Anda di halaman 1dari 38

Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis

BAB I
   Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang merupakan wahyu Allah
swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dibawa oleh Malaikat
Jibril dengan lafaz dan makna yang benar agar menjadi hujjah atas
kerasulannya, yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupannya untuk
mewujudkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan
diakhirat.[1]
Al-Quran sebagai pedoman tentunya mengajarkan beberapa hal yang
penting dalam kehidupan setiap muslim, salah satu konsep yang diajarkan
dalam Alquran adalah ‫اىع ده‬ artinya keadilan. Karena itu makalah ini
menampilkan Kosep Keadilan dalam Alquran sebuah kajian tematis.
Ibnu Khaldum salah seorang sosiolog muslim mengemukakan sebuah
pernyataan yang menggambarkan konsep keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat yakni: ‫ ٍحيه‬ ‫ف‬ ‫اىش ئ‬ ‫وض ع‬ artinya meletakkan sesuatu pada
tempatnya, maksudnya adalah memenuhi hak-hak orang yang berhak dan
melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya
dalam masyarakat.
Zainal Abidin Ahmad mengemukakan bahwa konsep keadilan menurut
Ibnu Siena merupakan salah satu di antara lima prinsip politik Islam yang harus
ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat.[2]
B.     Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam
pengetahuan kami dalam memahami Peradilan Islam Dalam Sejarah Fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A.           konsep Peradilan Dan Pengadilan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu
mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti banyak yaitu dewan
atau majelis yang mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan
hakim ketika mengadili perkara, rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.
[3]
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum Islam (fiqh)
menggunakan istilah al-qadā untuk peradilan dan mahkamah al-qadā’ bagi
pengadilan sedangkan qādi adalah hakim. Al-qadā secara etimologis
mengandung arti musytarāk (banyak arti bukan tunggal). Muhammad Salam
Madkur memberi tiga arti kata al-qadā; yaitu, pertama al-Farāg berarti putus
atau selesai. Kedua al-Adā’a berarti menunaikan atau membayarkan dan
Ketiga, al-bukmu, berarti mencegah atau menghalang-halangi. Menurut ulama
Fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Salam Madkur,
bahwa istilah peradilan atau al-Qadhā adalah al-Ikhbār ‘an hukm syar’ī ‘ala
sabīl al-Izām, artinya menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan.[4]
Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadā” yang berarti
memutuskan, melaksanakan dan menyelesaikan”.[5] Selanjutnya dikemukakan
oleh T.M. Hasbi Ash Shiddeqy, bahwa yang dimaksud dengan al-Qadā adalah
“kekuasaan mengadili perkara.[6]
Dalam Ensiklopedi Indonesia jilid 5, pengadilan adalah “badan atau
organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus dan mengadili
perselisihan-perselisihan hukum. Semua putusan pengadilan diambil atas nama
Republik Indonesia” atau “atas nama keadilan”. Sedangkan peradilan tidak
ditemukan rumusannya. Begitu pula dalam kamus hukum hanya ditemukan kata
pengadilan, yakni dewan atau badan yang berkewajiban untuk mengadili
perkara-perkara dengan memeriksa dan memberikan keputusan mengenai
persengketaan hukum, pelanggaran hukum atau Undang-undang dan
sebagainya.[7]
Berdasarkan rumusan-rumusan itu, dapat disimpulkan bahwa peradilan
adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berkenaan
dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengadilan adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan
hukum dan keadilan
B.     Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis
1. Dalil Dalam Al-Qur’an
Prinsip keadilan merupakan perinsip ketiga dalam nomokrasi islam.
Seperti halnya musyawarah, perkataan keadilan juga bersumber dari Al-Qur’an.
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang keadilan,
minsalnya:
1)     Dalam surah an-Nisa :135 perkataan al-Qist merupakan sinonim perkataan
keadilan:
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!$ 
#y‰pkà ¬! öqs9ur #’n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& bÎ) ïÆä3tƒ $†‹ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ
)sù Èûøïy‰Ï9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 ª!$$sù 4’n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#q
ãèÎ7Fs? #“uqolù;$# br& (#qä9ω÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊ̍÷èè? ¨
  bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊÌÎÈ
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nisa: 135)
Dari ayat tersebut di atas sekurangnya dapat di tarik tiga garis hukum
yaitu:
a.       Menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman
b.      Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena
Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil
c.      Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu dan manusia dilarang
menyelewengkan kebenaran.
2)     Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan
keadilan dan menjadi saksi yang adil, sebagaimana yang tercantum dalam ayat
berikut:
pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝ$
ó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9Ï
‰÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) 
  ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
.  “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.al-Maidah :8)
Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa
amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika
memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya “apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil
itu ditunjukkan terhadap manusia secara keseluruhan.[8]
Dari ayat tersebut dapat dibentuk sekurangnya empat garis hukum yang
berisi perintah dan larangan kepada manusia yaitu:
a)      Perintah kepada orang-orang yang beriman supaya menjadi manusia yang
lurus (adil), dari perkataan alqist karena Allah. Garis hukum ini mengandung
makna bahwa setiap perbuatan yang adil dilakukan oleh manusia karena
keikhlasannya semata-mata kepada Allah, bukan karena hal lain.
b)      Perintah kepada orang-orang yang beriman supya menjadi saksi yang adil,
artinya dalam kesaksiannya itu, ia tidak memihak kepada siapapun, kecuali
kepada kebenaran.
c)      Larangan kepada orang-orang yang beriman untuk bersikap tidak adil, karena
motivasi emosional atau sentimen yang negatif (benci) kepada sutu kelompok
manusia atau seorang tertentu. Ayat ini dapat di tafsirkan pula, manusia dilarang
bersikap tidak adil karena motivasi emosioal yang positif , misalnya sayang atau
belas kasihan kepada suatu kelompok atau seseorang tertentu. Ringkasnya,
setiap orang yang beriman wajib menjadi saksi yang adil tanpa dipengaruhi oleh
sesuatu perasaan apapun, kecuali kebenaran.
d)     Perintah kepada orang-orang yang beriman supaya bersikap adil, karena adil
lebih dekat dengan takwa.[9]
3)      Dalam al-Qur’an tema keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting.
Karena itu, sbebagaimana dicantumkan dalam ayat yang lain mengenai tema ini,
yaitu dalam surah an-nahl/16:90 :
bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç›!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1ö¨
à)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä
  3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.x‹s? ÇÒÉÈ
. “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan  keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran” (Q.S. an-Nahl:90)
      Sekurang-kurangnya ada enam garis hukum dapat dibentuk dari ayat
tersebut diatas yaitu:
a.       Perintah menegakkan keadilan
b.      Perintah melakukan kebaikan
c.       Perintah membantu secara materil kepada sanak-famili atau kaum kerabat
d.      Manusia dilarang melakukan perbuatan keji dan buruk
e.       Manusia dilarang melakukan kemungkaran
f.       Manusia dilarang bersikap bermusuhan
Pada hakikatnya garis-garis hukum ini merupakan satu kesatuan yang
berpusat pada tema keadilan. Karena itu, karena itu dalam ayat ini “perintah
menegakkan keadilan ditempatkan atau di digariskan pada urutan yang pertama.
[10] Dari sini dapat dipahami, bahwa perintah menegakkan keadilan berlaku
bagi setiap mukmin yang diserahi amanah memegang kekuasaan negara
      Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang berani menerima
amanah yang diembankan oleh Allah, yang sebelumnya tidak ada yang berani
memikulnya kecuali manusia, manusia merupakan makhluk yang sempurna
yang dikarunia akal dengan nafsu, manusia diberi keleluasan dengan
akalnya. Manusia bebas memikirkan cara memahami dan melaksanakan
amanah sebagai khalifah dimuka bumi ini.[11] Perhatikan firman Allah SWT:
bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒ¨
Î)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ä¨$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# 
  $KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S.an-Nisa’:58)
Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode
pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh Hazirin dan
dikembangkan oleh Sayjuti Thalib, maka  dari ayat tersebut dapat ditarik dua
garis hukum yaitu:
Garis hukum pertama manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau
amanat kepada yang berhak menerimanya, garis hukum kedua manusia
diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Perkataan amanah yang dalam bahasa Indonesia disebut “amanat” dapat
diartikan “titipan” atau “pesan”. Dalam konteks “kekuasaan Negara” perkataan
amanah itu dapat dipahami sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan
kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai “mandat” yang
bersumber dari Allah.
“kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan
suatu amanah kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan prinsif-prinsip dasar yang telah di tetapkan dalam
al-qur’an dan dicontohkan oleh sunah Rasulullah. Kekuasaan itu kelak harus
dipertanggung jawabkan kepada Allah.[12]
Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung suatu
implikasi  bahwa ada larangan bagi pemegang amanah itu untuk melakukan
suatu abuse atau penyalahgunaan kekuasaan yang ia pegang, menegakkan
keadilan adalah suatu perintah Allah, apabila kekuasaan itu dihubungkan
dengan keadilan, maka dalam nomokrasi islam implementasi kekuasaan Negara
melalui suatu pemerintahah yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa.
Dalam nomokrasi islam antara kekuasaan dalam pengertian yang luas eksekutf,
legeslatif, yudikatif, dan kepolisian dengan keadilan merupakan dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan harus selalu didasarkan kepada keadilan,
karena perinsif keadilan dalam islam menempati posisi yang sangat berdekatan
dengan takwa.[13]
Takwa merupakan tolak ukur manusia dalam hidupnya yang
membedakannya di hadapan yang kuasa. Firman diatas diawali dengan pesan
agar dalam menegakkan keadilan, kita tidak tergoda oleh rasa benci kepada
suatu kelompok manusia, sehingga kita menyimpang dari keadilan.
Memang, godaan dalam menegakkan keadilan ialah ketika ketika
hubungan kita dengan orang lain diliputi oleh rasa senang dan benci, jika kita
terlibat hubungan dengan orang lian atau kelompok atau kelompok lain dalam
suasan atidak senang, janganlah sampai menyimpangkan kita dari keadilan
sehingga merugikan orang lain.[14]
Oleh karena itu dalam peradilan harus diutamakan keadilan karena,
Pertama karena Allah memiliki sifat  maha adil, keadilannya penuh dengan
kasih sayang kepada mahluk-mahlukNYa. Kedua, dalam islam, keadilan adalah
kebenaran. Kebenaran adalah pula merupakan salah satu nama Allah. Dia
adalah sumber kebenaran dalam al-Qur’an disebut al-Haq. Keadilan dan
kebenaran dapat diumpamakan sebagai dua saudara kembar yang sulit untuk
dipisahkan. Ketiga keadilan yang berasal dari perkataan adil dalam bahasa arab
dari segi etimologi artinya sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau
dalam posisi dipertengahan.[15]
2.      Dalil-Dalil dari  Hadist
Tidak hanya dalam Al-Qur’an saja tempat diwajibkannya untuk menegakkan
keadilan namun dalam hadist juga nabi mengharuskan untuk menegakkan
keadilan. minsalnya:
‫اذااجتهد الحاكم فاصاب فله اجران ؤاذااجتهد فا خطاء فله اجر‬
Apabila seorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka ia
memperoleh dua pahala, dan apabila ia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah,
maka ia memperoleh satu pahala”[16]
Dalam hadis yang lain disebutkan:
‫د‬°ٌ °‫اح‬
ِ ‫ َو َو‬,‫ار‬ ِ °َ‫ اِ ْثن‬:ٌ‫ة‬°َ‫ضاةُ ثَاَل ث‬
ِ َّ‫ان فِي اَلن‬° َ ُ‫ال َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ( اَ ْلق‬
َ َ‫ ق‬:‫ هللا عنه قَا َل‬°‫ع َْن بُ َر ْي َدةَ رضي‬
,‫ار فِي اَ ْل ُح ْك ِم‬
َ ‫ َو َج‬,‫ض بِ ِه‬ َّ ‫ َو َر ُج ٌل ع ََرفَ اَ ْل َح‬.‫ فَه َُو فِي اَ ْل َجنَّ ِة‬,‫ بِ ِه‬°‫ضى‬
ِ ‫ فَلَ ْم يَ ْق‬,‫ق‬ َ َ‫ فَق‬,‫ق‬َّ ‫ َر ُج ٌل ع ََرفَ اَ ْل َح‬.‫فِي اَ ْل َجنَّ ِة‬
ُ‫ َّح َحه‬°‫ص‬ َ ‫ َو‬,ُ‫ ة‬°‫) َر َواهُ اَأْل َرْ بَ َع‬  ) ‫ار‬ ِ َّ‫و فِي اَلن‬° َ °ُ‫ فَه‬,‫اس َعلَى َجه ٍْل‬ ِ َّ‫ضى لِلن‬ َ َ‫ فَق‬,‫ق‬ َّ ‫ف اَ ْل َح‬
ِ ‫ْر‬ ِ َّ‫فَه َُو فِي اَلن‬
ِ ‫ َو َر ُج ٌل لَ ْم يَع‬.‫ار‬
(‫اَ ْل َحا ِك ُم‬
 “Dari Buraidah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan
seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan
dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak
memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu
kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka
ia di neraka." Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.
‫ض ا َء فَقَ ْد ُذبِ َح‬
َ َ‫سو ُل هَّللَا ِ ص لى هللا علي ه وس لم ( َمنْ َولِ َي اَ ْلق‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ َوعَنْ أَبِي ه َُر ْي َرةَ رضي هللا عنه قَا َل‬  
َ ‫سةُ َو‬
َ‫ َوابْنُ ِحبَّان‬,َ‫ص َّح َحهُ اِبْنُ ُخ َز ْي َمة‬ َ ‫ َر َواهُ اَ ْل َخ ْم‬  ) ‫س ِّكي ٍن‬
ِ ‫بِ َغ ْي ِر‬
“ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah
disembelih dengan pisau." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.”
َ‫ ( اَل يَ ْح ُك ُم أَ َح ٌد بَيْن‬:‫سو َل هَّللَا ِ ص لى هللا علي ه وس لم يَقُ و ُل‬ َ :‫َ َوعَنْ أَبِي بَ ْك َرةَ رضي هللا عنه قَا َل‬  
ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬
ْ ‫ َوه َُو َغ‬,‫اِ ْثنَ ْي ِن‬
ٌ َ‫ ُمتَّف‬  ) ُ‫ضبَان‬
ِ‫ق َعلَ ْيه‬
 “Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum
antara dua orang dalam keadaan marah." Muttafaq Alaihi.”
ِ ‫ فَاَل تَ ْق‬,‫اضى إِلَ ْي كَ َر ُجاَل ِن‬
‫ض‬ َ َ‫سو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ( إِ َذا تَق‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ َوعَنْ َعلِ ٍّي رضي هللا عنه قَا َل‬  
,ُ‫ َر َواهُ أَ ْح َم د‬  ) ‫اض يًا بَ ْع ُد‬
ِ َ‫ قَ ا َل َعلِ ٌّي فَ َم ا ِز ْلتُ ق‬.‫ضي‬
ِ ‫س ْوفَ تَ ْد ِري َكيْفَ تَ ْق‬ ْ َ‫ َحتَّى ت‬,‫لِأْل َ َّو ِل‬
َ َ‫ ف‬,‫س َم َع كَاَل َم اَآْل َخ ِر‬
َ ‫ َو‬,‫ َوقَ َّواهُ اِبْنُ اَ ْل َم ِدينِ ُّي‬,ُ‫سنَه‬
َ‫ص َّح َحهُ اِبْنُ ِحبَّان‬ ُّ ‫ َواَلت ِّْر ِم ِذ‬,َ‫َوأَبُو دَا ُود‬
َّ ‫ي َو َح‬
 “Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum
kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama
sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui
bagaimana harus memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku selalu
menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits
hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih
oleh Ibnu Hibban.[17]
C.      Praktik Rasulullah SAW dan sahabat dalam menyelesaikan sengketa
a.          Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan
pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan
Allah dan hukum-hukumNya. Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-
negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern
menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah
tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif
(sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai
wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala
hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga
diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur
kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan
pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya
dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka
penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang
terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses
yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah
masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan
diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya.
Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf,
bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di
kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran
tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan
alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah
(terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat [18].
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-
undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di
Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik
masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan
kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan
orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama
terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah.[19] Dalam teks piagam
tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab
atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh
anaknya sendri.[20] Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan
maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[21]
 b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
            Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-
satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada
menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya
untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi
pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan
perselisihan dua orang bersaudara yang
memperebutkan hidhār[22] atau  jidār rumah mereka.[23] Nabi juga
diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada
sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi
mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru ibnu al-As:
“Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru ibnu al-As.”
Maka `Amru ibnu al-As merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan
perkara keduanya sementara engkau berada bersama kami wahai Rasulullah.
[24]
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta
hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memutus satu
perkara.[25] Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn
Yasār[26] dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke
Yaman.[27]
            Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali
(wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai
pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi
wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang
diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an
dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū
Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta
Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain.[28] Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar
dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan
Madinah termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada
para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan
Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.[29]
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak
pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi”
sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh
kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak
tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh
Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk
wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu
sebagai bagian dari wilayah `āmmah.[30].
c. Sumber Hukum Peradilan
            Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah
menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang
terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan
implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran,
seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan
Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-
Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan
ijtihad beliau dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit
dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang
anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya
bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum
peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika
memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah
masalah waris. Nabi SAW bersabda:
َّ َ‫ضى بَ ْينَ ُك ْم بِ َر ْأيِى فِي َما لَ ْم يُ ْن َزلْ َعل‬
‫ى فِي ِه‬ ِ ‫إِنِّى إِنَّ َما أَ ْق‬
“Sesungguhnnya aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam
perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[31]
            Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya
tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi
sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`.Persoalan ini bisa
lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi
sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan
mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan
perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut
yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya
lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”.
Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”.
Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam
Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz
menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh
kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan
kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridhainya.”
d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat
sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat
bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu
waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari
putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai
“fatwa”[32] dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah
“pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana,
Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak
yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali
setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua
belah pihak.
‫ ق ال لي رس ول هللا ص لى هللا علي ه و س لم إذا تقاض ى إلي ك رجالن فال تقض لألول ح تى‬: ‫عن علي قال‬
‫تسمع كالم اآلخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد‬
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang
kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau
beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga
(laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya
kamu memutuskan.” [33]
            Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang
dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat
dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
‫لو يعطى الناس بدعواهم الدعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البين ة على الم دعى واليمين على من‬
‫انكر‬
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka
orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi
(semestinya adalah) bahwa bukti harus didatangkan oleh orang yang
mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[34]
            Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses
mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan
dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits
seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn
Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil
separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi
memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan
mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).
[35]

d. Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi


            Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah
sistem[36] yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga
mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain.
Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain
istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula
istilah Hisbah dan al-Madzalim.
            Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik
(ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang
kemungkaran ketika dikerjakan”.[37] Dalam perkembangan sistem peradilan
Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya
disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah
kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan
mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada
zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa
memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat
berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang
dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
            Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki
dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap
hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi
pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan
pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan
“barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku
silakan dirinya mengambilnya.
Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan
penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua
institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga
pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di
zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi
Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para
sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana
diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai
menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi
kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-
pun akan segera mengoreksinya.[38]

D.       Pengangkatan dan pemberhentian hakim beserta kewenangannya


1.      Pengertian hakim
Hakim berasal dari kata ‫ حاكم‬- ‫حكم – يحكم‬ : sama artinya dengan qadhi yang
berasal dari  kata ‫اض‬°°‫ ق‬- ‫ي‬°°‫ – يقض‬°‫ي‬°°‫قض‬ artinya memutus. Sedangkan menurut
bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan
menetapkannya.  Adapun pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang
diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan
gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena
penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan[39]. Sebagaimana
Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan
sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah
melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.  Hakim sendiri adalah pejabat
peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
2.      Syarat Menjadi Hakim
Terkait syarat untuk menjadi seorang hakim para fuqaha  berbeda
pendapat, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa seorang Qadhi/hakim
harus memenuhi 15 syarat, dan ada juga yang mengatakan cukup 7 syarat serta
ada juga yang berpendapat cukup dengan 3 syarat. Meskipun mereka berselisih
tentang jumlah itu, tetapi beberapa syarat terpenuhi oleh yang lain dan sejumlah
syarat dapat di cakup oleh syarat yang lain.[40] Kemudian menurut Ibnu Rusyd,
syarat menjadi hakim adalah, Merdeka, Islam, Aqil Balig, Laki-laki dan
Bersikap Adil.[41] Selanjutnya menurut Yahya Zakaria Al-Ansari, hakim
hendaklah ahli dalam masalah kesaksian, yaitu Beragama Islam, Mukalaf,
Merdeka, Laki-laki, Bersifat adil dan mendengar, melihat, dapat berbicara dan
menguasai masalah peradilan. Karena itu janganlah mengankat orang kafir,
anak-anak, orang gila, hamba sahaya, perempuan, banci, orang fasik, orang tuli,
orang buta, orang bisu walaupun isyaratnya dapat dipahami, orang yang pelupa,
penipu, orang yang sakit-sakitan[42].
3.      Pengangkatan Hakim
Adapun pengangkatan seorang hakim oleh penguasa, hukumnya adalah
wajib dan tidak dibedakan antara pemberian wewenang kepada hakim oleh
pihak penguasa atau dengan jalan pelimpahan wewenang kepada pembantu-
pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus dibidang peradilan, dan atas
dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim menyandarkan putusan hukumnya
atas pengangkatannya dari pihak penguasa.
Adapun seorang hakim walaupun non-Islam dan adil selama masih bisa
memutuskan hukum dengan benar tidak apa-apa. Adapun poin yang sangat
penting dalam pengangkatan ini ialah seorang hakim tersebut harus diangkat
oleh penguasa pemerintahan atau wakilnya.
Dalam hal seorang Muwalli (pengangkat hakim) menganut madzhab yang
berbeda dengan yang diangkat kemudian si penguasa mensyaratkan dalam
setiap keputusan hakim tersebut harus mengikuti madzhab penguasa yang
mengangkat
Dalam hal otoritas seorang hakim dalam menangani permasalahan ada
dua pendapat juga:
·      Seorang hakim tidak boleh menangani hal-hal yang dilarang karena hal
tersebut bukan otoritasnya.
·      Boleh seorang hakim menangani hal-hal yang dilarang (bukan otoritasnya)
selama hal tersebut bukan termasuk persyaratan dalam pengangkatannya.
Dalam hal pengangkatan ini ada dua cara.
1.    Dengan sharih diantaranya, qalladtuka (aku mengangkatmu), wallaituka (aku
menguasakan kepadamu), astakhlaftuka (aku menempatkanmu), dan
astanbattuka (aku mewakilkan kepadamu).
2.    Dengan kinayah diantaranya, i’tamadtu ‘alaika (aku bergantung kepadamu),
awwaltu ‘alaika (aku meletakkan kepercayaan kepadamu), dll.
Disamping pengangkatan seperti diatas jabatan, hakim sah dengan empat
syarat:
1.    Muwalli mengetahui bahwa muwalla (pihak yang diangkat) memiliki sifat
yang membuatnya layak untuk diangkat.
2.    Muwalli mengetahui hak muwalla terhadap jabatan hakim.
3.    Muwalli menyebutkan secara jelas jenis pengangkatannya apakah seorang
hakim atau gubernur dll.
4.    Daerah kerja harus disebutkan dalam pengangkatan.
Akan tetapi, dalam hal ini terjadi perbedaan ada yang mengatakan boleh
dan ada yang tidak.  Dan bagaimanakah jika seorang perempuan yang menjadi
hakim (qadhi)? Para ulama juga berbada pendapat tentang hal ini. Ibnu Rusyd
mengatakan bahwa seorang wanita itu boleh menjadi qadhi. Sedangkan Abu
Hanifah mengatakan bahwa wanita itu boleh menjadi qadhi, jika perkara yang
dihadapi berhubungan dengan harta. At-Thabari bahkan lebih ekstrim lagi
dengan mengatakan wanita boleh menjadi qadhi dalam semua perkara yang
diadukan kepadanya.
4. Pemberhentian (Pemecatan) Hakim
Pemerintah (penguasa) mempunyai hak untuk memecat hakim yang ia
angkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan
pemecatan tanpa ada sebab, demikian menurut madzhab Syafi’i, karena hal itu
dikaitkan dengan kemashlahatan kaum muslimin dan hak umat, maka tidak
dibenarkan tindakan pemecatan terhadap hakim yang tidak bersalah, karena hal
itu disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila ada kaitannya dengan hak
orang lain. Dan menurut satu pendapat, dibolehkan tindakan pemecatan tanpa
adanya kesalahan, karena ada suatu riwayat, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah
mengangkat Abdul Aswad sebagai hakim kemudian dipecatnya. Lalu Abdul
Aswad bertanya: mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan
tidak melakukan tindakan kesalahan? Ali menjawab: sesungguhnya aku melihat
kamu tinggi ucapanmu terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dan karena
penguasa berhak memecat pejabat-pejabat bawahannya termasuk juga para
hakim.
Dan berlakulah pemecatan itu sejak ia (yang dipecat itu) mengetahui tentang
pemecatan dirinya.
Abu Yusuf berkata: berlakunya pemecatan itu sejak pengganti telah
diangkat demi menjaga hak-hak manusia. Demikian juga, qadhi boleh
mengundurkan diri, dan berlakulah pengunduran diri itu sejak ia meninggalkan
tugasnya. Menurut pendapat Jumhur bahwa qadhi yang mengundurkan diri itu
tidak terhenti kelangsungan tugasnya sampai diangkatnya pejabat baru, karena
dalam hal ini tidak seorang pun dapat membatalkan suatu hak, dan menurut
suatu pendapat dikatakan, bahwa qadhi yang demikian itu belum terlepas
selama hal pengunduran dirinya itu belum diketahui oleh pihak yang
mengangkatnya, dan kalau diqiyaskan dengan pendapat Abu Yusuf, maka
sebenarnya ia belum terlepas sampai ia menerima surat pemberhentian, dan
inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan di masa sekarang. 
Dan atas dasar itu, maka selama surat pemecatan itu belum disampaikan,
maka segala putusannya masih tetap sah demikian juga segala putusan itu tetap
dapat dilaksanakan selama secara resmi pengunduran dirinya itu belum
diterima.
Dan kalau seorang qadhi meninggal dunia atau dipecat oleh orang yang tidak
berhak memecatnya, maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan
baru, sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum di bidang
peradilan dari umat dan mengadili atas namanya.
5.         Wewenag hakim
Kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan
Hakim peradilan agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum
perdata islam yang menjadi kewenangannya dengan cara-cara yang diatur
dalamhu kum acara peradilan agama.
Adapun tugas-tugas pokok hakim di pengadilan adalah sebagai berikut:
1.      Membantu mencari keadilan
2.      Mengatasi segala hambatan dan rintangan
3.      Mendamaikan para pihak yang bersengketa
4.      Memimpin persidangan
5.      Memeriksa dan mengadili perkara
6.      Meminitur berkas perkara
7.      Mengawasi pelaksanaan putusan
8.      Memberikan pengayoman kepada pencari keadilanMenggali nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat
9.      Mengawasi penasehat hukum.[43]
Selain tugas pokok sebagai tugas justisial tersebut, hakim juga
mempunyai tugas non justisial, yaitu :
·           Tugas pengawasan sebagai hakim pengawas bidang;
·           Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal;
·           Sebagai rokhaniawan sumpah jabatan;
·           Memberikan penyuluhan hukum;
·           Melayani riset untuk kepentingan ilmiah;
·           Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya.
6.         Fungsi Hakim
Fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguuhnya dari apa yang
dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya
terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara
pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa
yang telah dilakukan oleh terdakwa,  melainkan dari itu harus diselidiki dari
latar belakang perbuatan terdakwa. Artinya hakim pengejar kebenaran materil
secara mutlak dan tuntas. Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji
dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang
mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara
apakah masih derdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau
tidak.

