PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw
melalui perantara malaikat jibril secara mutawatir. Di dalam al-Qur’an sendiri tidak semua
ayat adalah muhkam (tidak perlu penafsiran), namun ada juga yang mutasyabih (perlu
penafsiran). Bahkan jika kita telaah lebih lanjut, antara ayat yang muhkam dan mutasyabih,
maka disitu ayat-ayat mutasyabih lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang
muhkam. Oleh karena itu, karena al-Qur’an adalah sumber hukum utama bagi kita umat
islam, serta sebagai pedoman dalam hidup, maka haruslah bagi kita untuk bisa mengetahui
arti atau kandungan yang ada di al-Qur’an baik itu mengenai yang muhkam maupun
mutasyabih. Dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabih, tentu para mufassir
menggunakan metode-metode penafsiran. Diantara metode penafsiran yang umum dipakai
oleh para mufassir ada 4 yaitu, tahlili (terperinci), ijmali (global), maudhu’i (tematik) , dan
muqarran (perbandingan). Dalam makalah ini, kami tidak akan menjabarkan penjelasan
semua metode diatas, akan tetapi hanya memaparkan atau mengkosentrasikan untuk metode
penafsiran yang maudhu’i (tematik) saja. Semoga dengan dibuatnya makalah ini kita dapat
memahami bagaimana cirri-ciri maupun corak serta metode-metode yang digunakan dalam
metode tafsir maudhu’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-MAUDHU’I
Kata al-Maudhu’i ( )الموضوعيberasal dari kata موضوعyang secara bahasa berarti tema
pokok atau topik. Dari kata itu, kemudian ditambahkan dengan ya’ nisbah menjadi maudhu’i
yang artinya menjadi bersifat tema atau tematik. 1
Secara istilah, metode tafsir maudhu’i adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai topik dan kandungan yang sama, kemudian
menjelaskannya dengan ayat lain ataupun hadist, yang kemudian disimpulkan dalam suatu
pandangan yang menyeluruh dan tuntas mengenai tema yang sedang dibahas. Tafsir
maudhu’i sudah mulai diterapkanj dalam masa nabi, dimana beliau seringkali menafsirkan
ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika menjelaskan arti Zhulum dalam QS. Al-An’am ayat
82,
إيمنهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدونQالذين أمنوا ولم يلبسوا
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman
(syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk.”
Nabi saw menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil membaca
firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13,
Demikian juga penafsiran rasul saw dalam surat al-An’am ayat 59,
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa rasulullah saw memaknai mafatih al-ghaib itu
dengan firman Allah dalam QS. Luqman ayat 34,
1
Budihardjo, pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an, (Yogyakarta : Lokus, 2012), hlm. 150.
Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang sehingga lahir
kitab-kitab tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat dengan ayat. Tafsir Ath-
Thabary (839-923 M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama dalam bidang ini, lalu lahir lagi
kitab-kitab tafsir yang tidak lagi secara khusus bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi
lebih fokus pada penafsiran ayat-ayat bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-
Qur’an karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li
Ahkam al-Qur’an karya Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671
H), dan lain-lain.2
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema
tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun
semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus,
yang muthlak digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian
dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan
pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.3
Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam
penafsiran secara maudhu’i.
1. Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan
memperhatikan masa dan sebab turunnya.
2. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu
dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang
dibicarakan.
2
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 387
3
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang menggunakan
metode ini ialah:
1. Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari
bahwa tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa; tugas utamanya ialah
mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai
dengan dilalah ayat tersebut.
2. Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh
menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah itu haris dibahas dan semua
rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan kedalaman (balaghah)
Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang harmonis diantara susunan ayat-ayat dan
bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3. Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur.
Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan lain, maka seorang
penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja.
4. Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang sesuai
dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak kabur.5
4
RachmatSyafe’i, PengantarIlmuTafsir, (Bandung: PustakaSetia, 2006), hlm. 295
5
Ibid, hlm. 296
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud --mantan Pemimpin
Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai
nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni
"segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan
menyatakan bahwa aktivitasmembutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayatyang didahului oleh
panggilan mesra Allah untuk ajakan makan,baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya
ayyuhan nas,kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orangmukmin: ya
ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengankata halal atau dan thayyibah (baik). Ini
menunjukkan bahwamakanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifattersebut.
Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yangmemerintahkan orang-orang Mukmin
untuk makan, lima diantaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Duadirangkaikan
dengan pesan mengingat Allah dan membagikanmakanan kepada orang melarat dan butuh,
sekali dalam konteksmemakan sembelihan yang disebut nama Allah ketikamenyembelihnya,
dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbukapuasa maupun
selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingatpesan-pesan-Nya.6
6
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
1996),Hlm. 135.
BAB III
PENUTUP
Dari seluruh penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya penafsiran dalam
metode maudhu’i (tematik) adalah metode tafsir dengan menggunakan jenis tema tertentu
yang diambil. Jika misalnya ada keinginan untuk mengetahui metode tafsir maudhu’i
mengenai makan, maka cara mencarinya adalah dengan mengumpulkan semua ayat ayat yang
berhubungan dengan makan, setelah itu baru dihubungkan. Oleh karena itu metode tafsir
maudhu’i ini juga disebut dengan metode tafsir tematik, karena mengangkat suatu
permasalahan berdasarkan tema yang ada. Adapun kelebihan dan kekurangan tafsir maudhu’i
sudah terdapat dalam penjelasan diatas. Menurut pemakalah sendiri dalam tafsir maudhu’i
akan lebih mudah dalam menyelesaikan suatu permasalahan, oleh karena itu kita disarankan
ntuk menggunakan tafsir maudhu’i, namun dalam pengumpulan ayat-ayat yang berhubungan
dengan suatu tema tidak menghabiskan waktu yang sebentar, sehingga hanya untuk persiapan
saja kita butuh waktu yang tidak sebentar.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish (2013). Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda
Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati
Shihab, M. Quraish (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan