Anda di halaman 1dari 22

STUDI PEMANFAATAN GAMBUT ASAL SUMATRA :

Tinjauan fungsi gambut sebagai bahan ekstraktif, media budidaya dan peranannya dalam retensi carbon

I.P. Handayani
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu, Sumatra

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat baik secara in-situ
(untuk budidaya pertanian dalam kondisi tergenang atau terdrainase) dan eks-situ (sebagai bahan ekstraktif).
Serangkaian riset telah dilaksanakan di Sumatra dengan menggunakan gambut yang berasal dari wilayah
Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatra Selatan dan Lampung guna mengkaji aspek pemanfaatan gambut untuk
budidaya tanaman tanaman melalui aktivitas-aktivitas, seperti drainase dan pemupukan serta kajian potensi
gambut sebagai bahan amelioran dan asam humat untuk penstimulan proses agradasi lahan kering marginal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan drainase pada tanah gambut dapat meningkatkan emisi gas
karbondioksida hingga 15-20% dibandingkan apabila tidak didrainase. Pemanfaatan air gambut asal
Lampung Utara sebagai bahan humat yang dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh
nyata terhadap sifat-sifat tanah Latosol. Pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah
meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar, kejenuhan basa dan pH tetapi
menurunkan KTK dan P-tersedia. Pemberian pupuk Cu dosis 10 kg ha -1 CuSO4 telah menunjukkan perbaikan
pertumbuhan dan keragaan tanaman padi. Pemupukan dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P2O5/ha telah
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA
dosis 135 kg P2O5/ha tidak berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah
meningkatkan kadar N total, dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K tersedia. Varietas-
varietas padi lokal yang mampu beradaptasi dengan potensi hasil tinggi pada lahan gambut di Bengkulu
adalah padi Batik, Jambi Alus, Bugis dan Duku. Sedangkan varietas padi yang adaptif dan berumur genjah
adalah padi Siam dan Gembira Kuning. Penggunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran untuk
perbaikan kesuburan tanah marginal Ultisol menunjukkan gambaran hasil terbaik setelah 30-40 hari aplikasi
dengan pemberian aktivator asal ruminansia dan batuan fosfat dosis 10%. Perbaikan kesuburan tanah nampak
terjadi pada kemasaman tanah, kandungan bahan organik, fosfor, sulfur dan kalium. Asam humat yang
diekstraksi dari air gambut asal wilayah Lampung memberikan pengaruh yang bervariasi pada tanaman, tetapi
secara umum berpotensi sebagai zat pengatur tumbuh alami. Pola perubahan lahan gambut mempengaruhi
potensi mineralisasi N dan C, dengan indikasi tertinggi pada kondisi aerob suhu 30oC. Aplikasi bahan
ameliorasi berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menekan kehilangan C dari gambut
dalam bentuk CO2 dan CH4 hingga 27%. Namun demikian kajian yang lebih komprehensif-multidisiplin
masih diperlukan. Hasil-hasil penelitian juga menggambarkan bahwa pendayagunaan gambut asal Sumatra
telah meluas sehingga dampaknya terhadap lingkungan secara global perlu ditinjau kembali. Pembenahan di
dalam program pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman
dan faktor keamanan ekologis, sehingga lahan-lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung
stabilitas lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek aboveground
biomass dan belowground. Selanjutnya, upaya-upaya pengelolaan gambut secara terpadu diharapkan dapat
menekan resiko pencemaran lingkungan, dalam kaitannya dengan penurunan dampak gas rumah kaca,
sekaligus tetap dapat mempertahankan fungsi sumber daya gambut sebagai aset alam untuk budidaya.
_____________________________________________________________________________________
Kata-kata kunci : CuSO4, Gambut, Karbondioksida, Metan, Nitrogen, Fosfat, Padi, Sumatra, Ultisol

PENDAHULUAN
Luasan lahan gambut di dunia adalah sekitar 424 juta ha (Kalmari, 1982) dan sekitar 38 juta
ha terdapat di wilayah tropis (Friends of the Earth, 1983). Sebagian besar lahan gambut di wilayah
tropis terdapat di Indonesia yaitu seluas 20.10 juta ha dan di Malaysia dengan luasan sekitar 2.7 juta
ha (Vijarnsorn,1996). Di Indonesia, mayoritas lahan gambut ditemukan di luar P. Jawa dengan
luasan sekitar 6.45% dari luas lahan gambut di dunia (Neue et al., 1997).
Ditinjau dari potensi pemanfaatan gambut yang beragam maka lahan gambut merupakan
sumberdaya penting yang harus dilestarikan fungsinya, walaupun pada awal dekade 1970-an, lahan
gambut yang merupakan bagian dari lahan-lahan basah atau rawa dianggap sebagai Awastelands@.
Saat ini lahan gambut telah menjadi pusat perhatian dunia karena fungsi dan peranannya dalam
perbaikan atau penurunan kualitas lingkungan global tergantung pada pola pengelolaan gambut,
terutama di wilayah tropis.
Tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2.8-4.5 dan kemasaman potensial
mencapai >50 cmol kg-1. Ketersediaan unsur-unsur makro, N,P,K serta sejumlah unsur mikro pada
umumnya juga rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut cukup tinggi apabila dihitung
berdasarkan berat bahan kering mutlak (115-270 cmol kg-1), tetapi relatif lebih rendah bila dihitung
berdasarkan berat volume tanah di lapangan. Kejebuhan basa (KB) tanah gambut biasanya rendah
pada kisaran 5.4-13% dengan rasio C/N tinggi yaitu 24-33.4 (Suhardjo & Widjaya-Adhi, 1976).
Gambut Indonesia memiliki karbohidrat yang sangat rendah, dan sifatnya berbeda dengan gambut
yang berada di daerah subtropis.
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh
penduduk lokal, bahkan akhir-akhir ini pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk
ekstensifikasi usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Selain itu,
pemanfaatan gambut sebagai bahan amelioran juga banyak dilakukan, khususnya untuk perbaikan
teknologi budidaya pada tanah-tanah mineral. Namun demikian, keberhasilan pemanfaatan gambut
baik untuk usaha budidaya maupun sebagai bahan ekstraksi masih jauh dari yang diharapkan, karena
ada kendala yang berasal dari sifat-sifat gambut bawaan (inherent properties) serta paket teknologi
reklamasi yang diterapkan belum memadai. Penerapan paket teknologi untuk reklamasi gambut
biasanya menyebabkan dekomposisi lanjutan berlangsung lambat, baik secara fisik maupun
biokimia, karena bahan dasar gambut didominasi oleh lignin dengan konsentrasi sekitar 64-74%

2
(Driessen & Suhardjo, 1976).
Keragaman pemanfaatan gambut baik secara eks situ maupun in situ telah berdampak pada
lingkungan dan sekaligus turut merubah sifat-sifat gambut. Oleh karena itu, kuantifikasi dampak
pemanfaatan gambut perlu diungkap agar dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut di masa
mendatang dapat lebih menyelaraskan antara kepentingan berbasis nilai manfaat ekonomis dengan
nilai fungsi ekologis gambut sebagai suatu aset budidaya.
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas berbagai studi yang telah dilaksanakan, baik dari aspek
manfaat gambut sebagai bahan ekstraksi dan media tempat tumbuh tanaman serta peranannya dalam
melepaskan dan menyimpan C dalam kaitannya dengan aktivitas reklamasi. Dalam hal ini rangkaian
studi yang diketengahkan akan difokuskan pada tanah-tanah gambut kawasan tropis, khususnya
gambut asal Sumatra (Bengkulu, Lampung, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi).

