkan etika hukum yang tidak tertulis, seakan-akan
politik Kristen, umat harus diajak tidak setiap orang harus beragama. Di KTP pun,
hanya membangun keterbukaan pada “yang orang diharapkan mengisi kolom agama,
lain” melalui teologi pertetanggaan saja, dan orang takut jika tidak mengisinya atau
melainkan dilatih untuk menyatakan mengisinya dengan “tidak beragama”. Ia
perlawanan terhadap reproduksi kebencian takut akan dituduh “ateis”, “komunis”,
dan penindasan di lingkungan dekatnya. “anggota PKI”, atau mungkin “tidak
Tentu, perlawanan ini tidak dilakukan secara Pancasilais”, atau berbagai tuduhan lain
individu saja, melainkan kolektif atau yang serba negatif.
dengan memobilisasi komunitas dan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
masyarakat. Dalam hal ini, penulis senang 1945 menjamin kemerdekaan setiap
dan sepakat dengan munculnya komitmen penduduk untuk memeluk agamanya
masyarakat secara bersama-sama dan lintas masing-masing dan beribadah menurut
agama untuk melawan keras terorisme, agama dan kepercayaannya. Dengan kata
setidaknya melalui deklarasi yang tertulis lain, kebebasan agama merupakan salah satu
pada spanduk. Namun, penulis menilai poin hak yang paling asasi di antara hak-hak
ini tidak boleh hanya berhenti di spanduk asasi manusia. Masalahnya, kewajiban
saja, melainkan aksi lain yang lebih beragama itu pun masih dibatasi lagi yaitu
komprehensif diiringi dengan hanya salah satu agama yang diakui.
memperhatikan berbagai instrumen hukum Pertanyaan reflektif yang perlu kita
yang melawan terorisme dan berani gumulkan yaitu apa dasar pengakuan itu?
bertindak tanpa kekerasan. Jika pengakuan itu didasarkan pada sila
pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang
Pengamalan Etika Politik Kristen dalam
Maha Esa, mengapa agama Yahudi, yang
Era Gangguan Terorisme di Indonesia
paling dulu mengakui adanya Tuhan yang
Dalam proses pembahasan tentang
monotheis, tidak diakui di negeri ini?
peranan, partisipasi, atau keterlibatan umat
Apakah pengakuan itu didasarkan pada
beragama pada dunia politik sebenarnya
berbagai pertimbangan politik, contohnya
secara implisit kita mengakui adanya orang-
karena kita tidak mengakui Israel?
orang yang tidak beragama yang juga
Dalam hubungan agama dan negara,
berpartisipasi atau terlibat dalam kehidupan
kita perlu menyadari bahwa agama tidak
politik. Di Indonesia telah menjadi semacam
memerlukan pengakuan restu dari negara.

236 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

Negara tidak mempunyai hak untuk persatuan bangsa, tidaklah beralasan.


menentukan suatu bentuk ibadah atau Kalaupun terdapat ancaman terhadap
kepercayaan sebagai agama atau bukan. persatuan, pihak yang menuduh kesesatan
Bahkan, negara juga tidak berhak menilai harus memikul tanggung jawab lebih besar
apakah sesuatu aliran agama itu sesat, tidak atas timbulnya kekhawatiran atau ancaman
sesuai, atau bertentangan dengan arus utama perpecahan karena dia secara implisit
(mainstream), yang dianggap aliran baku. mengklaim monopoli atas kebenaran dan
Masalahnya dalam hal kebenaran Ilahi, hendak memaksakannya pada orang-orang
siapa yang berhak menentukan ukuran arus lain.36
utama itu? Jika negara berhak memberikan Kebebasan beragama perlu dipahami
pengakuan tersebut, maka secara logis sama sekali tidak sama, bahkan justru
negara juga berhak menariknya kembali bertentangan dengan kewajiban beragama.
dengan berbagai alasan. Tugas dan Kebebasan tersebut merupakan hak. Dalam
kewajiban negara untuk melindungi hal ini, hak ini mengandung pilihan,
kebebasan dalam kehidupan beragama dan dipergunakan boleh, tidak dipergunakan
menciptakan iklim yang sehat sangat juga boleh, terserah pada yang
memungkinkan dan mendukung bersangkutan. Ketika kita mewajibkan atau
dilaksanakannya kebebasan beragama pada melarang orang beragama, hal ini
suasana kerukunan, saling pengertian, saling sebenarnya merupakan sisi dari mata uang
menghormati, dan kerja sama. yang sama. Melarang merupakan
Kalaupun suatu sekte aliran mewajibkan untuk tidak melakukan atau
keagamaan memang sesat, jika perlu negara berbuat sesuatu. Hukum yang mewajibkan
dapat dan mungkin justru harus bertindak, orang untuk beragama tidak akan ada
bukan terhadap sifat “kesesatan” keagamaan artinya karena tidak mempunyai nilai
itu sendiri, melainkan berbagai tindakan operasional. Ia tidak memiliki potensi
yang melanggar hukum negara yang paksaan (enforcement). Hal ini dikarenakan
menyangkut ketertiban umum, khususnya keyakinan merupakan persoalan batiniah
hukum pidana.35 Kekhawatiran bahwa yang tidak dapat dinilai oleh orang lain.
timbulnya aliran yang tidak sesuai dengan Keyakinan tidak dapat dianggap selalu sama
apa yang dianggap utama itu akan dengan apa yang diucapkan atau dilakukan
mengancam persatuan umat, bahkan
36
Iza Hussin, “The New Global Politics of Religion’:
35
J. Soedjati Djiwandono, Gereja Dan Politik Dari Religious Harmony, Public Order, and Securitisation
Orde Baru Ke Reformasi (Yogyakarta: Kanisius, in the Post-Colony,” Journal of Religious and
1999), 95. Political Practice 4, no. 1 (2018): 93–106.

