Anda di halaman 1dari 8

NEUROMYELITIS OPTICA

Definisi
Neuromyelitis optica (NMO), juga dikenal sebagai Devic's disease atau
Devic's syndrome, merupakan suatu penyakit autoimun demielinisasi inflamasi pada
SSP yang menyerang nervus optikus dan medulla spinalis.
Epidemiologi
Epidemiologi NMO tidak jelas karena sering misdiagnosis dengan MS. Meskipun kasus
NMO telah dilaporkan di seluruh benua, studi epidemiologi sangat jarang, insidensi dan
prevalensinya belum jelas. Insidensi rata-rata berdasarkan studi terkini berkisar dari
0.053 - 0.4 per 100,000 individu dan rata-rata prevalensi berkisar antara 0.52 - 4.4 per
100.000 individu. NMO lebih sering terjadi pada ras non-Caucasians dimana prevalensi
MS pada ras ini rendah. Terdapat banyak laporan mengenai prevalensi NMO yang lebih
tinggi di Asian, Indian dan populasi kulit hitam. 2 Studi epidemiologi lainnya
menunjukkan perkiraan prevalensi NMO di jepang yaitu sekitar 14 per 1,000,000, dan
di northwest England sekitar 4 per 1,000,000 dengan rasio wanita : laki-laki sebesar 3:1.
Usia rata-rata onset yaitu sekitar 40 tahun, namun pernah dilaporkan kasus pada anak-
anak. NMO atau devic’s disease lebih umum terjadi pada ras asia daripada kaukasia. 1
Terdapat predominansi jenis kelamin perempuan pada NMO.

Etiopatogenesis
NMO merupakan suatu kompleks penyakit yang disebabkan oleh interaksi antara
genetik host dan faktor-faktor lingkungan. Karakteristik imunologis mayor NMO yaitu
ditemukannya antibodi terhadap aquaporin 4 (anti-AQP4), yang merupakan water
channel utama di otak. Akan tetapi, tidak didapatkannya anti-AQP4 seropositiv pada
sejumlah kasus NMO memunculkan dugaan bahwa myelitis dan ON dapat disebabkan
oleh mekanisme lain, seperti connective tissue disorders, paraneoplastic disorders atau
penyakit-penyakit infeksi. Hal ini merupakan bukti kuat yang mendukung hipotesis
bahwa NMO memiliki etiopathogenetikal yang heterogen.

a. Human leukocyte antigen (HLA) genetic factor


Faktor genetik yang paling banyak dipelajari adalah HLA. Pada studi kasus di Cina
dilaporkan bahwa alel HLA-DPB1*0501 secara significant lebih tinggi pada NMO
daripada MS dan alel -DPB1*0501 berhubungan dengan risiko NMO yang memiliki
anti-AQP4 seropositive di populasi Southern Han Cina. Blanco et al.
mendemonstrasikan bahwa NMO berhubungan dengan peningkatan frekuensi alel
HLA-DRB1*10 dibandingkan dengan MS serta dengan peningkatan frekuensi alel
HLA-DRB1*03 dibandingkan dengan kontral normal sehat. Alel HLA-DRB1*03
berhubungan dengan anti-AQP4 seropositif pada orang Caucasians yang menderita
NMO. Meskipun banyak studi yang melaporkan hubungan antara alel HLA
dan NMO, studi lain juga menemukan bahwa tidak ada hubungan, sehingga diyakini
adanya kemungkinan multifactorial and complex genetic susceptibility, meskipun hanya
sekitar 3% pasien NMO dengan kondisi ini
b. Faktor Genetik Non-HLA
Beberapa studi telah menunjukkan hubungan antara chemokines dan reseptor-
reseptornya dengan perkembangan penyakit demyelinisasi inflamasi seperti NMO dan
MS. CCL merupakan family chemokine terbesar yang menarik leukocytes dalam respon
inflamasi, dan chemokine ligand 2 (CCL2/MCP-1) diyakini sebagai pemain penting

