Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AKHLAK MAHMUDAH
AL-HUKMU BIL ADLI

Disusun oleh :
KELOMPOK 10

Elya Kurniati Bonde


110 213 0046
Muhammad Fauzan
110 213 0047
A. Nadiah Nurul Fadilah
110 213 0048
Ulul Azmi Rumalutur 110 213 0049
Alfina Alfiani
110 213 0050

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
AL HUKMU BIL ADLI

A.

Pendahuluan

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pandangan al-Quran


mengenai keadilan dan penegakan hukum, yang meliputi perintah al-Quran untuk
berlaku adil di dalam hukum, etika yang diajarkan al-Quran di dalam proses
penegakan hukum/peradilan serta Ancaman bagi mereka yang tidak mau menegakkan
hukum.
Pembahasan

akan

dimulai

dengan

penjelasan

mengenai

pengertian

terminologi al-Quran yang berkaitan dengan keadilan dan penegakan hukum,


perintah al-Quran untuk berlaku adil di dalam hukum, etika yang diajarkan alQuran di dalam peroses penegakan hukum serta Ancaman al-Quran bagi mereka
yang tidak mau menegakkan hukum.
B.

Pengertian terminologi di Dalam al-Quran yang Berkaitan Dengan


Penegakan Hukum.
Di dalam al-Quran, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat

dengan penegakan hukum, di antaranya adalah adl, dan hukm



Kata adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja -
) , yang
. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ain ()(, dl (), dan lm ((,
makna

pokoknya

adalah

( keadaan

lurus)

dan

( keadaan

menyimpang).Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak


belakang, yakni lurus atau sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna
pertama, kata adl berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi, seorang yang adl
adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan
ukuran ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata adl, yang
menjadikan pelakunya tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih, dan
pada dasarnya pula seorang yang adl berpihak kepada yang benar karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan
demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Kata di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam alQuran. Kata ini di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu

pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna adl


(keadilan). Di antara ayat tersebut adalah: QS. al-Nis [4]: 3, 58, dan 129, QS. alSyr [42]: 15, QS. al-Midah [5]: 8, QS. al-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. al-Hujurt
[49]: 9.
Kata hukm berasal dari kata - yang pada dasarnya berarti
mencegah. Seperti pada kata yang berarti mencegahnya dengan cara
mengikat. Adapun kata berarti menilai dan menetapkan sesuatu/
.....
Kata dengan berbagai derivasinya di dalam al-Quran memiliki banyak
arti diantaranya: bermakna sesuatu yang berkesan di dalam hati seperti pada QS. alHaj: 52, bermakna sesuatu yang tegas dan jelas seperti pada QS. Muhammad: 20 dan
ali Imran: 7, bermakna hikmah seperti pada QS. al-Baqarah: 129, atau bermakna
sifat Allah seperti pada QS. al-Baqarah: 32 serta bermakna memberi keputusan
hukum (yang menjadi objek kajian di dalam makalah ini).
C.

Keadilan dan Penegakan Hukum Menurut Perspektif Islam


1.

Dorongan Berlaku Adil Dalam Hukum


Keadilan

merupakan sebuah azas pokok di dalam hukum.

Sehingga Allah menuntut kepada para penegak hukum untuk senantiasa


menghukum secara adil, sebagaimana pada firman-Nya berikut:

(


Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Nisa: 58)

