Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Semakin tinggi angka harapan hidup seseorang di suatu negara, semakin meningkat
populasi orang dengan usia lanjut dengan aktivitas yang terpelihara secara monoton.
Lumbar spinal canal stenosis atau canal stenosis yang terjadi pada lumbal menjadi salah
satu masalah yang sering ditemukan, yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang
belakang pada populasi usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun
di Amerika. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita (Apsari dkk., 2013).
Salah satu penyebab dari terjadinya canal stenosis adalah spondylolisthesis.
Spondylolisthesis adalah penyakit yang disebabkan oleh tergelincirnya sebuah badan
vertebra terhadap badan vertebra dibawahnya (Kalichman dan Hunter, 2008). Pergeseran
dari segmen tulang belakang memberikan manifestasi pada kompresi discus dan medulla
spinalis, dimana akan menjadi stimulus keluhan nyeri punggung bawah (Helmi, 2012).
Akibat adanya nyeri menyebabkan seseorang takut untuk menggerakkan punggungnya
sehingga muncul penurunan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi punggung yang
menyebabkan penurunan kemampuan fungsional
Pengaruh pembedahan terhadap metabolisme pasca-bedah tergantung berat ringannya
pembedahan, keadaan gizi pasien pasca-bedah, dan pengaruh pembedahan terhadap
kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi. Setelah pembedahan
sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat berlangsung selama
5-7 hari atau lebih pasca-bedah. Demam dapat meningkatkan kebutuhan energi,
sedangkan luka dan perdarahan meningkatkan kebutuhan protein, zat besi, dan vitamin C
serta cairan yang hilang perlu diganti. meningkatkan kebutuhan energi, sedangkan luka
dan perdarahan meningkatkan kebutuhan protein, zat besi, dan vitamin C serta cairan
yang hilang perlu diganti.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencoba mengkaji dan memberikan
pelayanan gizi serta melaporkan hasil mengenai Penatalaksanaan Diet Pada Pasien Post
Operasi Lumbal Spinal Canal Stenosis di Ruang Bedah kamar 4 lantai 3 Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan terapi diet dan asuhan gizi pada
pasien post operasi lumbal spinal canal stenosis

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi resiko masalah gizi dari hasil skrining gizi
dan diagnosis medis.
b. Mahasiswa mampu melakukan assesmen gizi pada pasien post operasi lumbal
spinal canal stenosis
c. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa gizi pada pasien dengan post
operasi lumbal spinal canal stenosis
d. Mahasiswa mampu melakukan intervensi pada pasien dengan post operasi
lumbal spinal canal stenosis
e. Mahasiswa mampu melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien dengan
post operasi lumbal spinal canal stenosis
f. Mahasiwa mampu mendokumentasikan asuhan gizi kepada pasien post post
operasi lumbal spinal canal stenosis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GAMBARAN UMUM LUMBAL SPINAL CANAL STENOSIS

Lumbal spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis
atau foramen intervertebralis pada daerah lumbar disertai dengan penekanan akar saraf
yang keluar dari foramen tersebut. Semakin tinggi angka harapan hidup seseorang di
suatu negara, semakin meningkat populasi orang dengan usia lanjut dengan aktivitas
yang terpelihara secara monoton. Konsekuensinya adalah keterbatasan fungsional dan
nyeri yang timbul sebagai gejala penyakit degeneratif pada tulang belakang, menjadi
lebih sering muncul sebagai masalah kesehatan. Lumbar spinal stenosis menjadi
salahsatu masalah yang sering ditemukan, yang merupakan penyakit degeneratif pada
tulang belakang pada populasi usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50
tahun. Merupakan penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada tulang
belakangpada usia lebih dari 60 tahun. Pria lebih tinggi insidennya daripada
wanita.Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan
dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.

Stenosis adalah penyempitan pada kaliber orifisium tuba, yang menyebabkan


penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen padatnya (struktur
saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan mengalami penyempitan
namun bukan stenosis. Lumbar spinal stenosis merupakan penyempitan
osteoligamentous vertebral canal dan atau intervertebral foramina yang menghasilkan
penekanan pada thecal sac dan atau akar saraf. Pada level vertebra yang sama
penyempitan tersebut bisa mempengaruhi keseluruhan kanal dan bagian lain dari kanal
tersebut. Definisi ini membedakan herniasi diskus dengan stenosis. Prolaps diskus tidak
menyebabkan stenosis, kedua kondisi di atas memiliki perbedaan pathogenesis, anatomi
dan gejala klinis yang membuat keduanya tidak bisa dikatakan memiliki satu kesatuan
patologis. Kanal lumbalis terdiri dari bagian central, dua bagian lateral, dan bagian
posterior yang berhubungan dengan sudut interlaminar. Bagian central disebut central
spinal canal dan masing- masing bagian lateral disebut akar saraf atau radicular canal.
2.2 EPIDEMOLOGI
Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang
merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia lanjut.
Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di Amerika. Merupakan penyakit

terbanyak yang menyebabkan bedah pada spina pada usia lebih dari 60 tahun. Lebih dari
125.000 prosedur laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih
tinggi insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras,jenis
kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar
ke-3 ke-4.

2.3 ANATOMI
Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya, vertebra
dalam satu daerah pun memiliki sedikit perbedaan. Vertebra terdiri dari corpus vertebra
dan arkus vertebra. Corpus vertebra adalah bagian ventral yang memberi kekuatan pada
columna vertebralis dan menanggung berat tubuh. Corpus vertebra , terutama dari
vertebra thoracica IV ke caudal, berangsur bertambah besar supaya dapat memikul beban
yang makin berat. Arkus vertebra adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari
pediculus arcus vertebra dan lamina arkus vertebra. Pediculus arcus vertebra adalah taju
pendek yang kokoh dan menghubungkan lengkung pada corpus vertebra, insisura
vertebralis merupakan torehan pada pediculus arcus vertebra. Insisura vertebralis
superior dan incisura vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang bertangga
membentuk sebuah foramen intervetebrale. Pediculus arcus vertebrae menjorok ke arah
dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng yakni lamina
arcus vertebrae. Arcus vertebrae dan permukaan dorsal corpus vertebrae membatasi
foramen vertebrale. Foramen vertebrale berurutan pada columna vertebrale yang utuh,
membentuk canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak,
akar saraf dan pembuluh darah. Vertebrae lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus
vertebrae pejal, jika dilihat dari cranial berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk
segitiga, lebih besar dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan
ramping, prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus, prosesus
articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior mengarah ke
ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap prosesus articularis,
prosesus spinosus pendek dan kokoh. Struktur lain yang tidak kalah penting dan menjadi
istimewa adalah sendi lengkung vertebra articulation zygapophysealis (facet joint),
letaknya sangat berdekatan dengan foramen intervertebrale yang dilalui saraf spinal
untuk meninggalkan canalis vertebralis. Sendi ini adalah sendi sinovial datar antara
prosesus articularis (zygoapophysis) vertebra berdekatan. Sendi ini memungkinkan gerak
luncur antara vertebra. Jika sendi ini mengalami cidera atau terserang penyakit, saraf
spinal dapat ikut terlibat. Gangguan ini dapat mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan
pola susunan dan kejang pada otot-otot yang berasal dari miotom yang sesuai.

