Anda di halaman 1dari 39

PROSES UPAYA HUKUM DI PERADILAN AGAMA

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama yang diampu oleh:

Fikri Habibi, S,H., M,H

Oleh:
Kelompok 7
Putri Octaria Srandhy 1173050096
Ronald Gozali 1173050113
Tiara Utami 1173050125
Windy Widiahastuti 1173050132

ILMU HUKUM C/IV


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Jalan A.H. Nasution Nomor 105 Cibiru Bandung 40614Telp. (022) 7800525 Fax.
(022)7803936
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT. Karena rahmat dan
hidayah-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan, dalam
makalah ini penulis akan membahas mengenai “PROSES UPAYA HUKUM DI
PERADILAN AGAMA”

Dan kami berterima kasih kepada Bapak Fikri Habibi, S.H., M.H Sebagai
dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama yang telah mengajarkan banyak
tentang hukum secara mendalam dan membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini, terima kasih pula kepada teman-teman atas kerja samanya yang telah
memberikan informasi dan dukungan dalam menyelesaikan tugas ini.

Terimakasih juga kepada orang tua kami yang senantiasa selalu mendoakan
dan mendukung kami dalam menuntut ilmu di Unniversitas Islam Sunan Gunung
Djati Bandung.

Kami berharap berharap semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi


kami selaku penyusun dan umumnya bagi para pembaca makalah ini, dan dalam
pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dari segi
penulisan maupun segi materi, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya sangat
membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................3
D. Manfaat Penulisan.................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................4

A. Upaya Hukum Biasa..............................................................................................4


1. Verzet...............................................................................................................4
2. Banding............................................................................................................8
3. Kasasi.............................................................................................................15
B. Upaya Hukum Luar Biasa...................................................................................25
1. Peninjauan Kembali.......................................................................................25
2. Derden Verzet................................................................................................31

BAB III PENUTUP.......................................................................................................34

A. Simpulan..............................................................................................................34
B. Saran....................................................................................................................35

DAFTAR PUSTKA.......................................................................................................36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah kekuasaan negara dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu
antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Terdapat peraturan hukum di dalam Pengadilan Agama yang
mengatur bagaimana cara mentaati hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim. atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama
dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana
mestinya.
Proses persidangan di Pengadilan Agama merupakan salah satu usaha
para hakim sebagai penegak hukum dalam menemukan suatu kebenaran.
Maka lembaga peradilan bertujuan untuk menegakkan keadilan bagi para
pihak pencari keadilan. Akan tetapi, jika tujuan tersebut belum dirasakan oleh
para pihak atau salah satu pihak yang berperkara di pengadilan tersebut dan
belum memenuhi rasa keadilan, para pihak dapat mengajukan keberatan atas
putusan hakim di pengadilan tingkat pertama untuk diperiksa kembali pada
peradilan di tingkat yang lebih tinggi melalui upaya hukum.
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari adanya kekeliruan atau
kekhilafan bahkan tidak mustahil dapat bersifat memihak terhadap salah satu
pihak. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim
perlu diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dapat
diperbaiki pada putusan. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia
upaya hukum, yaitu upaya untuk mencegah atau memeperbaiki kekeliruan
dalam suatu putusan.

1
Upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan oleh undang-
undang kepada semua pihak yang sedang berperkara di pengadilan untuk
mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim. Jadi, setiap orang yang
berperkara di pengadilan baik itu tergugat maupun penggugat diberikan hak
untuk mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim yang telah
memeriksanya. Jika salah satu pihak merasa bahwa keputusan pengadilan
tidak mencerminkan keadilan, maka pihak yang dikalahkan dalam
persidangan dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan pengadilan
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya
keputusan.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya
hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan
yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa
menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan
tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak
menangguhkan eksekusi. 1
Sifat dan berlakunya upaya hukum itu berbeda antara satu kasus dan
kasus lainnya, bergantung pada apakah upaya hukum tersebut merupakan
upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa/istimewa. Upaya hukum
biasa pada asasnya terbukan untuk setiap putusan hakim selama tenggang
waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Upaya Hukum Biasa di Peradilan Agama?
2. Bagaimana proses Upaya Hukum Luar Biasa di Peradilan Agama?

1
H. Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, (Bandung;
Pustaka Setia, 2017), hlm. 329

2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses upaya hukum biasa di peradilan agama.
2. Untuk mengetahui proses upaya hukum luar biasa di peradilan agama.

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
1) Untuk menambah wawasan kepada penulis dan para pembaca.
2) Untuk menambah ilmu pengetahuan perihal proses upaya hukum baik
upaya hukum biasan maupun luar biasa di peradilan agama.
2. Bagi Dosen
1) Untuk memberikan penilaian kepada mahasiswa
2) Untuk menambah wawasan dan referensi

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Upaya Hukum Biasa


Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap putusan verstek, banding,
dan kasasi. Pada dasarnya terbuka untuk setiap putusan, apabila diajukan
dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang- undang dan dapat
menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara
waktu(Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBG). Upaya hukum biasa
di pengadilan agama terbagi menjadi tiga macam, yaitu;
1. Verzet
Verzet adalah perlawanan dari tergugat terhadap putusan verstek dari
peradilan agama tingkat pertama. Berdasarkan upaya hukum verzet hakim
dalam pengadilan agama dapat memeriksa kembali gugatan yang telah
diputuskan secara verstek. Verzet atau perlawanan merupakan upaya
hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada
asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak yang tergugat yang pada
umumnya dikalahkan.
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara
baru, tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada
ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang
dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Putusan MA No. 494K/Pdt/1983
mengatakan dalam proses verzet atas verstek, pelawan tetap berkedudukan
sebagai tergugat dan terlawan sebagai Penggugat.

