AKHLAK MAHMUDAH
AL-HUKMU BIL ADLI
Disusun oleh :
KELOMPOK 10
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
AL HUKMU BIL ADLI
A.
Pendahuluan
akan
dimulai
dengan
penjelasan
mengenai
pengertian
pokoknya
adalah
( keadaan
lurus)
dan
( keadaan
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Nisa: 58)
( ( (
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (al-Nisa:
105)
Adapun Makna Kata adl di dalam ayat di atas diartikan sama, yang
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan
keputusan. Yakni, menuntut hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang
bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebutan
nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang
termasuk di dalam proses pengambilan keputusan.
Makna keadilan di dalam proses hukum sesuai dengan sikap Rasul di
dalam melaksanakan proses hukum,. Ini seperti yang terdapat di dalam hadts
beliau berikut ini:
: (
( (
Dari Ali Radhiya Allh 'anhu bahwa Rasul Allh Shala Allh 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang yang berselisih duduk
menghadapmu (untuk meminta keputusan hukum), maka janganlah engkau
berkata (memutuskan) sebelum engkau mendengar (keterangan) yang lain
sebagaimana mendengarkan yang pertama.
Sehingga dipahami berdasarkan hadts ini bahwa antara kedua pihak
yang berperkara memiliki hak yang sama di dalam proses hukum tersebut. Di
dalam ayat lain ditegaskan bahwa perlakuan adil tersebut tidak memandang
faktor kedekatan, faktor keluarga maupun harta. Seperti pada ayat berikut:
( ( (
(
(
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
miskin. Sehingga Nabi merasa tersentuh dengan yang miskin, dan beliau
meyakini bahwa yang miskin tersebut tidak akan mungkin berbuat zhalim
terhadap yang kaya, Sehingga Allah menurunkan ayat ini: (
.
Di sini Allah menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan kondisikondisi pribadi, di luar perkara tersebut tidak patut untuk menyebabkan
seorang hakim menyimpang dari kebenaran. Dan Allah-lah yang lebih tahu
akan kemaslahatan, maka seorang hakim tersebut dituntut untuk menegakkan
keadilan sebagaimana mestinya. Demikian juga bagi mereka yang mengetahui
permasalahan tersebut, mereka dituntut untuk dapat menjadi saksi secara adil,
sehingga hukum dapat berlaku secara benar dan tepat.
Perintah Allah untuk berlaku adil di dalam hukum terhadap siapapun
juga, termasuk non-muslim, juga digambarkan di dalam QS. al-Maidah: 42
berikut:
(
(
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk
meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau
berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak
akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan
perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah: 42)
Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari ayat ke 41 yang menceritakan
sikap-sikap orang Yahudi yang suka mendengarkan kebohongan. Maka di
dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Rasul bahwa jika mereka
mendatangi Rasul untuk meminta putusan terhadap perkara yang timbul
sesama mereka, maka Allah memberi dua pilihan. Pilihan yang pertama yaitu
memberi putusan dan yang kedua berpaling dari mereka, dengan tidak
memberikan putusan apa-apa.
Jika seorang hakim berlaku curang di dalam menghukum, maka Allah
melihat, mendengar, bahkan mengetahui dengan sedetil-detilnya akan semua
itu. Sebagaimana hadts Nabi berikut:
(
Artinya:
Engkau menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika
engkau tidak melihatnya, niscaya Ia tetap melihatmu
Dan tuntutan untuk berlaku adil di dalam menghukum tidak hanya
terhadap Nabi Muhammad Saw, Namun juga terhadap Nabi terdahulu. Salah
satunya adalah sebagaimana yang dialami oleh Dawud as, di mana beliau
didatangi oleh dua pihak yang berperkara, mereka meminta nabi Dawud untuk
memberi putusan yang adil terhadap perkara mereka tersebut. Seperti pada
QS. Shad: 22
Artinya:
Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan)
mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua
orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada
yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah
kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
(Shad: 22)
2.
Etika Peradilan
Supaya penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai
dengan nilai keadilan, maka di dalam al-Quran telah diisyaratkan berbagai
etika peradilan di antaranya adalah:
1)
Dari Rasul Allh saw, beliau bersabda: Allah melaknat yang memberikan
sogok dan yang diberi sogok.
Di samping larangan menerima sogok, hal lain yang mesti
dihindarkan oleh seorang hakim adalah menerima hadiah karena ditakutkan
hadiah tersebut mempengaruhi putusan beliau di dalam menghukum. Sikap
untuk tidak mau menerima hadiah, agar ini tidak menghalangi seseorang di
dalam mengambil sebuah putusan. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh
Sulaiman ketika beliau menerima hadiah melalui utusan ratu Saba,
sebagaimana pada ayat berikut:
(
Artinya:
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata:
"Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang
diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya
kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. (QS. al-Naml: 36)
Ungkapan Sulaiman ( , beliau tujukan kepada pimpinan
delegasi ratu Saba agar disampaikan kepada ratunya. Maksudnya adalah
beliau menolak hadiah tersebut. Ini, karena Nabi Sulaiman merasa bahwa
hadiah tersebut bagaikan sogokan yang bertujuan menghalangi beliau
melaksanakan suatu kewajiban.
3)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (al-Hujurat)
Meskipun ayat ini bercerita tentang orang fasik. Namun di sini dapat
diambil pelajaran bahwa di dalam hal apapun juga, seseorang tidak boleh
tergesa-gesa mengambil sebuah keputusan, hingga mereka mengetahui
sebuah urusan tersebut dengan jelas dan terang. Karena ketergesaan di dalam
memutuskan sesuatu bisa mengakibatkan terzaliminya suatu pihak, dan ini
akan mengakibatkan penyesalan bagi penetap keputusan di kemudian waktu.
Sebagaimana Nabi saw, yang hampir saja melakukan kesalahan karena
mendengarkan perkataan bohong dari al-Walid ibn Uqbah mengenai alHarits yang ditugaskan Nabi untuk mengumpulkan zakat hingga akhirnya
Allah menurunkan ayat ini.
4)
Artinya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka
Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan
disebutkan di dalam al-Quran sebagai orang yang kafir, zhalim, dan fasiq.
Seperti pada Firman-Nya di dalam QS. Al-Maidah: 44, 45 dan 47
( (
(
(
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.
( (
(
(
(
(
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.
(
Artinya:
mereka
menyembunyikan
kebenaran
hukum
c. Dan terakhir, bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum
Allah, sementara mereka mengetahui kebenaran hukum tersebut,
sebagaimana orang Nasrani berarti mereka adalah orang yang fasiq.
D. Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat terhadap ayat-ayat al-Quran mengenai keadilan dan
penegakan hukum dapat disimpulkan bahwa Al-Quran menuntut kepada para
penegak hukum untuk menghukum secara adil terhadap siapapun juga. Kemudian
untuk terciptanya keadilan dan tegaknya hukum al-Quran mengajarkan etika
peradilan bagi para penegak hukum yaitu: bersikap adil dan objektif, menjauhi suap
dan hadiah, menghukum berdasarkan kenyataan yang tampak dan tidak tergesa-gesa
di dalam menetapkan putusan. Terakhir manusia harus menegakkan hukum, sesuai
dengan ketentuan Allah yang terdapat di dalam kitab-Nya. Bagi mereka yang tidak
menghukum dengan ketentuan yang telah ditetapkan berarti mereka sama dengan
orang yang kafir, zhalim atau fasiq.