PROSES PEMBENTUKAN TANAH GAMBUT

Gambut terbentuk akibat proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi
secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya.
Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang
air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Vegetasi pembentuk
gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau tergenang, seperti bakau (mangrove),
rumput-rumput rawa dan hutan air tawar.
Di daerah pantai dan dataran rendah, akumulasi bahan organik akan membentuk gambut
ombrogen di atas gambut topogen dengan hamparan yang berbentuk kubah (dome). Gambut
ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun dengan ketebalan
hingga puluhan meter. Gambut tersebut terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya tergantung
pada input unsur hara dari air hujan dan bukan dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air
tanah, sehingga tanahnya menjadi miskin hara dan bersifat masam.
Gambut ombrogen umumnya terbentuk dari akumulasi bahan-bahan berkayu selama kurang
lebih 4000-5000 tahun yang lalu (Anderson, 1983). Menurut klasifikasi FAO-UNESCO, tanah
gambut termasuk ordo Histosol dengan kandungan bahan organik >30% dalam lapisan setebal 40 cm
dari bagian 80 cm teratas profil tanah. Berdasarkan tingkat dekomposisinya histosol dibagi menjadi

3
3 subordo yaitu fibrik < hemik < saprik. Tanah-tanah gambut di Sumatra termasuk subordo Terric
Tropohemist, Terric Sulfihemist, Typic Tropohemist, Terric Troposaprist dan Typic Tropofibrist
(Hardjowigeno, 1989). Secara umum, tingkat dekomposisi menentukan sifat-sifat fisik, biologi dan
kimia gambut.

PEMANFAATAN GAMBUT SEBAGAI BAHAN EKSTRAKTIF

Pemanfaatan gambut asal Sumatra sebagai bahan ekstraktif pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman budidaya melalui perbaikan pada sifat-sifat tanah mineral asal
lahan kering marginal. Pemanfaatan air gambut asal Lampung Utara sebagai bahan humat yang
dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat tanah
Latosol (Oxic Dystropepts) (Herudjito, 1999). Pemberian bahan humat dosis 1% dapat
meningkatkan pori tersedia sebesar 36% dari 6.07 menjadi 8.24% volume, menurunkan Al-P sebesar
2% dari 29.0 menjadi 27 ppm dan Fe-P sebesar 20% dari 0.20 menjadi 0.16 me/100g. Aplikasi
kapur 0.5 Al-dd dapat memperbaiki sifat-sifat kimia dan fisik tanah latosol. Kemasaman tanah
menurun 2% dari 5.0 menjadi 5.1, Al-dd menurun 30% dari 0.20 menjadi 0.14 me/100g, P-tersedia
naik 5% dari 19.73 menjadi 20.70 ppm, Fe-P turun 16% dari 298.1 menjadi 346.9 ppm.
Pendayagunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran (kompos) telah dilakukan
dengan memanfaatkan tiga jenis aktivator yaitu manure ayam, manure ruminansia dan batuan fosfat
(Hendarto, 1996; Iswariyanto, 1996; Widiono, 1996). Pemberian bahan aktivator manure ayam dosis
10% pada gambut saprik telah menghasilkan kompos dengan pH 5.0, KTK 104 me/100g dan rasio
C/N 17 setelah inkubasi 9 minggu. Aplikasi aktivator manure ruminansia dosis 10% pada gambut
saprik telah menghasilkan kompos dengan pH 4.8, KTK 100.63 me/100g dan rasio C/N 18.57
setelah inkubasi 9 minggu. Selanjutnya, gambut yang diberi batuan fosfat dosis 10% selama 9
minggu dapat menghasilkan kualitas kompos dengan nilai pH 5.3, KTK 98.40 me/100 g dan rasio
C/N 17.58. Hasil percobaan tersebut memberikan implikasi bahwa penggunaan aktivator manure
ayam, ruminansia dan batuan fosfat memiliki pengaruh yang relatif sama terhadap komposisi nutrisi
dan kualitas kompos yang dihasilkan dari gambut saprik untuk masa inkubasi selama tiga bulan.
Studi penggunaan gambut sebagai bahan campuran pada media semai untuk tanaman
kehutanan telah dilakukan pada gambut asal Sumatera Selatan dari kedalaman 0-40 cm (Bastoni,

4
1999). Gambut tersebut selanjutnya dicampur lumpur dengan rasio 1:5 hingga 1:2
(lumpur:gambut). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pencampuran lumpur dengan
gambut secara nyata telah meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar,
kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P-tersedia. Perpanjangan periode masa
inkubasi dari 2 hingga 8 minggu dapat meningkatkan kadar P-tersedia dan KTK secara nyata, tetapi
menurunkan pH, kejenuhan basa dan kation-kation tertukar terutama Ca dan Mg. Kandungan unsur
hara tanah (terutama unsur-unsur basa) dari campuran gambut + lumpur lebih tinggi dibandingkan
gambut tanpa lumpur. Dalam hal ini penambahan lumpur disarankan untuk tidak melebihi dari 30%
karena lumpur tersebut umumnya mengandung pirit tinggi. Penambahan lumpur> 30% juga akan
mengakibatkan pH tanah menurun dengan drastis akibat oksidasi pirit, yang selanjutnya akan
berdampak negatif terhadap pertumbuhan bibit yang akan ditanam.
Pengembangan zat pengatur tumbuh alami juga telah dilakukan dengan memanfaatkan
ekstrak- air gambut saprik asal Lampung (Yusnaini & Sutopo, 1994). Hasil percobaan
menunjukkan bahwa campuran ekstrak-air gambut dan larutan hara hidroponik rasio 1:4 telah
meracuni perkecambahan benih dan pertumbuhan awal tanaman jagung, padi ladang, kedelai dan
kacang tanah. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa konsentrasi bahan tersebut terlalu pekat.
Gejala keracunan yang ditunjukkan adalah rusaknya akar, nekrosis pada ujung akar, rusaknya sel-sel
epidermis dan akhirnya ujung akar mati. Tetapi, kenampakan visual menggambarkan bahwa
tanaman jagung relatif lebih tahan terhadap efek racun dari ekstrak-air gambut saprik dibandingkan
tanaman padi, kedelai dan kacang tanah.

STUDI GAMBUT SEBAGAI MEDIA BUDIDAYA

Tanah gambut sebagai media tumbuh tanaman memerlukan berbagai input untuk
menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan.
Variasi input yang pernah dilakukan adalah pemberian pupuk P, Cu, pengapuran, pemberian abu,
aplikasi manure, pemberian tanah mineral, pengolahan tanah serta melakukan seleksi pada tanaman
budidaya yang mampu beradaptasi pada lingkungan tanah gambut.
Rendahnya tingkat kesuburan gambut, terutama unsur P merupakan faktor pembatas pada
proses budidaya, khususnya tanaman pangan. Astiana & Rochim (1979) melaporkan bahwa

5
pemupukan P pada tanah gambut Delta Upang Sumatera Selatan dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produksi padi varietas Pelita. Sarno (1996) mencoba menggunakan dua sumber P yaitu batuan
fosfat alam (BFA) dan TSP untuk meningkatkan produksi padi tahun pertama yang di tanam di lahan
gambut asal rawa Jitu Lampung Utara. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa pemupukan
dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P2O5/ha telah memberikan pengaruh nyata terhadap
pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA dosis 135 kg P2O5/ha tidak
berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah meningkatkan kadar N total,
dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K tersedia. Gambaran data tentang
pengaruh pemberian BFA dan TSP pada tanah gambut tergenang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar N total, P dan K tersedia serta pH setelah percobaan pemupukan BFA dan TSP
terhadap padi pada tanah gambut dalam keadaan tergenang.
Pupuk P pH N P K
% ppm me/100g
kg P2O5/ha
Tanpa P 3.94 2.12 44.67 0.18
BFA 45 3.98 2.03 38.31 0.19
90 3.88 2.08 58.29 0.18
135 3.97 2.22 78.51 0.20
TSP 45 3.94 2.22 41.31 0.19
90 3.94 2.36 59.17 0.18
135 4.02 2.43 95.78 0.18
(Sumber: Sarno, 1996)

Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pemberian BFA relatif kurang memberikan pengaruh
terhadap sifat-sifat kesuburan tanah gambut, sedangkan aplikasi TSP dosis 135 kg P2O5/ha secara
tegas menampakan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah.
Hasibuan (1999) selanjutnya melaporkan bahwa pemberian BFA dapat meningkatkan pH
Histosol dari pH 3.18 menjadi 3.32. BFA dosis 600 ppm P2O5 juga lebih meningkatkan konsentrasi
P-tersedia pada Histosol (204.5 ppm) dibandingkan apabila diaplikasikan pada tanah Inceptisol
(33.50 ppm) dan tanah Oxisol (65.5 ppm). Walaupun konsentrasi P-tersedia pada Histosol lebih

6
tinggi dibandingkan kedua jenis tanah lainnya, namun serapan P oleh tanaman jagung pada Histosol
tergolong rendah (46.00mg/pot), sementara pada oxisol adalah 168.39 mg/pot dan Inceptisol sebesar
110.29 mg/pot. Fenomena tersebut terjadi karena tanah Histosol tidak memberikan lingkungan
tumbuh optimal bagi tanaman jagung, yang ditandai dengan rendahnya berat kering tanaman, akibat
pH yang rendah (3.18). Biasanya tanaman jagung akan tumbuh dengan baik apabila pH tanah
berkisar antara 5.5-7.0. Fakta lain juga menunjukkan bahwa pemberian NPK + unsur mikro tidak
memperbaiki pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah gambut apabila tidak dikombinasikan
dengan pemberian kapur untuk meningkatkan pH.
Pengujian efektivitas berbagai sumber bahan ameliorasi tanah gambut juga telah dilakukan
oleh Hartatik & Nugroho (2001) dengan menggunakan gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan. Hasil percobaan lapang selama periode Oktober 1999 hingga Januari 2000 menunjukkan
bahwa aplikasi dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral pada dosis 0.5,1 dan 1.5 ton/ha tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Tetapi pemberian bahan ameliorasi abu
kayu pada dosis 5 dan 10 ton/ha secara nyata meningkatkan berat biji kering jagung, masing-masing
sebesar 3.9 dan 4.5 ton/ha. Tanpa aplikasi abu produksi biji kering jagung hanya mencapai 2.5
ton/ha. Pemberian bahan ameliorasi dolomite, manure dan tanah mineral pada dosis 5,10 dan 15
ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi dan berat biomasa tanaman jagung. Hasil penelitian
ini juga memberikan indikasi bahwa efektivitas sumber-sumber bahan ameliorasi untuk lahan
gambut bervariasi tergantung jenis tanaman yang dibudidayakan serta kandungan nutrisi yang
dimiliki oleh bahan-bahan tersebut (Tabel 2.). Abu kayu lebih banyak mengandung N- total, P2O5,
K,Ca dan Mg dan unsur hara mikro, Fe,Mn,Cu dan Zn dibandingkan manure. Tanah mineral
mengandung Fe, Mn,Cu dan Zn lebih tinggi dibandingkan bahan ameliorasi yang lainnya.
Tingginya konsentrasi Fe pada tanah mineral dapat menurunkan aktivitas asam fenol. Kandungan Ca
dan Mg yang tinggi pada dolomite diharapkan dapat meningkatkan pH tanah dan menyediakan Ca
lebih banyak untuk tanaman.
Tabel 2. Komposisi unsur-unsur hara pada dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral.
Jenis Bahan Ameliorasi N-total P2O5 K Ca Mg Fe Mn Cu Zn

------------------------%------------------------- ---------------ppm-----------

Dolomite - - - 19.29 11.07 645 42 3 33

7
Abu 0.78 0.96 0.24 0.83 0.44 815 420 18 86

Manure 0.65 0.25 0.39 0.29 0.24 305 60 5 60

Tanah Mineral 0.16 0.11 0.09 0.02 0.10 1164 850 114 302
Sumber : Hartatik & Nugroho (2001)