1
dalam recruitment dan aktivasi myelindegrading phagocytes. CCL-2 dikenal sebagai
kontributor penting terhadap progresi atau perkembangan penyakit demyelinisasi
inflamasi. CCL-2 merupakan mediator infiltrasi dan migrasi dari monocytes, basophils,
dendritic cells, dan memory T cells. Genome-wide association study (GWAS) untuk
NMO dan MS showedmenunjukkan bahwa risiko polimorfik MS dan NMO berbeda
satu sama lain. Single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang merupakan cluster of
differentiation 6 (CD6) dan anggota dari gen superfamily
reseptor tumor necrosis factor 1 A (TNFRSF1A) berkaitan dengan NMO. Cluster of
differentiation 58 (CD58), yang juga dikenal sebagai lymphocyte function-associated
antigen 3 (LFA-3), merupakan salah satu ekspresi sel adesi terhadap antigen presenting
cells (APCs) Banyak studi korelasi yang dilakukan untuk mengevaluasi hubungan
inflammatory demyelinating diseases dan CD58, seperti yang dilakukan di populasi
korea menunjukkan bahwa ada 4 SNPs dari CD58 (rs2300747, rs1335532, rs12044852,
dan rs1016140) serta 2 haplotypes (CD58_ht1 dan CD58_ht3) secara signifikan
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya NMO. Interleukin 17 (IL-17) A dan
IL-17F diketahui memiliki peran penting pada banyak penyakit autoimmune termasuk
NMO. Polymorphisms pada IL17A dan IL17F berhubungan demgan gangguan
autoimmune disorders. Suatu studi asosiasi antara 2 SNPs pada gen IL17 dengan
NMO dan MS yang dilakukan terhadap populasi di Southern Han Chinese menunjukkan
bahwa frekuensi alel T allele dan genotype TT yaitu rs763780 secara dramatis lebih
tinggi pada pasien NMO dibandingkan kontrol, memunculkan dugaan bahwa rs763780
mungkin merupakan lokus spesifik yang menentukan terjadinya penyakit autoimmun.
Di samping itu, peningkatan level IL-17 dan IL-17 yang mensekresi T cells di serum
ditemukan pada pasien NMO, diduga bahwa IL17 mengkin merupakan gen kandidat
dalam patogenesis NMO.3
c. Infeksi (faktor lingkungan)
NMO berhubungan dengan infeksi bakteri, fungal dan virus. Pulmonary tuberculosis,
paracoccidioidomycosis, dan infeksi yang disebabkan oleh human immunodeficiency
virus type 1 (HIV-1), hepatitis A virus, dengue virus, human T lymphotropic virus type
1 (HTLV-1), human herpes virus type 3 (HHV-3) atau varicella-zoster virus (VZV),
human herpes virus type 4 (HHV-4) atau Epstein–Barr virus (EBV), human herpes
virus type 5 (HHV-5) atau cytomegalovirus (CMV) telah dilaporkan pada pasien NMO.
Hubungan antara NMO dengan infeksi sistemik belum diketahui secara jelas.
Molecular mimicry, aktivasi dan eksaserbasi gangguan SSP oleh infeksi sistemik
merupakan mekanisme imunitas yang terlibat dalam proses parainfectious NMO.
Infeksi mikrobial menyebabkan injuri pada jaringan yang kaya akan AQP4, kemudian
terjadi kerusakan jaringan, peningkatan presentasi self-antigen yaitu AQP4, dan aktivasi
sel T dan sel B. Aktivasi B cells akan menghasilkan antibodi yang akan mengenali
jaringan diri sendiri dan epitop mikrobial.
d. Immunopathological mechanisms of NMO
Lesi tipikal akibat NMO bersifat cavitary, nekrotik dan infiltrasi oleh macrofag dan
granulosit. Bukti serological adanya autoimunitas sel B telah digambarkan pada pasien-
pasien NMO. Studi immunopathological telah membuktikan adanya immunoreactivities
terhadap astrocytic proteins, glial fibrillary acidic protein (GFAP) dan aquaporin-4,
khususnya area perivascular dengan deposit komplemen teraktivasi dan
immunoglobulins. Injeksi immunoglobulin G dari pasien NMO dengan komplemen
manusia ke dalam otak tikus akan menyebabkan lesi dengan karakterisitik histologis lesi
NMO pada manusia. Beberapa peneliti menyarankan NMO seharusnya diklasifikasikan