Lewat ayat ini Allah menyuruh kepada manusia untuk melaksanakan


amanah-amanah yang telah dibebankan kepada mereka. Baik amanah tersebut
berkaitan dengan sesama manusia, maupun amanah terhadap Allah, serta
menyeru kepada penegak hukum untuk berlaku adil di dalam menghukum.
Jika diperhatikan di antara kedua perintah di atas, yaitu antara perintah
menunaikan amanah dan perintah berlaku adil di dalam menghukum, terdapat
perbedaan redaksi. Perintah untuk menunaikan amanah bersifat umum,
sedangkan perintah berlaku adil di dalam hukum menggunakan lafaz
syartiyah ( . Ini mengisyaratkan bahwa seluruh manusia
memikul amanah bagi masing-masing individunya, sedangkan menetapkan
hukum bukanlah wewenang setiap individu, melainkan ia adalah tanggung
jawab kepada orang-orang tertentu yang telah memenuhi syarat sebagai
penegak hukum.
Dari kata dan ( menunjukkan bahwa objek
penunaian amanah dan berlaku adil di dalam hukum, berlaku terhadap
siapapun juga, tidak terbatas hanya sesama muslim. Dengan demikian, baik
amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan
agama, keturunan atau ras. Ayat al-Quran yang menegaskan hal ini cukup
banyak. Salah satunya di antaranya adalah teguran Allah terhadap Nabi saw
yang hampir saja terpedaya oleh dalih seorang muslim yang munafik yang
bermaksud menyalahkan seorang Yahudi. Dalam konteks inilah turun firman
Allah al-Nisa: 105

( ( (
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (al-Nisa:
105)

Adapun Makna Kata adl di dalam ayat di atas diartikan sama, yang
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan
keputusan. Yakni, menuntut hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang
bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebutan
nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang
termasuk di dalam proses pengambilan keputusan.
Makna keadilan di dalam proses hukum sesuai dengan sikap Rasul di
dalam melaksanakan proses hukum,. Ini seperti yang terdapat di dalam hadts
beliau berikut ini:
: (
( (
Dari Ali Radhiya Allh 'anhu bahwa Rasul Allh Shala Allh 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang yang berselisih duduk
menghadapmu (untuk meminta keputusan hukum), maka janganlah engkau
berkata (memutuskan) sebelum engkau mendengar (keterangan) yang lain
sebagaimana mendengarkan yang pertama.
Sehingga dipahami berdasarkan hadts ini bahwa antara kedua pihak
yang berperkara memiliki hak yang sama di dalam proses hukum tersebut. Di
dalam ayat lain ditegaskan bahwa perlakuan adil tersebut tidak memandang
faktor kedekatan, faktor keluarga maupun harta. Seperti pada ayat berikut:
( ( (
(

(


Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah

lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu


karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (al-Nisa: 135)
Di dalam ayat ini Allah menuntut orang-orang yang beriman untuk
dapat menjadi penegak keadilan. Perintah berlaku adil di dalam bahasa Arab
diungkapkan dengan berbagai lafaz diantara ( , (,
dan ( . Masing-masing kata ini memiliki tingkat ketegasan yang
berbeda-beda. Kata berarti berlaku adillah, ini biasanya dipakai dalam
keadaan normal. Adapun kata yang lebih tegas dari kata adalah
(yang berarti jadilah orang-orang yang adil, dan kata yang lebih tegas
lagi adalah ( yang berarti jadilah-pennegak-penegak keadilan.
Adapun ungkapan yang paling tegas adalah seperti di dalam Qs. al-Nisa; 135
di atas yaitu dengan kata ( yang berarti jadilah penegakpenegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya
Bersikap adil tersebut berlaku terhadap diri sendiri, orang tua,
keluarga terdekat, yaitu tanpa memandang kedekatan-kedekatan tersebut dan
tidak terpengaruh oleh kekayaan masing-masing yang berperkara. Peringatan
Allah di dalam ayat ini tidak lain adalah karena pada kenyataannya
menunjukkan bahwa faktor keluarga dan harta sangat dapat mempengaruhi
keobjektifan seseorang di dalam menghukum.
Dengan faktor kedekatan, seorang hakim bisa saja menzalimi pihak
lain, dan karena kekayaan seorang hakimpun dapat berlaku aniaya terhadap
orang yang miskin. Atau sebaliknya karena merasa kasihan terhadap kondisi
orang yang miskin seorang hakim bisa saja tidak lagi berlaku adil. Hal ini
sebagaimana yang terjadi pada Nabi, ketika beliau ditemui oleh dua pihak
yang berperkara, salah satunya adalah orang kaya, sedangkan yang lain adalah

