Anda di halaman 1dari 24

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Ilmu Ma’ani al-Hadis


Kata Ma’ani (‫ )معانى‬adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (‫)معنى‬. secara leksikal kata ma’ani
berarti maksud atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui
ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari
pikiran. 
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang
dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan
keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut.
‫علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكالم العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال‬.
‫علم يعلم به احوال الفظ التى بها يطابق مقتضى الحال‬.
‫علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال‬.

Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya
ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu, objek kajian
ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan
dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara
keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat mufrad (berdiri sendiri)
sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor lain).
Mengingat objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis pun menjadi salah satu
bahan kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu yang berbicara
bagaimana memahami sebuah teks hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor
yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.

B. Ragam Makna
1. Makna Kontekstual
Makna kontekstual ialah makna sebuah laksem atau kata yang berada dalam suatu konteks.
Misalnya, makna konteks kata kepala pada kalimat berikut:
Rambut dikepala nenek belum ada yang putih
Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murit itu
Nomor telfonnya ada pada kepala surat itu
Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan
lingkungan penggunaan bahasa itu. Contohnya, “tiga kali empat berapa ?” Jika dilontarkan di
depan kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung. Tentu dijawab 12 atau
mungkin 13. Namun jika pertanyaan itu dilontarkan pada tukang foto, maka mungkin
pertanyaan akan dijawab dengan lima ratus atau seribu, mengapa demikian ? Senab
pertanyaan tersebut mengacu pada biaya pembuatan pas foto yang berukuran tiga kali
empat centimeter. 

2. Makna Referensial
Sebuah kata disebut bermakna referensial jika terdapat referensinya, atau sebuah acuan.
Misalnya kata seperti “kambing” disebut bermakna referensial jika terdapat referensinya,
atau terdapat sebuah acuan. Kata seperti “jika, meskipun” ialah kata yang tidak bermakna
referensial, sebab kata tersebut tidak mempunyai referensi, atau disebut dengan kata
bermakna Non Referensial (memiliki makna, tapi tidak mempunyai sebuah acuan). 
Berkenaan dengan acuan ini, terdapat sejumlah kata yang disebut dengan kata-kata deiktik,
yang acuan tersebut tidak menetap pada satu wujud saja, melainkan dapat berpindah dari
wujud yang satu kepada wujud yang lainnya. Kata-kata deiktik ini ialah kata seperti
pronomina, misalnya dia, saya, dan kamu. Kata-kata yang menyatakan ruang, misalnya
disini, disana, dan disitu. Kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok dan
nanti. Kata-kata yang disebut kata petunjuk, misalnya ini, dan itu. 
Contoh pronomina kata saya pada kalimat berikut yang acuannya tidak sama. 
a. Tadi pagi saya bertemu dengan ustadz, kata Ani kepada Ali.
b. O, Ya ? sahut Ali, Saya juga bertemu beliau tadi pagi.
c. Dimana kalian bertemu beliau ? tanya Amir, saya sudah lama tidak jumpa dengan dia.
Pada kalimat pertama kata saya mengacu pada kata Ani, pada kalimat kedua, mengacu pada
Ali dan pada kalimat ketiga mengacu kepada Amir. 
3. Makna Denotatif
Makna denotatif ialah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh
sebuah kata. Umpamanya, kata kurus bermakna denotatif yang mana artinya keadaan tubuh
seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal. Kata bunga bermakna denotatif yaitu
bungan yang seperti kita lihat di taman bunga.
Makna denotatif berlawanan dengan makna konotatif. Dalam ilmu balaghah (Ilmu bayan),
makna denotatif disebut makna hakiki, makna asal dari suatu lafadz atau ungkapan yang
pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafadz atau kata ungkapan tersebut lahir
untuk makna itu sendiri, sedangkan makna konotatif dalam ilmu balaghah disebut dengan
makna majazi, yaitu perubahan dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan
untuk pengertian pada umumnya.

4. Makna Konotatif
Makna konotatif (makna majazi) ialah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif
yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata
tersebut. Contoh makna konotatif, kata kurus misalnya, berkonotasi netral, artinya tidak
memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tapi kata ramping, yaitu sebenarnya bersinonim
dengan kata kurus tersebut memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan, orang
akan senang jika dikatakan ramping. Sebaliknya kata krempeng, yang sebenarnya juga
bersinonim dengan kata kurus dan ramping, mempunyai nilai rasa yang tidak enak, orang
tidak akan suka jika dikatakan tubuhnya krempeng. Dan juga kata bungan, jika dikatakan
fatimah adalah bungan desa kami, ternyata makna bunga tidak sama lagi dengan makna
semula. Sifat bunga yang indah tersebut dipindahkan kepada fatimah yang cantik. Dengan
kata lain orang lain melukiskan kecantikan fatimah yang seperti bunga. 
Contoh lain kalimat, ‫(خطب األسد على المنبر‬singa berpidato di atas mimbar) kata ‫( األسد‬singa)
memiliki makna konotatif, sebab kata mengalami perubahan makna, dari makna asli
(denotatif / hakiki) ke makna lain (majazi / konotatif). Penggunaan kata singa disini untuk
mengungkapkan sifat keberanian pada diri orator yang sedang berpidato di atas mimbar. 
Dalam pembahasan ilmu bayan (balaghah), terdapat penegasan yang membedakan antara
makna konotatif atau majazi dan kata-kata yang memiliki suatu hubungan sinonim atau
muradif atau munasah. Dalam makna majazi ada proses perubahan makna. Sedangkan di
dalam kata-kata yang sinonim atau muradif tidak memiliki makna konotatif atau majazi
sebab di antara kata-kata yang berhubungan dengan sinonim tidak ada perubahan dari
makna asal kepada makna baru. Dalam bahasa arab kata (‫ )األسد‬yang bermakna asal
(denotatif) tertuju pada seekor hewan yang buas, bermangsa, bertaring, memiliki kata yang
searti (sinonim) yaitu : ‫ شتامة‬,‫ هجام‬,‫خطار‬, dan sebagainya. Namun semua kata yang sinonim
atau sama-sama bermakna singa ini bukan makna konotatif, tapi tetap dengan makna
denotatif.

5. Makna Konseptual
Makna konseptual ialah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau
asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang
biasa dikendarai, dan kata rumah memiliki makna konseptual, bangunan tanpa tempat
tinggal manusia.

6. Makna Asosiatif
Makna asosiatif ialah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata bahasa. Misalnya kata
melati berasiosiasi dengan berani dan kata buaya berasosiasi dengan jahat atau kejahatan.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan
oleh suatu masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai
kemiripan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal kata tersebut. 
Jadi kata melati yang bermakna koseptual sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan
berbau harum, digunakan untuk menyatakan perlambanga kesucian, kata merah yang
bermakna koseptual sejenis warna terang menyolok di gunakan untuk perlambangan
keberanian, dan kata buaya yang bermakna konseptual sejenis binatang reptil atau buas
yang memakan binatang apa saja, termasuk bangkai, digunakan untuk melambangkan
kejahatan atau penjahat. 
Pendapat Leech, seperti yang dikutip oleh Abdul Chaer mengenai makna asosiasi
menyatakan bahwa.
“Dalam makna asosiasi ini juga dimasukkan juga yang disebut makna konotatif, makna
stailistika, makna efektif dan makna kolakatif” 
Makna stailistika berkenaan dengan pembedaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial
atau bidang kegiatan. Misalnya, dokter mengatakan penyakitnya akan diangkat maka yang
dimaksud ialah dioperasi. Orang dibengkel mengatakan mesin mobil itu diangkat, maka yang
dimaksud ialah diperbaiki. Makna efektif yakni makna yang menimbulkan rasa bagi
pendengar. Jika seseorang menghardik kata meskipun dengan kata-kata yang biasa kita
tentu merasakan sesuatu yang agak lain jika kata tersebut diucapkan dengan nada bisa. 
Contoh:
a. Duduk (dengan suara pelan)
b. Duduk (dengan suara keras)
Makna kolakatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari
sejumlah kata yang bersinonim, sehingga kata terebut hanya cocok untuk digunakan
berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Misalnya, kata tampa sesungguhnya bersinonim
dengan kata-kata cantik dan indah, hanya cocok atau hanya berkolokasi dengan kata yang
memiliki ciri pria. Maka kita dapat mengatakan pemuda tanpan, tapi tidak dapat
mengatakan gadis tampan. Jadi tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis.
7. Makna Kata
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya makna yang dimiliki sebuah kata
ialah makna leksikal, makna denotatif atau makna koseptual. Tapi dalam penggunaan makna
kata itu baru menjadi jelas jika kata terebut sudah berada dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata tersebut berada dalam
kenteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar,
dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata maknanya lazim dianggap sama, seperti
pada contoh ini. 
a. Tangannya luka kena pecahan kaca
b. Lengannya lukan kena pecahan kaca.
Jadi kata tangan dan kata lengan pada kedua kalimat di atas ialah sinonim atau bermakna
sama.

8. Makna Istilah
Yang disebut dengan istilah ialah yang mempunyai makna pasti, jelas dan tidak meragukan
meskipun tanpa konteks kalimat. Hal yang perlu diingat ialah bahwa sebuah istilah hanya
digunakan pada keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamanya kata tangan dan kata lengan
yang menjadi contoh di atas. Kedua kata tersebut dalam bidang kedokteran mempunyai
makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan,
sedangkan lengan ialah bagian dari pergelagan sampai kepangkal bahu. Jadi kata tangan dan
lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, sebab maknanya berbeda. 

Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah yang karena sering digunakan,
kemudian sejumlah istilah yang karena sering digunakan, kemudian menjadi kosakata
umum. Artinya istilah itu tidak hanya digunakan dalam bidang keilmuannya, tapi juga telah
digunakan secara umum diluar bidangnya. Dalam bahasa indonesia, misalnya istilah spiral,
virus, akomodasi telah menjadi kosakata umum, tapi istilah alomorf, alofon, morfem masih
tapi sebagai istilah dalam bidangnya, belum menjadi kosakata umum.

9. Makna Idiom
Idiom ialah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makan unsur-
unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya secara gramatikal
bentuk menjual rumah bermakna yang menjual menerima uang dan yang membeli
menerima rumahnya, tapi dalam bahasa indonesia bentuk menjual gigi tidak memiliki makna
seperti hal tersebut, melainkan bermakna tertawa keras-keras. Jadi makna seprti yang
dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makan idiomatikal. Contoh lain dari idiom
ialah membanting tulang dengan makna bekerja keras, meja hijau dengan makna
pengadilan. 
Contoh-contoh dalam bahasa arab sebagai berikut :
Makna Idiom Makna Asal Kalimat
Hal yang tidak bisa dilaksankan Tinta diatas kertas ‫ورق على حب ٌر‬
Tertegun karena kaget Menahan nafas ‫أنفاسه حبس‬
Masalah memanas Tungku itu panas ‫الوطيس حمي‬
Takut Hatinya terbang ‫قلبه طار‬
Berpikir lama Memeras otak‫ذهنه قدح‬

10. Makna pribahasa


Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara leksikal maupun
gramatikal, makna yang disebut pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsur-unsurnya. Sebab adanya asosiasi antara makna asli dengan makna
sebagai pribahasa. Umpamanya pribahasa seperti anjing dan kucing, yang bermakna ihwal
dua orang yang namanya anjing dan kucing jika berdua memang selalu berkelahi, dan tidak
pernah damai. 
Contoh lain, pribahasa tongkosong nyaring bunyinya, maknanya orang yang banyak cakap
biasanya tidak berilmu. Makna ini dapat ditarik dari asosiasi tong yang berisi bila dipukul
tidak mengeluarkan bunyi, tapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan
nyaring. 
Contoh dalam bahasa arab, pribahasa ‫ذر‬11‫راد اليبقي وال ي‬11‫ كلج‬bermakna “bagaimana belalang
yang tidak memberi sisa apapun”. Makna pribahasa ini merupakan kaisan bagi seseorang
yang kebiasaan harta bendanya karena sebab apapun, misalnya gemar berjudi, kebakaran
atau kecurian, sehingga tidak ada sedikitpun yang tertinggal yang masih dimilikinya. 
Contoh lain, ‫ خ ّفت نعامتهم‬artinya “ringan sudah burung unta mereka”. Keistimewaan burung
unta ialah begitu cepat larinya dan tampak ringan apabila berjalan. Pribahasa ini dikiaskan
pada suatu kaum yang diwaktu perginya berkumpul berduyung-duyung, tapi setelah pulang
berpisah pisah. 
Contoh lain, ‫ كأنّ على رؤوسهم الطير‬artinya “seolah-olah ada burung di kepalanya”. Orang yang
dihinggapi burung di kepalanya agaknya takut dan sayang jika burung tersebut terbang. Jadi
ia diam saja. Pepatah ini ialah kiasan bagi seseorang atau suatu golongan yang patuh, taat
dan selalu mengikuti perintah yang dikatakn oleh pemimpinnya. Juga dikiaskan sebagai
orang yang berhati lemah lembut, penyantun dan sabar.

C. Uslub

Uslub adalah makna yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa
sehingga lebih cepat mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa
para pendengarnya. Uslub ada tiga macam: 
1. Uslub Ilmiah
Uslub ini adalah uslub yang paling mendasar dan paling banyak membutuhkan logika yang
sehat dan pemikiran yang lurus, dan jauh dari khayalan syair. Karena uslub ini berhadapan
dengan akal dan dialog dengan pikiran serta menguraikan hakikat ilmu yang penuh
ketersembunyian dan kesamaran.

2. Uslub Adabi
Dalam uslub jenis ini keindahan adalah salah satu sifat dan kekhasannya yang paling
menonjol. Sumber keidahannya adalah khayalan yang indah, imajinasi yang tajam,
perseruhan beberapa titik keserupaan yang jauh di antara beberapa hal, dan pakain kata
benda atau kata kerja yang konkret sebagai pengganti kata kerja atau kata benda yang
abstrak.

3. Uslub Khitabi
Dalam uslub ini sangat menonjol ketegasan makna dan redaksi, ketegasan argumentasi dan
data, keluasaan wawasan. Dalam uslub ini seorang pembicara dituntut dapat
membangkitkan semangat dan mengetuk hati para pendengarnya. Keindahan dan kejelasan
uslub ini memiliki peran yang besar dalam memepengaruhi dan menyentuh hati. Di antara
yang memeperbesar peran uslub ini adalah status pembicara dalam pandangan para
pendengarnya, penampilannya, kecemerlangan argumentasinya, kelantangan dan
kemerduan suaranya, kebagusan penyampaiannya, dan kepatan sasarannya.
D. Bentuk Unggkapan Hadis

Hadis-hadis Nabi memiliki bentuk ungkapan yang beragam. Hal ini, bisa dirasakan manakala
mencermati bentuk ungkapan matan hadis-hadis Nabi yang begitu banyak. Syuhudi Ismail
mengemukakan beberapa ragam bentuk ungkapan hadis Nabi: Jami’ kalim (ungkapan yang
singkat, namun padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa ismbolik dan lain-lain.