E.     Praktik peradilan pada khulafa’ ar-Rasyidun


a.      Khalifah Abu Bakar
             Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad
Saw., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di
Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia
di daerah masing-masing di luar Madinah. Adapun cumber hukum pada Abu
Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan
musyawarah dengan para sahabat.s Dapat dikatakan bahwa pada masa
pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-syari’ah
(legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di dalamnya masuk
peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).
             Diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar, urusan peradilan
diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama
itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke muka
pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras dan juga
karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslim pada masa itu yang dikenal sebagai
sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang
sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.’ Selama
dua tahun, hanya terdapat dua orang yang berselisih dan mengadukan
permasalahannya kepada Umar karena beliau terkenal dengan ketegasan yang
dimilikinya. Selain itu, Abu Bakar juga mengutus Anas sebagai hakim ke
Bahrain.’ Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi
qadhi dalam Islam pada awal masa khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin
Khattab.[44]
Pada saat Abu Bakar menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak
merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini
dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi
kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain
perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
            Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan
kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim
seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal
kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan
antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya
khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
            Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh
Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-
`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
”‫وفي خالفة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في اإلسالم للخليفة‬ …“
(… dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar
bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya
hakim di dalam Islam bagi khalifah.[45]
                Menurut ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan.
Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim
yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara
manusia. Sedangkan Abu Bakar hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-
Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti
pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara
khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar.
[46] Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan
Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.[47]
Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath Hukum, sebagai berikut :
1.    Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan
berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
2.    Apabila tidak menemukannya dalam A1-Qu’ran, ia mencari ketentuan hukum
dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam
Sunnah.
3.    Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain
apakah Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada
zamannya. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan
keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
4.    Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para
pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu
sebagai keputusan.
b.      Umar Bin Khatab
Tindakan Umar dalam  bidang hukum,  ada beberapa contoh ijtihad Umar
antara lain sebagai berikut :
o  Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika
dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri.
Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan
orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan
wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan
talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan
wanita lain. Tujuannya dalah untuk  melindungi kaum wanita dari
penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan
oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah
mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar
dianggap (jatuh sebagai) talak satu.[48] Umar menetapkan garis hukum yang
demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang
yang berada dalam tangannya.
·      Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti
yang ditetapkan dalam Alquran. Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih
lemah imannya dan (mungkin) terputus hubungan    dengan keluarganya. Pada
zaman rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar
menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan,
islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.
o  Menurut al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman
potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan
dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa
oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam
alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan darurat dari
kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
o  Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang
memperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan
Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam
dengan wanita yahudi atau nasrani demi melindungi kedudukan wanita islam
dan keamanan Negara.
Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun,
kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam
keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan
dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-pokok pikiran mengenai
peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asyari. Isinya
antara lain ;
1.      Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu perkara;
2.      Hakim mempelajari dahulu  berkas perkara itu sebaik-baiknya.  Setelah jelas
duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
3.      keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia tidak diwujudkan,
keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak
yang bersengketa haruslah disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang
yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan
sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;
4.      Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
5.      Hakim tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
6.      Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan
tersebut jika ternyata keputusan tersebut salah;
7.      Bila hakim tidak mendapat ketentuan hukum suatu perkara dari Alquran dan
sunnah, hekim menggunakan hukum qiyash.
8.      Memilih penyelesaian perkara yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta
mendekati kebenaran.[49]
c.       Usman Bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh,
maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan
dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi
Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar
RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah
diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang
sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah
Utsman bin Affan adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk
peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman, masjid adalah tempat untuk
berperkara.Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah
lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk
menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan
kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur.
Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata nasehat.
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu
pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan
bermusyawarah dengan para sahabat.
4. Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA
menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam
peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada
khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah
dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {‫}وشاورهم في األمر‬.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga
membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas
peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam
penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi
itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim
dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari
orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak
mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta
dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja
yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa
yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan
hukum yang diselesaikan Ali adalah apabila ada seorang istri yang mana
suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya.
Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut.
Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin
yang sepadan (‫)مهر المثل‬, karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak.
Kekuasaan lembaga peradilan pada periode pertama dibagi menjadi tiga
bagian ;
·         Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan
“Qadli’’, para Qadli menyelesaikan perkara-perkara yag bersangkutan dengan
hutang piutang atau hukum-hukum perdata.
·         Jawatan pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan
“Muhtasib”, para Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang berpautan
dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
·         Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang
yang diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli (wali) madhalim,
wali madhalim menyelesaikan persengketaan yang tak dapat diselesaikan oleh
jawatan perrama dan kedua.
Dewan madzalim ini dipimpin oleh kepala negara sendiri, atau wali
(kepala daerah), atau oleh seseorang yang ditunjuk untuk itu. Dan biasanya
sidang-sidang itu dilakukan didalam masjid.
Majlis pengadilan iini dihadiri oleh :
1.      Beberapa petugas, beberapa pengawal Qadli (hakim) untuk dimintakan
pertolongannya dan untuk menasehati orang-orang yang bersangkutan.
2.      Beberapa para fuqoha untuk dimintakan pendapat-pendapatnya mengenai
hukum yang harus diberikan.
3.      Para pencatat (panitera) dan beberapa orang yang sesewaktu diminta menjadi
saksi.[50]
F.     Surat Umar Ibn Khatab Sebagai Dasar Acara Peradilan
Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda’ sebagai Qadli di kota Madinah,
Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy’ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin
Abil Ash di daerah Mesir. Para Hakim ditetapkan daerah Yurisdiksinya dan
diangkat oleh Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada
hakim yang diangkat secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-
ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh
Umar kepada Abu Musa al-‘Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung
pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan
diterima dikalangan Ulama’ serta menghimpun pokok-pokok hukum.
 Qadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian
dikenal dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh
butir pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian,
pada masa ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah
pengawasan penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga ”
Eksekutif dan Yudikatif “, pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera
pengadilan dan regestrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah
dikenal praktek Yurisprudensi.
Berikut surat umar Bin Khatab
‫أما بعد فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم‪ °‬إذا‪ ‬أدلى إليك وانفذ اذا تبيّن لك فإنه ال ينفع تكلم بحق‬
‫ال نفاذ له‪ .‬وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك‪ °‬وقضائك‪ °‬حتى ال يطمع شريف‪ °‬فى حيفك وال ييأس ضعيف‪°‬‬
‫من عدلك‪ .‬البيّنة على من ادعى‪ ‬واليمين على من أنكر ‪،‬والصلح جائز بين المسلمين إالصلحا أح ‪ّ °‬ل‪ ‬حرام‪°°‬ا‬
‫أو حرّم حالال ‪ ،‬ومن ادعى حقا غائبا أو بيّنة فاضرب له أمدا ينتهى إليه‪ ، ‬فإن ج‪°°‬اء ببيّن‪°°‬ة أعطيت‪°°‬ه بحق‪°°‬ه ‪،‬‬
‫فإن أعجزه ذلك استحللت عليه القضيّة فإن ذلك هو‪ ‬ابلغ فى العذر وأجلى للعمى وال يمنعك‪  ‬قض‪°‬اء قض‪°°‬يته‬
‫اليوم فراجعت فيه‪ ‬لرأيك وهديت فيه لرشدك‪ °‬أن تراجع الحق ألن الحق قديم ال يبطل الحق شىء‪ ‬ومراجعة‬
‫الحق خير من التمادى فى الباطل ‪ ،‬والمسلمون عدول بعض‪°°‬هم على بعض فى‪ ‬الش‪°°‬هادة إال مجل‪°°‬ودا فى ح‪°°‬د‬
‫أو مجربا علي‪°‬ه ش‪°‬هادة ال‪°‬زور أو ظنين‪°‬ا فى والء أو‪ ‬قراب‪°‬ة ف‪°‬إن هللا ت‪°‬ولى من العب‪°‬اد الس‪°‬رائر وس‪°‬تر‪ °‬عليهم‬
‫الحدود إال بالبينات‪ ‬واأليمان ‪ ،‬ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن وال س‪°°‬نة ‪ ،‬ثم‪ ‬ق‪°°‬ايس األم‪°°‬ور‬
‫عند ذلك واعرف األمثال واألشباه ‪ ،‬ثم اعمد إلى أحبها إلى هللا ‪ ‬فيما ترى وأشبهها‪ °‬بالحق ‪ ،‬وإياك والغضب‬
‫والقلق والضجر والتأذى بالناس والتنكر‪ °‬عند‪ ‬الخصومة أو الخصوم‪ °,‬فإن القضاء فى مواطن الح‪°°‬ق ي‪°°‬وجب‬
‫هللا له األجر ويحسن له‪ ‬الذكر فمن خلصت نيّته فى الحق ولو كان على نفسه كفاه هللا ما بينه وبين‪ ‬الن‪°°‬اس ‪،‬‬
‫ومن تزين بما ليس فى قلبه شانه هللا فإن هللا ال يقبل من ‪ ‬العباد إال ما كان له خالصا والسالم‪ °‬عليكم و رحمة‬
‫هللا‬
‫‪·       Selanjutnya. Sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang‬‬
‫‪ditetapkan oleh Allah SWT dan Sunnah Rasulullah yang wajib diikuti. Maka‬‬
‫‪pahamilah benar-benar jika ada sesuatu perkara yang dikemukakan kepadanya‬‬
‫‪dengan suatu alasan dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena tidaklah‬‬
‫‪berguna‬‬ ‫‪pembicaraan‬‬ ‫‪tentang‬‬ ‫‪kebenaran‬‬ ‫‪yang‬‬ ‫‪tidak‬‬ ‫‪ada‬‬
‫‪pengaruhnya/dilaksanakan.‬‬
‫‪·       Persamakanlah kedudukan manuia itu dalam pandanganmu, majlismu dan‬‬
‫‪keputusanmu, sehingga orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu,‬‬
‫‪sebaliknya orang memiliki kedudukan tinggi tidak dapat menarikmu kepada‬‬
‫‪kecurangan.‬‬
‫‪·       Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang‬‬
‫‪mengakui dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang menolak.‬‬
‫‪·       Perdamaian dibolehkan antara orang-orang yang bersengketa dari kalangan‬‬
‫‪muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau‬‬
‫‪mengharamkan sesuatu yang halal.‬‬
·       Kamu diperbolehkan untuk meninjau kembali suatu keputusan yang
ditetapkan kemarin, lalu engkau mendapat petunjuk untuk kembali kepada
kebenaran. Karena kebenaran itu abadi dan kembali kepada kebenaran itu
adalah lebih baik daripada terus-menerus dalam kesesatan.
·       Kemudian pahamilah secara sungguh-sungguh dan mendalam terhadap
persoalan yang diajukan kepadamu tentang perkara-perkara yang belum
diketahui ketetapannya yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Telitilah
keserupaan dan kesamaannya, kemudian analogikan perkara-perkara itu.
·       Berikanlah tempo bagi orang yang mengaku berhak atas sesuatu untuk
mengajukan bukti selengkap-lengkapnya, jika ia mampu mengajukan bukti-
buktinya maka berikanlah haknya. Tetapi jika ia tidak mampu membuktikannya
maka selesaikanlah persoalannya. Maka yang demikian itu dapat lebih
memperjelas yang samar dan lebih mantapnya alasan-alasannya.
·       Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang berlaku adil terhadap
sesamanya, kecuali orang yang pernah dikenai hukuman dera, pernah bersaksi
palsu atau mereka yang memiliki hubungan janji setia atau hubungan nasab
yang dekat. Sesungguhnya Allah SWT yang menguasai rahasia hati hamba-
hamba-Nya dan menjauhkanmu dari saksi-saksi hukum berdasarkan bukti.
·       Jauhilah sifat mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia dan jauhilah
berbuat curang saat persengketaan yang berada di tempat hak yang sudah pasti
akan mendapat pahala dari Allah SWT dan juga merupakan waktu yang baik.
Barangsiapa yang ikhlas niatnya untuk menegakkan yang hak sekalipun
terhadap dirinya sendiri, Allah SWT akan mencukupkan antara dirinya dan
antara manusia. Dan barangsiapa yang berhias (menutup-nutupi) diri padahal
Allah tahu yang sebenarnya, maka Allah SWT akan memberikan aib
kepadanya. Maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan memberikan pahala,
selain Allah SWT, dengan keluasan rizqi dan pembendaharaan kasih-sayang-
Nya. Semoga keselamatan menyertainya.
Dari surat Umar Bin Khatab tersebut, paling tidak terdapat beberapa
prinsip/asas-asas hukum dan peradilan. Prinsip-prinsip/asas-asas itu antara lain:
a.    Eksistensi dan kedudukan lembaga peradilan
b.    Eksekusi keputusan
c.    Asas objektivitas
d.   Pembuktian
e.    Perdamaian
f.     Peninjauan kembali putusan
g.    Sumber hukum dan interpretasi
h.    Kredibilitas saksi
i.      Sikap dan sifat seorang hakim.[51]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak
berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
2.      Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi
perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban
Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan
peradilan madzālim.
3.      Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh
memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya
dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an
maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'.