2
sebagai suatu astrocytopathic disease daripada demyelinating disease karena kerusakan
astrosit pada NMO jauh lebih berat daripada kerusakan myelin dan neuron. Telah
dibuktikan bahwa pada NMOSD relapses,terjadi peningkatan interleukin-6 (IL-6) dan
GFAP di cerebrospinal fluid (CSF) dan level GFAP pada pasien ON dengan NMO lebih
tinggi dibandingkan pasien MS. 2
Meskipun CDC merupakan mekanisme mayor yang menginisiasi proses
patologis NMO, mekanisme pathogenic lainnya yang dipicu oleh AQP4-IgG telah
dipikirkan, misalnya ADCC dan glutamate excitotoxicity. Beberapa tipe lekosit selain
sel natural-killer (NK) menunjukkan bahwa reseptor Fc dapat memediasi ADCC,
termasuk macrophages, neutrophils dan eosinophils, yang ditemukan berlimpah pada
lesi akibat NMO. AQP4-IgG bersama-sama dengan sel NK dapat menyebabkan
kematian sel AQP4-transfected dan mempengaruhi astrosit. Berikatannya sel NK
terhadap regio Fc antibodi AQP4-IgG menyebabkan degranulasi dan kerusakan
astrocyte. Zhang et al. menemukan bahwa neutrophils dan macrophages pada spinal
dapat mengeksaserbasi lesi NMO yang disebabkan oleh submaximal AQP4-IgG dan
complement melalui mekanisme ADCC. Diketahui bahwa terjadi penurunan uptake
glutamat ke dalam astrosit yang terpapar serum NMO manusia dan internalisasi
glutamate, transporter excitatory amino acid transporter 2 (EAAT2). Hinson et al.
menyatakan bahwa pathogenesis NMO termasuk glutamate excitotoxicity oleh suatu
mekanisme yang melibatkan AQP4-IgG-induced internalization of bersama-sma dengan
EEAT2 on astrocytes and consequent injury in glutamate uptake from the extracellular
space following neuroexcitation, leading to oligodendrocyte impairment and myelin
loss. Ceftriaxone, dapat meng-upregulates EEAT2 dipertimbangkan sebagai terapi
NMO. Pada kasus lain, Ratelade et al. menemukan tidak ada internalization significant
terhadap EAAT2 di astrosit setelah paparan konsentrasi tinggi AQP4-IgG dan tidak
mengurangi glutamate uptake. Penulis menyimpulkan bahwa glutamate excitotoxicity
tidak terlibat dalam patogenesis NMO dan bahwa ceftriaxone tidak bermanfaat pada
terapi NMO.
Klasifikasi
Penyakit ini dapat berupa monofasik dan serangan relaps. Eugène
Devic dan Fernand Gault mengatakan bahwa NMO merupakan suatu gangguan
monofasik akut dari transverse myelitis (TM) dan optic neuritis (ON) yang terjadi
secara simultan dengan onset cepat. Definisi ini disebut sebagai Devic's
classical syndrome. Bentuk NMO relaps kemudian ditemukan sebagai subtipe NMO.
Studi menemukan bahwa classical Devic's syndrome terjadi dalam sejumlah kasus kecil
(minoritas) dengan perbandingan perempuan dan laki-laki seimbang. Pada lebih dari
80–90% kasus, NMO diikuti fase relaps, yang mana lebih umum ditemukan pada
wanita dan berhubungan dengan usia lebih tua, gangguan motorik yang lebih ringan
dibandingkan serangan mielitis pertama kali, interval waktu lebih lama, dan adanya
autoimunitas sistemik. NMO spectrum disorders (NMOSD) ditujukan untuk
mengklasifikasikan pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnostik 2006. Kondisi ini
ditandai dengan status anti-AQP4 seropositivity di samping bentuk khas NMO, meliputi
single atau myelitis ekstensif longitudinal rekuren, neuritis optikus (ON) bilateral
simultan atau rekuren, Asian optic-spinal MS; ON atau myelitis ekstensif longitudinal
rekuren berhubungan dengan penyakit autoimun sistemik, ON atau myelitis
berhubungan dengan lesi serebral tipikal NMO (brainstem, hypothalamic,
periventricular dan corpus callosal).2
Tabel 2. Klasifikasi NMO berdasarkan manifestasi klinis 2