1. Jawami’ Kalim
)‫ (رواه البخارى‬.‫الحرب خدعة‬
Perang itu siasat. (HR. Bukhari)

Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa
setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal
sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan
alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan
takluk kepada lawan tanpa syarat.

2. Bahasa Tamsil
)‫ (رواه بخارى‬.‫المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا‬
Orang yang beriman terhadap orang beriman yang lain ibarat bangunan, bagian yang satu
memperkokoh terhadap bagian lainnya. (HR. Bukhari)
Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai
bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat
sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memeperkokoh bagian lainnya.
Orang-orang yang beriman seharusnya seperti itu, yakni yang satu memeperkuat yang
lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.

3. Ungkapan Simbolik
)‫ (رواه البخارى‬.‫المؤمن ياكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء‬
Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sementara orang kafir makan
dengan tujuh usus. (HR. Bukhari)
Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda
dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh
manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu
merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan
dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang
makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menepatkan makna sebagai dari
tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam
kelezatan makan. Yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang
kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam
menerima nikamt Allah, termasuk tatkala makan, sedang orang kafir mengingkari nikmat
Allah yang dikaruniakan kepadanya.

4. Bahasa Percakapan
Dalam sebuah matan hadis dikemukakan:
‫ق‬11‫ (متف‬.‫رف‬11‫رفت ومن ال تع‬11‫الم على من ع‬11‫رؤ الس‬11‫ام وتق‬11‫ تطعم الطع‬:‫ال‬11‫ير؟ ق‬11‫الم خ‬11‫ أي االس‬:‫أن رجال سأل النبي صلعم‬
)‫عليه‬
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?”
Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu
menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.” (Hadis
disepakati Bukhari dan Muslim)

Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu
ajaran Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”, maka
hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis
lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun jawaban Nabi
berbeda-beda.

5. Ungkapan Analogi
Dalam suatu matan hadis Nabi yang cukup panjang dikemukakan antara lain bahwa
menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan
Nabi ini, para sahabat bertanya: “apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-
isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab:
)‫ (رواه مسلم‬.‫أرأيتم لو وضعها فى حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذالك اذا وضعها فى الحالل كان له أجر‬
Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkan di jalan haram,
apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan
yang halal, dia mendapat pahala.
E. Kegunaan Ilmu Ma’ani al-Hadis

Ilmu ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan
kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan
suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan
melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat sbb: 
1. Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan
deskripsinya, pemilihan diksi, kefasihan kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.
Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun
prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma’âni bisa dibedakan mana ungkapan yang benar dan
yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak, dll.

PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ingkar Sunnah
                  Kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata
َ ‫إِ ْن َك‬  ‫ ُر‬111ِ‫ ُي ْنك‬ ‫را‬111
“Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab ‫ر‬111 َ ‫إِ ْن َك‬   yang mempunyai arti
diantaranya :”Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau  tidak
mengetahui sesuatu. Misalnya Firman Allah :
َ ‫م َو ُه ْم لَ ُه ُم ْن ِكر‬1ْ ‫َفد ََخلُوا َعلَ ْي ِه َف َع َر َف ُه‬
‫ُون‬
 “Lalu mereka (saudara saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf
mengenal   mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya kepadanya.(QS.Yusuf (12) :
58).
َ ‫ون نِعْ َم َة هَّللا ِ ُث َّم ُي ْن ِكرُو َن َها َوأَ ْك َث ُر ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬ َ ُ‫َيعْ ِرف‬
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka
adalah orang orang yang kafir. (QS.An-Nahl (16) :83).
      Al Askari membedakan antara makna An Inkar dan Al Juhdu. KataAl Inkar terhadap
sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang Al Juhdu terhadap
sesuatu yang nampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang
yang mengingkari sunnah sebagai hujjah dikalangan orang yang tidak banyak
pengetahuannya tentang ulum hadits. Dari beberapa kata”Ingkar” di atas dapat disimpulkan
bahwa Ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima
sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor
ketidaktahuannya atau faktor lain.
      Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadits
disebut ahli bid’ah. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu’tazilah dan lain lain karena mereka itu
umumnya menolak sunnah.
      Ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yanng sifatnya masih sangat sederhana
pembatasannya diantaranya sebagai berikut :
a.       Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al Qur’an.
b.      Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar
hukum Islam dari Sunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan
para ulama, baik secara totalitasmutawatir atau ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan
yang diterima.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat
perorangan atau kelompok bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan paham ini dapat
menerima sunnah selain sebagai sumber hukum Islam, misalnya sebagai fakta sejarah,
budaya, tradisi dan lain lain. Paham Ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah
baik sunnah mutawatir dan ahad atau menolak yang ahad saja atau sebagian saja. Demikian
juga penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat
diterima oleh akal sehat, seperti seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat
daripada hadits yang ia dapatkan, atau hadits itu tidak sampai kepadanya, atau karena
kedhaifannya atau karena tujuan syar’i yang lain maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.
2.      Sejarah Ingkar Sunnah
Sejarah Ingkar Sunnah terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a.       Ingkar Sunnah Klasik
     Ingkar Sunnah Klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) yang menolak
kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagi sumber hukum Islam
baik mutawatir atau ahad. Imam Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir As Sunnah (pembela
sunnah)  pernah didatangi oleh orang yang disebut sebagai ahli tentang mazhab teman
temannya yang menolak seluruh sunnah. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan
Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan. Namun, semua
argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’i dengan
jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan
menerima sunnah Nabi.
    Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada kelompok pengingkar Sunnah yang
berhadapan dengan Asy-Syafi’i yaitu :
1)      Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al Qur’an saja yang
dapat dijadikan hujjah.
2)      Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al Qur’an.
     Kesimpulannya Ingkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang
dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte sekte dalam Islam,
kemudian di ikuti oleh para pendukungnya dengan cara saling mencaci para sahabat dan
melemparkan hadits palsu. Penolakan sunnah secara keseluruhan bukan karakteristik umat
Islam. Semua umat Islam menerima kehujjahan sunnah. Namun, mereka berbeda dalam
memberikan kriteria persyaratan kualitas sunnah.(Majid, Abdul Khon.2009.hal 27-40).
b.      Ingar Sunnah Modern
    Al Mawdudi  yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy seorang Guru Besar Fakultas
Tarbiyah Jamiah Ummi Al Qura Thaif, demikian juga dikutip beberapa ahli Hadits juga
mengatakan bahwa Ingkar Sunnah lahir kembali di India, setelah kelahirannya pertama di
Irak masa klasik. Tokoh tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan (w.1897 M), Ciragh Ali (w.1898
M), Maulevi Abdullah Jakralevi (w.1918 M), Ahmad Ad-Din Amratserri (w.1933M), Aslam
Cirachburri (w.1955M), Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah, Sayyid Ahmad
Khan sebagai penggagas sedang Ciragh Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide ide Abu Al
Hudzail pemikiran Ingkar Sunnah tersebut.
    Sebab utama pada awal timbulnya Ingkar Sunnah modern ini ialah akibat pengaruh
kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam.

c.        Pokok Pokok Ajaran Ingkar Sunnah

1)      Tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah. Menurut mereka hadits itu karangan
Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2)      Dasar Hukum Islam hanya Al Qur’an saja.
3)      Syahadat mereka :Isyhadu bi anna muslimun.
4)      Shalat mereka bermacam macam ada yang shalatnya dua rakaat-dua rakaat dan ada
yang hanya eling saja.
5)      Haji boleh dilakukan selama empat bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqa’idah,
dan Zulhijah.
6)      Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu waktu
mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa.
7)      Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
8)      Orang yang meninggal tidak dishalati karena tidak ada perintah dalam Al Qur’an.