4
Pemeriksaan perlawanan (verzet) Dalam Putusan MA No.
938K/Pdt/1986, terdapat pertimbangan sebagai berikut :
 Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada
isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan / penggugat
asal.
 Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran
pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan, tidak relevan,
karena forum untuk memperdebatkan masalah itu sudah dilampaui.
 Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau
tidak ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan sidang adalah
keliru.
 Sehubungan dengan itu, Sekiranya pelawan hanya mengajukan
alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran
tergugat memenuhi panggilan, Pengadilan yang memeriksa verzet
harus memeriksa kembali gugatan semula, karena dengan adanya
verzet, putusan verstek mentah kembali, dan perkara harus
diperiksa sejak semula.
Berdasarkan Pasal 129 ayat (3) HIR, perlawanan diajukan dan
diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara perdata. Dengan
begitu, kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti surat
perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada PA, pada hakikatnya
sama dengan surat jawaban yang digariskan Pasal 121 ayat (2) HIR.
Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses verzet dianggap
sebagai jawaban pada sidang pertama.2

Upaya hukum putusan verstek, yaitu melawan putusan verstek


diantaranya:
2
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, persidangan, penyitaan, dan putusan pengadilan,
(Jakarta: Sinar Grafika; 2018), hlm.407-410

5
1. Sesuai Pasal 129 HIR atau Pasal 153 RBG. Tergugat atau para
tergugat yang dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau
perlawanan dalam waktu 14(empat belas) hari terhitung setelah
tanggal pemberitahuan dalam waktu verstek itu kepada Tergugat
semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri
kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR).
2. Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri
dan pada waktu aan maning (peringatan Tergugat hadir, maka
tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aan maning
(peringatan).
3. Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aan maning maka tenggang
waktunya adalah hari kedelapan sesudah Sita Eksekusi dilaksanakan.
4. Perkara verzet sedapat mungkin dipegang Majelis Hakim yang telah
menjatuhkan putusan verstek
5. Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atsas putusan
verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut
secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan scera biasa
(Pasal 129 ayat (3) HIR, PAsal 153 ayt (3) RBG, dan SEMA No. 9
Tahun 1964).
6. Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (Terlawan)
tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contracditoire, akan
tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir maka Hakim menjatuhkan
putusan verstek untuk kedua kalinya ini tidak dapat diajukan
perlawanan, tetapi bias diajukan upaya hukum banding (Pasal 129
qyqt (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBG). Ketentuan ini juga diatur
dalam Pasal 8 Undang-undang No, 20 Tahun 1947. Dikatakan, apabila
penggugat mengajukan banding terhadap putusan verstek, tergugat
tidak dapat mengajukan perlawanan terhadapnya di pengadilan.

6
7. Terlawan sebagai pengggugat asal tidak mampu membuktikan dalil
gugatan. Apabila pelawan mampu melampaui dalil gugatan maupun
pembuktian yang diajukan maka amar putusannya berbunyi:
 Menyatakan pelawan sebaagai pelawan sebagai pelawan yang
benar
 Mengabulkan perlawanan pelawan
 Membatalkan putusan verstek
 Menolak gugatan terlawan/penggugat asal seluruhnya
8. Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan,
maka amar putusannya berbunyi:
 Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar atau
pelawan yang salah
 Menyatakan perlawanan dari pelawan tidak dapat diterima, dan
 menguatkan putusan verstek.
9. Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak
mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas
perkara verstek dan verzet dsatukan dalam satu berkas dan dikirim ke
Pengadilan Tinggi Agama dan hanya ada satu nomor perkara.
Menurut Yahya Harahap Tenggang waktu mengajukan perlawanan
verzet merupakan syarat formil yang bersifat imperatf. Apabila tengang
waktu yang dotentukan undang-undang dilampaui, perlawanan menjadi
cacat formil sehingga permintaan yang diajukan tidak dapat diterima.
Akibat lebih lanjut semacam itu adalah;3
a. Putusan verstek menjadi berkekuatan hukum tetap dan tergugat
dianggap menerima putusan, serta
b. Tertutup hak untuk mengajukan banding dan kasasi.

3
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini,
1997), hlm .386

7
Jadi jika masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
pemberitahuan putusan verstek dan ingin mengajukan upaya hukum, maka
yang dapat ditempuh adalah dengan mengajukan upaya hukum
perlawanan atau verzet dengan nomer perkara dan acara pemeriksaan yang
sama namun biaya sendiri.
Namun demikian masih ada kemungkinan upaya hukum lain, apabila
tenggang waktu pengajuan verzet atau perlawanan telah terlewati secara
otomatis putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila waktu tenggang sudah terlewati dan upaya hukum suatu putusan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka melakukan peninjauan
kembali
2. Banding
Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang
terlibat dalam perkara agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan
pengadilan agama diperiksa ulang dalam pemeriksaab tingkat banding
oleh Pengadilan Tinggi Agama karena salah satu pihak belum puas
dengan putusan pengadilan tingkat pertama tersebut.
Dengan demikian banding merupakan permintaan atau permohonan
yang diajukan oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara agar
putusan atau penetapan yang telah dikeluarkan oleh pengadilan agama
tingkat pertama diperiksa ulang Pengadilan Tinggi Agama yang ada di
tingkat provinsi.
Pada hakikatnya, kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili
perkara perdata dalam tingkat banding adalah kewenangan “memeriksa
ulang” kembali suatu perkara yang telah diputus ileh Pengadilan Agama
sebagai peradilan tingkat pertama. Pemeriksaan yang dilakukab oleh
Pengadilan Tinggi Agama adalah pemeriksaan secara keseluruhan perkara
yang dimintakan bbanding. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama

8
diteliti dan diperiksa ulang mulai dari awal sampai dijatuhkan putusan
oleh Pengadilan Tinggi Agama
Menurut M. Yahya Harahap, tujuan utama pemeriksaan tingkat
banding adalah untuk mengoreksi dan mengeluarkan segala kesalahan dan
kekeliruan dalam penetapan hukum, tata car acara mengadili, meluruskan
penilaian fakta, dan pembuktian. Juika sekiranya pengadilan tingkat
banding berpendapat pemeriksaan sudat tepat menurut tata cara yang
dilakukan undang-undang dana mar putusan sudah sesuai denagn hukum
yang berlaku dalam perkara yang bersangkutan, maka pengadilan tingkat
banding itu berwenang untuk mengeluarkan puttusan tersebut dengan cara
mengambil alih seluruh pertimbangan, dan putusan sebagai pertimbangan
dan putusannyas sendiri.sebaliknya jika pengadilan tingkat banding
berpendapat baha perkara yang diperiksa oleh pengadilan tingkat perta
terdapat kesalahan dalam penerapan hukum atau kekeliruan cara
mengadilinya, maka pengadilan tingkat banding berwenang untuk
membatalkannya dan mengadili sendiri dengan putusan yang dianggap
benar sebagai koreksi daripada putusan pengadilan tingkat pertama.4
a. Prosedur permohonan banding
Mengenai aturan tata cara banding diatur dalam pasal 188
sampai pasal 194 HIR atau pasal 199 sampai 205 RBG. Kemudian
berdasarkan ketentuan pasal 3 jo pasal 5 UU Darurat No. 1 Tahun
1951, pasal-pasal tersebut telah dihapuskan dan dinyatakan
berlaku. Sebagai penggantinya dipergunakan ketentuan UU No.20
Tahun 1942 hanya berlaku untuk pulau Jawa-Madura. Tetapi
dalam praktek sampai sekarang telah dijadikan aturan pedoman
untuk seluruh indonesia berbarengan dengan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam HIR dan RBG.

4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2016), hlm. 358

9
Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU
No.20 Tahun 1947 sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 sampai
15, maka menurut ketentuan pasal 7 tata cara permohonan banding
sebagai berikut:
1) Permohonan banding disampaikan kepada panitera
pengadilan yang memutus perkara pengadilan agama
yang hendak banding
2) Pihak yang berhak mengajukan banding adaalah
a. pihak berperkara
b. kuasanya setelah mendapat kuasa khusus
3) Bentuk permintaan banding dapat dilakukan dengan
lisan ataupun tulisan dalam waktu 14 hari setelah
putusan dibacakan atau diberitahukan
4) Biaya banding dibebankan kepada
pemohon(pebanding) bukan kepada pihak termohon
(terbanding), kecuali perkara prodeo.
5) Terhadap permohonan banding yang diajukan
melampaui tenggang waktu , tetap diterima dan dicatat
dengan membuat surat keterangan panitera bahwa
permohonan banding telah lampau tenggang waktu.
6) Pernyataan banding dapat diterima apabila panjar biaya
banding yang ditaksir dalam SKUM oleh meja panitera
telah dibayar lunas oleh pemohon banding
7) Panitera bertugas dalam hal;
a. Meregistrasi permohonan
b. Membuat akta banding
c. Melampirkan akta banding dalam perkara sebagai
bukti dari Pengadilan Tinggi Agama

10
8) Jika biaya banding telah dibayar lunas, maka
Pengadilan Agama wajib membuat akta pernyataan
banding dan mencatat permohonan banding tersebut
dalam register induk perkaradan register banding
9) Akta permohonan banding dalam waktu 7 hari harus
seudah disampaikan kepada pihak lawan
10) Menyampaikan memori banding
Pihak pembanding dapat mengajukan memori
banding ke pengadilan agama dalam tenggang waktu
selama-lamanya 30 hari sejak permohonan banding
didaftarkan. Terbanding juga dapat mengjukan kontra
memori banding ke pengadilan agama dalam tenggang
waktu selama 30 hari sejak pemberitahuan adanya
memori banding. Adapaun dalam putussan MA tanggal
14 Agustus tahun 1959 No.143/Sip/1996, memori
banding bukanlah syarat formal sebagaimana yang
dijelaskan bahwa:
a. tenggang waktu dalam mengajukan memori
banding tidak terbatas
b. harus memberi trahun dengan relaas(surat
panggilan sidang) adanya memori banding
c. memori banding, kontra banding dan relaas
pemberitahuan dilampirkan dalam berkas
perkara
11) menyampaikan berkas banding ke pengadilan tinggi
agama
dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding,
diajukan, berkas perkara harus dikirim ke pengadilan
tinggi. Berkas perkara banding terdiri atasnundel A dan

11
bundle B. Bundel A terdiri atas suat-surat dan berita
acara dan segala sesuatu yang berkaitan dnegan hasil
pemeriksaan perkara di pengadilan agama, sedangkkan
bundle B terdiri atas surat-surat yang berkaitan dengan
adanya permohonan banding termasuk di dalamnya
akta banding, Salinan putusan pengadilan agama yang
bersangkutan, memori dan kontra banding, dan surat-
surat lain yang berhubungan dengan upaya banding
dikirikan ke pengadilan tingggi agama beserta dengan
biaya bandingnya.
12) Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka
panitera melakukan;
a) Untuk perkara cerai talak; (1) memberitahukan
tentang penetapan hari sidang penyaksian ikrar
talak dengan memanggil pemohon dan termohon;
(2) memebrikan akta cerai sebagai surat bukti cerai
selambat-lambatnya 7 hari
b) Untuk perkara cerai gugat memberikan akta cerai
sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya waktu
7 hari
b. Pemeriksaan Tingkat Banding
Prinsip dan pengertian pemeriksaan perkara dalam tingkat
banding ialah pemeriksaan sekali lagi keseluruhan, penetapan atau
putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama.
Pengadilan Tinggi Agama meneliti dan memeriksa kembali
perkara mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dujatuhkan.
Perbedaan utama antara pemeriksaan tingkat banding dengan
pemeriksaan tingkat pertama terletak pada tata cara pemeriksaan,
proses pemeriksaan pada pengadilan tingkat pertama bersifat

12
hubungan langsung antara hakim dengan pihak-pihak berperkara
dan saksi-saksi. Adapun dalam pemeriksaa tingkat banding, sesuai
ketentuan pasal II LN. No. 36 tahun 1955, pada dasarnya
pemeriksaan perkara tidak bersifat hubungan langsung antara
hakim dengan para pihak dan saksi-saksi.
Dalam pemeriksaan banding hakim juga tidak boleh
mengabulkan lebih dari tuntutan atau memutuskan hal-hal yang
tidak dituntut. Putusan pengadilan tingkat pertama harus tetap
dibiarkan sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding. 5
Secara garis besar, pemeriksaan tingkat banding dengan
pemeriksaan tingkat pertama terdapat perbedaan. Perbedaan utama
terletak pada tata cara pemeriksaan. Lain halnya dengan
pemeriksaan pada tingkat banding. Sesuai dengan ketentuan pasal
II Lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, pemeriksaan perkara:6
1. Dilakukan berdasar berkas perkara
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara pada tingkat
banding tidak bersifat berhubungan langsung anatra hakim
dengan pihak dak saksi-saksi, dilakukan melalui berita
acara pemeriksaan pengadilan tingkat pertama. Karena
semua pihak yang terlibat harus diperiksa lagi satu persatu.
2. Apabila dianggap perlu, dapat melakukan “pemeriksaan
tambahan”
Apabila pengadilan tinggi berpendapat ada hal-hal yang
memerlukan kejelasan atau untuk menambah
kesempurnaan pembuktian, pemeriksaan setempat,

