Anda di halaman 1dari 4

Hal 898

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang di turunkan allah,
maka mereka adalah orang-orang kafir”

beginilah ketetapan tegas dan pasti, begitulah pernyataan umum yang di kandung
dalam lafal “man” siapa saja sebagai isim syarat dan jumlah syarat sesudahnya, yang
menunjukan keberlakuannya melampui batas-batas lingkungan dan kondisi, masa dan tempat.
Hukumnya berlaku secara umum atas semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan
apa yang di turunkan allah, pada generasi kapanpun dan bangsa manapun.

Illat-nya alasannya, dasarnya sebagaimana kami kemukakan adalah bahwa orang yang
tidak mau memutuskan perkara dengan apa yang di turunkan allah adalah karena dia menolak
uluhiyyah allah. Pasalnya, uluhiyyah ini merupakan hak isimewa allah di antara
konsekuensinya ialah kedaulatan-Nya membuat syariat dan hokum. Karena itu, barangsiapa
yang menghukum atau memutuskan perkara dengan selain dari apa yang di turunkan allah
berarti dia menolak uluhiyyah allah dan hak istimewanya pada satu sisi.

Nah, kalau begitu, apa lagi kekufuran itu kalau bukan ini (menolak uluhiyyah dan hak
istimewa Allah, dan mengklaim hak uluhiyyah dan hak istimewa buat dirinya sendiri)? Apa
nilai pengakuan beriman atau beragama islam dengan lisan, kalau amalannya yang
merupakan implementasi isi hati-berbicara tentang kekufuran dengan lebih fasih daripada
bahasa lisan?!

Sesungguhnya membantah hukum yang jelas, tegas, umum, dan menyuruh ini tidak
lain berarti berusaha lari dari kebenaran. Sedangkan, menakwilkan dan memutarbalikkan
hukum atau ketetapan ini tidak lain berarti berusaha mengubah kalimat-kalimat Allah dari
posisinya. Bantahan semacam ini tidak ada arti dan nilainya untuk memalingkan hukum
Allah dari orang yang terkena sasaran hukum itu berdasarkan nash yang jelas dan tegas.

Setelah menjelaskan kaidah pokok dalam seluruh agama Allah ini, konteks berikutnya
kembali memaparkan beberapa contoh syariat Taurat yang telah diturunkan Allah untuk
dipergunakan memutuskan perkara oleh para nabi, orang-orang alim, dan pendeta-pendeta
buat kaum Yahudi-karena mereka diperintahkan untuk menjaga kitab Allah dan menjadi
saksi atasnya.
“Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa juga (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.”(Al-Maa’idah:45)

Hal 899 (3 alenia dari bawah)

“...Barangsiapa yang melepaskan(hak qishasnya), maka melepaskan hak itu menjadi


penebus dosa baginya...”

Barangsiapa yang melepaskan hak qishashnya (bersedekah) dengan rela hati, baik
oleh wali darah/wali si terbunuh (dan pelepasan hak itu bisa jadi dengan mengambil diat
sebagai pengganti qishash, atau tanpa menuntut pembalasan darah dan diat sekaligus, karena
hukuman dan pemaafan sudah dilepaskan dan tinggal imam menjatuhkan hukum ta’zir sesuai
dengan pikirannya), maupun yang melepaskan hak itu adalah pemilik hak sendiri karena
dilukai, lantas ia tidak melakukan pembalasan; maka sedekahnya ini menjadi penebus dosa
baginya, yang dengan sedekahnya ini Allah menghapus dosa-dosanya.

Seruan untuk berlapang dada dan memaafkan ini sering menggantungkan hati dengan
pemaafan dan pengampunan Allah kepada jiwa yang tidak merasa puas dengan pengganti
yang berupa uang. Juga tidak merasa puas dengan dijatuhkannya qishash itu sendiri untuk
menggantikan orang atau sesuatu yang hilang darinya. Karena, keuntungan apakah yang
diperoleh wali si terbunuh dengan membunuh si pembunuh? Harta macam apakah yang dapat
menggantikan orang yang dibunuh itu?