3.      Alasan Pengingkar Sunnah


Terdapat dua hal yang menjadi argumen besar para pengingkar sunnah sebagai alasan dan
landasan yang digunakan. Argumen-argumen Naqli dan argumen-argumen non-naqli.
(Ismail, Syuhudi. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya.1995. Jakarta:
Gema Insani Press.)
1)      Argumen-Argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Qur’an saja,
tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi.
a)      Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 89
َ ‫اب ِت ْب َيا ًنا لِ ُك ِّل َشيْ ٍء َو ُه ًدى َو َرحْ َم ًة َو ُب ْش َرى ل ِْلمُسْ لِم‬
...)٨٩( ‫ِين‬ َ ‫ْك ْال ِك َت‬
َ ‫َو َن َّز ْل َنا َعلَي‬
... Dan Kami turunkan Kitab (Al Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.
b)      Al Qur’an Surat Al An’am ayat 38
ِ ‫ َما َفرَّ ْط َنا فِي ْال ِك َتا‬.....
‫ب مِنْ َشيْ ٍء‬
... Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab
Menurut para pengingkar sunnah kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Al    Qur’an telah
mencangkup segala sesuatu berkenaan dengan agama. Menurut mereka salat lima waktu
sehari semalam yang wajib didirikan dan yang sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah
sunnah atau hadits, melainkan ayat ayat Al Qur’an, misalnya QS.Al Baqarah : 238, Al
Hud:144, Al Isra:78 dan 110,Taha:130,Al Hajj:7, An Nur:58, Ar Rum 17-18. (ibid.)
Dalam kaitannya dengan tata cara shalat Kassim Ahmad pengingkar Sunnah dari Malaysia
menyatakan dalam bahasa Malaysia :
“Kita telah membuktikan bahwa perintah sembahyang telah diberi oleh Tuhan kepada Nabi
Ibrahim dan kaumnya dan amalan ini telah diperuntukkan generasi demi generasi, hingga
Muhammad dan umatnya.....(Kassim Ahmad), h. 104.
Ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaidah salat
dalam Al Qur’an. Pertama, karena bentuk dan kaidah ini telah diajar kepada Nabi Ibrahim
dan pengikut pengikutnya dan di sahkan untuk di ikuti oleh umat Muhammad. Kedua,
karena bentuk dan kaidah ini tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberi kelonggaran
kepada umat Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat mereka dalam keadaan
apajuga seperti dalam perjalanan jauh, peperangan, di Kutub Utara, atau di angkasa
lepas,mengikuti cara yang sesuai....(Ibid,h.47)
Dengan demikian menurut pengingkar sunnah tata cara salat tidaklah penting. Para
pengingkar sunnah adalah orang orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak
berhak sama sekali untuk menjelaskan Al Qur’an kepada umatnya. Nabi Muhammad hanya
bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya.
Dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa orang yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada
Rasulullah. Hal itu menurut para pengingkar sunnah hanya berlaku sewaktu Rasulullah masih
hidup, yakni tatkala jabatan ulul amri masih ditangan beliau. Setelah beliau wafat maka
jabatan ulul amri berpindah kepada orang lain dan karenanya kewajiban patuh orang yang
beriman kepada Nabi Muhammad menjadi gugur. (Ibid, h.40-44)
c)      QS. Al Fathir :31
‫ب ه َُو ْال َح ُّق‬ َ ‫َوالَّذِي أَ ْو َح ْي َنا إِلَ ْي‬
ِ ‫ك م َِن ْال ِك َتا‬
Artinya : Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah yang
benar.
d)     Sejumlah riwayat hadist yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
ِ َ ‫ َواِنمَّا اَنا َ م َُو اف ُِق ِك َتا با‬.ُ‫هللا َفلَ ْم اَقُ ْله‬
ُ‫هللا َو ِب ِه َه َدا نِى هللا‬ ِ ‫اب‬ َ ‫هللا َفإِ نْ َوافَقَ ِك َت‬
ِ ‫ب‬ َ ‫ َما اَتا َ ُك ْم َع ِّنيْ َفا َ عْ ِرض ُْوهُ َع‬.
ِ ‫لى ِك َتا‬
Artinya : Apa yang datang kepadamu dari saya, maka konfirmasikanlah dengan Kitabullah;
Jika sesuai dengan Kitabullah, maka hal itu berarti saya telah mengatakannya; Dan jika
ternyata menyalahi Kitabullah, maka hal itu bukanlah saya yang mengatakannya. Dan
sesungguhnya saya (selalu) sejalan dengan Kitabullah dan dengannya Allah telah memberi
petunjuk kepada saya.

2)      Argumen Non-Naqli

a)      Al Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui Malaikat Jibril)
dalam bahasa Arab. Orang orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu
memahami Al Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan
demikian hadits Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Al Qur’an. (al-Syafi’i. juz
VII, h. 250)
b)      Dalam sejarah umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena
umat Islam terpecah pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada
hadits Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, haditsNabi merupakan sumber
kemunduran umat Islam; Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan
hadits Nabi.
c)      Asal mula hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab kitab hadits adalah dongeng
dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi lahir setelah lama Nabi wafat.
Dalam sejarah, sebagian hadits baru muncul pada zamantabi’in dan atba’ al
tabi’in (dibaca atba’ut-tabi’in), yakni sekitar empat puluh atau lima puluh tahun sesudah
Nabi wafat. Kitab kitab hadits yang terkenal, misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,
adalah kitab kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu. Disamping itu, banyak matan
hadits yang termuat dalam berbagai kitab hadits, isinya bertentangan dengan Al Qur’an
ataupun logika. (Ibid)
d)      Menurut dokter Taufiq Sidqi, tiada satupun hadits Nabi yang dicatat pada zaman Nabi.
Pencatatan hadits terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadits itu,
manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits sebagai mana yang telah
terjadi.
e)      Menurut pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits sangat lemah
untuk menentukan keshahihan hadits dengan alasan sebagai berikut :
(1)   Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah ‘Ilm al-Jarh wa al-
Ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian pada periwayat hadits), baru
muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian, para periwayat generasi
sahabat Nabi, al-tabi’in, dan atba’ al- tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
(2)   Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh
ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad ke empat Hijriah. Dengan konsep ta’dil
al-shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan hadits.