2.4 ETIOLOGI
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis, antara lain:
1. Pertumbuhan berlebih pada tulang
2. Ligamentum flavum hipertrofi
3. Prolaps diskus

Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif tulang dan
pertumbuhan berlebihan jaringan lunak dari arthritis. Resiko terjadinya stenosis tulang
belakang meningkat pada orang yang:

1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit


2. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
3. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan pertambahan
usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya

2.5 PATOFISIOLOGI
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen,
dan proteoglikan sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam
lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra.
Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan
mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus.
Komponen air memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi
tergantung beban mekanis yang diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan
pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus pulposus mengalami
dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan
pada annulus.
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nukleus tersusus
secara eksklusif oleh kolagen tipe-II yang membantu menyediakan level hidrasi
yang lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nukleus mampu melawan
beban tekan dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I
dalam jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau
lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding
pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek dan jumlah rantai kerarin sulfat dan
kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan
menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang
kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan
membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar saraf
spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nyeri
diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Ilarus ada inflamasi dan iritasi pada akar
saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah. Kompresi pada akar saraf normal
memunculkan gejala paraestesia, defisit sensoris, penurunan motorik, dan reflek
hormonal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa juga terjadi
selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa untuk
memanjang dan menyimpang dari posisi istirahatnya.

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis biasanya muncul pada dekade ke-6 atau ke-7, kebanyakan pasien
mengeluh nyeri punggung (95%) selama satu tahun. Nyeri pada ekstremitas bawah
(71%) berupa rasa terbakar hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau
posterolateral tungkai atau kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah,
memburuk dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbar, gejala tersebut
membatasi pasien untuk berjalan (neurogenik klaudikasi 94%, bilateral 69%).6,7,8
Nyeri pada ektemitas bawah biasanya berkurang pada saat duduk, berbaring, dan
posisi fleksi

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a) Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat dalam
posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran kerucut lumbosacral junction,
dan spina dalam posisi fleksi dan ekstensi, diharapkan untuk mendapat informasi
ketidakstabilan segmen maupun deformitas. Penemuan radiografi yang
mengarahkan kecurigaan kepada lumbal stenosis degeneratif adalah pada keadaan
spondilolistesis degeneratif dan skoliosis degeneratif. Untuk pasien dengan
spondilolistesis degeneratif foto polos posisi lateral dibuat dengan pasien dalam
posisi berbaring dan spina dalam keadaan fleksi dan ektensi, bending kanan kiri,
bertujuan untuk melihat pergeseran abnormal pada segmen yang terlibat. Untuk
skoliosis degenerative foto polos AP/lateral dibuat pada plat yang panjang, pasien
dalam posisi berdiri, bertujuan untuk menentukan rentangan kurva S, dan
keseimbangan antara bidang coronal dan sagital, karena ketidakseimbangan di tiap
segmen menjadi tujuan terapi operatif.
b) CT Scan
CT Scan sangat bagus untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek
resesus lateralis. Selain itu dia bisa juga membedakan mana diskus dan mana
ligamentum flavum dari
kantongan tekal (thecal sac). Memberikan visualisasi abnormalitas facet,
abnormalitas diskus lateralis yang mengarahkan kecurigaan kita kepada lumbar
stenosis, serta
membedakan stenosis sekunder akibat fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari
L3 sampai sambungan L5-S1. Namun derajat stenosis sering tidak bisa ditentukan
karena tidak bisa melihat jaringan lunak secara detail

c) MRI

MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis dan


perencanaanoperasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen yang
terkena, sertamengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa
membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral stenosis. Bisa
mendefinisikan flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas sendi facet, osteofit,
herniasi diskus atau protrusi. Ada atau tidaknya lemak epidural, dan kompresi teka
dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik. Potongan sagital juga menyediakan porsi
spina yang panjang untuk mencarI kemungkinan tumor metastase ke spinal.
Kombinasi potongan axial dan sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal
dan neural foramen. Namun untuk mengevaluasi resesus lateralis diperlukan
pemeriksaan tambahan myelografi lumbar dikombinasi dengan CT scan tanpa
kontras.

2.8 PENANGANAN
a) Terapi konservatif
Terapi konservatif dilakukan apabila gejalanya ringan dan durasinya pendek
selain itu kondisi umum pasien tidak mendukung dilakukan terapi operatif
(misalnya pasien dengan hipertensi atau diabetes melitus). Modalitas utama
meliputi edukasi, penentraman hati, modifikasi aktivitas termasuk
mengurangi mengangkat beban, membengkokan badan, memelintir badan,
latihan fisioterapi harus menghindari hiperekstensi dan tujuannya adalah
untuk menguatkan otot abdominal fleksor untuK memelihara posisi fleksi,
penggunaan lumbar corset-type brace dalam jangka pendek, analgesik
sederhana (misal acetaminofen), NSAIDs, kalsitonin nasal untuk nyeri
sedang, injeksi steroid epidural untuk mengurangi inflamasi, golongan
narkotika bila diperlukan, penggunaan akupuntur dan TENS masih
kontroversi. Latihan juga sangat penting antara lain bersepeda, treadmill,
hidroterapi misalnya berenang dapat memicu
pengeluaran endorphin dan meningkatkan suplai darah ke elemen saraf, serta
membantu memperbaiki fungsi kardiorespirasi.

b) Terapi operatif

Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat,


defisit neurologi yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas
sehari-hari dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi
konservatif yang gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan adalah
laminektomi dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi akar
saraf dengan berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa mengurangi gejala
pada tungkai bawah dan bukan untuk mengurangi LBP (low back pain),
walaupun pasca operasi gejala LBP akan berkurang secara tidak signifikan

Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi


dekompresi. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan
ligamentum flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan
level transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf
terperangkap harus didekompresi. Pasien diposisikan dalam posisi pronasi
dengan abdomen bebas, melalui garis tengah tentukan prosesus spinosus.
Untuk mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah benar setengah cranial
dari spinosus caudal dan setengah caudal dari cranial prosesus spinosus
dipotong dengan pemotong ganda. Kanal dimasukkan ke dalam garis tengah
dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal ke cranial
menggunakan Kerrison rongeurs. Bila tulang terlalu tebal gunakan
osteotome atau drill berkecepatan tinggi. Dekompresi dibawa lebih ke lateral
dari pedicle. Facetotomy dilakukan dengan osteotome untuk dekompresi
akar saraf di resesus lateralis. Dekompresi komplit saat pulsasi dural sac
kembali dan venous refilling akar saraf terlihat di foramen dan akar.

saraf kembali mobile. Ruang pada jalan keluar kanal bisa juga
diakses menggunakan kanula tumpul atau bila ada lebih baik menggunakan
umbilical catheter. Laser kanula Doppler berguna untuk menilai kembalinya
aliran darah ke akar saraf. Diskus harus dibiarkan intak walaupun bisa
menyebabkan penekanan pada akar saraf yang menetap yang diikuti juga
penekanan oleh tulang dan jaringan lunak, karena resiko terjadinya
instabilitas pasca operasi dan pengambilan diskus juga lebih sulit dikerjakan.

Dengan kemajuan perencanaan preopertif menggunakan MRI,


laminectomy di Negara-negara maju menjadi semakin jarang dilakukan dan
para dokter bedah spine lebih senang mengerjakan selective spinal
decompression dengan mempertahankan struktur garis tengah. Kebanyakan
kasus spinal stenosis melibatkan segmen pergerakan seperti diksus dan sendi
facet dan bukan segmen yang kokoh (corpus vertebrae, pedicle dan lamina).
Hal ini membuat kemungkinan melakukan dekompresi segmen yang
mengalami stenosis dengan tetap mempertahankan struktur arkus vertebrae.
Keuntungannya adalah proses penyembuhan menjadi lebih singkat,
mempertahankan ketinggian canal dan mengurangi insiden back pain post
operatif, mengurangI imobilisasi terlalu lama dan tidak membutuhklan fusi.
Tujuan dilakukan fusi adalan untuk mengkoreksi instabilitas pada
segmen yang dilakukan dekompresi, mengurangi nyeri pada segmen yang
bergerak dan mencegah spondylolisthesis dan scoliosis kedepannya. Indikasi
fusi tergantung pada keadaan pada keadaan spina sebelum dan setelah
dilakukan operasi, bila dekompresi mengakibatkan segmen tersebut menjadi
tidak stabil maka diperlukan fusi dengan intrumentasi, misalnya pada
pengambilan 50% kedua sendi facet atau 100% pada satu sendi facet saja
(facetectomy) dan ligamen longitudinal posterior atau diskus mengalami
kerusakan (discectomy), maka fusi harus dipertimbangkan untuk dikerjakan.
Namun pada prosedur laminectomy yang deformitasnya stabil dan pada
pasien yang memiliki penyakit komorbid yang bila dilakukan fusi akan
meningkatkan resiko komplikasi, maka fusI tidak dikerjakan

2.9 KOMPLIKASI
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka
kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang lebih
muda, selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut usia yang
akan
mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi menjadi empat
grup, infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian. Kematian berkorelasi dengan
usia dan penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi yang berkaitan dengan
fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli paru, kerusakan
saraf.
Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada instrumen. Komplikasi laminektomi bisa
terjadi fraktur pada facet lumbar, spondilolistesis postoperatif

2.10 TATA LAKSANA NUTRISI


Salah satu bentuk pelayanan gizi diruang rawat inap ialah memberikan terapi
diet bagi pasien rawat inap. Terapi diet yang diberikan pada pasien pasca bedah
ialah diet TETP (Tinggi Energi Tinggi Protein) dengan tahapan pemberian bentuk
makanan disesuaikan dengan kondisi pasien dan jenis penyakit. pada pasien pasca
bedah, biasanya tahapan pemberian diet dimulai dengan tahapan pemberian
makanan dalam bentuk cair dan dilanjutkan dengan makanan lunak. Terapi gizi atau
terapi diet adalah bagian dari perawatan penyakit atau kondisi klinis yang harus
diperhatikan agar pemberiannya tidak melebihi kemampuan organ tubuh untuk
melaksanakan fungsi metabolisme. Terapi gizi harus selalu disesuaikan dengan
perubahan fungsi organ. Pemberian diet pasien harus dievaluasi dan diperbaiki
sesuai dengan perubahan keadaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, baik
pasien rawat inap maupun rawat jalan. Upaya peningkatan status gizi dan kesehatan
masyarakat baik di dalam maupun di luar rumah sakit, merupakan tugas dan
tanggung jawab tenaga kesehatan, terutama tenaga gizi (Depkes, 2013).
Diet Pasca Bedah Menurut Almatsier dalam Kusumayanti (2014), diet pasca
operasi adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani 6
pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam
pembedahan dan jenis penyakit penyerta.
a) Pengkajian Nutrisi Nutrisi sangat berguna untuk menjaga kesehatan dan
mencegah penyakit. Pada pengkajian gizi terdapat akronim A,B,C,D yang dapat
dipergunakan untuk mengidentivikasi pengkajian nutrisi. Meskipun urutan
pengkajian parameter ini dapat berbeda-beda, namun evaluasi status nutrisi tetap
harus menyertakan salah satu metode berikut: (Smeltlzer dan Bare, 2002) -
Pengukuran antropometri (BB,TB,IMT)
- Pengukuran biokimia (albumin, transferin, jumlah limfosit total, elektrolit,
kreatinin)
- Pemeriksaan klinis
- Data diet

b) Jenis Diet Biasanya, jenis diet yang diberikan rumah sakit untuk pasien pasca
bedah ialah diet TETP (Tinggi Energi Tinggi Protein). Diet yang disarankan adalah:
1) Mengandung cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi
2) Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita
3) Menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam)
4) Suhu makanan lebih baik bersuhu dingin
5) Pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai dengan kemampuan dan
kebiasaan makan penderita.
Jenis Diet dan Indikasi Pemberian:
1. Diet Pasca-Bedah I (DPB I) : Selama enam jam sesudah operasi, makanan
yang diberikan berupa air putih, teh manis, atau cairan lain seperti pada
makanan cair jernih
2. Diet Pasca-Bedah II (DPB II) Makanan diberikan dalam bentuk cair
kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata
delapan sampai 10 kali sehari selama pasien tidak tidur.
3. Diet Pasca-Bedah III (DPB III) Makanan yang diberikan berupa makanan
saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml
sehari. Selain itu dapat memberikan makanan parenteral bila diperlukan.
Makanan yang tidak dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan
minuman yang mengandung karbondioksida.
4. Diet Pasca-Bedah IV (DPB IV) Makanan diberikan berupa makanan lunak
yang dibagi dalam tiga kali makanan lengkap dan satu kali makanan
selingan.

c) Kebutuhan Energi, Protein dan Zat Besi Kebutuhan energy seseorang menurut
WHO dalam Almatsier (2009) adalah Asupan Energi yang berasal dari makanan
yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai
ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktifitas yang sesuai dengan kesehatan
jangka panjang dan yang memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang
dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi terbesar pada umumnya
diperlukan untuk metabolisme basal. Dengan pengertian lain, bahwa perhitungan
kebutuhan energi salah satunya dipengaruhi oleh Aktivitas Fisik seseorang. Hal ini
sejalan dengan pendapat Supariasa (2002) yang mengatakan bahwa kebutuhan tubuh
akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor antara lain Angka Metabolisme Basal,
tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik, dan faktor yang bersifat relatif yaitu gangguan
pencernaan, perbedaan daya serap, dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran
dari zat gizi tersebut dalam tubuh.
BAB III

GAMBAARAN UMUM PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : Ny. T
Tanggal Lahir : 16 September 1977
Umur : 74 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Katolik
Suku/Bangsa : Cina/Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Jenis : BPJS Mandiri
Diagnosa : Post Op Lumbal Spinal Canal Stenosis
Ruang/Kamar :Bedah Kamar 4 Lantai 3
No. RM : 00-00-55-78-97
Tanggal Masuk RS : 19 Agustus 2019
Diagnosa Penyakit : Post Op Lumbal spinal canal stenosis

3.2 Hasil Skrining


Skrining gizi dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2019. Hasil skor skrining gizi adalah “2”
yang berarti pasien perlu asuhan gizi dan dilakukan intervensi

3.3 Assessmen
1. Data Subyektif
a. Keluhan pasien
1) Lemas
2) Kesulitan mengunyah makanan
3) Nyeri pinggang
Kesimpulan : Pasien mengeluh lemas dan kesulitan mengunyah makanan

Riwayat penyakit

1) RPD = operasi canal stenosis paa tahun 2018


2) RPS = post op canal stenosis
Kesimpulan :Diagnosa medis pasien untuk saat ini adalah post op canal stenosis
b. Riwayat Personal
Pasien post op canal stenosis hari ke-6
Riwayat obat :
Paracetamol =3X1
Metilprednison =3X1
Ranitidin =2x1
levoploxacin = 500mg/hari
infus = RL

c. Kebiasan hidup
1) Aktivitas sebelum MRS adalah Ibu rumah tangga.
2) Aktifitas fisik sekarang adalah berbaring di tempat tidur.

d. Riwayat Diet
1. Kebiasaan makan pasien dirumah:
Frekuensi makan : 3-x makan utama

a) Makanan pokok: nasi 1 piring sdg tiap kali makan


b) Lauk hewani: daging,ayam, telur 1 ptg tiap kali makan
c) Lauk nabati : tahu atau tempe goreng setiap hari 1 ptg sdg tiap kali makan.
d) Sayur: semua jenis sayuran, hanya makan sayur 3-4 kali dalam seminggu
e) Buah : pepaya, pisang, jeruk
f) Snack : kentang gorang, roti boy
g) Minum : air putih setiap kali makan
h) Tidak ada alergi.

2. Data Obyektif
a. Antropometri
1) Tinggi lutut = 45 cm
Estimasi TB = 148,75 kg
BB = 55 Kg
Eestimasi Bbi = 48,75
2) LLA = 25cm
Nilai medium = 30,3cm
25
% LLA = x 100 % = 82,5 %
32,930.3
Kriteria LLA = 60% - 90% → status gizi kurang
Kesimpulan:
Status gizi pasien menurut LLA yaitu gizi kurang
b. Biokimia
1) HGB = 9.4 gr/dl → Rendah (N = 11-16)
2) albumin = 2,55 → Rendah (N = 3,5-5,9)
c. Klinik/ Fisik
1) TD = 130/70 mmHg → Normal (N=110/70-140/90 mmHg)
2) Suhu =360C → Normal (N=36-370C)
3) Nadi = 80x/menit → Normal (N=60-100x/menit)
4) RR = 20x/menit → Normal (N= 20-30x/menit)
5) GCS = 456
6) Nyeri pinggang
7) Pucat
8) Lemas
9) Kehilangan lemak subkutan (trisep dan bisep)
10) Odema ringan di kedua kaki
11) Kesullitan mengunyah makanan
Kesimpulan: Pasien mengeluh nyeri di pinggang, lemas dan kesulitan
mengunyah . Pasien kehilangan lemak subkutan di lengan.

d. Dietary History
Hasil recall tanggal 26 Agustus 2019 (saat mengambil data dasar)
1) Energi = 606,25 kkal (42,1%) → kurang
2) Protein = 14,8 gr (25,6%) → kurang
3) Lemak = 18,85 gr (58,9%) → kurang
4) Karbohidrat = 98,35gr (42,7%) → kurang

Recall tanggal 27 Agustus 2019


1) Energi = 1332,7 kkal (92,5%) → Normal
2) Protein = 39,97 gr (69,39%) → kurang
3) Lemak = 29,97 (93,6%) → normal
4) Karbohidrat = 235,17gr (102,3%) → lebih

Recall tanggal 28 Agustus 2019


5) Energi = 1334,8 kkal (92,7%) → Normal
6) Protein = 44,35 gr (77%) → kurang
7) Lemak = 33,34 gr (104,2%) → lebih
8) Karbohidrat = 222,46 gr (96,5%) → Normal

Kesimpulan:

Semua asupan makan pasien sudah mencukupi kebutuhan kecuali protein


yang masih kurang dari kebutuhan

e. Standar Pembanding

Kebutuhan Energi

 Energi 1440 kkal

Kebutuhan Zat Gizi Makro

 Protein 1.2 gr/Kg BB


 Lemak 16% dari total kebutuhan
 Karbohidrat 64% dari total kebutuhan

Perhitungan Kebutuhan Gizi

Kebutuhan gizi pasien setelah operasi

1)Perhitungan kebutuhan energi

Energi = 30 kkal x kg BB

= 30 kkal x 48 kg = 1440 kkal


2)Perhitungan zat gizi

Protein = 1,2 x Kg BB

= 1,2 x 48

= 57,6 gr = 16 %

Lemak = 20 % x Energi/9

= 20% x 1440/9

= 32 gr

KH = 64% x energy/4

= 65% x 1440/4

= 230gr

Syarat diet

 Energi diberikan untuk memenuhi kebutuhan sehari yaitu 1440 kkal


 Protein diberikan tinggi 1,2 gr/Kg BB atau 57,6 gr perhari
 Lemak diberikan cukup yaitu 16% atau 32 gr perhari
 Karbohidrat diberikan cukup yaitu 65% dari total eenergi atau 230 gr
3.4 Diagnosa Gizi
(NI-1.2) Asupan energi inadekuat berkaitan degan kesulitan mengunyah (menggunakan
gigi palsu) ditandai dengan asupan E:(42,1%),P:(25,6%),L :(58,9%), Kh: (42,7%) yang
kurang dari kebutuhan, status gizi kurang, anemia, hypoalbumin, penurunan lemak
subkutan dan odema

3.5 Intervensi Gizi dan Edukasi/Konseling Gizi


a. Tujuan Intervensi:
Memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi penyakit pasien
untuk mencegah malnutrisi.
b. Preskripsi diet
- ND.1.1 Diet pasca bedah 1800 kkal, protrin 54 gr, lemak 40 gr, karbohidat
417,8 gr
- ND.1.2.1.1 modifikasi tekstur makanan yang mudah digigit
Bentuk makanan : lunak (nasi tim)
- ND.1.3 Frekuensi 3 kali makan utama 1 kali snack
c. Tujuan Edukasi :
 TujuanUmum:
Sasaran mampu mengerti dan memahami tentang diet pasca bedah lumbal spinal
canal stenosis
 Sasaran:Pasien dan keluarga
 Waktu:15 menit
 Pengembangan ketrampilan dengan metode:Ceramah dan Demonstrasi
 Alat peraga: Leafleat
 Topik terkait dengan materi:
1. Diet pasca bedah
2. target asupan pasien yang haus dicapai yaitu 80% dari makanan yang
disajikan rumah sakit dan 100% untuk lauk yag disajikan rumah sakit
Evaluasi:
Menanyakan kembali materi yang telah diberikan. Sasaran mampu menjawab
semua pertanyaan yang telah diberikan.

d. Monitoring dan Evaluasi Gizi


1. Melakukan monitoring terhadap ketepatan diet dari asupan energi, protein,
lemak, karbohidrat dan cairan.
2. Melakukan monitoring terhadap keluhan dan keadaan fisik/klinik pasien
3. Melakukan monitoring terhadap data penunjang terkait yaitu HB dn albumin
4. Melakukan monitoring terhadap kepatuhan pasien dalam menjalankan dietnya
dan kepatuhan keluarga pasien dalam memberikan makanan untuk pasien.
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengambilan data yang telah dilakukan selama 3 hari pada tanggal
26-28 Agustus 2019 di ruang Bedah Kamar 4 Lantai 3 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya,
didapatkan hasil diagnosa akhir bahwa pasien yang bernama Ny. T didiagnosa post op
Canal Stenosis.Berikut pembahasan hasil pengamatan :
4.1 Antropometri
Pemantauan data antropometri pasien yang diamati berdasarkan LLA selama 2
hari, yaitu pada tanggal 26-28 Agustus 2019, adapun hasil pegukuran antropometri
pada awal dan akhir kegiaatan dapaat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1 data antropometri – status gizi pasien
Tanggal ppengamatan LLA (cm) % LLA Status gizi
26 Agustus 2019 25 82,5% Status gizi kurang
27 Agustus 2019 25 82,5% Status gizi kurang

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa selama pelaksanaan studi kasus
dilakukan 2 kali pengukuran data antropometri, yakni pada awal dan akhir pelaksanaan
studi kasus, dan dari hasil yang ada menunjukan tidak terjadi perubahan lingkar lengan
atas pada pasien, hal ini terjadi karena lingkar lengan atas tidak dapat berubah dalam
waktu hanya beberapa hari. Status gizi pasien pada saat assessment dan setelah di
monitoring evaluasi tetap yaitu status gizi kurang .

4.2 Biokimia
Tabel 5.2 data perkembangan hasil pemeriksaan laboratorium.
Tanggal
Nilai Lab Nilai normal
26-08-2019 27-08-2019 28-08-2019
HGB 9,4 8,4 - 11-16g/dl
Albumin 2,55 2,4 - 3,5-5,5 gr/dl