Hukum qishash itu hanya upaya maksimal yang dapat ditempuh untuk menegakkan
keadilan di muka bumi dan memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat(agar tidak
ada lagi orang yang begitu saja membunuh orang lain). Akan tetapi, masih ada saja perasaan
tidak enak dalam hati yang hanya dapat dihapuskan dengan menggantungkan hati kepada
harapan untuk mendapatkan ganti yang datang dari sisi Allah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Waki’ dari Yunus bin Abu Ishaq, dari Abu Safat,
bahwa ia berkata, “Seorang laki-laki Quraisy mematahkan gigi seorang laki-laki Anshar.
Lalu lelaki Anshar itu meminta Muawiyah memberikan hukuman lebih berat. Kemudian
Muawiyah berkata, ‘Kami akan memberikan sesuatu yang memuaskan hatimu,’ Laki-laki
Anshar itu terus mendesak. Kemudian Muawiyah berkata, ‘Ini adalah urusanmu dengan
saudaramu (sesama muslim). ‘Ketika itu Abu Darda’ sedang duduk, lalu ia berkata,’Aku
pernah mendengar Rosululloh saw, bersabda,
--------------------------Hadits--------------------------------------------------------------------

“Tiada seorang muslim pun yang ditimpa musibah pada tubuhnya lantas ia
menyedekahkannya (tidak menuntut balas) melainkan dengan itu Allah mengangkat
derajatnya atau menghapus dosanya.’

Lalu lelaki Anshar itu berkata,’Aku maafkan dia.”

Demikianlah hati lelaki Anshar itu merasa rela dan senang. Hal ini tidak dapat diganti dengan
hanya yang hendak diberikan Muawiyah yang ia desak itu.

Itulah syariat Allah Yang Maha Mengetahui tentang mahluk-Nya, dan mengetahui
segala sesuatu yang bergetar dan terasa dalam hatinya. Juga mengetahui apa yang meresap
dalam kalbu dan diridhaiNya, dan mengetahui perasaan tenteram dan damai dalam hati saat
menerima hukum-hukumnya.

Sesudah memaparkan sebagian dari syariat Taurat, yang menjadi bagian dari syariat
Al-Quran, maka diakhirilah paparan itu dengan mengemukakan ketentuan umum yang
berbunyi,

“...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang yang zalim.”(Al-Maa’idah: 45)

Ungkapan ini bersifat umum, tidak ada mukhashshish yang mengkhususkannya,


Tetapi, di sini dipergunakan sifat baru, yaitu “zalim”.

Sifat baru ini bukan berarti keadaan lain selain sifat kufur (kafir) yang disebutkan
sebelumnya. Akan tetapi, sebagai tambahan bagi sifat lain bagi orang yang tidak mau
memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah. Maka, orang yang tidak mau
memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah ini dinilai kafir karena menolak
uluhiyyah Allah SWT dengan hak prerogratifnya untuk membuat syariat dan peraturan bagi
hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, orang yang mengaku memilki hak uluhiyyah itu dengan
mengaku mempunyai hak membuat syariat dan hukum buat manusia kepada syariat selain
syariat Tuhan mereka, yang baik dan dapat memperbaiki keadaan-keadaan mereka. Selain itu,
mereka juga menzalimi dirinya sendiri dengan mencampakkanya ke dalam kebinasaan,
menyediakannya untuk disiksa karena kekufurannya, dan membentangkan kehidupan
manusia-bersama dirinya-kepada kerusakan.
Inilah kandungan makna kesatuan musnad ilaihi dan fi’il syarat, “Barangsiapa yang
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah”, dengan jawab syarat yang
kedua ditambah dengan jawab syarat pertama. Keduanya kembali kepada musnad ilaihi’gatra
pangkal’ dalam fi’il syarat yaitu “‫‘ “ "من‬barangsiapa’ yang menunjukkan kemutlakan dan
keumuman.

Hal 87

“...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang yang fasik.”(Al-Maa’idah: 47)

Nash ini juga bersifat umum dan mutlak. Sifat fasik ini juga sebagai tambahan
terhadap sifat kufur dan zalim sebelumnya. Ini bukan berarti kaum dan keadaan yang baru
yang terlepas dari keadaan yang pertama. Tetapi, ini hanyalah sifat tambahan bagi kedua sifat
sebelumnya, yang melekat pada siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah,dari generasi dan golongan atau bangsa manapun.

Kufur karena menolak uluhiyyah Allah tercermin dalam penolakan terhadap syariat-
Nya. Zalim karena membawa manusia kepada selain syariat Allah dan menyebarkan
kerusakan di dalam kehidupan mereka. Fasik karena keluar dari manhaj Allah dan mengikuti
selain jalan-Nya. Maka, itulah sifat-sifat yang dikandung oleh perbuatan yang pertama
(kufur), yang semuanya berlaku bagi si pelaku. Seluruh sifat itu kembali kepadanya tanpa
terpisah-pisah.

Anda mungkin juga menyukai