Anda di halaman 1dari 15

Iman Kepada Qadha dan Qadar

(KKP No 15 Presented By Herwina Dewi L)

Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah
digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua
telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian,
kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai
ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia.
Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan
ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk
berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk
mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir,
dan berupaya memperbaiki citra diri.

Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah
swt., seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam
kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah
diberikan Allah swt. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar
menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam
menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila
kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan
beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-
Hadiid (57): 22-23]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi,
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]

“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau
di surga.” Salah seorang dari mereka berkata, “Bolehkah kami bertawakal
saja, ya, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, (akan tetapi)
beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).” Kemudian
beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan
adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan
pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan)
yang sukar [QS. Al-Lail (92): 5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi
Thalib)

“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya


mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki
seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan
(kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia
diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan
baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)

Definisi Qadha dan Qadar

Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya


sebagaimana berikut:
1. Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia) yang
mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu
perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]
2. Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17):
23]
3. Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat, “Dan telah Kami wahyukan
kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di
waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]

Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak.
Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada
makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru,
taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat
Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang
kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah
ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya
suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum
kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar
adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.”
(Fathul-Baari 11/477)

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar
merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah
penciptaan yang terperinci. Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan
dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan
oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari
bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara
keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib
al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).

Dalil-dalil Qadha dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang
mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman
kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan)
tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar,
maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan
mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’
Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258).

Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan
kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini
berdasarkan beberapa hadits berikut ini.

Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw.
ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada
Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada
qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)

“Sekiranya Allah swt. menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh
melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi
mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya
kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan
di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman
terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan
menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan
bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas
(aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR. Ahmad, dari Zaid
bin Tsabit)

Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan
qadha dan qadar-Nya berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-
Hadiid (57): 22-23]

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-


Qamar (54): 49]

“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka
berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah
kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari
pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari
pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar
Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang
binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang
hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Anfaal (8): 42]

“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah
ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab (33):
38]

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur


adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia
bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa
yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau
di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja,
ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena
setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca
ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak
akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang
yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik,
maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari
dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,


dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak
akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang
yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik,
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail
(92): 5-10]

Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-


rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap
mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga
kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak
tangga tersebut.

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.

Pertama, Ilmu Allah swt. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus
beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali.
Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit
dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya
sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal
mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang
oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang
Mengetahui yang gaib dan yang nyata.

Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah
berikut ini.
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-
benar meliputi segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-
Hasyr (59): 22]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi,
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan
mereka.” (HR Muslim)

Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis
dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh
Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang
terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-
Hadiid (57): 22-23]

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui


apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj (22): 70]

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang


terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’aam (6): 38]

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur


adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia
bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang
ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad)

Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah).


Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani
masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun
yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya.
Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan
terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan
dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya.

Allah berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik
di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]

Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam


Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. At-Takwiir (81): 29]

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu


dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah
(kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki
Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas
jalan yang lurus.” [QS. Al-An’aam (6): 39]
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yaasiin (36): 82]

“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan
menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR. Bukhari)

Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.

“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak
berkehendak. Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak
berkehendak—tidak akan pernah ada. Engkau menciptakan hamba-hamba
ini sesuai yang Engkau ketahui. Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda
dan orang tua renta Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia
dan kepada yang ini Engkau hinakan. Yang ini Engkau tolong dan yang ini
Engkau biarkan (tanpa pertolongan). Maka, dari mereka ada yang celaka
dan sebagian mereka ada yang beruntung. Dari mereka ada yang jahat dan
sebagian mereka ada yang baik

Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar,


seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu,
tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia.
Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS.
Az-Zumar (39): 62]

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak


mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya),
dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukuranya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqaan (25): 2]

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
Itu.“ [QS. Ash-Shaaffat (37): 96]

“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”


(HR. Hakim)

Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini
setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau
didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang
sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut
berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika
bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan
kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-macam Takdir

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang
ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi
segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu
dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat
Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu
yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan
dalil-dalil berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]

“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu
tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya
berada di atas air.” (HR. Muslim)

Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal
penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan
bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan
kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.

“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk


meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau
bahagia….” (HR. Bukhari)

Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar
setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-
Dukhaan (44): 4-5]

Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua
yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal,
dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun.
Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.

Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa
yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan,
mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain
sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di langit
dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
[QS. Ar-Rahmaan (55): 29]
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang
telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

Berdalih dengan Qadar dalam Kemaksiatan dan Musibah

Semua yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat
bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka,
Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak
pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak
boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal
perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat .

Hal ini berdasarkan firman Allah swt., “Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal
dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena
dosa dan kemaksiatannya.

Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-


Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia
juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia
diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan
kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak
mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka
ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas
pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan
factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah
swt.

Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran
dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu,
Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas
kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah


menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-
Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’
Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para
rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu
mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu
mengemukakannya kepada Kami?”

Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain
hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;
maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu
semuanya.” [QS. Al-An’aam (6): 148-149]

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami


tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun
bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa
(izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka
tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk
menerangkan kebenaran.” [QS. An-Nahl (16): 35]

Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia


dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam
dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.

“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda


adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari
surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah
dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah
kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah
menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka
Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah
membantah Musa.’” (HR. Muslim)

Buah Iman Kepada Qadar

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan
melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah
frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak
terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di
genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi
setiap permasalahan hidup.

Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar”


menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.

Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh


kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila
ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan
shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]

Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab
Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah
kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raaf (7): 99]
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/09/389/iman-kepada-qadha-
dan-qadar/#ixzz86XgpLpBS
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

TAUHIDUL AF’AL, ASMA, SIFAT DAN DZAT


1 TAUHIDUL AF’AL
(MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA PERBUATAN )

Dalam pelajaran atau pengajian-pengajian yang terdahulu mungkin kita sudah


mendapatkan pelajaran bahwa selain untuk membersihkan hati juga kita
mempunyai titik tujuan pelajaran dan ilmu Thoriqat tasawuf yaitu adalah menuju
jalan kembali kepada Allah dan supaya wusul dan liqo/ bertemu Allah. Maka
bagi seorang salik/ penuntut haruslah dimulai dengan mempelajari dan
mengamalkan tauhidul af’al, artinya : meng esakan Allah Ta’ala pada segala
perbuatan. Yakni meninggalkan seluruh perbuatan yang ada pada makhluk ini
kepada Allah.

Maksudnya pandanganlah olehmu dengan syuhud hati dan dengan mata


kepala dengan itikad yang putus dan dengan haqqul yakin, bahwa segala
perbuatan dan gerakan yang ada terlihat dalam alam ini, baik yang datang dari
diri kita sendiri maupun yang datang dari semua mahluk yang ada dalam alam
ini , baik perbuatan yang diridhoi oleh syara' maupun yang dilarang oleh syara'
adalah kesemuanya itu perbuatan Allah Ta’ala.

Memang itu perbuatan Allah , maka kalau kita lihat pada lahirnya segala
perbuatan itu dilakukan oleh manusia/hamba dan segala hayawan dan lain-lain
sebagainya. Tetapi namun kita teliti dengan cermat dan dengan penuh
keyakainan dan dengan tinjauan akal, dengan seksama bahwasanya memang
mahluk ini lemah, dhaif, hina tak punya daya upaya sama sekali. Dan tidak punya
sifat ta’sir dan sebagainya. Sedangkan segala pebuatan itu tidak akan ada kalau
sifat yang memperbuat itu tidak memiliki sifat-sifat tsb. Sifat-sifat ta’sir itu ialah
Qudrat, Iradat, ilmu, hayat sedang semua sifat-sifat itu ialah kepunyaan dan milik
Allah. Jadi segala perbuatan yang ada terlihat pada alam ini dan diri kita, itulah
perbuatan mazazi namanya dan bukan hakiki. Itu adalah kenyataan perbuatan
Allah kepada kita.

Allah menyandarkan perbuatannya kepada kita, adalah tanda kasih sayangnya,


supaya kita punya titik dan penempatan mengenal perbuatan Allah dan
dZATnya.
2.TAUHIDUL ASMA
(MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA ASMA)

Maksud dan tujuan meng-esakan Allah Ta’ala pada nama : yaitu yang
sebenarnya ialah untuk mengenal dzat Allah, sehingga manakala kita
memandang,mendengar,atau melihat nama apapun jua pada mahluk ini,maka
tercurahlah pandangan basyirah kita dan perhatian kita kepada Allah s.w.t.
Adapun pengertiaan meng-esakan asma itu ialah
menyatukan,meninggalkan,dan mengembalikan seluruh nama-nama atau
nama-nama yang ada pada mahluk ini kepada nama dan dzat Allah Ta’ala. Baik
nama-nama yang menurut hikmah dan manfa’at daripada benda alam ini
ataupun nama-nama menurut perbuatan mahluk ini. yang disebut dengan nama
perbuatan atau asmaul af’al. Sekira-kira dalam pandangan basyirah hati kita
tidak ada yang bernama kecuali Allah. Jadi nama-nama ini tidak terbatas
kepada asmaul husna saja, tetapi lebih luas dan lebih mendalam sekali atau tak
dapat dihinggakan.