Sistem tanpa olah tanah yang diterapkan untuk budidaya padi pada lahan gambut di
Bengkulu terbukti dapat menekan pertumbuhan gulma secara nyata apabila herbisida gliposat dan
paraquat digunakan, tetapi pengaruhnya tidak nyata terhadap hasil gabah kering (Simarmata, 1997).
Pengendalian gulma dengan penyiangan 2x secara manual maupun dengan herbisida 2.4 D mampu
menekan pertumbuhan gulma lebih dari 80%. Jika pengendalian guma tidak dilakukan maka dapat
menyebabkan penurunan jumlah anakan, jumlah malai dan hasil masing-masing 18,28, dan 32%,
sedangkan gabah hampa meningkat 28% dibandingkan dengan penyiangan 2x. Penggunaan
herbisida 2.4 D tidak menunjukkan perbedaan nyata pada hasil gabah dibandingkan dengan
penyiangan 2x.
Perubahan pola penggunaan lahan gambut di Bengkulu dari lahan hutan ke non-hutan telah
mempengaruhi siklus hara nitrogen, terutama transformasi internal N; laju mineralisasi. Kandungan
N total pada tanah-tanah gambut umumnya tinggi tetapi bukan berarti ketersediaan N tinggi (Tiem &
Lim, 1992). Penelitian Suhardi (2000) di Bengkulu menunjukkan bahwa terjadi penurunan potensi
mineralisasi N akibat peralihan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Potensi mineralisasi N
tertinggi terjadi pada lahan hutan, yaitu 44.094 me NO3/100g dan terendah pada lahan kelapa sawit
(8.967 me NO3/100g) dan pertanian tanaman semusim (sayur-mayur) (8.394 me NO3/100g). Data
juga menggambarkan bahwa proses drainase dan pengolahan lahan gambut telah menurunkan
jumlah N-labil hingga 19-60% apabila lahan terkonversi menjadi kebun kelapa sawit dan sebesar 21-
43% apabila lahan diusahan sebagai kebun sayur-mayur. Sementara itu, adanya proses pengeringan-
pembasahan secara berulang-ulang sepanjang 10 tahun telah menurunkan potensi mineralisasi N
sebesar 28-67% bila lahan dijadikan sawah. Hasil penelitian ini menyiratkan fakta adanya
penurunan cadangan N yang dapat termineralisasi akibat proses aerobiosis yang senantiasa terjadi
pada saat lahan diolah atau terkonversi. Percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa
peralihan fungsi lahan gambut dari lahan hutan ke bentuk lahan pertanian menurunkan waktu

8
penyediaan N serta memacu aktivitas mineralisasi N. Peningkatan aktivitas mineralisasi N
berkaitan erat dengan proses drainase (konsentrasi oksigen), perbaikan ketersediaan hara melalui
pemupukan serta perbaikan kemasaman tanah karena pengapuran.
Ketersediaan kebanyakan hara dalam tanah gambut, terutama N,P,K, Ca dan Cu rendah
(Yonebashi et al., 1997). Tanah-tanah gambut tropika pada umumnya mempunyai kapasitas
menyemat Cu yang tinggi karena sifat ikatannya yang kuat dengan bahan organik. Bertham (1996)
melaporkan bahwa pemberian pupuk CuSO4 dosis 10 kg/ha pada lahan gambut Air Hitam Bengkulu
dapat memperbaiki keragaan dan pertumbuhan tanaman padi sawah. Kenampakan yang nyata
terjadi pada peningkatan jumlah anakan setelah 30 HST dan tinggi tanaman pada 60 HST. Hasil
percobaan ini juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk Cu telah mengurangi jumlah gabah
hampa. Hal ini memberikan indikasi bahwa peningkatan produksi padi sawah di lahan gambut
memerlukan input unsur mikro, khususnya Cu. Hasil percobaan di rumah kaca dengan
menggunakan tanah Gambut asal Riau menunjukkan bahwa tanaman padi respon terhadap
pemupukan NPKS, pengapuran dan pemupukan Cu (Riwandi, 2002, komunikasi pribadi).
Pemupukan Cu juga meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap serangan hama dan penyakit
akibat adanya peningkatan lignin pada dinding sel tanaman (Bertham, 1996).
Secara umum mayoritas penggunaan lahan gambut adalah untuk budidaya padi sawah.
Sebagai contoh, propinsi Bengkulu memiliki 163.370 ha lahan gambut dan 80.307 ha diantaranya
sudah diusahan untuk pertanian dan sekitar 75% digunakan untuk budidaya padi sawah yang
dikelola secara tradisional (Busri et al., 1999). Dalam pengembangannya, kendala utama yang
muncul adalah rendahnya mutu benih dan produktivitas padi yang ditanam di lahan gambut. Lahan
gambut dengan segala keterbatasannya memerlukan benih yang memiliki kemampuan untuk
mengatasi keterbatasan tersebut sehingga padi masih dapat berproduksi dengan baik. Untuk itu
diperlukan seleksi tanaman-tanaman padi yang dapat beradaptasi dengan baik di lahan gambut,
terutama melalui seleksi benih unggul lokal. Hal ini penting, karena keragaman padi lokal, terutama
yang beredar di Bengkulu belum terungkap secara ilmiah potensi produksinya. Menurut Effendi et
al.(1996), Bengkulu memiliki 20 galur/varietas padi, antara lain Cina Lamo, Dangko, Cina Abang,
Madu/Lebah, Tambuku, Kemang, Bengkulu, Semail, Siam, Kuning Pandak, Gembira Putiak, Rimbo,
pandak Kelabu, Batik, Galinggung, Jambi Alus, Duku, Bugis, Patik dan Gembira Kuning yang
berasal dari daerah Bengkulu Selatan (12 varietas) dan Bengkulu Utara (8 varietas). Terdapat 19

9
varietas padi yang mempunyai tinggi tanaman 111.9 (padi Gembira Kuning) hingga 174.4 (padi
Cina Lamo) dan hanya 1 varietas yang memiliki tinggi dibawah rata-rata yaitu 85 cm. Pada
pengelolaan lahan gambut, masalah tata air merupakan masalah yang serius dan seringkali
ketinggian air berubah secara mendadak. Sehubungan dengan hal tersebut maka varietas padi
dengan tinggi diatas 150 cm memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di lahan gambut.
Tetapi, tanaman padi yang tinggi sering menimbulkan masalah lain yaitu mudah rebah. Data
menunjukkan bahwa 2 varietas padi yaitu padi Siam dan Gembira Kuning berumur genjah,
sementara varietas yang lain berumur sangat dalam dengan saat mulai berbunga antara 83-125.3
HST. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya varietas-varietas yang memiliki potensi hasil
sangat tinggi, antara lain padi Batik, padi Jambi Alus, padi Bugis dan padi Duku dengan jumlah
anakan produktif berkisar antara 34 sampai 40 malai per rumpun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas unggul nasional seperti IR64/36 yang mampu membentuk anakan
produktif pada tanah di P. Jawa antara 15-21 anakan per rumpun (Anwari, 1993). Hasil percobaan
ini juga memberikan gambaran bahwa jumlah anakan produktif berkorelasi positif dengan potensi
hasil padi. Daya adaptasi dan potensi hasil yang baik pada beberapa varietas padi lokal tersebut,
selanjutnya merupakan sumber plasma nutfah penting untuk bahan tetua bagi persilangan dalam
upaya pengembangan varietas-varietas padi unggul lahan gambut.

REKLAMASI GAMBUT DAN KAITANNYA DENGAN DINAMIKA CARBON

Reklamasi lahan gambut untuk budidaya pertanian dan perkebunan biasanya diawali dengan
proses drainase, pembukaan lahan (land clearing) dan persiapan lahan untuk komoditas tanaman
tertentu. Khusus untuk budidaya tanaman keras, seperti kelapa sawit, pemadatan harus dilakukan
pada jalur pertanaman sebelum penanaman bibit (Vijarnsorn, 1996). Drainase yang dilakukan harus
memenuhi dua syarat yaitu (1) membuang kelebihan air dari hujan secara tepat waktu dan efisien
serta (2) mengendalikan muka air tanah agar dapat mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan
tanaman (Tie & Lim, 1992). Adanya proses usikan selama aktivitas reklamasi lahan gambut, yang
meliputi pengatusan, pengeringan, pembersihan, penggenangan dan pengolahan lahan gambut,
selanjutnya akan berdampak pada proses biologi tanah, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas
oksidasi-reduksi bahan organik dari gambut. Salah satu masalah penting yang telah menjadi

10
perhatian secara global adalah terjadinya emisi CO2 dan CH4 sebagai produk dari proses oksidasi-
reduksi. Sebagai contoh, lahan gambut di Eropa Utara telah menyumbangkan sekitar 30% emisi CH4
dari total yang dihasilkan lahan gambut dunia. Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat
melepaskan sekitar 26.9 juta ton CH4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30.9 juta ton CH4,
sementara pada tanah alluvial hanya sebesar 5.0 juta ton CH4 (Barlett & Harris,1993). Selanjutnya ,
kuantitas C yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat proses konversi lahan dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Estimasi kehilangan C akibat konversi lahan gambut.


Luas lahan Luas lahan yang Akumulasi C yang C hilang /tahun
sebelumnya hilang hilang akibat emisi (juta ton C)
(juta ha) (juta ha) (juta ton C)

Pertanian/Kehutanan 399 20 4140-5600 63-85


Subtropis

Tropis 44 1.76-3.8 746 53-114

Bahan bakar 5 590 -780 32-39

Hortikultura 5 > 100 33

Total 5476-7126 181-271


Sumber : Maltby & Immirzi (1993)

Data pada Tabel 3. memberikan gambaran bahwa proses kehilangan C menjadi sangat penting pada
saat lahan gambut mengalami perubahan dalam pola penggunaannya. Secara global, konversi lahan
menyebabkan laju emisi C lebih tinggi dibandingkan C-sequestration. Oleh karena itu perubahan
tata guna lahan berpotensi untuk menciptakan sumber C tetapi juga sebagai penyebab kehilangan
sumber C. Semakin produktif suatu lahan gambut (dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman)
maka kian tinggi laju emisi CH4. Tanaman juga dapat berperan dalam melepaskan CH4 melalui akar
dan batangnya (Adger & Brown, 1995). Laju produksi CH4 juga meningkat seiring dengan
bertambahnya akumulasi serasah dan bahan organik dibawah zona anaerobik. Menurut Maltby &
Immirzi (1993) luas lahan gambut selalu berkurang akibat adanya ekstensifikasi pertanian,
perkebunan dan kehutanan. Secara global kerusakan yang terjadi telah mencapai sekitar 25 juta ha
hingga tahun 1980. Luasan lahan gambut yang kini tertinggal baik di daerah sedang maupun tropis

11
hanya dapat melakukan C-sequestration sekitar 125 juta ton C per tahunnya.
Secara umum emisi gas CO2 dan CH4 sangat dipengaruhi faktor lingkungan, terutama suhu
dan curah hujan, dan lahan gambut sensitif terhadap keduanya (Adger & Brown, 1995). Di
Indonesia penelitian-penelitian yang mengkaji tentang masalah emisi CO2 dan CH4 dari lahan
gambut masih terbatas dan relatif belum bersifat komprehensif-terpadu- multidisipliner. Namun
demikian, dalam tulisan ini akan diketengahkan fenomena reklamasi tanah gambut asal Jambi dalam
hubungannya dengan emisi CO2 dan CH4 dalam eksperimen terkontrol.
Dalam penelitiannya Sabiham et al.(2000) mengkaji dampak proses oksidasi-reduksi pada
suhu terkontrol (20oC dan 30oC) serta pemberian kation Fe 3+ terhadap emisi gas CO2 dan CH4.
Estimasi laju pelepasan CO2 dan CH4 dari tanah gambut untuk setiap kondisi lingkungan dapat
dilihat pada Tabel 3. Secara umum, data menggambarkan bahwa kehilangan C tertinggi dalam
bentuk CO2
terjadi pada proses oksidasi suhu 30oC, sementara pola pelepasan CH4 cenderung tidak berpola.
Estimasi total pelepasan gas dalam bentuk CO2 dan CH4 terjadi pada kondisi oksidasi ditemukan
pada perlakuan oksidasi suhu 30oC dengan nilai tertinggi 3.62 kg C/ton C dan terendah pada kondisi
reduksi suhu 20oC dengan nilai 2.47 kgC/ton C. Secara teoritik hal ini dapat dimengerti karena pada
kondisi lingkungan tersebut mikroorganisme aerob terpacu untuk melakukan mineralisasi karena
suhu optimum bagi aktivitas mikrobia aerob tersebut adalah berkisar 30-35oC (Handayani, 1991;
1996; Handayani et al., 2001).
Kehilangan C tertinggi terjadi pada gambut fibrik dengan nilai 3.13 kg C/ton C ,yang berasal
dari gas CO2 (1.446 ton/ha/hari) dan CH4 (0.524 ton/ha/hari) (Tabel 4). Menurut Sabiham (1997)
tingginya pelepasan gas CO2 dan CH4 dari gambut fibrik disebabkan karena fibrik memiliki
kandungan serat, C-organik dan rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan gambut hemik dan saprik.
Flaig et al. (1977) menyatakan bahwa fibrik adalah bahan organik yang masih sedikit mengalami
dekomposisi, mengandung serat lebih dari 2/3 volume. Saprik adalah bahan organik yang telah
terdekomposisi lanjut dengan kandungan serat kurang dari 1/3 volume. Hal ini menyebabkan
mikrobia yang
berada pada gambut saprik dapat memperoleh substrat yang lebih banyak, sehingga dekomposisi
Tabel 3. Dinamika pelepasan C dari gambut asal Jambi dalam bentuk gas CO2 dan CH4.
Proses Suhu CO2 Kehilangan CH4 Kehilangan Total

12
C* C** Kehilangan
C ***
o
C ton/ha/hari kg/ton ton/ha/hari kg/ton kg/ton
Lokasi I

Oksidasi 20 1.527 2.4 0.298 0.47 2.87

Oksidasi 30 1.825 2.9 0.344 0.54 3.44

Reduksi 20 1.248 2.0 0.295 0.47 2.47

Lokasi II

Oksidasi 20 1.524 2.4 0.343 0.54 2.94

Oksidasi 30 1.906 3.0 0.391 0.62 3.62

Reduksi 20 1.242 2.0 0.459 0.73 2.73

Lokasi III

Oksidasi 20 1.527 2.4 0.456 0.73 3.13

Oksidasi 30 1.849 2.9 0.325 0.52 3.42

Reduksi 20 1.217 2.0 0.345 0.56 2.76


* Pelepasan C dalam bentuk CO2, ** Pelepasan C dalam bentuk CH4, *** Pelepasan C dalam bentuk gas CO2 dan
CH4.*,**,*** per hari. Satuan ha menggunakan asumsi lapisan profil 0-40 cm dengan berat volume 0.28.
Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)

bahan organik menjadi lebih cepat (Sabiham, 1997).


Pelepasan CO2 tertinggi terjadi pada inkubasi aerob suhu 30oC. Hal ini disebabkan karena
pada kondisi aerob, mikroorganisme pelaku mineralisasi lebih aktif dibandingkan suasana anaerob.
Dengan demikian hasil mineralisasi yaitu CO2 jadi lebih tinggi (Magnuson, 1993). Sebaliknya
tingginya CO2 pada kondisi anaerob disebabkan tidak tersedianya oksigen dalam lingkungan
tersebut sehingga hanya golongan bakteri anaerob yang aktif, seperti bakteri penghasil
methane/methanogen. Bakteri tersebut dapat bekerja secara aktif pada kondisi anaerob dengan
redoks potensial - 200 mV (Tsutsuki & Ponnamperuma, 1987).
Menurut Tan (1993) dan Stevenson (1994), gambut banyak mengandung senyawa organik
yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation logam. Gugus fungsi yang
mengandung oksigen seperti C=O, -OH, serta -COOH merupakan tapak reaktif dalam pengikatan
ion.
Tabel 4. Dinamika pelepasan C dari gambut asal Jambi dalam bentuk gas CO2 dan CH4 pada

13
berbagai tingkat dekomposisi gambut dan kondisi inkubasi.
Total
Perlakuan Suhu CO2 Kehilangan CH4 Kehilangan Kehilangan
C* C** C ***
o
Tingkat C ton/ha/hari kg/ton ton/ha/hari kg/ton kg/ton
Dekomposisi

Fibrik - 1.446 2.3 0.524 0.83 3.13

Hemik - 1.328 2.1 0.401 0.63 2.73

Saprik - 1.210 1.96 0.316 0.51 2.47

Jenis
inkubasi

Aerob 20 1.553 - 0.312 - -

Aerob 30 1.860 - 0.353 -

Anaerob 20 1.235 - 0.420 -

Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)

Sabiham & Sulistyono (2000) berpendapat bahwa kation Fe 3+ mempunyai urutan kekuatan
ikatan kation dan kestabilan kompleks logam-organik yang paling tinggi daripada kation logam
3+
lainnya. Pemberian Fe pada gambut saprik asal Jambi sebanyak 2.5% dan 5% dari erapan
maksimum, terbukti mampu mengatasi masalah toksisitas asam fenolat pada gambut dengan
membentuk senyawa kompleks. Selanjutnya, pemberian kation tersebut dianggap paling efektif
untuk reklamasi gambut khususnya dalam rangka mengupayakan stabilisasi gambut melalui
decomposition prevention, sehingga pelepasan gas CO2 dan CH4 dapat ditekan (Sabiham, 1997).
Data pada Tabel 5. menggambarkan pengaruh kation Fe 3+ terhadap penurunan emisi gas
CO2 dan CH4. Pemberian kation Fe 3+ dalam bentuk senyawa FeCl3.6H2O dengan dosis 25 sampai
75 g/kg telah menurunkan pelepasan C sebesar 10-27%. Menurut Sabiham & Sulistyono (2000)
penurunan ini diduga karena telah terjadi ikatan kompleks yang stabil antara kation Fe 3+ dengan
ligan-ligan organik pada tanah gambut. Stevenson (1994) mengungkapkan bahwa kompleks yang
terbentuk ini merupakan ikatan kovalen yang lebih kuat dan cenderung stabil, sehingga lebih sulit
untuk diputuskan atau dipertukarkan. Adanya pembentukan kompleks tersebut dapat menyebakan

Tabel 5. Pengaruh pemberian kation Fe 3+ terhadap laju pelepasan gas CO2 dan CH4 pada tanah

14
gambut asal Jambi.
CO2 CH4 Total Emisi
3+
Dosis Fe
ton/ha/hari
Tanpa 1.076 0.530 1.607
25 g/kg 0.973 0.479 1.453
50 g/kg 0.829 0.408 1.238
75 g/kg 0.767 0.397 1.165
Sumber data: Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)

gambut lebih tahan terhadap proses dekomposisi, yang akhirnya dapat turut menekan pelepasan gas
CO2 dan CH4 ke atmosfir. Oleh karena itu, dari segi manfaat praktis bahan-bahan ameliorasi
berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi produksi gas CO2 dan CH4, dengan
dosis anjuran sekitar 50 g/kg.
Hasil penelitian ini menawarkan suatu permasalahan lingkungan yang cukup mendasar
sebagai akibat aktivitas penanganan lahan gambut, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan
emisi gas rumah kaca. Fakta-fakta yang digulirkan juga menunjukkan bahwa lahan gambut dapat
bersifat sebagai C-source dan C-sink, dimana antar keduanya melibatkan berbagai input yang
diberikan pada gambut. Berpangkal dari dilema tersebut maka upaya pembenahan di dalam program
pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan
faktor keamanan ekologis, sehingga lahan-lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung
stabilitas lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek
aboveground biomass dan belowground.

KESIMPULAN

Lahan gambut di Indonesia, khususnya di Sumatra merupakan sumberdaya alam tropika yang
semakin penting untuk perluasan budidaya baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun
kehutanan, karena ketersediaan lahan kering subur kian menurun dari tahun ke tahun. Tetapi,
tumpuan harapan terhadap potensi lahan gambut sebagai media budidaya telah menyebabkan

15
berbagai permasalahan baik dari segi produktivitas tanaman maupun kualitas lingkungan global.
Reklamasi lahan gambut serta pemanfataannya sebagai bahan ameliorasi telah berdampak pada
keberlanjutan fungsi gambut, yang akhirnya membuat posisi lahan gambut semakin rapuh. Untuk
itu, diperlukan strategi pengelolaan yang dapat menjamin keselarasan antara fungsi gambut sebagai
media budidaya untuk menghasilkan produktivitas tanaman secara berkelanjutan sekaligus sebagai
agensia penyelamat iklim global, khususnya dalam rangka mitigasi gas rumah CO2 dan CH4.
Penyusunan agenda pengelolaan lahan gambut selanjutnya harus bertumpu pada aspek
kesesuaian komoditas tanaman, konservasi gambut, pencegahan terjadinya penurunan pada sifat-
sifat tanah gambut akibat reklamasi dan praktek budidaya serta akselerasi C-sequestration melalui
pemberdayaan model revegetasi yang adaptif. Selanjutnya, teknologi-teknologi berbasis
multidisipliner strategies diharapkan dapat membantu mendukung tujuan pengelolaan gambut secara
berkelanjutan, khususnya dalam upaya pencarian tanaman-tanaman toleran gambut, pengaturan dan
pengendalian tata air yang optimal agar oksidasi tidak terjadi secara berkepanjangan, serta
pendayagunaan bahan ameliorasi yang efektif dan efisien berbasis sumberdaya alam lokal.

16
PUSTAKA ACUAN
Adger, N.E., & K.Brown. 1995. Land use and the causes of global warming. John Wiley and Sons, New
York. h. 96-111.

Anderson, J.A.R. 1983. The tropical peat swamps of Western Malesia. Dalam: Gore, A.J.P. (Ed.),
Mires:Swamp, Bog, Fen and Moor. Regional Studies. Vol. 4B. Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam, h.
181-199.

Anwari, M. 1993. Evaluasi daya hasil lanjutan galur-galur padi. Risalah Seminar:KOmponen teknologi
budidaya tanaman pangan di Propinsi bali. Balai Penelitian tanaman pangan Malang. h. 173-177.

Astiana & A.Rochim. 1979. Pengaruh pemupukan fosfor pada tanah gambut terhadap padi varietas Pelita I-1.
Makalah Jur.Ilmu Tanah, IPB. Bogor. 17 hal.

Bartlett, K.B., & R.C. Harris. 1993. Review and assessment of methane emissions from wetlands.
Chemosphere 26:261-320.

Bastoni. 1999. Studi aspek kimia dan kesuburan campuran tanah organik (gambut) dan mineral (lumpur)
yang digunakan untuk media tumbuh. Bulletin Reboisasi 7:21-33.

Bertham, Y.H. 1996. Manfaat unsur tembaga (Cu) dalam meningkatkan hasil padi sawah di lahan gambut
Air Hitam Bengkulu. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UNIB.

Driessen, P.M., & H.Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Bulletin 3.
Soil Research Institute. Bogor. h. 20-44.

Flaig, W., B.Nagar, H.Sochtig & C.Tientjen. 1977. Organic materials and soil productivity. D.O.A. Soil
Bull. 35:1-63.

Friends of the Earth. 1992. The global status of peatlands and their role in carbon cycling. A report
prepared by The Wetland Ecosystems Research Group. Department of Geography, University of Exeter. h.
145.

Effendi, F., H.Wicaksono, D.Suryati, F.Barchia & Fahrurrozi. 1996. Penampilan beberapa varietas padi
lokal Bengkulu pada lahan gambut. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian UNIB.

Handayani, I.P. 1991. Temporal variability of soil properties as affected by cropping. Master Thesis.
University of Arkansas, Fayetteville, USA.

Handayani, I.P. 1996. Carbon and N pools and Transformation after 23 years of no-till and conventional
tillage. Dissertation. University of Kentucky, Lexington, USA.

Handayani, I.P., P. Prawito, P. Lestari. 2001. Daya suplai nitrogen dan fraksionasi pool C-N labil pada
lahan kritis. Laporan akhir Riset Unggulan Terpadu (RUT VII). Kementrian Riset dan Teknologi-LIPI-
Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu.

Hardjowigeno, S. 1989. Sifat-sifat tanah dan potensi tanah gambut Sumatra untuk pengembangan pertanian.
Prosiding Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fakultas Pertanian UISU, Medan. h. 14-42.

17
Hartatik, W., & K.Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize growth in peat soil from
Air Sugihan kiri, South Sumatra. Dalam: Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatlands.
J.O. Rieley & S.E.Page (Eds.). Jakarta. August 22-23.

Hasibuan, B.E. 1999. Tanggap histosol, Oksisol dan inceptisol terhadap fosfat alam dan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Prosiding Kongres Nasional VII HITI. Buku II. hal. 831-843.

Hendarto, K. 1996. Pengaruh manure ayam terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut.
Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB.

Herudjito, D. 1999. Pengaruh bahan humat dari air gambut dan kapur terhadap sifat-sifat tanah latosol (Oxic
Dystropept). Prosiding Kongres Nasional VII HITI. Buku II. hal. 547-561.

Iswahriyanto, A. 1996. Pengaruh aktivator ruminansia terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan
gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB

Kalmari, A. 1982. Energy use of peat in the world and possibility in the developing countries. Seminar on
Peat for Energy Use. Bandung, June 29-30.

Magnuson, T. 1993. Carbon dioxide and methane formation in forest mineral and peat soils during aerobic
and anaerobic incubations. Soil Biol. Biochem. 25(7):877-883.

Maltby, E., & C.P.Immirzi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetland soils:regional and
global perspectives. Chemosphere 27:999-1023.

Neue, H.U., Z.P.wang, P.Becker-Heidmann, & C. Quijano. 1997. Carbon in tropical wetlands. Geoderma
79:163-185.

Sabiham, S. 1997. Penggunaan kation terpilih untuk menurunkan asam-asam fenolat toksik dalam tanah
gambut dari Jambi. J.Il. Indon. 7(1): 19-27.

Sabiham & Sulistyiono. 2000. Kajian beberapa sifat inheren dan perilaku gambut: Kehilangan
karbondioksida dan Metana melalui proses reduksi-oksidasi. J.Tanah Tropika 5(10)127-136.

Sarno. 1996. Pemupukan batuan fosfat alam (BFA) pada tanaman padi di tanah gambut dalam keadaan
tergenang. Jurnal Tanah Tropika 2(2):19-25.

Simarmata, M. 1997. Budidaya tanpa olah tanah (TOT) dan cara pengendalian gulma pada tanaman padi di
lahan rawa Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB 9:23-29.

Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, reaction. A Wiley-Interscience Publ. John
Wiley & Sons. 2nd ed. New York. hal 496.

Suhardi. 2000. Pola perubahan laju mineralisasi nitrogen pada peralihan fungsi lahan gambut menjadi lahan
pertanian. Kumpulan artikel penelitian berbagai bidang ilmu (BBI). Lembaga Penelitian UNIB.

Suhardjo, H., & I.P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat soils from
Riau. Dalam: Peat and Podzolic Soils and Their Potential for Agriculture in Indonesia. Proceedings ATA 106

18
Midterm Sminar, Soil Research Institute, Bogor. h. 74-92.

Tan, K.H. 1993. Principles of soil chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York. hal 362.

Tie, Y.L., & J.S. Lim. 1992. Characteristics and clasification of organic soils in Malaysia. Dalam:Tropical
Peat, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, Kuching. Malaysia. h. 107-113.

Tsutsuki & F.N. Ponnamperuma. 1987. Behavior of anaerobic decomposition products in submerged soils.
Soil Sci. Plant. Nutr. 33(1):13-33.

Vijarnsorn, P. 1996. Peatlands in Southeast Asia : a regional perspective. Dalam: Tropical Lowland
Peatlands of Southeast Asia (E.Maltby et al., Eds), IUCN. Gland Switzerland. h. 75-92.

Widiono, H. 1996. Pengaruh fosfat alam terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan
penelitian. Lembaga Penelitian UNIB.

Yonebayashi, K., M.Okazaki, N.Kaneko & S.Funakawa. 1997. Tropical peatland soil ecosystems in
Southeast Asia: Their characterization and sustainable utilization. Dalam: Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands. J.O riely & S.E.Page (Eds.). Samara Publ. Ltd. Cardigan. h. 103-111.

Yusnaini, S., & G,N.Sutopo. 1993. Pengembangan zat pengatur tumbuh alami asal humus dan
mikroorganisme: pengaruh ekstrak air gambut saprik, kompos sampah kota, pupuk kandang, kotoran cacing
tanah terhadap kecambah bebijian dan pepolongan. Ringkasan hasil penelitian 1992-1993. Buku II. DP4M-
DIKTI. hal. 160-162.

STUDI PEMANFAATAN GAMBUT ASAL BENGKULU, SUMATRA :


Tinjauan terhadap dampak drainase dan pemupukan serta daya gunanya sebagai bahan ekstraktif

I.P. Handayani, K. Hendarto, H. Widiono & Y. Harini


Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu, Sumatra

19
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat baik secara in-situ
(untuk budidaya pertanian dalam kondisi tergenang atau terdrainase) dan eks-situ (sebagai bahan ekstraktif).
Serangkaian riset telah dilaksanakan di Propinsi Bengkulu dengan menggunakan gambut yang berasal dari
wilayah Air Hitam dan Penago guna mengkaji aspek pemanfaatan gambut untuk budidaya tanaman tanaman
melalui aktivitas-aktivitas, seperti drainase dan pemupukan serta kajian potensi gambut sebagai bahan
amelioran dan asam humat untuk penstimulan proses agradasi lahan kering marginal Ultisol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan drainase pada tanah gambut dapat meningkatkan emisi gas karbondioksida
hingga 15-20% dibandingkan apabila tidak didrainase. Pemberian pupuk Cu dengandosis 10 kg ha -1 CuSO4
telah menunjukkan perbaikan pertumbuhan dan keragaan tanaman padi dan meningkatkan hasil hingga 15%.
Varietas-varietas padi lokal yang mampu beradaptasi dengan potensi hasil tinggi pada lahan gambut di
Bengkulu adalah padi Batik, Jambi Alus, Bugis dan Duku. Sedangkan varietas padi yang adaptif dan berumur
genjah adalah padi Siam dan Gembira Kuning. Penggunaan gambut sebagai bahan amelioran untuk
perbaikan kesuburan tanah marginal Ultisol menunjukkan gambaran hasil terbaik setelah 30-40 hari aplikasi
dengan pemberian aktivator asal ruminansia dan batuan fosfat dosis 10%. Perbaikan kesuburan tanah nampak
terjadi pada kemasaman tanah, kandungan bahan organik, fosfor, sulfur dan kalium. Asam humat yang
diekstraksi dari gambut asal wilayah Air Hitam memiliki potensi yang baik untuk memacu pertumbuhan dan
hasil kedelai di Bengkulu dengan peningkatan produksi hingga 20% bila dibandingkan tanpa asam humat.
Secara eksplisit, hasil penelitian ini juga menggambarkan bahwa pendayagunaan gambut asal Bengkulu telah
meluas sehingga dampaknya terhadap lingkungan secara global perlu ditinjau kembali. Adanya upaya-upaya
pengelolaan gambut secara terpadu diharapkan dapat menekan resiko pencemaran lingkungan, khususnya
dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dengan tetap mempertahankan fungsi sumber daya gambut
sebagai aset alam untuk budidaya.
______________________________________________________________________________
Kata-kata kunci : Bengkulu, CuSO4, Gambut, Karbondioksida, Fosfat, Ultisol

20
Bengkulu, 26 September 2003

Kepada
Yth. Bp. Prof.Dr. Cecep Kusmana
di Fakultas Kehutanan IPB
no. Fax. 0251-621256

Dengan hormat,

Bersama ini saya kirimkan empat topik makalah yang berkaitan dengan permasalahan carbon. Apabila ada
yang kurang berkenan mohon dikoreksi. Keempat topik tersebut adalah :

1. Prospek lahan gambut di Indonesia sebagai C-sink dan C-source guna mengantisipasi era
perdagangan karbon

2. Prospek agroforestry dan hutan monokultur di Indonesia sebagai C-sink dan C-source dalam
menyambut era perdagangan karbon

3. Prospek Dipterocarpaceae sebagai agensia rehabilitator lahan-lahan marginal sekaligus penyerap


karbondioksida

4. Dampak pengelolaan lahan gambut dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dan kualitas
lingkungan

Sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan terimakasih.

Hormat saya,

Iin P. Handayani, PhD


Fax. 0736-21290
Fak. Pertanian Univ. Bengkulu
Bengkulu, Sumatra

KEPADA YTH.

Panitia Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan

21
c/o. Mbak Lilis
WETLANDS INTERNATIONAL-INDONESIA PROGRAMME
JL. A.Yani no. 53
no. telpon. 0251-525755

Pengirim:

Dr.Ir.Iin P. Handayani, M.Sc.


Jl. Pepaya II/139 Panorama Bengkulu 38226
telpon. 0736-341476
fax.0736-21290

22

Anda mungkin juga menyukai