Pemeriksaan laboratorium dilakukan dua kali kali yaitu pada tanggal 24 Agustus 2019
dan tanggal 27 Agustus 2019. Selama dilakukan pengamatan nilai biokimia terjadi
perubahan . Pada pemeriksaan tanggal 24 Agustus 2019 hasil Albumin menunjukan
dibawah normal yaitu 2,55 (N:3,5-5,5) dan Hemoglobin menunjukan dibawah normal
yaitu 9,4 (N:11-16gr/dl). Pada pemeriksaan tanggal 27 Agustus 2019 menunjukan bahwa
nilai albumin semakin menurun yaitu 2,4 gr/dl dan haemogobin juga semakin menurun
yaitu 8,4 gr/dl. Karena nilai Albumin yang semakin turun pasien mendapat albumin tablet
3 x 2 untuk meningkatkan albumin. Pasien juga mendapat tindakan transfusi darah pada
tanggal 27 dan 28 Agustus 2019 sebanyak 1 x 350 ml per hari.
4.3 Fisik klinis
Pemeriksaan fisik klinis dilakukan pada hari pertama studi kasus sampai hari terakhir
pelaksanaan studi kasus (27-28 Agustus 2019). Adapun data hasil perkembangan
pemeriksaan klinis dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.3 data perkembangan klinis
Pemeriksaan Tanggal Nilai Normal
26-8-2019 27-8-2019 28-8-2019
Tekanan darah 130/70 130/70 120/80 120//80 mmHg
Nadi 80 85 88 80-100 x/menit
Suhu 36 36 36 36-370C
RR 20 20 20 20-30
KU Lemas Lemas Lemas
GCS 4-5-6 4-5-6 4-5-6

Tabel 5.4 data perkembangan fisik


Keadaan fisik 26-08-2019 27-08-2019 28-08-2019
Nyeri Pinggang ++ ++ ++
Pucat ++ ++ ++
Lemas ++ + +
Kehilangan lemak ++ ++ ++
subkutan
Odema ++ ++ ++
Kesulitan +++ + +
mengunyah
makanan

Data fisik klinis pasien selama 3 hari pengamatan diketahui tekanan darah pada awal
pengamatan sampai hari terakhir pengamatan normal. suhu normal, nadi normal, respirasi
rate (RR) normal, keadaan umum lema dan kesadaran composmentis GCS 456. Pada hari
kedua pasien meenegalami penurunan kesulitan mengunyah dikarenakan bentuk makanan
pasien sudah dimodifikasi menjadi makanan lunak.

4.4 Evaluasi dan Monitoring asupan makanan


Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan energi pasien didapat hasil kebutuhan
energi pasien per hari adalah 1440 kkal, protein 57,6 gr, lemak 32 gr, dan karbohidrat 230
gr. Pasien mendapatkan diet NB (Nasi biasa) 2000 kkal. Makanan yang diberikan rumah
sakit sebenarnya melebihi 28% dari kebutuhan pasien yang hanya 1440 kkal. Sehingga
wajar bila pasien tidak mampu menghabiskan semua makanan yang disajikan rumah
sakit, selain itu pasien juga mengalami kesulitan mengunyah dikarenakan pasien
menggunakan gigi palsu dan mendapat diet NB (Nasi biasa) dimana tekstur makanannya
sulit dikunyah pasien. Oleh karena itu pada tanggal 27 Agustus 2019 bentuk makanan
pasien dimodifikasi menjadi NT (Nasi Tim)1800 kkal. Karena porsi makanan rumah sakit
tidak bisa dirubah maka ada edukasi ke pasien bahwa makanan yang disajikan rumah
sakit hanya boleh dihabiskan 75% saja tetapi lauk hewani dan nabati harus dihabiskan.
Hari pertama pengamatan yaitu menggali data berupa recall 24 jam untuk mengetahui
asupan makan pasien. Setelah dilakukan pengamatan hari pertama maka dilakuakan
perencanaan asuhan gizi dan memonitoring keadaan pasien selama 2 hari .Setelah
dilakukan monitoring dan evaluasi, diketahui asupan makan pasien selama 2 hari, dengan
intervensi tanggal 26-28 Februari 2015. Intervensi hari pertama Diet NT 1800 Kkal dan
Intervensi hari kedua Diet NT 1800 Kkal, hasilnya dapat dilihat dalam grafik berikut.

Tabel 5.5 data perbandingan asupan makan dan kebutuhan pasien


Tanggal Pengamatan E P L KH
(kkal) (gr) (gr) (gr)
26-08-2019 Asupan 606,25 14,8 18,85 98,35
Kebutuhan 1440 57,6 32 230
% Asupan 42,1% 25,6% 58,9% 42,7%
Keterangan Kurang Kurang Kurang Kurang
27-08-2019 Asupan 1332 39,97 29,97 235,17
Kebutuhan 1440 57,6 32 230
% Asupan 92,5% 69,35% 93,6% 102,3%
Keterangan Baik Kurang Baik Lebih
28-08-2019 Asupan 1334,8 44,35 33,34 222,46
Kebutuhan 1440 57,6 32 230
%asupan 92,7% 77% 104,2% 96.5%
Keterangan Baik Kurang Baik Baik

Evaluasi terhadap makanan yang dikonsumsi pasien merupakan upaya untuk


mengetahui daya terima terhadap makanan yang disajikan serta nafsu makan pasien
selama dirawat dirumah sakit. Untuk itu dilakukan recall 1x24 jam dan dilakukan
pengamatan. Diet yang diberikan pada pasien adalah diet NT (Nasi Tim) 1800 kkal.
120.0%

100.0% 104.2%
102.3%
96.5%
93.6%
92.5% 92.7%
80.0%
77.0%
69.4% asupan energi
60.0%
asupan protein
58.9%
asupan lemak
40.0% asupan karbohidrat
42.7%
42.1%

20.0%
25.6%

0.0%
8/26/2019 8/27/2019 8/28/2019

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan maka didapatkan kebutuhan energy


pasien sebesar 1440 kkal, protein sebesar 57,6 gr, lemak sebesar 32 gr dan karbohidrat
230 gr. Selama pengamatan selain mendapatkan makanan dari rumah sakit pasien juga
mendapat asupan dari luar rumah sakit. Adapun hasil pengamatan asupan makan pasien
dapat dilihat pada grafik dibawah ini
a) Asupan energi
Zat-zat gizi yang dapat memberikan energy adalah karbohidrat,protein dan lemak.
Metabolism zat-zat gizi ini akan menghasilkan energy yang diperlukan tubuh untuk
melakukan aktifitas fisik, untuk bekerjanya organ-organ tubuh seperti sirkulasi darah
dan pernafasan, memulihkan stamina serta mempertahankan status gizi.
Asupan energy pasien pada hari pertama hingga hari terakhir studi kasus dapat dilihat
pada grafik 1.1 berikut:

Grafik perbandingan antara persentase asupan energi dengan


persentase kebutuhan energi
100% 100%
100.0% 92.5% 100%
90.0% 87.5%
80.0%
70.0%
Energi (%)

60.0% Asupan Energi


50.0% 42.1% (%)
40.0% target asupan
30.0% energi (%)
20.0%
10.0%
0.0%
Recall 24
jam Hari 1
Hari 2

Grafik 1.1 asupan energy selama asuhan gizi


Dari grafik diatas menunjukan bahwa asupan pasien masih sudah memenuhi
kebutuhan. Pada hari ke-1 intervensi asupan pasien meningkat dari hari sebelumnya,
hal ini dikarenakan modifikasi bentuk makanan pasien yang sebelumnya pasien
mendapat diet NB menjadi NT, dimana makanan diet NT memiliki tekstur yang lebih
lunak dibanding diet NB sehingga memudahkan pasien mengunyah makanan dan
meningkatkan asupan makan pasien.

b) Asupan protein

Grafik perbandingan antara persentase asupan dengan persentase


kebutuhan protein 100%
100% 100%
100.0%
Asupan
80.0% 69.4% 77.0% Asupan
Protein (%)

Protein (%) protein


60.0%
target asupan
40.0% 25.6% Protein (%) pasien
20.0% mengalami
0.0%
peningkatan
Recall 24
Hari 1
jam Hari 2 pada hari ke
1 intervensi
yaitu sebanyak 43,8% dan meningkat hari ke 2 sebesar 7,61%. Sampai studi kasus
berakhir asupan protein pasien masih belum terpenuhi. Protein membantu
meningkatkan kadar albumin dan haemoglobin dalam darah karena dalam proses
pembentukan haemoglobin membutuhkan protein sebagai bahan bakunya sehingga
apabila kebutuhan protein tidak terpenuhi maka kadar haemoglobin akan terus
berkurang.

c) Asupan lemak

Grafik perbandingan antara persentase asupan dengan persentase


kebutuhan lemak
120.0%
100% 100%
93.6% 102.4%
100%
100.0%
80.0% Asupan
Lemak (%)

58.9% Lemak (%)


60.0% Kebutuha
n Lemak
40.0% (%)
20.0%
0.0%
Recall 24 jam
Hari 1
Hari 2

Berdasarkan grafik diatas hasil pemantauan asupan lemak pasien selama 3 hari mengalami
kenaikan. Asupan lemak pasien meningkat 34,7 % pada hari pertama intervensi dan
meningkat 8,8 % pada hari kedua intervensi.

d) Asupa
Grafik perbandingan antara persentase asupan dengan persentase kebutuhan
karbohidrat n
120.0%
100% 102%100%
100.0% 96%100%
Karbohidrat (%)

80.0%

60.0% Asupan KH (%)


43%
Kebutuhan KH (%)
40.0%

20.0%

0.0%
Recall 24 jam
Hari 1
Hari 2

karbohidrat
Berdasarkan hasil pemantauan asupan selama 3 hari, persentase asupan karbohidrat
berdasarkan grafik diatas asupan karbohidrat meningkat Pada hari ke-1 intervensi, asupan
karbohidrat naik sebesar 59,3% dan hari ke-2 asupan karbohidrat turun sebesar 6%.

BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil asuhan gizi yang telah dilakukan dan pemantauan selama 3 hari pada
pasien di bagian Bedah Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, dapat disimpulkan :

a) Hasil Skrinning

Berdasarkan hasil skrinning gizi dewasa didapatkan hasil skor 2 (Beresiko Malnutrisi).

b) Hasil assesmen

Seorang perempuan berusia 74 tahun dengan status gizi tergolong Gizi Kurang berdasarkan
LLA/U=89,55%. Mengalami penurunan berat badan sebesar 7kg(11,6%) dalam kurun waktu
kurang lebih tiga bulan.Pasien mempunyai riwayat penurunan jumlah asupan makan (<50%
dari kebutuhan AKG) dalam jangka waktu cukup lama yaitu kurang lebih tiga bulan serta
riwayat hipoalbumin.
c) Pasien nampak kurus, lemah, oedema kedua tungkai kaki dan asites tingkat ringan,
mual, bibir kering, mata kuning, penurunan lemak subkutan dan masa otot, jaundice.
Aktifitas pasien ditempat tidur dan terpasang catteter. Pasien tersedak bila
mengonsumsi makanan cair dengan cara cepat (sedotan). Pasien mendapat nutrisi
enteral berupa makanan cair berbahan susu 6x200cc lewat oral dan parenteral berupa
Triofusin E1000=1000ml, Aminofusin hepar=500ml, futrolit=500ml lewat
CVP(bahu).
d) Kebutuhan energi sebesar 2.311,2 kkal, protein sebesar 79,5gram, lemak sebesar
43,7gram, dan karbohidrat sebesar 400,1gram, dengan prinsip diet yaitu rendah lemak
(diutamakan jenis sesuai indikasi yaitu lemak MCT)