miskin. Sehingga Nabi merasa tersentuh dengan yang miskin, dan beliau
meyakini bahwa yang miskin tersebut tidak akan mungkin berbuat zhalim
terhadap yang kaya, Sehingga Allah menurunkan ayat ini: (
.
Di sini Allah menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan kondisikondisi pribadi, di luar perkara tersebut tidak patut untuk menyebabkan
seorang hakim menyimpang dari kebenaran. Dan Allah-lah yang lebih tahu
akan kemaslahatan, maka seorang hakim tersebut dituntut untuk menegakkan
keadilan sebagaimana mestinya. Demikian juga bagi mereka yang mengetahui
permasalahan tersebut, mereka dituntut untuk dapat menjadi saksi secara adil,
sehingga hukum dapat berlaku secara benar dan tepat.
Perintah Allah untuk berlaku adil di dalam hukum terhadap siapapun
juga, termasuk non-muslim, juga digambarkan di dalam QS. al-Maidah: 42
berikut:



(
(
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk
meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau
berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak
akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan
perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah: 42)
Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari ayat ke 41 yang menceritakan
sikap-sikap orang Yahudi yang suka mendengarkan kebohongan. Maka di
dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Rasul bahwa jika mereka
mendatangi Rasul untuk meminta putusan terhadap perkara yang timbul
sesama mereka, maka Allah memberi dua pilihan. Pilihan yang pertama yaitu

memberi putusan dan yang kedua berpaling dari mereka, dengan tidak
memberikan putusan apa-apa.
Jika seorang hakim berlaku curang di dalam menghukum, maka Allah
melihat, mendengar, bahkan mengetahui dengan sedetil-detilnya akan semua
itu. Sebagaimana hadts Nabi berikut:
(
Artinya:
Engkau menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika
engkau tidak melihatnya, niscaya Ia tetap melihatmu
Dan tuntutan untuk berlaku adil di dalam menghukum tidak hanya
terhadap Nabi Muhammad Saw, Namun juga terhadap Nabi terdahulu. Salah
satunya adalah sebagaimana yang dialami oleh Dawud as, di mana beliau
didatangi oleh dua pihak yang berperkara, mereka meminta nabi Dawud untuk
memberi putusan yang adil terhadap perkara mereka tersebut. Seperti pada
QS. Shad: 22




Artinya:
Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan)
mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua
orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada
yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah
kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
(Shad: 22)
2.

Etika Peradilan
Supaya penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai
dengan nilai keadilan, maka di dalam al-Quran telah diisyaratkan berbagai
etika peradilan di antaranya adalah:

1)

Berlaku adil dan objektif di dalam proses hukum


Di dalam proses hukum, seorang hakim harus bersikap objektif dan

memperlakukan orang yang berperkara secara sama. Yaitu tanpa


membedakan apakah mereka keluarga dekat ataupun jauh, miskin atau kaya,
seakidah ataupun tidak. Karena ketika seseorang memandang kedekatan,
kekayaan dan akidah, maka pada waktu itu ia akan melihat sebuah masalah
dengan subjektif dan bisa berlaku curang di dalam menghukum. Sehingga
Allah menyuruh orang yang beriman untuk tetap dan senantiasa berlaku adil
terhadap siapapun juga, termasuk kepada keluarga terdekat, orang kaya
ataupun miskin, bahkan terhadap seseorang yang tidak disenangi. Hal ini
seperti pada firman Allah QS. al-Nisa: 135 di atas dan QS. Al-Maidah: 8
berikut:
( ,
( (