3
Manifestasi Klinis
Meskipun gejala NMO bervariasi atar individu, umumnya terdapat 2 gejala utama yaitu
myelitis transversa (TM) dan neuritis optika (ON).
Myelitis Transversa
Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu
area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik
akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik,
sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Penyebab pasti terjadinya
Transverse Myelitis tidak diketahui. Namun Transverse Myelitis bisa terjadi akibat
komplikasi dari penyakit sifilis, measles, beberapa vaksinasi seperti chickenpox dan
rabies. Transverse Myelitis bisa terjadi secara idiopatik. Beberapa infeksi seperti infeksi
virus varicella zooster, herpex simplex, cytomegalovirus, Epstein barr, influenza,
echovirus, HIV, hepatitis A, rubella, dan schistosomiasis. Suplai darah yang berkurang
seperti pada penyakit vaskuler aterosklerosis yang menyebabkan iskemik, sehingga
terjadi penurunan suplai oksigen pada jaringan saraf bisa juga menyebabkan Transverse
Myelitis.
Karakteristik myelitis transversalis ditandai dengan adanya inflamasi di dalam
medula spinalis dan mempunyai manifestasi klinis berupa terjadinya disfungsi neural
dari jaras-jaras motorik, sensoris dan otonom sebagai akibat jaras tadi melewati daerah
di batas rostral inflamasi. Sering ditemukan keluhan adanya disfungsi sensoris dan bukti
adanya inflamasi akut dibuktikan dengan MRI dan punksi lumbal. Transverse
menggambarkan secara klinis adanya band like area horizontal perubahan sensasi di
daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di
medula spinalis dikenal sebagai myelitis transversalis. Inflamasi berarti adanya
pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan
kerusakan. Ketika level maksimal defisit neurologi mendekati 50%, pasien sudah
kehilangan seluruh gerakan tungkai, disfungsi kandung kencing dan 80–94% pasien
mengeluh numbness, parestesia, dan disestesia. Simptom otonom terdiri dari
meningkatnya gangguan berkemih dan defekasi, kesulitan atau tak dapat
mengosongkannya atau adanya konstipasi saluran pencernaan serta adanya gangguan
seksual. 5
Manifestasi klinik tergantung pada lokasi jaringan saraf yang terkena. Gejala
yang terjadi bisa secara progresif dalam 2 hari dan mengalami perbaikan setelah 6 hari.
Pada beberapa kasus bisa terjadi paralisis secara total dan kehilangan sensoris pada
tingkat bawah dari lesi. Tapi pada sebagian kasus paralisis bisa terjadi secara parsial.
Jika lesi terjadi pada daerah servikal akan mengakibatkan paralisis respiratorik (segmen
C3,4,5, sampai diafragma). Gejala klinik yang lain bisa berupa nyeri tulang belakang,

4
retensi urin, dan kelemahan. Kelemahan yang terjadi biasanya pada daerah tungkai dan
bersifat asimetris. Refleks tendon bisa meningkat atau menurun. Gangguan fungsi
autonom bisa terjadi inkontinensia urin dan konstipasi.
Neuritis Optika
Neuritis optik merupakan inflamasi dari nervus optikus berupa demyelinasi n.optikus
disertai penurunan penglihatan. Penyakit ini dapat mengenai pada satu atau kedua mata.
Penurunan penglihatan pada penyakit ini dapat menyebabkan penurunan penglihatan
sementara, bahkan sampai permanen jika tidak ditangani dengan baik. Biasanya
mengenai usia 16-55 tahun degan rasio perempuan dan pria 2:1. ON ditandai dengan
nyeri sub akut, gangguan visual / visual loss umumnya pada wanita muda dan
mengeksklusikan glaucoma, ON merupakan neuropati optik yang paling sering terjadi
di bawah usia 50 tahun. Umumnya merupakan gejala awal pada 20% kasus MS. ON
terutama bersifat idiopathic, atau berkaitan dengan lesi demyelinisasi (MS,
neuromyelitisoptica (NMO) atau pada penyakit autoimun lainnya (systemiclupus
erythematosus (SLE), infeksi dan parainfeksi (syphilis, tuberculosis, inflamasi dan
respon imunologis post vaksinasi (sinusitis, dan vaksinasi measles dan rubella).
Manifestasi Klinis Neuritis Optik :
1. Gejala penurunan tajam penglihatan
2. Nyeri ringan di sekitar atau di belakang bola mata.
3. Gangguan Lapangan pandang
4. Penurunan sensitivitas kontras dan gangguan penglihatan warna
5. Abnormalitas pupil RAPD selalu terjadi pada neuritis retrobulbar atau anterior (edem
diskus).
6. Temuan fundus
Berdasarkan manifestasi klinis, ON terbagi menjadi tipikal dan atipikal. ON
tipikal ditandai dengan beberapa karakteristik yaitu : 8
- usia 18–50
- unilateral
- nyeri pada gerakan bola mata
- perburukan visusu dengan onset subakut
- relative afferent pupillary defect (RAPD),
- normal-appearing fundus (atau dengan papilledema yang sangat ringan)
- perbaikan pada perkembangan penyakit
- tidak ada bukti gangguan sistemik selain multiple sklerosis
-
Diagnosis
Diagnosis NMO ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya neuritis optik
dan myelitis transversa pada MRI serta ditemukannya antibodi NMO-IgG seropositif
yaitu berupa AQP4-IgG. Kriteria diagnosis untuk NMO pertama kali diajukan pada
tahun 1999, kemudian direvisi pada tahun 2006 seperti pada tabel.
Tabel 3. Kriteria diagnosis NMO tahun 2006. 2

5
Lumbal punksi yang dilakukan pada fase akut myelitis transversa akan menunjukkan
gambaran peningkatan jumlah white blood cells dan peningkatan protein pada LCS.
Tes darah digunakan untuk memeriksa suatu antibodi spesifik untuk NMO yang disebut
sebagai aquaporin-4 antibody. Meskipun antibodi ini spesifik untuk NMO, tapi ini
bukan merupakan suatu tes definitif, karena sekitar 60% pasien dengan NMO
memilikinya, sehingga seseorang masih dapat menderita NMO meskipun tidak
didapatkan aquaporin-4 antibody. 2,3
Pemeriksaan AQP4-IgG sangat direkomendasikan karena sensitivitasnya yang tinggi
(75%) dan spesifikasi (95%-100%) dibandingkan enzyme-linked immunosorbent
assays. Tes serum darah dikatakan cukup, dan tes CSF dapat menjadi tambahan. IPND
mendefinisikan NMOSD tanpa AQP4-IgG lebih ketat daripada kasus dengan
seropositive karena differential diagnosis meliputi banyak kondisi lainnya seperti
sarcoidosis, neoplasms, dan berbagai variasi paraneoplastic disorders. Diagnosis
membutuhkan keterlibatan dari 2 atau lebih dari 6 regio SSP, minimal 1 harus berupa 3
manifestasi klinis terbanyak yaitu : optic neuritis, transverse myelitis (LETM MRI),
atau area postrema syndrome (llesi di dorsal medulla pada MRI). Umumnya 2 atau lebih
gejala sangat penting untuk menegakkan diagnosis, tapi “classic” NMO ( gejala tunggal
berupa optic neuritis dan LETM-associated myelitis) dapat mencukupi untuk diagnosis.3
Adanya salah satu gejala optic neuritis saja atau myelitis saja tidak memenuhui kriteria
diagnosis pada kasus tanpa AQP4-IgG, memberikan differential diagnosis yang luas.
Akan tetapi, NMOSD tidak dapat disingkirkan pada kondisi ini, pasien harus tetap di
followed. IPND mengidentifikasi gejala-gejala klinis, identified clinical, MRI
(gambar ), atau karakteristik lainnya yang dapat membantu menegakkan diagnosis
NMOSD pada kasus seronegative cases. Misalnya, keterlibatan kiasma optikum, lesi
“longitudinally extensive” dengan panjang lebih dari setengah panjang nervus optikus,
keterlibatan bagian posterior nervus optikus dan neuritis optikus bilateral akan
membantu menegakkan NMOSD sebagai penyebab.
Differensial Diagnosis