237 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

secara eksplisit. Oleh karena itu, penulis tidak sekaligus merupakan hukum negara
menegaskan bahwa mewajibkan orang sebagai bagian pelaksanaan tugas negara
beragama hanya akan menanamkan dalam memelihara ketertiban umum,
kemunafikan. Selain itu, pola ini juga bisa contohnya mencuri dan membunuh. Dalam
menegasikan kemajemukan agama atau perpaduan kekuasaan agama dan politik,
kepercayaan. agama sering diperalat demi kepentingan
Dengan kebebasan beragama, orang politik yang sempit. Hal ini juga terjadi
dapat beragama apa saja, berganti agama sebaliknya. Kekuasaan politik pun kerap
kapan saja dia mau, apapun alasannya, atau dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok
tidak beragama sama sekali. Hal agama yang sempit. Agama menjadi
terpentingnya yaitu apapun pilihannya, ideologi politik sehingga mengalami
pilihan itu dilakukan atas dasar kebebasan, degradasi nilai dan makna spiritualnya.37
bukan karena tekanan atau paksaan. Orang Lalu, apa yang dapat dilakukan
boleh percaya apa saja atau tidak percaya gereja sebagai komunitas iman? Hal yang
apapun, sepanjang hal tersebut tidak dapat dilakukan gereja dalam bidang politik
mengganggu hak atau kepentingan orang yakni kaderisasi. Kaderisasi merupakan
lain dan ketertiban umum. Bila terjadi proses pendidikan, pembinaan, atau formasi
gangguan, negara berkewajiban melakukan kader. Masalahnya, apakah kaderisasi
campur tangan. Hal ini dilakukan bukan politik hanya mempersiapkan orang untuk
karena seseorang tidak beragama, atau tidak menjadi politisi? Politisi memang sangat
percaya Tuhan, atau karena kepercayaan diperlukan, tetapi berpolitik tidak harus atau
orang dianggap sesat. Ajaran dan hukum hanya berarti menjadi politikus atau
agama tidak mengikat negara atau menjadi bergerak dalam kehidupan politik praktis
landasan dan bagian dari sistem hukum dan untuk dapat masuk ke dalam struktur
perundang-undangan negara. Sebaliknya, kekuasaan politik.38 Berpolitik dilakukan
ajaran dan hukum agama tidak diberi sanksi melalui upaya pengamalan moral politik
atau diperkuat oleh hukum negara. Negara Kristiani dan ajaran sosial gereja. Makna
berkewajiban menciptakan iklim yang sehat kehidupan politik dan kesejahteraan umum
untuk menunjang kehidupan beragama yang yang menjadi tujuannya sesuai dengan iman
bebas dan mendorong kerukunan umat Kristiani, tetapi kehidupan politik bukan
beragama. Negara tidak akan mengenakan satu-satunya jalan untuk memperjuangkan
sanksi atas seseorang yang melanggar 37
J. Soedjati Djiwandono, Gereja Dan Politik Dari
hukum atau ajaran agama sepanjang hal itu Orde Baru Ke Reformasi, 79.
38
Ibid.

238 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

kesejahteraan umum, di antaranya terbebas pernah tahu kapan hal itu datang. Kalaupun
dari berbagai gangguan terorisme. Kegiatan- hal itu sudah terjadi, kita juga tidak akan
kegiatan sosial atau karitatif yang insidentil, mengetahui apayang menjadi motivasi para
perorangan, maupun yang lebih melembaga, pelaku. Etika politik Kristen yang harus
juga mendukung kesejahteraan yang merata. diamalkan orang Kristen yaitu membangun
Kita memang harus menyadari bahwa pemahaman terbuka terhadap “yang lain”,
kehidupan politik merupakan wahana paling termasuk mengembangkan teologi
efektif karena untuk inilah negara dibentuk, pertetanggaan. Namun, pola ini tidak cukup
terutama yang berasaskan demokrasi. demikian. Hal ini harus diikuti oleh
Gereja yang berpegang pada ajaran keberanian sipil (civil courage).
agama diharapkan dapat membantu Mengembangkan etika politik Kristen yang
persatuan bangsa.39 Hal ini dapat terjadi terbuka terhadap “yang lain” memang sulit
apabila ajaran agama memiliki komitmen dilakukan. Namun, hal ini bukan berarti
bersama untuk membangun bangsa dengan tidak mungkin bisa dilakukan. Masyarakat
cita-cita keadilan dan kesejahteraan. Gereja umum dan gereja diharapkan
bersama berjuang menegakkan keadilan dan mengembangkannya lebih lanjut secara
menciptakan kesejahteraan umum sebagai lokal. Hal ini dikatakan penulis dengan
pelaksanaan cinta kasih dan pengabdian sadar bahwa perkara etika politik Kristen
kepada sesama. Langkah ini merupakan cenderung dilakukan hanya pada tataran
wujud penjabaran iman, cinta kasih, dan teoritis saja, dan belum berlanjut ke praksis
pengabdian kepada Tuhan. Semangat ini dengan penelitian dan pengamalan yang
diiringi dengan nilai kejujuran, keterbukaan, lebih mendalam.
ketekunan, kesabaran, dan kehendak baik
semua golongan agama. Apabila semangat
DAFTAR PUSTAKA
ini terus dipegang, gangguan terorisme tidak
Argomaniz, Javier, and Orla Lynch.
akan terjadi. “Introduction to the Special Issue: The
Complexity of Terrorism-Victims,
KESIMPULAN Perpetrators and Radicalization.”
Studies in Conflict and Terrorism 41,
Terorisme merupakan keadaan yang
no. 7 (2018): 491–506.
perlu diwaspadai senantiasa; kita tidak https://doi.org/10.1080/1057610X.2017
.1311101.

39
Hurd, Elizabeth Shakman. “Politics of
Siahaan, “Mengajarkan Nasionalisme Lewat Religious Freedom in the Asia-Pacific:
Momentum Perayaan Paskah: Refleksi Kritis
Keluaran 12:1-51.”
An Introduction.” Journal of Religious
and Political 4, no. 1 (2018): 9–26.

239 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 3, No. 2, April 2019

Singgih, Emanuel Gerrit. Iman Dan Politik Yogyakarta: Kanisius, 1999.


Dalam Era Reformasi Di Indonesia.
Kristianto, Paulus Eko. “Persinggungan
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Agama Dan Politik Dalam Teror:
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Dan Menuju Terbentuknya Teologi
Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan- Spiritualitas Politik Dalam Konteks
Setan”, Radikalisme Agama, Sampai Maraknya Terorisme Di Indonesia.”
Post-Sekularisme. Yogyakarta: DUNAMIS: Jurnal Teologi dan
Kanasius, 2018. Pendidikan Kristiani 3, no. 1 (2019): 1.
Hendropriyono, A M. “Ide Dan Praksis Max Du, Plessis. “Removals, Terorism And
Neo-Nasionalisme Dalam Menghadapi Human Rights – Reflections on Rashid”.
Tantangan Globalisasi.” Jurnal Filsafat South African Journal on Human Rights
18, no. 1 (2008). Vol. 25 No. 2 (2009), 353-373, DOI:
10.1080/19962126.2009.11865206.
Hussin, Iza. “The New Global Politics of
Religion’: Religious Harmony, Public Siahaan, Harls Evan. “Mengajarkan
Order, and Securitisation in the Post- Nasionalisme Lewat Momentum
Colony.” Journal of Religious and Perayaan Paskah: Refleksi Kritis
Political Practice 4, no. 1 (2018): 93– Keluaran 12:1-51.” DUNAMIS (Jurnal
106. Teologi dan Pendidikan Kristiani) Vol
1, no. 2 (2017): 39–54.
Djiwandono, J. Soedjati. Gereja Dan Politik www.sttintheos.ac.id/e-
Dari Orde Baru Ke Reformasi. journal/index.php/dunamis.

240 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)

Anda mungkin juga menyukai