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Di dalam Qs. Al-Nisa: 135 Allah menyuruh orang yang beriman
untuk berlaku adil kepada siapapun juga, meskipun salah satu di antara yang
berperkara tersebut adalah orang tua dan keluarga terdekat. Faktor kedekatan
keluarga ini biasanya dapat mempengaruhi objektifitas seorang hakim.
Sehingga Allah memperingatkan agar jangan sampai berlaku curang karena
hal ini. Rasul Saw, sebagai seorang yang menjadi hakim, juga menegaskan
keteguhan sikap beliau bahwa faktor keluarga tidak akan melunturkan

objektifitasnya, meskipun terhadap anaknya sendiri seperti pada hadts


berikut:
(

Artinya:
Sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelummu itu hanyalah karena
mereka tidak mau menghukum terhadap kasus pencurian yang dilakukan
oleh golongan terhormat, sedangkan kalau yang mencuri itu golongan
rendah mereka laksanakannya Demi Allah, seandainya Fathimah bint
Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya"
Faktor ekonomipun bisa menghilangkan objektifitas 0seorang hakim.
Boleh jadi karena ingin mengharapkan imbalan dari salah seorang yang
berperkara, atau karena merasa kasihan terhadap pihak yang miskin. Maka
melalui ayat ini Allah mengatakan bahwa penegakan hukum Allah (keadilan)
lebih utama dibandingkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi tersebut.
Terlarang bagi seorang hakim untuk berbuat curang karena
kemarahannnya terhadap seseorang. Jadi di dalam menghukum ia harus
mengabaikan faktor emosionalnya. Ini sesuai dengan hadts berikut:
) : :(
, ( (
(
2)

Menjauhi Suap dan Hadiah


Agar proses peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya, Allah

dan Rasul-Nya melarang untuk melakukan sogok/suap. Sebagaimana pada


Ayat berikut:
( ( ,


Artinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di


antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui. (al-Baqarah)
Di dalam ayat ini Allah melarang untuk memakan harta sesama
manusia dengan cara yang bathil, yaitu mengambil hak orang lain dengan
cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak sejalan dengan tuntutan
Ilahi.
Salah satu dari bentuk mengambil hak dengan cara bathil adalah
dengan cara menyogok. Dalam ayat ini diibaratkan dengan kata , yang
pada dasarnya berarti menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh
air. Timba tersebut tidak tampak oleh orang lain, khususnya yang tidak
berada di dekat sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang
berwenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah. Sehingga ayat di atas
dapat diartikan sebagai berikut: Janganlah kamu memakan harta di antara
kamu dengan jalan yang batil, dan menurunkan timbamu kepada hakim,
yakni yang berwenang memutuskan, dengan tujuan supaya kamu dapat
memakan sebagian harta dari pada harta orang lain dengan jalan berbuat
dosa, padahal kamu telah mengetahui.
Meski yang dilarang di dalam ayat ini adalah perilaku menyogok,
maka secara tersirat juga larangan bagi penerima sogok. Karena hal tersebut
dapat mempengaruhi putusan hukum, dan menzhalimi pihak lain, dan tidak
tegaknya hukum Allah. Larangan suap ini juga terdapat di dalam hadts
Nabi, yang mengungkapkan bahwa Allah melaknat orang yang menyogok
dan yang disogok, seperti berikut ini:
( : (
Artinya:

Dari Rasul Allh saw, beliau bersabda: Allah melaknat yang memberikan
sogok dan yang diberi sogok.
Di samping larangan menerima sogok, hal lain yang mesti
dihindarkan oleh seorang hakim adalah menerima hadiah karena ditakutkan
hadiah tersebut mempengaruhi putusan beliau di dalam menghukum. Sikap
untuk tidak mau menerima hadiah, agar ini tidak menghalangi seseorang di
dalam mengambil sebuah putusan. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh
Sulaiman ketika beliau menerima hadiah melalui utusan ratu Saba,
sebagaimana pada ayat berikut:
(

Artinya:
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata:
"Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang
diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya
kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. (QS. al-Naml: 36)
Ungkapan Sulaiman ( , beliau tujukan kepada pimpinan
delegasi ratu Saba agar disampaikan kepada ratunya. Maksudnya adalah
beliau menolak hadiah tersebut. Ini, karena Nabi Sulaiman merasa bahwa
hadiah tersebut bagaikan sogokan yang bertujuan menghalangi beliau
melaksanakan suatu kewajiban.
3)