Abd. Wahab Khallaf, ilmu Ushul al-Fiqih, diterjemahkan oleh Noer Iskandar al-


Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer, dengan judul “Kaidah-Kaidah Hukum
Islam (Ilmu Ushulul Fiqhi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, bulughul maram min adillatil ahkaam
(tasikmalaya:pustaka al-hidayah, 2008),
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab- Indonesia), (Cet.I: Jakarta:
1996),
Ahmad Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo, Maktabah al-
Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989
Al-Māwardi, Al-Ahkām al-Sulţāniyah, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, vol.
I,
Abu Yahya Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura:
Syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt. )
Abu Yahya Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura:
Syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt. )
Bismar Siregar,hukum hakim dan keadilan tuhan(Jakarta: gema insani press, 1995)
Hasbi Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: PT.Ma’arif,
1994
Muhammad Tahir Azhary, negara hukum (jakarta :kencana 2004)
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhā Fil al-Islām (Kairo: Dār an-Nadhā
al-‘arabiyyah, t.th)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,peradilan dan hukum acara islam (semarang: PT.
pustaka rizki putra, 2001)

Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh al-Hukm fī al-Islām, Kairo, Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1,


2002
Nurcholish madjid, pesan-peasan takwa( jakarta:paramadina,2000), h.17

Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al- Halabi, 1960)
Muktiarto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008)
Alaiddin Koto (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011,
Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika
Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi,
(polydor:Yogyakarta, 2009).
M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agam dan Mahkamah
Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974

[1] Abd. Wahab Khallaf, ilmu Ushul al-Fiqih, diterjemahkan oleh Noer


Iskandar al-Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer, dengan judul “Kaidah-
Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqhi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996, h. 22
[2] Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu
Siena, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 88
[3] Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi IV (Cet.I; Jakarta: Depdiknas, Balai Pustaka, 2008), h. 10
[4] Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhā Fil al-Islām (Kairo: Dār an-
Nadhā al-‘arabiyyah, t.th), h. 11.
[5]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab- Indonesia),
(Cet.I: Jakarta: 1996), h. 1215.
[6] Hasbi Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara
Islam (Yogyakarta: PT.Ma’arif, 1994), h. 29.
[7] Simorangkir, et.al, Kamus Hukum (Cet.IX: Jakarta: Sinar Grafika,
2005), h. 124.

[8]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan keserasian


al-Qur’an, Volume 2, Cet 1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), hal. 458.
[9] Muhammad Tahir Azhary, negara hukum (jakarta :kencana 2004),
h.117-119
[10] Ibid, h.121
[11] Bismar Siregar,hukum hakim dan keadilan tuhan(Jakarta: gema
insani press, 1995), h.14
[12] Muhammad Tahir Azhary,Negara hukum, h. 106
[13] Ibid, h.108
[14] Nurcholish madjid, pesan-peasan takwa, (Jakarta:
Paramadina,2000), h.17
[15] Muhammad Tahir Azhary,Negara hukum, h.122
[16]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,peradilan dan hukum
acara islam (semarang: PT. pustaka rizki putra, 2001), h.36-37

[17] Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, bulughul maram min


adillatil ahkaam (tasikmalaya:pustaka al-hidayah, 2008), h….
[18] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām: Al-Tashrī`,
al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār al-Qalam, Cet. 2, 1405H/1985M, hlm. 27
[19] Dr. Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh al-Hukm fī al-Islām, Kairo,
Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1, 2002, hlm. 152
[20] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 33. Teksnya
berbunyi:
‫اد بين‬°°°‫دوان أو فس‬°°°‫يعة ظلم أو إثم أو ع‬°°°‫نين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دس‬°°°‫وإن المؤم‬
‫المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم‬
[21]Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya
berbunyi:
‫ل وإلى‬°°‫ز وج‬°°‫رده إلى هللا ع‬°°‫“وإنه ما كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن م‬ 
  ”‫محمد رسول هللا‬
[22] Hidhār (‫حظ ار‬ ) adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai
pembatas. Lihat: Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah
Mesir), Al-Mu’jam Al-Wasīth, Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989,  hlm.183
[23]Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22;
Diriwayatkan juga oleh Al-Dāraquţni. Lihat: `Ali ibn `Umar Abu al-Hasan al-
Dāraquţni al-Baghdādi, Sunan al-Dāraquţni, Tahqiq: Al-Sayyid `Abdullah
Hāshim Yamāni al-Madani, Beirut, Dar al-Ma`rifah, 1386H/1966, vol. 4, hlm.
229
[24]Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Tahqiq: Shu`aib al-
Arna’ūţ .et.al, Beirut, Mu’assasah al-Risalah, cet. 2, 1420H/1999M, vol. 29,
hlm. 357. Hadits. No. 17824
[25] Al-Dāraquţni, Sunan al-Dāraquţni, vol. 4, hlm. 203
[26] Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 20305. Lihat: Ahmad
ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 33, hlm. 420; Muhamad al-
Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 44
[27] Lihat: Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. II, hlm.
421. Hadits. No. 1280
[28] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 23;
Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 46-47
[29] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22
[30] Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām, vol. I, hlm. 394; `Ali Husni
al-Kharbuţli, Al-Hadlarah al-`Arabiyah al-Islāmiyah,  hlm. 45; `Abdul Wahhāb
Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 21-22
[31] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 329. Hadits No. 3587
[32] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 24
[33] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni. Lihat:
Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi,
Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt,
vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331
[34] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam Software al-
Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi
dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341.
Bunyi teksnya: ‫أن النبي ص لى هللا علي ه و س لم ق ال في خطبت ه البين ة على الم دعي واليمين على‬
‫المدعى عليه‬
[35]Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597.
Bunyi hadits selengkapnya
[36] Ahmad Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo,
Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989, hlm. 229
[37] Al-Māwardi, Al-Ahkām al-Sulţāniyah, dalam Software Al-Maktabah
al-Shāmilah, vol. I, hlm. 486
[38] Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 56
[39] .Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu 1993). Hal 29
[40] Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu 1993).hlm.53
[41] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al- Halabi,
1960), II: 460
[42]Abu Yahya Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-
Thulab, (Singapura: Syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt. ), hlm. 207.
[43] Ibid, hlm. 30
[44] Alaiddin Koto (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali
Pers, 2011, hal 62-69
[45] Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad
Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa
`Ushûl al-Hukm.
[46] Athiyah Mustafa musyarrafah, al-Qadha fi Al-Islam
[47] http://makalahkamu.blogspot.com/2012/02/sejarah-peradilan-islam-
pada-masa.html
[48] Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar
Grafika. Hal 126
[49]Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi,
(polydor:Yogyakarta, 2009). Hal 33

[50] M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agam dan


Mahkamah Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. halm., 92-94
[51] Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan
korupsi, (polydor:Yogyakarta, 2009). Hal 33

Anda mungkin juga menyukai