Sholat Dua Hari Raya
Sholat Dua Hari Raya
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Shalat di dua hari
raya dalam islam”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “shalat dua hari raya dalam islam” berupaya memberikan
ilmu kepada umat islam bagaimana menunaikan shalat ied dengan benar.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik
dan saran dari pembaca yang membantu. Terimakasih.
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
Hari Id merupakan salah satu syiar Islam. Ibadah-ibadah dalam Islam tampak pada
hari Ied. Unsur kebersamaan, kemanusiaan, dan pribadi berkumpul pada hari Ied. Dinamakan
Id karena kembali dan terus terulang. Ada juga yang mengatakan, karena setiap tahun
kebahagiaan baru kembali terulang. Selain itu ada yang berpendapat, maksudnya adalah
mengulang kembali kebaikan bagi siapa saja yang mengerti tentangnya. “Id” adalah sebutan
umum yang beralih kepada sesuatu biasa terjadi.
Dalam Islam, tidak ada hari raya kecuali satu hari raya pekanan dan dua hari raya (Id)
tahunan. Id pekanan adalah hari Jumat. Dan Id tahunan adalah Idul Fitri dan Idul Adha. Hari-
hari raya umat Islam lebih istimewa daripada hari-hari lainnya. Di dalamnya terdapat bentuk
penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla, pengagungan kepada-Nya, bercampur dengan rasa
senang dan bahagia.
Idul Fitri didapat setelah bulan shiyam dan qiyam. Idul Adha, di dalamnya berlaku
syiar-syiar haji yang mulia. Dua hari raya tersebut terkait dengan nilai-nilai dalam rukun
Islam. Hari raya seorang muslim, berlaku saat ketaatan terhadap Sang Tuan yang Maha
Pengasih dan Pemberi sempurna. Selain itu, untuk memenuhi janji dan pahala yang diberikan
Rabb-Nya.
Rumusan Masalah
1. Apa hokum sholat Idul Fitri dan Idul Adha?
2. Bagaimana pelaksanaan Sholat Idul Fitri dan Idul Adha?
3. Apa Sunnah Sunnah dalam melaksanakan sholat ied?
BAB II PEMBAHASAN
Sholat Ied adalah sholat yang dilakukan umat islam pada hari raya dalam islam.
Dalam islam, hari raya besar adalah hari raya Iedul Fitri dan Iedul Adha. Iedul Fitri
dilaksanakan setiap tanggal 1 bulan syawal sedangkan Iedul Adha dilaksanakan setiap
tanggal 10 Dzulhijah. Secara bahasa (harfiyah), Idul Fitri artinya kembali ke fitrah. Kata
fitrah dari kata futhur yang artinya kembali makan pagi (sarapan). Jadi, Idul Fitri sejatinya
bermakna kembali sarapan, tidak seperti bulan Ramadhan yang harus berpuasa. Ada juga
yang memaknai Idul Fitri sebagai kembali ke fitrah, yakni asal kejadian manusia yang
suci-bersih dari dosa, layaknya bayi baru lahir.
Iduladha (bahasa Arab: )عيد األضحىadalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini
diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim, yang bersedia untuk
mengorbankan putranya untuk Allah, kemudian sembelihan itu digantikan oleh-Nya
dengan domba. Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan
salat Ied bersama-sama di tanah lapang atau di masjid, seperti ketika merayakan Idulfitri.
Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah
kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya. Iduladha
jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah perayaan
Idulfitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.
Pusat perayaan Iduladha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama
Mina, dekat Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus
dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang naik Haji. Iduladha adalah puncaknya
ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim. Terkadang Iduladha disebut pula sebagai
Idul Qurban atau Lebaran Haji.
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap
muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim. Dalil dari hal ini
adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied
(Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa)
dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau
memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.”
Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy
Syaukani).
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar
rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah
untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini
dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika
wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu
firman Allah Ta’ala,
ْك َوا ْن َحر َ َف
َ ِّص ِّل لِ َرب
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini
adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied
jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh
digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan
shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan
bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang
menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja).
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan,
bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur
rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah
mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di
satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar
Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi
wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”
Shalat Idul Fitri dikerjakan setelah matahari terbit dan berketinggian dua kali
panjangnya penggalah (kurang lebih 6 m), sedangkan shalat Idul Adha setelah matahari
meninggi kurang lebih satu penggalah (yaitu setelah lewat sekitar setengah jam sejak
terbitnya). Jadi waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adlha itu sama dengan waktu salat dluha.
Dasarnya adalah:
Shalat Id diselenggarakan di lapangan, tidak di masjid, kecuali kalau hari hujan yang tidak
memungkinkan melaksanakan shalat Id di lapangan. Hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah
saw yang senantiasa mengerjakan shalat Id di lapangan. Beliau mengerjakan shalat Id di
mushallaa, yaitu tanah lapang yang terletak 1000 hasta (200 meter) dari masjidnya pada
waktu itu. Beliau tidak pernah mengerjakan shalat Id di masjid, kecuali sekali karena hari
hujan. Hal ini berdasarkan hadis berikut ini:
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Haurairah bahwa mereka (para Sahabat) pada suatu hari
raya mengalami hujan, lalu Nabi saw melakukan shalat bersama mereka di mesjid. [HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Ia (al-Hakim) mengatakan: Ini adalah hadis sahih
sanadnya (Al-Mustadrak, I:295, “Kitab al-‘Idain)].
Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah
lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
ْ َِكانَ َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – يَ ْخ ُر ُج يَوْ َم ْالف
َ ط ِر َواألَضْ َحى إِلَى ْال ُم
صلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul
Adha menuju tanah lapang.”
An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang
menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol
(lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum
muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat
‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram
Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya
adalah sebagai berikut.
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain
takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika
takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir
tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap
takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.” Syaikhul Islam mengatakan bahwa
sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
اللَّهُ َّم ا ْغفِرْ لِي َوارْ َح ْمنِي. ُس ْبحَانَ هَّللا ِ َو ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َواَل إلَهَ إاَّل هَّللا ُ َوهَّللَا ُ أَ ْكبَ ُر
“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war
hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk
disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali
lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya
asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya.
Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at
pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab
pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun
menjawab,
)ُق ْالقَ َمر ِ َكانَ يَ ْق َرأُ فِي ِه َما
ِ َب (ق َو ْالقُرْ آ ِن ْال َم ِجي ِد) َو (ا ْقتَ َرب
َّ ت السَّا َعةُ َوا ْن َش
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat
Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada
raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al
A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied
maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
يث ْالغَا ِشيَ ِة) قَا َل َوإِ َذا
ُ ك َح ِد َ ك األَ ْعلَى) َو (هَلْ أَتَا َ ِِّّح ا ْس َم َرب
ِ ب ( َسب ِ ةªِ يَ ْق َرأُ فِى ْال ِعي َدي ِْن َوفِى ْال ُج ُم َع-صلى هللا عليه وسلم- ِ َكانَ َرسُو ُل هَّللا
صالَتَي ِْنَّ اح ٍد يَ ْق َرأُ بِ ِه َما أَ ْيضًا فِى ال
ِ اجْ تَ َم َع ْال ِعي ُد َو ْال ُج ُم َعةُ فِى يَوْ ٍم َو.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat
Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat
Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan
dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku,
i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain
takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah
disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied,
ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid
dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan
menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut
hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat
riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil
dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah
menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
ِةªص فِى ْال ُج ُم َع
َ َد ثُ َّم َر َّخªلَّى ْال ِعيªص
َ صنَ َع قَا َل
َ َال فَ َك ْيف ِ أَ َش ِهدْتَ َم َع َرس
َ َ ِعي َدي ِْن اجْ تَ َم َعا فِى يَوْ ٍم ق-صلى هللا عليه وسلم- ِ ُول هَّللا
َ َ ق.ال نَ َع ْم
َ صلِّ َى فَ ْلي
ُص ِّل َ ُ» فَقَا َل « َم ْن شَا َء أَ ْن ي.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan
shalat ‘ied sebelum khutbah.”
Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan
sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar. Beliau pun memulai
khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau
yang lainnya.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.
… Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan
tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan
bacaan takbir.”
Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib,
ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
َْب فَ ْليَ ْذهَب ْ س لِ ْل ُخ
َ طبَ ِة فَ ْليَجْ لِسْ َو َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يَ ْذه َ ِإِنَّا ن َْخطُبُ فَ َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يَجْ ل
“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah,
silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-
niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika
berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika”
dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka
biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam
melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad
mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang
pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya”. Imam
Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan
memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan
hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin
mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang
meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
َ َكانَ النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – إِ َذا َكانَ يَوْ ُم ِعي ٍد خَالَفَ الطَّ ِري
ق
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda
ketika berangkat dan pulang.”
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan
kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
ِ يَ ْخ ُر ُج إِلَى ْال ِعي ِد َم-صلى هللا عليه وسلم- ِ َكانَ َرسُو ُل هَّللا.
اشيًا َويَرْ ِج ُع َما ِشيًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki,
begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.”
Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
ٍ ْال ِعي َدي ِْن َغ ْي َر َم َّر ٍة َوالَ َم َّرتَ ْي ِن بِ َغي ِْر أَ َذ-صلى هللا عليه وسلم- ِ ُول هَّللا
ان َوالَ إِقَا َم ٍة ُ صلَّي
ِ ْت َم َع َرس َ .
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan
maupun iqomah.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat
shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu
untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran
Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”
BAB III KESIMPULAN
Shalat idul fitri dilaksanakan setiap tanggal 1 bulan syawal dan shalat idul adha
dilaksanakan setiap tanggal 10 dzulhijah. Hukum kedua shalat ini adalah wajib bagi
mukmin yang mampu melaksanakan. Adapu pelaksanaan shalat idul fitri dan idul adha
adalah saat pagi hari memasuki waktu dhuha dan tata cara pelaksanaan shalatnya yaitu dua
rakaat dimana pada rakaat pertama terdapat 7 takbir setelah takbiratul ikhram dan terdapat
5 takbir pada rakat kedua setelah takbiratul ikhram. Shalat Ied merupakan bentuk taat
seorang mukmin kepada Allah dan sebagai bentuk sukacita seorang hamba karena
memasuki 2 hari raya besar dalam islam.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
https://rumaysho.com/676-panduan-shalat-idul-fithri-dan-idul-adha.html
https://www.kiblat.net/2015/07/16/hukum-dan-amalan-seputar-hari-raya-id/
https://tarjih.or.id/pelaksanaan-dan-cara-shalat-idul-fitri/