5
Aris Bintania, hukum acara peradilan agama dalam kerangka figh al-qadh; Cet Kedua, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Perseda,2013), hlm. 178-179
6
M. Yahya Harahap, op. Cit., h 380-381

13
pemeriksaan saksi ahli dan sebagainya. Pengadilan tinggi
dapat memerintah pemeriksaan tambahan, melalui proses:
a. pemeriksaan tambahan berdasar “putusan sela”.
Apabila pengadilan tinggi bermaksud melakukan
pemeriksaan tambahan lebih dulu ia ia menjatuhkan
“putusan sela”. Jadi sebelum menjatuhkan putsan
akhir, dijatuhkan putusan sela yang amarnya berisi
perintah untuk melakukan pemeriksaan tambahan.
b. pemeriksaan tambahan dapat dilaksanakan sendiri
oleh pengadilan tinggi. Apabila menurut
pertimbangan pengadilan tinggi pemeriksaan
tambahan tidak terlampau memberati pihak-pihak
yang berperkara terutama ditinjau dari segi
dekatnya tempat tinggal para pihak dan saksi yang
hendak diperiksa dari kantor pengadilan tinggi,
pemeriksaan tambahan dapat dilakukannya sendiri.
c. Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan
kepada pengadilan yang memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama. Cara ini yang lazim.
Pemeriksaan tambahan diperintahkan
pelaksanaannya kepada pengadilan yang semula
memeriksa dan memutus pada tngkat pertama.
Utuntuk itu amar putusan sela pengadilan tinggi
sekaligus memuat peintah melakukan pemeriksaan
serta merinci hal-hal apa saja yang kehendak
diperiksa.
3. pemeriksaan tingkat banding dilakukan dengan majelis.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 11 ayat (1) Lembaran
Negara No. 36 Tahun 1955, ketentuan ini, krmrudian

14
dipertegas lagi dalam pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman, yakni semua pengadilan
memeriksa, mengadilan, dan memutus dengan sekurang-
kurangnya tiga orang hakim, kecuali undang-undang
menentukan7.
3. Kasasi
Kasasi adalah pembatalan oleh Mahkamah Agung atas putusan
pengadilan negeri dan putusan pengadilan tinggi (judex factie) yang
dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku atau salah
menerapkan hukum. Pemeriksaan kasasi meliputi seluruh putusan hakim
yang mengenai hukum, baik meliputi bagian dari putusan yang merugikan
maupun yang menguntungkan pemohon kasasi. Jadi, pada tingkat kasasi
tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkara atau pen-
skor-annya dan oleh karena pemeriksaan tingkat kasasi tidak dianggap
sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.
Menurut Raihan A. Rasyid, kasasi adalah permohonan pembatalan
putusan/ penetapan pengadilan tingkat banding ke Mahkamah Agung
melalui pengadilan tingkat pertama karena adanya alasan tertentu, dalam
waktu tertentu, dan dengan syarat tertentu.8
Mahkamah Agung bukan merupakan pengadilan tingkat ketiga atau
badan pengadilan banding tingkat kedua. Melainkan, merupakan badan
atau lembaga kekuasaan kehakiman yang bertugas memeriksa dalam
tingkat kasasi terhadap putusan pengadilan di semua lingkungan peradilan
(Pasal 30) UU No. 14 Tahun 1985 diubah UU No.5 Tahun 2004 atas
alasan;

7
Dr. Ahmad Mujahidin, pembaharuan hukum acara peradilan agama Cet Kedua, (Bogor Ghalia
Indonesia2014), hlm. 254
8
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 173.

15
1) Bahwa penngadilan tidak berwenang atau melampaui
wewenangnya dalam menjatuhkan putusan
2) Bahwa pengadilan salahh menerapkan hukum atau melanggar
hukum yang berlaku dalam memeriksa dan memutuskan perkara
yang dimintakan kasasi
3) Bahwa pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh undang-undang yang berlaku, atau tidak memenuhi prosedur
yang telah ditentukan oleh undang-undang.9
Dalam Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1985 yang diubah dengan UU No.
5 Tahun 2004, kasasi merupakan kewenangan/kekuasaan Mahkmah
Agung, yaitu;
1) Mahkamah agung bertugas memeriksa dan memutus;
a. Permohonan kasasi
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili
c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat
(1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas
dalam mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 29 dan 30.
Pasal 29 menyebutkan;
Mahkamah agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua
lingkungan peradilan.
Pasal 30 menyebutkan;
Mahkamah Agung dalam tingat kasasi terhadap putusan atau
penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan [eradilan
karena;

9
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2016), hlm. 366

16
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
b. Pengadilan salahh menerapkan hukum atau melanggar hukum
yang berlaku dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang
dimintakan kasasi.
c. Pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
undang-undang yang berlaku, atau tidak memenuhi prosedur
yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa
Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara kasasi bukan peradilan
tingkat tertinggi, sebab yang dikasasi itu adalah putusan tingkat tertinggi
yang dalam hal ini Pengadilan Tinggi agama. Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus hanya meliputi bagian hukumnya saja tidak
mengenai perisriwa dana tau fakta dalam perkara yang dimohonkan kasasi
itu, sebab hal ini sudah diperiksa oleh hakim tingkat rendahan yaitu
Hakim Pengadilan agama dan hakim Tinggi agama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung dalam
memeriksa perkara yang dimohonkan kasasi tidak meninjau secara
keseluruhan dari putusan pengadilan sebelumnya, melainkan terbatas pada
peninjauan apakah putusan tersebut telah sesuai dengan hukum yang
berlaku atau sama sekali tidak melaksanakan ketentuan hukum yang
berlaku atau melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku tetapi ada
kekeliruan dalam pelaksanannya. Menurut Abdul Kadir Muhammad,
peradilan kasasi itu terbatas pada persoalan hukumnnya saja, tidak
mengenai peristiwa dan pembuktiannnya. Hakim Kasasi bukan judex
factie (hakim-hakim pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding)
Pada mulanya undang-undang tidak mengatur secara resmi tentanng
upaya hukum kasasi di lingkungan Peradilan Agama, tetapi karena adanya
desakan dari para pencari keadiln agar perkara-perkara di lingkungan
Pengadilan Agama hendaknya diperiksa juga dalam tingkat kasasi demi

