BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang merupakan wahyu Allah
swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dibawa oleh Malaikat
Jibril dengan lafaz dan makna yang benar agar menjadi hujjah atas
kerasulannya, yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupannya untuk
mewujudkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan
diakhirat.[1]
Al-Quran sebagai pedoman tentunya mengajarkan beberapa hal yang
penting dalam kehidupan setiap muslim, salah satu konsep yang diajarkan
dalam Alquran adalah اىع ده artinya keadilan. Karena itu makalah ini
menampilkan Kosep Keadilan dalam Alquran sebuah kajian tematis.
Ibnu Khaldum salah seorang sosiolog muslim mengemukakan sebuah
pernyataan yang menggambarkan konsep keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat yakni: ٍحيه ف اىش ئ وض ع artinya meletakkan sesuatu pada
tempatnya, maksudnya adalah memenuhi hak-hak orang yang berhak dan
melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya
dalam masyarakat.
Zainal Abidin Ahmad mengemukakan bahwa konsep keadilan menurut
Ibnu Siena merupakan salah satu di antara lima prinsip politik Islam yang harus
ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat.[2]
B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam
pengetahuan kami dalam memahami Peradilan Islam Dalam Sejarah Fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A. konsep Peradilan Dan Pengadilan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu
mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti banyak yaitu dewan
atau majelis yang mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan
hakim ketika mengadili perkara, rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.
[3]
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum Islam (fiqh)
menggunakan istilah al-qadā untuk peradilan dan mahkamah al-qadā’ bagi
pengadilan sedangkan qādi adalah hakim. Al-qadā secara etimologis
mengandung arti musytarāk (banyak arti bukan tunggal). Muhammad Salam
Madkur memberi tiga arti kata al-qadā; yaitu, pertama al-Farāg berarti putus
atau selesai. Kedua al-Adā’a berarti menunaikan atau membayarkan dan
Ketiga, al-bukmu, berarti mencegah atau menghalang-halangi. Menurut ulama
Fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Salam Madkur,
bahwa istilah peradilan atau al-Qadhā adalah al-Ikhbār ‘an hukm syar’ī ‘ala
sabīl al-Izām, artinya menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan.[4]
Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadā” yang berarti
memutuskan, melaksanakan dan menyelesaikan”.[5] Selanjutnya dikemukakan
oleh T.M. Hasbi Ash Shiddeqy, bahwa yang dimaksud dengan al-Qadā adalah
“kekuasaan mengadili perkara.[6]
Dalam Ensiklopedi Indonesia jilid 5, pengadilan adalah “badan atau
organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus dan mengadili
perselisihan-perselisihan hukum. Semua putusan pengadilan diambil atas nama
Republik Indonesia” atau “atas nama keadilan”. Sedangkan peradilan tidak
ditemukan rumusannya. Begitu pula dalam kamus hukum hanya ditemukan kata
pengadilan, yakni dewan atau badan yang berkewajiban untuk mengadili
perkara-perkara dengan memeriksa dan memberikan keputusan mengenai
persengketaan hukum, pelanggaran hukum atau Undang-undang dan
sebagainya.[7]
Berdasarkan rumusan-rumusan itu, dapat disimpulkan bahwa peradilan
adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berkenaan
dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengadilan adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan
hukum dan keadilan
B. Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis
1. Dalil Dalam Al-Qur’an
Prinsip keadilan merupakan perinsip ketiga dalam nomokrasi islam.
Seperti halnya musyawarah, perkataan keadilan juga bersumber dari Al-Qur’an.
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang keadilan,
minsalnya:
1) Dalam surah an-Nisa :135 perkataan al-Qist merupakan sinonim perkataan
keadilan:
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!$
#y‰pkà ¬! öqs9ur #’n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& bÎ) ïÆä3tƒ $†‹ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ
)sù Èûøïy‰Ï9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 ª!$$sù 4’n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#q
ãèÎ7Fs? #“uqolù;$# br& (#qä9ω÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨
bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊÌÎÈ
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nisa: 135)
Dari ayat tersebut di atas sekurangnya dapat di tarik tiga garis hukum
yaitu:
a. Menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman
b. Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena
Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil
c. Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu dan manusia dilarang
menyelewengkan kebenaran.
2) Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan
keadilan dan menjadi saksi yang adil, sebagaimana yang tercantum dalam ayat
berikut:
pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝ$
ó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9Ï
‰÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ)
©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.al-Maidah :8)
Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa
amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika
memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya “apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil
itu ditunjukkan terhadap manusia secara keseluruhan.[8]
Dari ayat tersebut dapat dibentuk sekurangnya empat garis hukum yang
berisi perintah dan larangan kepada manusia yaitu:
a) Perintah kepada orang-orang yang beriman supaya menjadi manusia yang
lurus (adil), dari perkataan alqist karena Allah. Garis hukum ini mengandung
makna bahwa setiap perbuatan yang adil dilakukan oleh manusia karena
keikhlasannya semata-mata kepada Allah, bukan karena hal lain.
b) Perintah kepada orang-orang yang beriman supya menjadi saksi yang adil,
artinya dalam kesaksiannya itu, ia tidak memihak kepada siapapun, kecuali
kepada kebenaran.
c) Larangan kepada orang-orang yang beriman untuk bersikap tidak adil, karena
motivasi emosional atau sentimen yang negatif (benci) kepada sutu kelompok
manusia atau seorang tertentu. Ayat ini dapat di tafsirkan pula, manusia dilarang
bersikap tidak adil karena motivasi emosioal yang positif , misalnya sayang atau
belas kasihan kepada suatu kelompok atau seseorang tertentu. Ringkasnya,
setiap orang yang beriman wajib menjadi saksi yang adil tanpa dipengaruhi oleh
sesuatu perasaan apapun, kecuali kebenaran.
d) Perintah kepada orang-orang yang beriman supaya bersikap adil, karena adil
lebih dekat dengan takwa.[9]
3) Dalam al-Qur’an tema keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting.
Karena itu, sbebagaimana dicantumkan dalam ayat yang lain mengenai tema ini,
yaitu dalam surah an-nahl/16:90 :
bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç›!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1ö¨
à)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä
3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcrã©.x‹s? ÇÒÉÈ
. “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran” (Q.S. an-Nahl:90)
Sekurang-kurangnya ada enam garis hukum dapat dibentuk dari ayat
tersebut diatas yaitu:
a. Perintah menegakkan keadilan
b. Perintah melakukan kebaikan
c. Perintah membantu secara materil kepada sanak-famili atau kaum kerabat
d. Manusia dilarang melakukan perbuatan keji dan buruk
e. Manusia dilarang melakukan kemungkaran
f. Manusia dilarang bersikap bermusuhan
Pada hakikatnya garis-garis hukum ini merupakan satu kesatuan yang
berpusat pada tema keadilan. Karena itu, karena itu dalam ayat ini “perintah
menegakkan keadilan ditempatkan atau di digariskan pada urutan yang pertama.
[10] Dari sini dapat dipahami, bahwa perintah menegakkan keadilan berlaku
bagi setiap mukmin yang diserahi amanah memegang kekuasaan negara
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang berani menerima
amanah yang diembankan oleh Allah, yang sebelumnya tidak ada yang berani
memikulnya kecuali manusia, manusia merupakan makhluk yang sempurna
yang dikarunia akal dengan nafsu, manusia diberi keleluasan dengan
akalnya. Manusia bebas memikirkan cara memahami dan melaksanakan
amanah sebagai khalifah dimuka bumi ini.[11] Perhatikan firman Allah SWT:
bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒ¨
Î)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$#
$KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S.an-Nisa’:58)
Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode
pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh Hazirin dan
dikembangkan oleh Sayjuti Thalib, maka dari ayat tersebut dapat ditarik dua
garis hukum yaitu:
Garis hukum pertama manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau
amanat kepada yang berhak menerimanya, garis hukum kedua manusia
diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Perkataan amanah yang dalam bahasa Indonesia disebut “amanat” dapat
diartikan “titipan” atau “pesan”. Dalam konteks “kekuasaan Negara” perkataan
amanah itu dapat dipahami sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan
kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai “mandat” yang
bersumber dari Allah.
“kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan
suatu amanah kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan prinsif-prinsip dasar yang telah di tetapkan dalam
al-qur’an dan dicontohkan oleh sunah Rasulullah. Kekuasaan itu kelak harus
dipertanggung jawabkan kepada Allah.[12]
Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung suatu
implikasi bahwa ada larangan bagi pemegang amanah itu untuk melakukan
suatu abuse atau penyalahgunaan kekuasaan yang ia pegang, menegakkan
keadilan adalah suatu perintah Allah, apabila kekuasaan itu dihubungkan
dengan keadilan, maka dalam nomokrasi islam implementasi kekuasaan Negara
melalui suatu pemerintahah yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa.