Bermula kafiat meng Esakan Allah Ta’ala pada asma itu, yaitu kita pandang
dengan mata kepala dan dengan mata hati kita pada asma Allah semata. Atau
harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala dengan dalil-dalil dan alasan sebagai
berikut :
i. Karena af’al mahluk adalah mazhar dan kenyataan perbuatan Allah. Maka
begitu juga asma mahluk adalah mazhar asma Allah yang tujuannya adalah
untuk mengenal Allah.
ii. Tiap-tiap nama menuntut ujud sama, yakni tiap-tiap nama tidak terpisah
dengan dzat yang empunya nama. Sedangkan kalau diperiksa dengan teliti dan
dipandang dengan pandangan ma’rifat,maka tidak ada yang maujud pada
hakikatnya kecuali dzat Allah Ta’ala.

3.TAUHIDUS SIFAT
(MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA SEGALA SIFAT)

Maksudnya meng Esakan Allah Ta’ala pada segala sifat ialah : megembalikan,
meninggalkan seluruh sifat-sifat yang ada pada mahluk ini kedalam sifat-sifat
Allah s.w.t. dengan pengertian yaitu memfanakan sifat-sifat mahluk ini,kedalam
sifat-sifat Allah Ta’ala sehingga tercapailah pandangan,bahwa tidak ada yang
bersifat kecuali Allah Ta’ala saja.

Adapun tujuannya adalah untuk ma’rifat kepada Allah,sedangkan sifat-sifat


yang ada pada mahluk ini adalah nyata sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan sengaja Allah
zahirkan sifat-sifatnya itu kepada hambanya atau mahluknya, karena rahmatnya
supaya mahluk itu sendiri mempunyai tangga dan jembatan untuk mengenal
sifat-sifat Allah. Dan bukan jadi dinding dan hijab untuk melihat sifat-sifat Allah.

Adapun kaifiat dan cara memandang sifat Allah itu ialah :


Engkau pandang dengan mata hatimu dan dengan mata zahirmu dengan
haqqul yakin dan dengan itiqad yang putus, bahwasanya tidak ada yang
bersifat di dalam alam ini kecuali Allah. Seperti : qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama,
basyar dan kalam. Semuanya adalah sifat-sifat Allah.
Jadi sifat-sifat yang ada pada mahluk ini adalah sifat-sifat mazazi belaka, bukan
hakiki. Maka daripada itu nyatalah kepada kita bahwa sifat-sifat yang ada pada
kita sekarang ini adalah nyata sifat-sifat Allah semata. Kalau kita sudah
mengembalikan sifat-sifat yang ada pada kita itu kepada Allah, niscaya fanalah
sifat-sifat kita itu kepada sifat-sifat Allah.

Sehingga tidak ada lagi yang bersifat,kecuali Allah. Jadi jelaslah sudah kepada
kita bahwa : kita ini tidak punya perbuatan,tidak punya nama dan tidak punya
sifat kecuali Allah.

4.TAUHIDUL DZAT
(MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA DZAT)
Meng Esakan Allah Ta’ala pada dzat adalah jalan yang terakhir dari perjalan
seorang salik. Disnilah titik terahir bagi arif billah untuk menuju Allah dan disini
perhentian perjalanan kaum sufi dan para wali-wali Allah. Dan disinilah batasnya
mi’rojnya orang-orang mukmin sejati. Apabila sudah mencapai kepada makam
tauhidul dzat itu, maka diperolehnya kelezatan dan kenikmatan yang tiada
taranya. Hanya dengan itulah yang dapat memuaskan dahaga jiwanya :
menenangkan qolbunya,nikmat-nikmat yang tak dapat diperoleh orang lainnya.
Inilah puncak rasa menikmati ridhonya , puncak kebahagiaan yang kekal dan
abadi sepanjang masa.

( Sumber dari Haris Haris / THORIQAT NAQSYABANDIYAH )

Menyikapi Hikmah di Balik Jawaban Allah Atas Setiap Doa dan Ikhtiar Hamba-
Nya

Keinginan dan harapan selalu menyertai kehidupan kita selama ini, tentunya untuk
bisa menggapai keinginan dan harapan semuanya itu tidak bisa dilepaskan dari
keterlibatan Allah dalam memberikan jawaban atas doa dan ikhtiar kita. Beragam
cara yang dilakukan setiap hamba untuk bisa terus berikhtiar dan berdoa agar
keinginan dan harapannya bisa tercapai. Sungguh di dalam Islam diajarkan bahwa
segala doa dan kesungguhan ikhtiar seorang hamba akan berbanding lurus dengan
hasil yang di dapatkan. Tentunya untuk ranah hasil ini adalah bukan ranah kita
sebagai hamba yang lemah, karena itu adalah ranahnya Allah dalam menentukan
jawabannya untuk kita dari ikhtiar dan doa yang kita lakukan. Ranah kita ini adalah
proses, proses dalam berusaha keras untuk bisa mencapai keinginan dan harapan
kita pada Allah SWT.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju


Tuhanmu, kamu pasti akan menemuinya,” (QS al-Insyiqaq [84]: 6).