D.    KESIMPULAN
Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok bukan gerakan atau
aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum
Islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain lain.
Namun perlu ditekankan bahwa adanya Inkar Sunnah setidaknya mengharuskan
dilakukannya suatu pembelajaran kembali yang lebih matang mengenai tafsir Qur’an yang
benar dan adanya peninjauan kembali untuk menghadirkan analisa-analisa terhadap
kebenaran-kebenaran penyampaian hadits/sunnah yang tidak menekankan keterbukaan
pemikiran yang sebenarnya dapat membantu kehidupan. Sehingga hidup yang dilandaskan
pada Al-Qur’an dapat benar-benar terrealisasikan tanpa adanya kekakuan pemikiran yang
tidak terbuka terhadap pemahaman Al-Qur’an itu sendiri, sebab di dalam Al-Qur’an juga
terdapat beberapa ayat yang memerlukan penjelasan dari penerima wahyu itu sendiri.
Latar Belakang Masalah
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak
diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan
lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu
hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang
antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu  hadis dikembangkan dua cabang ilmu
yakni ilmu hadits  riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima,  menyampaikan
kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam
menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik
mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi
yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih
tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena
kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu
hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan
perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil ?
2. Apakah Manfaat dari Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil ?
3. Apa Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Menta’dil-kan Dan Men-tajrih-kan ?
4. Bagaimana Kemunculan dan Perkembangan ilmu Al-jarh wa At-ta’dil?
5. Sebutkan Macam-macam Keaiban Rawi ?
6. Berapa Jumlah Orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-
tajrih-kan rawi-rawi?
7. Bagaimana Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil?
8. Bagaimana Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil?
9. Bagaimana Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan
Masalah-Masalahnya?
 
Tujuan Masalah
Mengetahui Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil.
Mengetahui Manfaat dari Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil.
Mengetahui Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Menta’dil-kan Dan Men-tajrih-kan.
Mengetahui Kemunculan dan Perkembangan ilmu Al-jarh wa At-ta’dil.
Mengetahui Macam-macam Keaiban Rawi.
Mengetahui Jumlah Orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan
rawi-rawi.
Mengetahui Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil.
Mengetahui Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Mengetahui Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-
Masalahnya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil
Al-jarh secara bahasa: isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu
yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang. Al-jarh menurut istilah: yaitu terlihatnya
sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan
dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau melemahkannya hingga
kemudian ditolak[1]. At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat
yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa yaitu apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang
yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan
membersihkannya. Al-‘Adlu menurut istilah yaitu orang yang tidak nampak padanya apa
yang dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya
dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis. At-Ta’dil yaitu
pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya,
dan diterima beritanya.
Maka ilmu al-Jarh dan al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan pada para perawi dan tentang penta’dilannya dengan memakai kata-kata yang
khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
 
Manfaat Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu
dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dilini tidak
dipelajari dengan seksama, paling tidak ,akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang
meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW,
sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan
kondisi yang tidak menentu.
Jika tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan mencampuradukkan
antara hadis yang benar-benar dari rosullullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Dengan
mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan
ataupun hadis dhoif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[2]
 
Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Menta’dil-kan Dan Men-tajrih-kan.
Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang men-jarah-
kan(fajrih),yaitu;
1. Berilmu pengetahuan.
Takwa.
Wara’ ( orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil
dan makruhat-makruhat).
Jujur
Menjauhi fanatik golongan.
Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan untuk men-takhrij-kan.[3]
 
Kemunculan dan Perkembangan ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
Eksistensi Al-jarh wa At-ta’di dalam kritik sanad hadis berfungsi sebagai tolok ukur dan
timbangan bagi seorang perawi apakah hadis yang diriwayatkannya itu diterima atau ditolak.
Permasalahan Al-jarh wa At-ta’dil, al Khathib menyatakan bahwa sebenarnya Al-jarh wa At-
ta’dil tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam itu sendiri. Al
Naisaburi juga mengatakan bahwa generasi pertama yang telah memperkenalkan azaz dan
kaedah Al-jarh wa At-ta’dil adalah generasi sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Zaid bin
Thabit, dimana mereka menyeleksi, memberikan nilai negatif dan positif dan membahas
riwayat-riwayat yang sahih dan tidak sahih.[4]
Pembahasan mengenai Al-jarh wa At-ta’dil   pada tahap berikutnya mengalami
perkembangan yang demikian pesat. Pada abat ke-2  muncul tokoh-tokoh Al-jarh wa At-
ta’dil diantaranya adalah : Ma’mar, Hisyam Al-DIstiwai, Al-Auza’i, Al- Tsauri, Hammad Ibn
Salamah dan Al-Laits Ibn Sa’ad. Pada penghujung periode terakhir abad ke-2 itu juga muncul
tokoh-tokoh seperti : Yahya Ibn Sa’id Al-Qattan dan Abdurrahman Ibn Mahdi.
Perkembangan ilmu Al-jarh wa At-ta’dil yang menggembirakan ini tidak lepas dari perhatian
umat terhadap hadis, yang demi menjaga validitasnya, penyeleksian  terhadap para
pembawa  berita tersebut mutlak dilakukan dengan ketat berdasarkan metode dan semua
ilmu Al-jarh wa At-ta’dil.
 