e)
NUTRITION CARE PROCESS
4.1 Data Personal

Nama : Ny T Diagnosa Medis : Post Op Canal Stenosis

Usia : 74 tahun Tanggal Masuk RS : 19 Agustus 2019

Ruang : Bedah Kamar 4 Lantai 3 Tanggal Assesment : 26 Agustus 2019

Tanggal Intervensi : 27 Agustus 2019 - 28 Agustus 2019

4.2 Asuhan Gizi pada Pasien Ny T

Tabel 1. Tabel Asuhan Gizi pada Ny T

ASSESMENT DIAGNOSA GIZI INTERVENSI


(PES) RENCANA
Data Dasar Identifikasi Terapi Diet TERAPI EDUKASI MONEV

Masalah
- FH Riwayat Terkait Gizi & Asupan oral (NI-1.2) Asupan Tujuan E.1 Edukasi Gizi 1.Asupan
Makanan kurang dari energi inadekuat makan pasien
1. Meningkatkan Tujuan :
kebutuhan berkaitan degan dipantau
FH.1.1.1 energi total 606,25 kkal asupan oral dengan
kesulitan 1. Pasien dan setiap hari
(42,1%) dari kebutuhan pengetahuan cara memodifikasi
mengunyah keluarga mengerti 2. Keadaan/
yang kurang bentuk makanan
FH.1.2.2 asupan makanan nasi biasa (menggunakan gigi tentang diet pasca kondisi fisik
berkaian dengan target 80%
25% dari penyajian makan di Rumah palsu) ditandai bedah an klinis
tentang diet dari makanan yang
Sakit dengan asupan pasien seiap
yang diberikan disajikan ruah sakit
Sasaran : hari
FH.1.5.1 asupan lemak 18,5 gr E:(42,1%),P:
(58,9%) dari kebutuhan Pasien dan keluarga 3.Kepatuhan
FH.1.5.2 asupan protein 14,8 gr (25,6%),L : Pasien pasien dalam
(25,6%) dari kebutuhan (58,9%), Kh: Preskrisi Diet menjalankan
FH1.5.3 asupan karbohidrat 98,35 (42,7%) yang Waktu : dietnya dan
- ND.1.1 Diet pasca
gr(42,7%) kurang dari kepatuhan
bedah 1800 kkal, 10-15 menit
FH.2.1.1 mendapat diet dari rumah kebutuhan, status keluaga
protrin 54 gr, lemak
sakit nasi biasa E:2001,8 kkal, P:56 gizi kurang, Tempat : pasien dalam
40 gr, karbohidat
gr, L: 51,8 gr, KH:337,8 gr anemia, Ruang Rawat Inap memberikan
417,8 gr
FH.4.1 belum mengetahui tentang hypoalbumin, makanan
- ND.1.2 Bentuk Metode :
diet yang diberikan (diet pasca penurunan lemak untuk
lunak (tim) per oral
bedah) subkutan dan Motivasi dan tanya pasiennya
- ND.1.3 Frekuensi 3
odema
kali makan utama 1 Jawab
status gizi
kali snack
Materi :
kurang
- AD Antropometri
1. Diet pasca bedah
AD.1.1.1 estimasi TB = 148,75
2. Taget asupan
beerdasarkan tinggi lutut = 45 cm
pasien yang harus
AD.1.1.2 berat badan pre op 55 Kg, dicapai pasien
estimasi berat badan dari estimasi yaitu 80% dari
tinggi badan berdasarkan tinggi lutut makanan yang di
48,75 kg sajikan rumah
sakit dan 100%
AD.1.1.7 status gizi kurang
untuk lauk yang
berdasarkan %LLA = 82,56% (gizi Anemia
disajikan rumah
kurang)
Hypoalbumin sakit
- BD Data Biokimia
BD.1.10.1 Hb 9,4 g/dl, kategori
rendah karena kurang asupan protein
peningkatan
BD.11.1 Albumin 2,55 gr/dl, kebutuhan
kategori rendah karena kurang energi pasca
asupan protein bedah

- PD Focused Physical Finding kapasitas


fungsional
PD.1.1.1 Asthenia (lemah)
menurun
PD.1.1.2 kehilangan lemak subkutan
tanda
PD.1.1.6 oedema ada di kedua kaki malnutrisi
tingkat sedang
kesulitan
PD.1.1.18 menggunakan gigi palsu mengunyah
untuk makan makanan

- CH Riwayat Personal

CH.1.1.1 usia 74 tahun

CH.1.1.2 Jenis kelamin perempuan

CH.1.2.2 perawatan pasca bedah


canal stenosis

CH.3.7 Agama Kristen

- CS Standar Pembanding
CS.1.1 Kebutuhan energi
30kal/KgBB = 30x48= 1440 Kkal

CS.2.1 kebutuhan lemak 20% dari


energi total= 32 gr

CS.2.2 kebutuhan protein 1,2gr/Kg


BB = 57,6 gr = 16% dari total energi

CS.2.3 Kebutuhan Karbohidrat 94%


dari energi total = 230 gr

Syarat Diet:

1. Energi yang diberikan untuk


memenuhi kebutuhan sehari
yaitu 1440kkal
2. Protein diberikan tinggi
sebesar 57,6 gr
3. Lemak diberikan cukup 32 gr
4. Karbohidrat diberikan 230 g
Tabel 2. Monitoring dan Evaluasi

Rencana
Antropome Identifikasi
Tanggal Biokimia Klinis / Fisik Dietery Edukasi Tindak
tri Masalah Baru
Lanjut
27/08/19 - Albumin : 2,47 gr/dl Klinis : Diet lunak (nasi Asupan protein Menyarankan
Dibeerikan tablet tim) tidak adekuat, membawa
T : 130/70
albumin 3 x 2gr /hari pasien hanya makanan dari
Asupan:
N : 85°c mampu luar rumah
Hb : 8,2 gr/dl E : 92,5% menghabiskan sakit sebagai
S : 36,8
HCT : 24,8 % P : 69,39% 69,39% dari tambahan
RR : 20
Transfusi darah 1 x yang diasjikan protein beupa
L : 93,6 %
350 ml/ hari selama Fisik : rumah sakit putih telur 2
3 hari KH : 102,3 % btr (1 penukar)
Odema
tingkat ringan Sisa makanan:
(2+) 26 % (asupan 74
%)

Kepatuhan
pasien baik,
mampu
menghabiskan
74% makanan
yang disajikan
rumah sakit
28/08/19 - - Klinis : Diet lunak (nasi Tujuan : Asupan protein Menyarankan
tim) tidak adekuat, mengganti lauk
T : 120/70 Pasien dan
pasien hanya hewani yang
Asupan oral : keluarga
N : 88°c mampu tidak
mengerti tentang
E:92,7% menghabiskan dikonsumsi
S : 36,3 bahan makanan
P : 77% 65% dari yang dengan lauk
RR : 20 penukar
diasjikan hewani dari
L : 104,2 %
Fisik : rumah sakit luar rumah
Sasaran :
KH : 96,5% sakit yang
Fisik :
Pasien dan disukai dengan
70% + putih
Odema keluarga porsi yang
telur 2 btr (dr
tingkat ringan Pasien sama
luar rs)
(2+)
Edukasi:
Tidak Waktu :
mengkonsumsi Penukar bahan
10-15 menit
1 lauk hewani makanan yang
(siang) karena Tempat : mengandung
amis Ruang Rawat protein

Inap
Metode :

Motivasi dan
tanya

Jawab

Materi :

Bahan

makanan yang
dapat saling
ditukar dengan
mempunyai
jumlah zat gizi
yang setra
dengan energi,
protein, lemak
& karbohidrat

Anda mungkin juga menyukai