Ikhtiar yang kita lakukan juga tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan doa,
begitu juga dengan doa yang kita panjatkan, tidak akan ada artinya jika kita tidak
berikhtiar dan bertawakal. Semuanya saling berkaitan dan punya fungsi dalam
kehidupan kita.

Pentingnya kita berdoa adalah karena kita harus yakin bahwa Allah lah yang
menentukan segala hasil dari setiap ikhtiar kita. Dan pentingnya ikhtiar adalah karena
sebagai bentuk total action agar kita bisa meraih keinginan dan harapan, karena
ikhtiar itu adalah bergerak bukan diam dan membutuhkan action yang rill dan
sungguh-sungguh, man jadda wa jadda (siapa yang bersungguh-sungguh maka ia
akan berhasil).

Ikhtiar dan doa yang kita panjatkan haruslah memiliki tujuan semata-mata hanya
karena ingin mendapatkan ridha Allah SWT. Sejatinya segala sesuatu yang kita
inginkan dan harapkan dari Allah adalah agar keinginan dan harapan kita bisa
menjadikan diri kita lebih dekat dan cinta kepada Allah SWT. Sebagaimana pesan
dari ibn Athaillah dalam kitab Al-Hikam: “Bagaimana engkau menginginkan sesuatu
yang luar biasa, padahal engkau sendiri tak mengubah dirimu dari kebiasaanmu?”

Kita selalu mengharapkan dan menginginkan yang terbaik dari Allah, tetapi kita
begitu jarang meminta dan berusaha untuk bisa menjadi lebih baik lagi. Betapa
banyak permintaan kita pada Allah tetapi kita sendiri lupa untuk memperbaiki diri
kita. Maka sambil ikhtiar dan berdoa, alangkah lebih baiknya lagi jika kita iringi
dengan upaya untuk memperbaiki diri kita juga.

Sejenak kita merenungkan, apakah apa yang kita minta selama ini adalah sesuatu
yang mampu menjadi medan magnet yang dapat mendekatkan diri kita pada
Allah, atau malah menjauhkan diri kita dari Allah. Maka koreksilah setiap ikhtiar dan
doa kita selama ini, bisa jadi Allah belum memberikan sesuatu yang kita inginkan dan
harapkan, karena ada yang salah dalam ikhtiar dan doa kita selama ini.

Ingatlah bahwa Allah tidak pernah tidak memberikan jawaban atas setiap ikhtiar dan
doa hambaNya. Tidak adanya jawaban menurut kita karena bisa jadi kita belum bisa
menemukan jawaban yang sudah diberikan oleh Allah.

Sungguh Allah memiliki skenario yang indah dalam memberikan jawaban atas setiap
ikhtiar dan doa hambaNya melalui cara yang tidak disangka-sangka, bahkan di luar
nalar logika kita. Ketidakmampuan kita dalam menemukan jawaban dari Allah SWT
mungkin karena kita masih jauh dari Allah, maka mari kita renungkan pesan cinta
yang sangat luar biasa dari Allah SWT:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah)


bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku,” (QS Al-Baqarah 186).

Jangan pernah merasa ragu dan lelah dalam berikhtiar dan berdoa kepada Allah
SWT. Allah selalu menyaksikan setiap episode yang kita lalui. Allah tahu apa yang kita
minta, Allah tahu apa yang kita inginkan, Allah tahu apa yang kita harapkan. Maka
hal terbaik yang seharusnya kita minta dari Allah adalah agar Allah memberikan
jawaban yang terbaik menurut Allah, bukan menurut kita.

Bisa jadi apa yang kita minta menurut kita itu adalah sesuatu yang baik, tetapi belum
tentu bagi Allah, bisa jadi apa yang kita minta adalah sesuatu yang menurut Allah
tidak baik, sehingga Allah memiliki jawaban yang lain untuk kita.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui…” (Qs.Al-Baqarah: 216)
Sertakan selalu hati dan prasangka yang baik agar Allah membukakan hati kita untuk
bisa menangkap jawaban dari setiap ikhtiar dan doa yang kita minta kepada Allah.
Kesungguh-sungguhan kita tidak akan pernah sia-sia di hadapan Allah. Jangan
pernah berprasangka Allah tidak akan menjawab setiap doa dan ikhtiar kita,
yakinlah bahwa Allah punya rencana lain di balik rencana yang kita siapkan.

Simak Hadits Qudsi berikut: Anaa ‘inda zhanni ‘abdi bih, wa Ana ma’aka idza
da’awtani. “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku tentang Aku. Dan aku
bersamamu jika memohon kepada-Ku.” Wallahualam bissawab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/10/16/23508/menyikapi-hikmah-di-balik-
jawaban-allah-atas-setiap-doa-dan-ikhtiar-hamba-nya-2/#ixzz86XmfY85D
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai