PROBLEMATIKA K3 DI INDONESIA
Disusun Oleh:
KELAS : 2 D
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum
diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh
di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan
kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah.
Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan
pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan
sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan,
pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak
lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja
karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas
keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam
bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan
berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat
meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan
mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat
memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja.
Hal lain yang juga ikut mendorong perlunya perhatian serius terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja adalah menguatnya desakan akan penegakan hak-hak asasi manusia
(HAM) sebagai suatu fenomena global.
Dalam perspektif penegakan HAM, adanya jaminan terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja di lingkungan perusahaan dipandang sebagai bagian integral dari
penegakan hak-hak asasi manusia.
Dengan kata lain, kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat dari berbagai sisi,
antara lain:
1. Dari ruang lingkupnya K-3 dapat diartikan sebagai suatumasalah yang berkaitan
dengan Dunia Kesehatan dan Dunia Kerja yang serius saat ini dan menarik
perhatian masyarakat internasional.
2. Sebagai disiplin ilmu merupakan ilmu kesehatan yang memberikan perhatian
besar terhadap hubungan timbal balik antaraaspek kesehatan dan aspek kerja.
3. Sementara dari aspek politik dan kebijakan publik dapat dicerminkan dengan
berbagai peraturan dan kebijakan --baik global maupun nasional-- yang bertujuan
melindungi pekerja dan faktor yang dapat mengancam kesehatan dan
keselamatannya dalam pekerjaan.
b. Faktor peralatandan bahan baku, yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan,
seperti:
Implementasi K-3
Sebagai upaya perlindungan pekerja, masalah "Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-
3)" kini menjadi persoalan global, dan setiap negara tentu harus menyikapinya dengan
langkah konkrit dan terencana. Pada lingkup internasional, misalnya, PBB melalui ILO
(International Labour Organisation) telah menetapkan ketentuan tentang"Accupational
Safety and Health" yang patut dilaksanakan oleh semua negara anggota.
Fokus dari ketentuan tersebut adalah pencegahan efek samping dari penggunaan
teknologi dalam industri --dari paling sederhana hingga tercanggih-- yang mengganggu tata
kehidupan dan lingkungan.
Sebagai anggota PBB dan ILO, Indonesia tampak berusaha memenuhi ketentuan
tersebut. Hal ini setidaknya tercermin pada serangkaian kebijakan yang ditempuh
pemerintah baik menyangkut institusionalisasi, legislasi maupun operasional.
Dalam aspek institusional, misalnya, pada tahun 1957 pemerintahan membentuk
LembagaKesehatan Buruh yang kemudian diu-bah menjadi Lembaga Kesehatan dan
Keselamatan Buruh ditahun 1965. Untuk lebih mengefektifkan fungsi kesehatan dan kesela-
matan kerja, organisasi Departemen Kesehatan kemudian dilengkapi dengan Dinas Higiene
Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja Departemen
Kesehatan. Sementara De-partemen Tenaga Kerja membentuk Lembaga Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes).
Untuk lebih mengintensifkan fungsinya, kedua institusi tersebut kemudian
dikembangkan menjadi Sub Direktorat Kesehat-an Kerja Departemen Kesehatan (kemudian
menjadiBadan Pusat Kesehatan Kerja) dan Pusat Hiperkes Departemen Tenaga Kerja &
Transmigrasi. Sedang dalam aspek legislasi, perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja diwujudkan dengan terbitnya sejumlah undang-undang dan peraturan, antara lain:
Kendala
Lambannya penerapan ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia
tampak selain disebabkan oleh rendahnya kesadaran para pelaku usaha akan hal ini, juga
oleh beragam faktor lain, dan karena itu perlu selusi yang bersifat menyeluruh.
Hasil satu survai menyebutkan bahwa hampir 37,2 5 perusahaan yang terdapat di
Indonesia tidak menyediakan biaya kesehatan dalam rencana pembiayaan perusahaan meski
hampir 57% pihak manajemen perusahaan menengah mengaku paham akan pentingnya
kesehatan dan keselamatan kerja. Sedang sebagian besar perusahaan skala kecil umumnya
tidak menerapkan --bahkan tidak mengenal-- prinsip kesehatan dan keselamatan kerja.
Lebih menyedihkan lagi pada sektor informal hingga saat ini belum ada upaya pemantauan
terhadap implementasiK-3 dalam kegiatan usahanya.
Kondisi yang menyedihkan diatas memang menjadi kenis-cayaan dari sistem
hubungan kerja yang berlaku selama ini yang tak memungkinkan penerapan ketentuan K-
3 secara intens. Sistem hubungan Kerja borongan, Kerja kontrak sementara, Kerja Harian
Lepas dan sejenisnya memang tidak mendukung terlaksananya K-3.
Sesungguhnya semua itu terjadi karena dukungan politik dari pemerintah dalam
perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai ketenaga-
kerjaan dan dunia usaha, misalnya, terlihat dengan jelas belum semua aspek prinsipil
kesehatan dan keselamatan kerja terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan
audit kesehatan dan keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas belaka.
Namun diluar sebab-sebab diatas, tersendatnya penerapan K-3di Indonesia juga
disebabkan oleh belum berkembangnya disiplin ilmu kedokteran okupasi sehinga jumlah
dokter okupasi di Indonesia masih sangat minim begitu pula klinik medik okupasimasih
sangat terbatas.