Dalam nomokrasi islam antara kekuasaan dalam pengertian yang luas eksekutf,
legeslatif, yudikatif, dan kepolisian dengan keadilan merupakan dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan harus selalu didasarkan kepada keadilan,
karena perinsif keadilan dalam islam menempati posisi yang sangat berdekatan
dengan takwa.[13]
Takwa merupakan tolak ukur manusia dalam hidupnya yang
membedakannya di hadapan yang kuasa. Firman diatas diawali dengan pesan
agar dalam menegakkan keadilan, kita tidak tergoda oleh rasa benci kepada
suatu kelompok manusia, sehingga kita menyimpang dari keadilan.
Memang, godaan dalam menegakkan keadilan ialah ketika ketika
hubungan kita dengan orang lain diliputi oleh rasa senang dan benci, jika kita
terlibat hubungan dengan orang lian atau kelompok atau kelompok lain dalam
suasan atidak senang, janganlah sampai menyimpangkan kita dari keadilan
sehingga merugikan orang lain.[14]
Oleh karena itu dalam peradilan harus diutamakan keadilan karena,
Pertama karena Allah memiliki sifat maha adil, keadilannya penuh dengan
kasih sayang kepada mahluk-mahlukNYa. Kedua, dalam islam, keadilan adalah
kebenaran. Kebenaran adalah pula merupakan salah satu nama Allah. Dia
adalah sumber kebenaran dalam al-Qur’an disebut al-Haq. Keadilan dan
kebenaran dapat diumpamakan sebagai dua saudara kembar yang sulit untuk
dipisahkan. Ketiga keadilan yang berasal dari perkataan adil dalam bahasa arab
dari segi etimologi artinya sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau
dalam posisi dipertengahan.[15]
2. Dalil-Dalil dari Hadist
Tidak hanya dalam Al-Qur’an saja tempat diwajibkannya untuk menegakkan
keadilan namun dalam hadist juga nabi mengharuskan untuk menegakkan
keadilan. minsalnya:
اذااجتهد الحاكم فاصاب فله اجران ؤاذااجتهد فا خطاء فله اجر
Apabila seorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka ia
memperoleh dua pahala, dan apabila ia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah,
maka ia memperoleh satu pahala”[16]
Dalam hadis yang lain disebutkan:
د°ٌ °اح
ِ َو َو,ار ِ °َ اِ ْثن:ٌة°َضاةُ ثَاَل ث
ِ َّان فِي اَلن° َ ُال َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ( اَ ْلق
َ َ ق: هللا عنه قَا َل°ع َْن بُ َر ْي َدةَ رضي
,ار فِي اَ ْل ُح ْك ِم
َ َو َج,ض بِ ِه َّ َو َر ُج ٌل ع ََرفَ اَ ْل َح. فَه َُو فِي اَ ْل َجنَّ ِة, بِ ِه°ضى
ِ فَلَ ْم يَ ْق,ق َ َ فَق,قَّ َر ُج ٌل ع ََرفَ اَ ْل َح.فِي اَ ْل َجنَّ ِة
ُ َّح َحه°ص َ َو,ُ ة°) َر َواهُ اَأْل َرْ بَ َع ) ار ِ َّو فِي اَلن° َ °ُ فَه,اس َعلَى َجه ٍْل ِ َّضى لِلن َ َ فَق,ق َّ ف اَ ْل َح
ِ ْر ِ َّفَه َُو فِي اَلن
ِ َو َر ُج ٌل لَ ْم يَع.ار
(اَ ْل َحا ِك ُم
“Dari Buraidah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan
seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan
dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak
memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu
kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka
ia di neraka." Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.
ض ا َء فَقَ ْد ُذبِ َح
َ َسو ُل هَّللَا ِ ص لى هللا علي ه وس لم ( َمنْ َولِ َي اَ ْلق ُ قَا َل َر: َوعَنْ أَبِي ه َُر ْي َرةَ رضي هللا عنه قَا َل
َ سةُ َو
َ َوابْنُ ِحبَّان,َص َّح َحهُ اِبْنُ ُخ َز ْي َمة َ َر َواهُ اَ ْل َخ ْم ) س ِّكي ٍن
ِ بِ َغ ْي ِر
“ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah
disembelih dengan pisau." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.”
َ ( اَل يَ ْح ُك ُم أَ َح ٌد بَيْن:سو َل هَّللَا ِ ص لى هللا علي ه وس لم يَقُ و ُل َ :َ َوعَنْ أَبِي بَ ْك َرةَ رضي هللا عنه قَا َل
ُ س ِم ْعتُ َر
ْ َوه َُو َغ,اِ ْثنَ ْي ِن
ٌ َ ُمتَّف ) ُضبَان
ِق َعلَ ْيه
“Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum
antara dua orang dalam keadaan marah." Muttafaq Alaihi.”
ِ فَاَل تَ ْق,اضى إِلَ ْي كَ َر ُجاَل ِن
ض َ َسو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ( إِ َذا تَق ُ قَا َل َر: َوعَنْ َعلِ ٍّي رضي هللا عنه قَا َل
,ُ َر َواهُ أَ ْح َم د ) اض يًا بَ ْع ُد
ِ َ قَ ا َل َعلِ ٌّي فَ َم ا ِز ْلتُ ق.ضي
ِ س ْوفَ تَ ْد ِري َكيْفَ تَ ْق ْ َ َحتَّى ت,لِأْل َ َّو ِل
َ َ ف,س َم َع كَاَل َم اَآْل َخ ِر
َ َو, َوقَ َّواهُ اِبْنُ اَ ْل َم ِدينِ ُّي,ُسنَه
َص َّح َحهُ اِبْنُ ِحبَّان ُّ َواَلت ِّْر ِم ِذ,ََوأَبُو دَا ُود
َّ ي َو َح
“Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum
kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama
sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui
bagaimana harus memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku selalu
menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits
hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih
oleh Ibnu Hibban.[17]
C. Praktik Rasulullah SAW dan sahabat dalam menyelesaikan sengketa
a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan
pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan
Allah dan hukum-hukumNya. Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-
negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern
menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah
tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif
(sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai
wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala
hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga
diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur
kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan
pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya
dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka
penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang
terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses
yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah
masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan
diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya.
Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf,
bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di
kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran
tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan
alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah
(terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat [18].
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-
undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di
Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik
masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan
kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan
orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama
terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah.[19] Dalam teks piagam
tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab
atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh
anaknya sendri.[20] Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan
maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[21]
b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-
satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada
menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya
untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi
pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan
perselisihan dua orang bersaudara yang
memperebutkan hidhār[22] atau jidār rumah mereka.[23] Nabi juga
diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada
sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi
mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru ibnu al-As:
“Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru ibnu al-As.”
Maka `Amru ibnu al-As merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan
perkara keduanya sementara engkau berada bersama kami wahai Rasulullah.
[24]
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta
hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memutus satu
perkara.[25] Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn
Yasār[26] dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke
Yaman.[27]
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali
(wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai
pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi
wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang
diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an
dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū
Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta
Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain.[28] Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar
dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan
Madinah termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada
para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan
Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.[29]
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak
pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi”
sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh
kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak
tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh
Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk
wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu
sebagai bagian dari wilayah `āmmah.[30].
c. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah
menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang
terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan
implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran,
seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan
Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-
Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan
ijtihad beliau dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit
dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang
anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya
bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum
peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika
memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah
masalah waris. Nabi SAW bersabda:
َّ َضى بَ ْينَ ُك ْم بِ َر ْأيِى فِي َما لَ ْم يُ ْن َزلْ َعل
ى فِي ِه ِ إِنِّى إِنَّ َما أَ ْق
“Sesungguhnnya aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam
perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[31]
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya
tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi
sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`.Persoalan ini bisa
lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi
sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan
mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan
perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut
yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya
lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”.
Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”.
Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam
Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu Mu’adz
menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh
kemampuan saya.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan
kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridhainya.”
d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat
sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat
bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu
waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari
putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai
“fatwa”[32] dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah
“pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana,
Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak
yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali
setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua
belah pihak.
ق ال لي رس ول هللا ص لى هللا علي ه و س لم إذا تقاض ى إلي ك رجالن فال تقض لألول ح تى: عن علي قال
تسمع كالم اآلخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang
kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau
beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga
(laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya
kamu memutuskan.” [33]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang
dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat
dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم الدعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البين ة على الم دعى واليمين على من
انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka
orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi
(semestinya adalah) bahwa bukti harus didatangkan oleh orang yang
mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[34]
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses
mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan
dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits
seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn
Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil
separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi
memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan
mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).
[35]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak
berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
2. Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi
perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban
Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan
peradilan madzālim.
3. Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh
memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya
dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an
maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'.
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al- Halabi, 1960)
Muktiarto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008)
Alaiddin Koto (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011,
Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika
Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi,
(polydor:Yogyakarta, 2009).
M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agam dan Mahkamah
Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974