Macam-macam Keaiban Rawi
 
Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar ketentuan syari’at),
Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
Jahalatu’l-Hal (tidak di kenal identitasnya) .
Da’wa’l-inqhitha’ (di duga keras sanadnya tidak bersambung).
Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan Rawi serta Masalah-Masalahnya
Jumlah Orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayat. Demikian
pendapat kebanyaakan fuqoha Madinah.
Cukup seorang saja dalam soal riwayat bukan dalm soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut
tidak menjadi syarat dalam  penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam men-
ta’di-lkan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.[5]
Adapun kalau ke-adilan-nya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak  atau dimashurkan
oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang menta,dilkan(muzakky=mua’dil). Seperti
Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal , Al-Laits, Ibnu Mubarak, Sya’aibah, Ishak, dan
lain-lain .
Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang
sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kan, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila
keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
Al-jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak
daripada jarh-nya. Sebab jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh
mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si
mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama’.[6]
Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya
yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut Ajjaj al
Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak
jumlahnya tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang mentajrih.
Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara,
sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat.
Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi
4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan
Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan[7], yaitu sebagai berikut:
1)      Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan,
dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandug
pengertian sejenis:
‫ اوثق الناس‬                       =     orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
‫اثبت الناس حفظا وعدالة‬        =     orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
‫الىه المنتهى في الثبت‬             = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
‫ثقة فوق ثقة‬                      =     orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)      Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz
(dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
‫ثبت ثبت‬       = orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
‫ثقة ثقة‬         = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
‫حجة حجة‬     = orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
‫ثبت ثقة‬      = orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat
hafalannya.
‫حافظ حجة‬      = orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
‫ضابط متقن‬     = orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)      Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti
‘kuat ingatan’, misalnya:
‫ثبت‬     = orang yang teguh (hati-hati lildahnya).
‫متقن‬    = orang yang meyakinkan ilmunya.
‫ثقة‬      = orang yang tsiqah.
‫حافظ‬   = orang yang hafidz (kuat hafalannya).
‫حجة‬    = orang yang petah lidahnya.
4)      Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang
tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
‫صدوق‬             = orang yang sangat jujur
‫ماء مون‬           = orang yang dapat memegang amanat
‫ال باء س به‬       = orang yang tidak cacat
5)      Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui ke-dhabit-an,
misalnya:
‫محلة الصدق‬      = orang yang berstatus jujur.
‫جيد الحديث‬        = orang yang baik haditsnya.
‫حس الحديث‬       = orang yang bagus haditsnya.
‫مقارب الحديث‬    = orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah.
6)      Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di
atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut di-tashir-kan (pengecilan
arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
‫صدوق ان شاءهللا‬                        = orang yang jujur, insya Allah
‫فالن ارجو بان ال باء س به‬            = orang yang diharapkan tsiqah
‫فالن صويلج‬                              = orang yang sedikit keshalihannya
‫فالن مقبول حديثة‬                        = oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-
kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-
hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;
1)      Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
‫اوضع الناس‬                   = orang yang paling dusta
‫اكذب الناس‬                    = orang yang paling bohong
‫اليه المنتهى في الوضع‬      = orang yang paling menonjol kebohongannya
 
2)      Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz
berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
‫كذاب‬                            = orang yang pembohong
‫وضاع‬                         = orang yang pendusta
‫دجال‬                           = orang yang penipu
 
3)      Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, mislanya:
‫فالن متهم بالكذب‬            = orang yang dituduh bohong
‫او متهم بالوضع‬              = orang yang dituduh dusta
‫فالن فيه النظر‬                = orang yang perlu diteliti
‫فالن ساقط‬                     = orang yang gugur
‫فالن ذاهب الحديث‬           = orang yang haditsnya telah hilang
‫فالن متروك الحديث‬         = orang yang ditinggalkan haditsnya
 
4)      Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
‫مطروح الحديث‬              = orang yang dilempar haditsnya
‫فالن ضعيف‬                  = orang yang lemah
‫ فالن مردود الحديث‬        = orang yang ditolak haditsnya
 
5)      Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai
hafalannya, misalnya:
‫فالن اليحتج به‬               = orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
‫فالن مجهول‬                  = orang yang tidak dikenal haditsnya
‫فالن منكر الحديث‬            = orang yang mungkar haditsnya
‫فالن مضطرب الحديث‬      = orang yang kacau haditsnya
‫فالن واه‬                        = orang yang banyak duga-duga
 
6)      Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya,
tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
‫ضعف حديثه‬        = orang yang di-dha’if-kan haditsnnya
‫ فالن مقال فيه‬       = orang yang diperbincangkan
‫فالن فيه خلف‬       = orang yang disingkiri
‫ فالن لين‬             = orang yang lunak
‫فالن ليس بالحجة‬   = orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
‫فالن ليس بالقوي‬   = orang yang tidak kuat
Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut
tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai i’tibar (tempat
pembanding).
 
Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya.
Keadilan seorang perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan.
Dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai orang yang adil
(bisy-syuhrah).
Dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil yang
semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
 
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh;
1.  Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-
ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, bai laki-laki maupun perempuan, baik
orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
 
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui 2 jalan:
Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah
dikenal sebagai seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta
dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai
jalan untuk menetapkan kecacatannya.
Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang mengetahui sebab-sebab dia cacat.
Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqoha, sekurang-
kurangnya harus di tajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.[8]

Anda mungkin juga menyukai