17
keadilan dan kebenaran hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum ini,
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1977 tanggal 26 November 1977 yang memberikan kesempatan
bagi pencari keadilan untuk meneruskan samapai tingkat kasasi perkara-
perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama jika mereka menghendakinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Departemen Agama C.q. Direktorat
Pembinaan badan Peradilan Agama Islam dengan Surat Edara Nomor
EV/ED/66/1979, tanggal 22 Juni 1979 menginstruksikan kepada Ketua
Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh
Indonesia, sebagai berikut;
1. Setiap permohonan kasasi ditampung, diproses sebagaimana
mestinya dan kemudian oleh Panitera Pengadilan Agama
dikirimkan kepada Mahkamah Agung
2. Pedoman penerimaan dan penyampaian permohonan kasasi supaya
berpedoman kepada SEMA_RI No 03 Tahun 197510
Sampai saat ini, putusan pengadilan agama diatur dalam Pasal 55
Undang-Undang No. 5 aAhun 2004. Kasasi dapat diajukan oleh para
pihak yang berkepentingan dan para pihak yang berkepentingan ini dapat
mewakilkan kepada seseorang yang diberi kuasa secara khusus.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung RI, bahwa suatu perkara dapat diajukan kasasi jika telah memenuhi
syarat-syarat;
1. Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali
ditentukan lain oleh Undang- undang.
2. Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

10
Ibid, hlm. 367

18
3. Diajukan oleh para pihak yang mengajukan kasasi, pihak yang
berperkara atau kuasanya yang secara khusus untuk perkara
perdata yang diputus oleh Pengadilan Tingkat banding
4. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.(apabila
permohonan kasasi diaajukan melampaui batas tenggang waktu
yang dtentukan Pasal 46 ayat (2) maka akibat hukumnya adalah
putusan yang telah inkracht dan pihak yang berperkara dianggap
otelah menerima putusan) dan jika tidak memenuhi syarat-syarat
formal dinyatakan tidak dapat diterima dan tidak dikirimkan ke
Mahkamah Agung)
5. Putusan atau ketetapan judex factie, menurut hukum dapat
dimintakan kasasi
6. Membuat memori kasasi (syarat mutlak untuk dterimanya
permohonann kasasi)
7. Membayar panjar (uang muka) biaya kasasi
8. Menghadap kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan11
Hal-hal yang berhubungan dengan kasasi sebagaimana ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan tersebut, maka perlu dijelaskan hal-
hal sebagai berikut;12
a. Prosedur Penerimaan Perkara kasasi
1) Permohonan kasasi diajukan baik secara tertulis atau lisan
kepada pengadilan agama yang memutuskan perkara dalam
tenggang waktu 14 hari sesudah penetepan/putusan pengadilan
pengadilan tinggi agama kemudian diberitahukan kepada
pemohon.

11
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Pustaka Kartini,
1997) hlm. 392-400
12
Ibid, hlm. 367-374

19
2) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah
lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak
berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah
menerima putusan.
3) Membayar biaya kasasi
4) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera mencatat
permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga
membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada
berkas perkara.
5) Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam
Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut
memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu
kepada pihak lawan.
6) Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib
menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-
alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku
daftar;
7) Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat
pertama memberikan tanda terima atas penerimaan memori
kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut
kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
8) Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap
.memori kasasi kepada Panitera, dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasasi.

20
9) Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap
memori kasasi, Panitera Pengadilan yang memutus perkara
dalam tingkat pertama, harus sudah mengirimkan berkas
berupa bundel A dan B kepada Mahkamah Agung dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
10) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi
tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut
menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat
tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Ketua
Mahkamah Agung.
11) Biaya pemeriksaan perkara kasasi untuk Mahkamah Agung RI
harus dikirim melalui Bank BRI Cabang Vetetan Raya Nomor
8 Jakarta Pusat. Rekening Nomor 011238-001-5 bersamaan
dengan berkas yang bersangkutan. Besarnya biaya kasasi yang
harus dikirim ke Mahkamah Agung RI ditetapkan dengan
Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/054/Sk/X/1997
tanggal 21 Oktober 1997 sebesar Rp. 100.000,- (Seratus ribu
rupiah) yang diberlakukan sejak tanggal 2 Januari 1998.
12) Dalam menaksir biaya kasasi supaya diperhitungkan dengan
besarnya biaya kasasi sebagaimana yang ditentukan oleh
Mahkamah Agung RI tersebut di atas, ditambah dengan biaya
pemberitahuan memori kasasi, biaya pemberitahuan kontra
memori dan biaya pencatatan permohonan kasasi, serta biaya
pemberitahuan bunyi putusan kasasi.
13) Fotokopi relaas pemberitahuan putusan mahkamah agung RI
supaya dikirim ke Mahkamah Agung RI
14) Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera
melakukan;

21
a) Untuk perkara cerai talak; (1) memberitahukan tentang
penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan
memanggil pemohon dan termohon; (2) memebrikan akta
cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 hari
b) Untuk perkara cerai gugat memberikan akta cerai sebagai
surat bukti cerai selambat-lambatnya waktu 7 hari
b. Pencabutan Permohonan Kasasi
1) Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung,
maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh
pemohon, dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi
mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun
tenggang waktu kasasi belum lampau.
2) Apabila pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan
ayat (1) dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan
kepada Mahkamah Agung, maka berkas perkara itu tidak
diteruskan kepada Mahkamah Agung.
3) Administrasi Perkara Kasasi
1) Bundel berkas perkara kasasi terdiri dari Bundel A dan
bundel B. sebagaimana dalam administrasi perkara
bandinh. Bundel A merupakan himpunan surat-surat yang
diawali dengan surat gugat dan semua kegiatan atau proses
penyidangan/pemerikasaan perkara tersebut yang selalu
disimpan di Pengadilan Agama. Bundel A sama dengan
perkara pada pemohonan banding
2) Bundel B untuk permohonan perkara kasasi selalu ditinggal
menjadi arsip Mahakah agung yang terdiri dari;
- Relaas-relaas pemberitahuan isi outusan banding
kepada kedua belah pihak yang berperkara
- Akta permohonan kasasi

22
- Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi
- Memori kasasi
- Kontra memori kasasi
- Relaas (surat panggilan) memberikan kesempatan
pihak-pihak untuk melihat, membaca dan memeriksa
berkas perkara/permohonan
- Salinan putusan Pengadilan Agama
- Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama
- Tanda bukti setoran biaya kasasi yang sah dari Bank
- Surat -surat lain
c. Pemeriksaan Dalam Tingkat Kasasi
Sebagimana pemeriksaan dalam tingkat pertama dan banding,
pemeriksaan dalam tingkat kasasi juga harus dilaksanakan dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim, seorang hakim bertindak
sebagai hakim ketua dan lainnya sebagai hakim anggota, serta dibantu
oleh seorang panitera atau panitera pengganti.
Pemeriksaan kasasi yang dilaksanakan oleh Majelis sebagaimana
tersebut di atas hanya memeriksa tentang hukumnya saja, tidak lagi
memeriksa peristiwa dan pembuktian.
Jika pemeriksaan dalam tingkat kasasi telah selesai dilaksanakan,
maka putusan kasasi dapat berupa sebagai berikut:
1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima
Alasan permohonan kasasi tidak daoat diterima apabila jangka
waktu permohonan kasasi yang ditetapkan oleh Undang-
undang telah lewat, atau memori kasasi tidak diajukan oleh
para pihak pemohon kasasi, atau apabila permohonan kasasi
diajukan oleh orang yang tidak berwenang.
2. Permohonan kasasi ditolak

23
Ditolaknya permohonan kasasi karena keberatan-keberatan
yang diajukan sekarang oleh pemohon kasasi terhadap putusan
hakim rendahan semata-mata mengenai kejadian atau peristiwa
yang tidak termasuk wewenang Mahkamah Agung RI,
sedangkan dulunya keberatan itu tidak diajukan kepada hakim
judex factie, atau apabila alasan-alasan kasasi yang dimuat
dalam risalah kasasinya semuanya berkenaan dengan hal-hal
pembuktian, sedangkan hakim rendahan telah menyatakan
terbukti menurut hukum kebenarannya. Kasasi bisa juga
ditolak oleh Mahkamah Agung RI apabila alasan yang
diajukan kasasi yang termuat dalam risalah kasasi bertentangan
dengan hukum, sedangkan judex factie sudah benar
menerapkan hukumnya, atau juga segala hal yang dimuat
dalam risalah kasasi tidak mendukung keputusan yang telah
diambil oleh judex factie, artinya segala hal itu ada sangkut
pautnya dengan hukum yang menguasai pokok perkara yang
disengketakan.
3. Permohonan kasasi dikabulkan
Apabila permohonan kasasi beralasan dan alasan-alasan yang
dimuat dalam risalah kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung
RI, maka permohonan kasasi dapat diterima atau dikabulkan.
Sekiranya Mahkamah Agung RI menerima atau mengabulkan
permohonan kasasi, maka putusan hakim judex factie yang
dimohonkan kasasi dibatalkan.
4. Dasar pembatalan suatu putusan
Dasar dari pembatalan suatu putusan adalah “kesalahan
penerapan hukum” yang dilakukan oleh pengadilan di
bawahnya (judex factie). Putusan dan penetapan pengadilan
yang lebih rendah dapat dibatalkan oleh putusan kasasi

24
Mahkamah Agung, dikarenakan hal sebagai berikut: a) Lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan tersebut, misalnya apabila dalam putusan
tidak memuat kalimat kepala putusan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”; b) Melampaui batas
wewenangnya apabila yang dilanggar wewenang pengadilan
secara absolut; c) Salah menerapkan atau melanggar peraturan-
peraturan hukum yang berlaku. Hal ini yang sering terjadi
dalam praktik. Pengertian salah menerapkan hukum banyak
terjadi karena perkembangan hukum meningkat, sedangkan
buku-buku terutama buku yurisprudensi masih jarang
diterbitkan.
B. Upaya Hukum Luar Biasa
1. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa (request civil)
yang merupakan upaya untuk memeriksa atau memerintahkan kembali
suatu putusan pengadilan (baik tingkat pertama, banding, dan kasasi) yang
telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan
peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Disebutkan upaya hukum luar biasa karena upaya hukum peninjauan
kembali adalah merupakan suatu tindakan memeriksa lagi perkara yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi menyimpang dari ketentuan
yang berlaku secara umum, yakni setiap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap secara mutlak mengingat asas “litis finin opperte”
yaitu semua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sudah bersifat
final, tidak di ganggu gugat lagi.

25
Peninjauan kembali diatur dalam Pasal 66 No. 14 Tahun 1985 yang
menyebutkan;
1) Permohonan peninjauan kembali hanya dilakukan satu
kali’permohonan peninjauan kembali tidak menanggughkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan
2) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut, permohonan
peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan kembali
Adapun syarat-syarat permohonan peninjauan kemabli adalah
sebagai berikut
1. Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli warisnya atau
wakilnya yang diberikan kuasa secara khuusus
2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasa-
alasanya
4. Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui
ketua Pengadilan Agama yang memutus [erkara dalam
tenggang waktu 180 hari atau sesuai dengan alasan yang
disebutkan
5. Membayar biaya peninjauan kembali
Menurut M. Yahya Harahap, SH., (1990: 408) dibukanya pintu upaya
hukum peninjauan kembali terhadap perkara yang telah putus dalam
tingkat pertama, banding, dan kasasi adalah karena beberapa
pertimbangan antara lain:
1) Meskipun perkara telah di periksa dalam tingkat pertama, banding,
dan kasasi telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikhawatirkan
ada kekeliruan dalam pemeriksaannya sebab sifat manusia
walaupun ia sebagai hakim tidak luput dari khilaf dan lalai serta
serba kekurangan,