Keburukan tergesa-gesa di dalam menjatuhkan hukuman


Salah satu etika di dalam peradilan bagi seorang hakim, adalah tidak

tegesa-gesa di dalam mengambil sebuah keputusan. Karena ketergesa-gesaan


di dalam menetapkan sebuah putusan, bisa menzhalimi suatu kelompok atau
satu pihak. Prinsip ini sesuai dengan Qs. Al-Hujurat: 6

(

(

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (al-Hujurat)
Meskipun ayat ini bercerita tentang orang fasik. Namun di sini dapat
diambil pelajaran bahwa di dalam hal apapun juga, seseorang tidak boleh
tergesa-gesa mengambil sebuah keputusan, hingga mereka mengetahui
sebuah urusan tersebut dengan jelas dan terang. Karena ketergesaan di dalam
memutuskan sesuatu bisa mengakibatkan terzaliminya suatu pihak, dan ini
akan mengakibatkan penyesalan bagi penetap keputusan di kemudian waktu.
Sebagaimana Nabi saw, yang hampir saja melakukan kesalahan karena
mendengarkan perkataan bohong dari al-Walid ibn Uqbah mengenai alHarits yang ditugaskan Nabi untuk mengumpulkan zakat hingga akhirnya
Allah menurunkan ayat ini.
4)

Keputusan hukum berdasarkan apa yang tampak


Di dalam menghukum, yang dijadikan patokan adalah apa yang

tampak, bukan berdasarkan perilaku atau kebiasaan pihak yang berperkara


ketika berada di luar masalah ini. Sehingga faktor pribadi dari yang
berperkara bukanlah termasuk bahan pertimbangan di dalam penetapan
hukum. Hal ini tergambar di dalam kisah Yusuf beserta para saudaranya
berikut:
(
Artinya:
Berkata Yusuf: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan
seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika

kami berbuat demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim."


(QS. Yusuf: 79)
Meskipun di dalam kisah ini merupakan rekayasa Yusuf untuk dapat
bertemu dengan saudaranya Benyamin, namun dari lafaz
( dapat diambil pelajaran bahwa dari nabi-nabi terdahulupun,
di dalam menetapkan putusan mereka berpedoman kepada apa yang mereka
dapati, bukan hanya berdasarkan persangkaan yang lemah.
Di samping ke empat etika peradilan di atas, al-Maraghiy juga menyebutkan
beberapa syarat, sehingga seorang hakim dapat menghukum secara adil, di antaranya
yaitu:
a. hakim harus memahami dawah dan jawaban dari masing-masing pihak,
sehingga ia betul-betul memahami duduk permasalahan
b. Tidak berpihak kepada salah satu pihak yang bertikai
c. Memahami hukum yang berlaku
3.

Ancaman bagi yang tidak Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan


Allah.
Salah satu tujuan Allah menurunkan kitab-Nya baik kepada Nabi
Muhammad Maupun kepada nabi-nabi terdahulu- adalah agar dapat
dijadikan sebagai panduan di dalam menghukum. Sebagaimana firman
Allah:
( ( (
( ( (
( ( (

Artinya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka
Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan

di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah


berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keteranganketerangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
(al-Baqarah: 213)
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada awalnya manusia
adalah satu, namun kemudian diantara manusia tersebut saling berselisih.
Sehingga untuk menghindari dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan
tersebut Allah mengutus para rasul dan menganugrahkan kepada mereka
kitab-Nya. Dengan kitab-kitab inilah para nabi memberikan keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Jadi tujuan utama penurunan Kitab ini adalah sebagai sumber dan
panduan, baik bagi Nabi maupun bagi para penegak hukum, di dalam
menetapkan hukuman.
Tetapi setelah diturunkannya kitab, pada kenyataannya manusia
masih tetap berselisih. Perselisihan di antara manusia bukan karena
keterangan dari kitab tersebut tidak jelas, melainkan karena kedengkian di
antara mereka

sendiri. Kedengkian ini lahir dari keinginan untuk

mengambil sesuatu yang bukan haknya


Maka sebuah kewajiban bagi penegak hukum untuk menegakkan
hukum sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah di dalam kitabNya.
Di samping ayat yang menegaskan bahwa tujuan kitab itu adalah
sebagai sumber hukum, di dalam ayat lain juga dijelaskan bagaimana Allah
mencela mereka yang telah menerima kitab, namun tidak menghukum
sesuai dengan kitab tersebut. Seperti kaum Yahudi dan Nasrani, mereka

disebutkan di dalam al-Quran sebagai orang yang kafir, zhalim, dan fasiq.
Seperti pada Firman-Nya di dalam QS. Al-Maidah: 44, 45 dan 47
( (

(
(
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.



( (
(

(

(
(

Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.

(

Artinya:

Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut


apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang fasik
Para ulama berbeda mengenai penyebutan kata al-kfirn, alzhlimn dan al-fsiqn di ujung masing-masing ayat, apakah ia ditujukan
kepada umat Islam atau kepada yang bukan Islam (Yahudi dan Nasrani).
Menurut abiy Shalih ayat ini semuanya ditujukan bagi orang-orang kafir,
bukan terhadap umat Islam, sedangkan menurut al-Dhahak dan ibn Juraij
ayat ini ditujukan bagi ahli al-Kitab. Sedangkan menurut al-Syabiy
penyebutan

al-kfirn ditujukan kepada orang yang Islam sedangkan

fsiqn ditujukan bagi orang Nasrani. Menurut ibn Abbas kfirn


ditujukan kepada mereka yang tidak menghukum dengan hukum Allah
yang dikarenakan pengingkaran mereka terhadap hukum tersebut,
sedangkan zhlimn dan fsiqn ditujukan bagi mereka yang tidak
menghukum dengan hukum Allah, tetapi masih mengakui keberadaannya.
Adapun menurut abiy Jafar, mereka yang menyembunyikan hukum Allah
dan kemudian berhukum dengan hukum yang lain, sebagaimana orangorang Yahudi, berarti mereka adalah orang-orang yang kafir.
Dari berbagai uraian di atas, serta memperhatikan hubungan antara
konteks ayat, dapat disimpulkan beberapa poin yaitu:
a. Bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum Allah,
sementara

mereka

menyembunyikan

kebenaran

hukum

tersebut, sebagaimana orang Yahudi Maka berarti mereka adalah orang


yang kafir.
b. Bagi mereka yang menghukum dengan hukuman yang tidak sesuai dengan
yang ditentukan, yaitu tidak menegakkan pembalasan yang seimbang,
maka mereka adalah orang yang zhalim.

c. Dan terakhir, bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum
Allah, sementara mereka mengetahui kebenaran hukum tersebut,
sebagaimana orang Nasrani berarti mereka adalah orang yang fasiq.

D. Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat terhadap ayat-ayat al-Quran mengenai keadilan dan
penegakan hukum dapat disimpulkan bahwa Al-Quran menuntut kepada para
penegak hukum untuk menghukum secara adil terhadap siapapun juga. Kemudian
untuk terciptanya keadilan dan tegaknya hukum al-Quran mengajarkan etika
peradilan bagi para penegak hukum yaitu: bersikap adil dan objektif, menjauhi suap
dan hadiah, menghukum berdasarkan kenyataan yang tampak dan tidak tergesa-gesa
di dalam menetapkan putusan. Terakhir manusia harus menegakkan hukum, sesuai
dengan ketentuan Allah yang terdapat di dalam kitab-Nya. Bagi mereka yang tidak
menghukum dengan ketentuan yang telah ditetapkan berarti mereka sama dengan
orang yang kafir, zhalim atau fasiq.

Anda mungkin juga menyukai