6
Tatalaksana
Terapi NMO pada fase akut
Terapi sistemik dengan kortikosteroids
Ketika diagnosis NMO ditegakkan atau suspek, gejala-gejala eksaserbasi akut harus
segera diterapi dengan metilprednisolon intravena dosis tinggi (05-1.0 gr/hari) selama
3–5 hari.2,3 Mekanisme aksi IVMP adalah mengurangi kaskade sitokin inflamasi,
menghambat aktivasi T-Cell, menurunkan ekspresi molekul MHC-II terhadap antigen-
presenting cells dan masuknya sel-sel imun ke dalam CNS, memfasilitasi apoptosis sel-
sel imun yang teraktivasi. Penipisan lapisan retinal nerve fiber layer (RNFL)
menunjukkan kehilangan akson nervus optikus yang lebih besar pada mata pasien NMO
dibandingkan dengan MS. Karena itu, terapi corticosteroids pada fase awal sangat
penting untuk meminimalkan kerusakan dan kehilangan akson pada fase akut.
Kortikosteroid oral dosis rendah dapat membantu mencegah kekambuhan NMOSD.

Therapeutic plasma exchange (TPE)


Ketika kondisi pasien tidak membaik atau bahkan memburuk setelah terapi
kortikosteroid, maka dianjurkan untuk dilakukan therapeutic plasma exchange (TPE, 5–
7 siklus) dengan dosis removal tiap siklus sekitar 1-1.5 volume plasma (30-40 mL/kg).
TPE juga telah digunakan secara bersamaan atau segera setelah terapi glukokortikoids
pada kondisi progressive atau refrakter. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
randomized, controlled, double- blind clinical terhadap 22 patients severe demyelinating
disease (2 pasien dengan NMO) yang menunjukkan efek menguntungkan bahwa TPE
bersamaan dengan terapi glucocorticoid lebih superior daripada terapi glucocorticoids
tunggal dengan outcome final perbaikan visual dan perlindungan peripapillary pada
RNFL pasien NMO. Pada seranngan yang berat, TPE dapat dipertimbangkan sebagai
terapi lini pertama. Hasil dari suatu studi retrospective cohort menunjukkan bahwa TPE
yang dilakukan sedini mungkin (≤ 5 hari) lebih menguntungkan dari pada penundaan
TPE pada kasus-kasus NMO refrakter terhadap IVMP.
IVIG adalah terapi penting lainnya yang dapat berpengaruh terhadap berbagai jalur
immunomodulatori dan antigenic-recognition, termasuk imunitas humoral maupun
selular. IVIG dapat berinteraksi dengan berbagai substrat B- dan T-cells, menghambat
cytokines, membuang complement, dan memblok antibodi idiotypic. Dosis IVIG
diberikan 0.4 g/kg/hari selama 5 hari. Studi menunjukkan bahwa pada MS, kombinasi
IVIG dengan IVMP tidak lebih superior dibandingkan dengan IVMP tunggal. IVIG
memiliki efek yang menguntungkan pada penyakit-penyakit humoral immune-mediated
neuroimmunological. IVIG dapat mempengaruhi proses patologis tertentu pada
NMOSD yang menguntungkan pasien NMOSD menurut pengalaman klinis. Suatu studi
retrospective menunjukkan efikasi terapi IVIG treatment untuk kasus NMOSD relapses.
Di samping itu, elah dibuktikan bahwa IVIG regular dapat mencegah kasus relaps baik
MS maupun NMOSD.