26
2) Bisa terjadi pada saat perkara diputus, ternyata ada unsur-unsur
yang tidak sehat seperti kebohongan dan tipu muslihat sehingga
timbul ketidakadilan pada salah satu pihak yang berperkara,
3) Tidak layak mempertahankan putusan yang cacat yuridis dalam
kehidupan masyarakat sehingga lebih layak diberikan mengajukan
peninjauan kembali terhadap perkara yang telah mempunyai
hukum tetap.
a. Alasan- alasan upaya hukum peninjauan kembali
1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan, tipu
muslihat pihak lawan atau bukti-bukti palsu. Kebohongan
atau tipu muslihat itu diketahui setelah perkaranya diputus,
sedangkan bukti palsa itu harus dinyatakan oleh hakim
pidan dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap
Kaitanyya dengan hal Pasal 69 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 menyebutkan bahwa tengang waktu
mengajukan Peninjauan Kembali adalah 180 hari sejak
diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan
hakim pidan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada pihak0pihak yang berperkara
atau pihak-pihak yang bersengketa
2) Apabila setelah perkara diputus novum, maksudnya telah
ditemukan surat-surat yang bersifat menentukan, yang oada
waktu perkara diperiksa tidak ditemukan
3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut dan
lebih daripada yang dituntut
4) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan hakim belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya
5) Putusan bertentangan satu sama lain

27
6) Apabila dalam waktu putusan terdapat kekhilafan atau
kekeliruan hakim yang nyata
b. Prosedur penerimaan perkara Peninjauan Kembali
1) Mengajukan permohonan peninjauan kemabli kepada
Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan melaui
Pengadilan Agama
2) Pengajuan peninjauan kembali dalam tenggang waktu 180
hari sesudah penetapan/putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan bukti adanya
kebohongan/bukti baru, dan bila alasan pemohon PK
berdasarkan bukti baru (novum), maka bukti baru tersebut
dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oelh pejabat
yang berwenang.
3) Membayar biaya Peninjauan Kembali
4) Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan
menyampaikan Salinan memori PK kepada pihak lawan
dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 hari
5) Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap
memori PK dalam tenggang waktu 30 hari setalah tanggal
diterimnya Salinan permohonan PK.
6) Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkasa
Peninjauan kembali berupa bundle A dan Bundel B ke
Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari
7) Panitera Mahkamah Agung menyampaikan Salinan
putusan peninjauan kembali kepada Pengadilan Agama
8) Pengadilan Agama menyampaikan Salinan putusan
peninjauan kembalikepada para pihak selambat-lambatnya
dalam tenggang waktu 30 hari.

28
9) Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka
panitera melakukan;
a) Untuk perkara cerai talak; (1) memberitahukan tentang
penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan
memanggil pemohon dan termohon; (2) memebrikan
akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya
7 hari
b) Untuk perkara cerai gugat memberikan akta cerai
sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya waktu 7
hari13
c. Pemeriksaan Peninjauan Kembali
1) Permohanan Peninjauan Kembali diteliti kelengkapan
berkasnya oleh Mahkamah Agung kemudian dicatat dan
diberi nmor resgister perkara penjinjauan kembali
2) Mahkamah Agung memeberitahukan kepada pemohon dan
termohon Pk bahwa perkaranaya telah diregistrasi
3) Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya
ketua tim menetapkan Majelis Hakim AGung yang
memeriksan perkara PK
4) Panitera pengganti mendistribusikan berkas oerkara ke
Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1,2 dan
pembaca 3) ubtuk diberi pendapat
5) Majelis Hakim Agung memutus perkara
6) Mahkamah Agung mengirimkan Salinan putusan kepada
para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang
menerima permohonan PK.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
13

Yayasan Al-Hikmah, 2016), hlm. 373-376

29
Putusan Mahkamah agung RI terhadap perkara
permohonan Peninjauan Kembali dapat diklasifikasi
kepada tiga bentuk, yaitu;
1. Putusan tidak bias diterima
Suatu putusan tidak bias diterima karena terlambat
mengajukan permohonan Peninjauan kembali
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 69 UU
No. 14 Tahun 1985. Putusan Peninjauan Kembali
dinyatakan tidak diterima oleh Mahkamah Agung
karena;
a. Permohonan diajukan oleh orang yang tidak
berhak
b. Surat kuasa tidak diserahkan dalam permohonan
Peninjauan Kembali padalah permohonan
tersebut di kuasakan kepada orng lain
c. Peninjauan kembali diajukan kdua kalinya
d. Permohonan peninjauan kembali dimohonkan
terhadap putusan Pengadilan Agama yang
bekum mempunyai kekuatan hukum tetap
e. Permohonan yang diajukan tidak memneuhi
syarat-syarat formal
2. Putusan tidak dikabulkan
Permohonan peninjaun kebali ditolak oleh
Mahkmah Agung RI apabila alasan-alasan itu tidak
didukung oleh fakta yang benar yang menjadi
alasan dan menjadi dasar permohonan peninjauan
kembali. Apabila Mahkamah Agung menolak
permohonan peninjauan kembali , maka putusan

30
yang telah mempunyai kekuatan hukum
sebelumnya tetap berlaku.
3. Putusan dikabulkan
Permohonan Peninjauan Kembali akan dikabulkan
oleh Mahkamah Agung RI apabila akasan-alasan
Peninjauan Kembalu yang diajukan pemohon sesuai
dengan ketentuan Pasal 67 UU No.14 Tahun1985.
Dalam hal Mahkamah AGung RI mengabulkan
permohonan Peninjauan Kembai tersebut dan
selanjutnya Mahkamah AGung RI akan memeriksa
dan memutus sendiri perkara itu. Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut merupakan suatu
putusan pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
Putusan MAhkamah Agung RI dalam hal menerima
atau mengabullkan permohonan Peninjauan
Kembali dapat mengabulkan seluruh permohonan
peninjauan kembali itu atau dapat mengabulkan
sebagian dari gugatan.
Pencabutan permohonan peninjauan kembali
Permohonan PK dapat dicabut selam belum diputuskan, dalam
dicabut permohonan peninjauan kembali (PK) tidak dapat
diajukan lagi (pasal 66 ayat (3) UU No. 14/1985). Pencabutan
permohonan PK ini dilakukan seperti halnya pencabutan
permohonan kasasi.
2. Derden Verzet
Derden Verzet merupakan upaya hukum luar biasa yang juga dapat
dilakukan di Pengadilan Agama. Derden verzet adalah upaya hukum
ketiga membela haknya karena barangnya disita dan bagi pihak ketiga
merasa dirugikan. Dalam praktik, tergugat sering mengajukan keberatan

31
atas penyitaaan yang diletakan terhadap karta kekayaan yang dalih, barang
yang disiti adalah adalah milik pihak ketiga
Derden verzet dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawan
belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila
perkara yang dilawan sudah memperioleh putusan yang berkekuatan
hukum tetap, upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga atas
penyitan itu bukan derden verzet tetapi berbentuk gugatan perdata biasa.
Demikian dikemukakan dalam Putusan MA N0. 996 K/pdt/1989 bahwa
derden verzet yang diajukan atas Conservatoir Beslag dalam suatu perkara
perdata dapat dibenarkan selama putusan perkara yang dilawan belum
mempunyai kekukatan hukum tetap serta Conservatoir Beslag tersebut
belum diangkat.
Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut pelawan harus dapat
membuktikan bahwa barang yang disita itu adalah miliknya, dan jika ia
berhasil membuktikan, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang
benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Jika pelawan tidak
dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita maka
pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan
yang tidak jujur, dan sita akan di pertahankan.14
Perkara-perkara yang dapat diajukan derden verzet di Pengadilan
Agama:
1. Perkara waris
Objek harta waris yang disengketakan para ahli waris ternyata
telah pindah tangan/ dijual Pewaris ketika masih hidup dengan
pihak ketiga, Pihak ketiga baru mengetahui bila tanah miliknya
akan dieksekusi oleh Pengadilan untuk dibagi para ahli waris,
maka dalam hal ini Pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan

14
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, persidangan, penyitaan, dan putusan pengadilan,
(Jakarta: Sinar Grafika; 2018), hlm.299-300

32
/derden verzet ke Pengadilan Agama yang telah menjatuhkan
putusan yang akan dieksekusi tersebut;
2. Perkara harta bersama
Sengketa harta bersama antara suami istri dalam kasus
perceraian, termasuk harta bersama yang disengketakan berupa
sebuah rumah, dalam putusan hakim bahwa sebuah rumah yang
disengketakan tersebut akan dieksekusi sebagai harta bersama
yang akan dilelang dan hasilnya akan dibagi dua, ternyata objek
eksekusi tersebut milik orang tua salah satu pihak (bukan harta
bersama), maka orang tua tersebut dapat mengajukan derden
verzet.
3. Perkara ekonomi syariah
Seorang nasabah bank syariah mengadakan kerja sama dengan
akad Mudharabah, Bank Syariah sebagai shahib al-mal (pemilik
modal) atau sebagai kreditur telah menyerahkan modal kepada
pelaku usaha (Mudharib) atau sebagai debitur, kemudian debitur
menyerahkan sertipikat tanah sebagai Hak tanggungan kepada
Kreditur, ketika usahanya tidak jalan/macet, kemudian Bank
syariah mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama dan diputus
bahwa Hak tanggungan tersebut akan dilelang, kemudian ada
Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas perkara tersebut yakni
objek hak tanggungan tersebut telah dalam sita jaminan pihak
ketiga, maka yang demikian pihak ketiga dapat mengajukan derden
verzet ke Pengadilan Agama yang telah menjatuhkan putusan yang
akan dieksekusi lelang tersebut

33
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Dalam proses persidangan di Pengadilan merupakan salah satu usaha
para hakim sebagai penegak hukum dalam menemukan suatu kebenaran yang
bertujuan untuk menegakkan keadilan bagi para pihak pencari keadilan.
Sebab Suatu putusan hakim itu tidak luput dari adanya kekeliruan atau
kekhilafan yang dapat merugikan pihak bahkan tidak mustahil dapat bersifat
memihak terhadap salah satu pihak. Oleh karena itu, demi kebenaran dan
keadilan setiap putusan hakim perlu diperiksa ulang agar kekeliruan atau
kekhilafan yang terjadi dapat diperbaiki pada putusan. Bagi setiap putusan
hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya untuk mencegah
atau memeperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan yaitu dengan upaya
hukum terhadap putusan pengadilan
Dalam praktiknya terdapat dua yaitu upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa. Upaya hukum biasa yaitu verzet, banding, kasasi.

34
Sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kmebali dan derden
verzet.
Verzet adalah perlawanan dari tergugat terhadap putusan verstek dari
peradilan agama tingkat pertama. Berdasarkan upaya hukum verzet hakim
dalam pengadilan agama dapat memeriksa kembali gugatan yang telah
diputuskan secara verstek. Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa
yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara
terhadap suatu putusan Pengadilan Agama. Para pihak mengajukan banding
bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Agama kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut
dijatuhkan. Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat
diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu
putusan Pengadilan Tinggi Agama
Peninjauan kembali atau biasa disebut Request Civiel adalah meninjau
kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim,
sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi
lain. Derden verzet adalah upaya hukum ketiga membela haknya karena
barangnya disita dan bagi pihak ketiga merasa dirugikan. Dalam praktik,
tergugat sering mengajukan keberatan atas penyitaaan yang diletakan terhadap
karta kekayaan yang dalih, barang yang disiti adalah adalah milik pihak
ketiga.

B. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam terkait upaya hukum dalam putusan
pengadilan dlingkungan pengadilan . Penyusun berharap makalah ini dapat
menjadi referensi bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, persidangan, penyitaan, dan


putusan pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika; 2018)

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:


Pustaka Kartini, 1997)

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,


(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2016)

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka figh al-qadh; Cet
Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda,2013),

Dr. Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Cet Kedua,
(Bogor Ghalia Indonesia, 2014)

H. Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di


Indonesia, (Bandung; Pustaka Setia, 2017

36

Anda mungkin juga menyukai