Terapi pada NMO kronis


NMO umumnya terjadi sebagai serangan relaps, dengan recovery inkomplit dan
akumulasi defisit neurologis yang cepat, terapi immunosuppressive harus diberikan
setelah terapi inisial. Beberapa agen immunosuppressive telah diterima sebagai terapi
jangka panjang untuk pasien NMO. Meskipun hasil suatu studi retrospective
menunjukkan efek menguntungkan dari monoterapi kortikosteroid dosis rendah dalam

7
menurunkan kekambuhan NMO, kombinasi regimen telah digunakan secara konsisten
(oral glucocorticoids bersama AZA atau cyclosporine). Rekomendasi durasi pemberian
terapi preventive belum dipastikan, namun terapi hingga 5 tahun setelah gejala klinis
relaps terakhir dianjurkan, tergantung individu, klinis dan komplikasi. Secara umum
klinisi harus mempertmbangkan risiko dan efek samping obat-obatan malignancy,
myelotoxicity, dan infection, sebelum memberikan terapi immunosuppressive. Beberapa
agen immunosupresif antara lain : 4
Azathioprine
AZA, merupakan suatu DNA intercalation yang menginhibisi secara de novo sintesi
purine, adalah agen pertama yang menunjukkan efikasi dalam mencegah relaps NMO.
Studi retrospective menunjukkan bahwa AZA efektif menurunkan rata-rata kekambuhan
dan meningkatkan skor visual pada NMOSD. Dosis regimen yaitu 2–3 mg/kg/hari oral,
bersama dengan prednisone.
Rituximab therapy
RTX (anti-CD20) Efek RTX lebih superior dibandingkan agen immunosuppressive
lainnya. Dosis pemberian sebesar 1 g intravena pada hari ke 1 dan hari 14, diulang
setiap 6 bulan, dengan monitoring CD19 cell counts (target <0.1% total lymphocytes)
Terapi RTX menurunkan frekuaensi relaps.
Mycophenolate mofetil
Mekanisme MMF adalah dengan menginhibisi inosine monophosphate dehydrogenase
(de novo guanosine synthesis). Terapi dengan MMF didukung studi retrospective yang
menunjukkan penurunan angka relaps. Dosis diberikan 1000 mg secara oral dua kali
perhari. Dibutuhkan monitoring absolute lymphocyte count (target: <1500/mL).

Prognosis
NMO umumnya lebih berat dibandingkan dengan MS. Relaps umumnya menyebabkan
defisit neurologis permanen. Beberapa prediktor terjadinya episode relaps antara lain
yaitu interval antara serangan pertama dan ke dua yang lebih lama, jenis kelamin
perempuan, onset pada usia lebih tua, defisit motorik ringan pada serangan myelitis
pertama, riwayat penyakit autoimun lainnya, better motor recovery setelah episode
myelitis yang pertama dan tingginya frekuensi relaps pada 2 tahun pertama penyakit
berhubungan dengan mortalitas pada NMO relaps Semua pasien NMO harus
dipertimbangkan mengenai risiko terjadinya relaps agar diberika terapi inisial sejak dini
dan menekankan pentingnya terapi pencegahan episode relaps.

Anda mungkin juga menyukai