Anda di halaman 1dari 6

Pemikiran Politik Sayyid Quthb

A. Mengenal Sayid Quthb

Sayid Qutb adalah salah seorang tokoh pemikir islam yang sangat berpengaruh. Sayyid Qutb
dilahirkan di provinsi Asyut, selatan Mesir pada tahun 1906. Pendidikannya sampai usia 27
tahun cukup keras. Orang tuanya sebagai ulama terkenal pada waktu itu mendidik dengan
keras. Sayyid Qutb bersekolah di Masdrasah Ibtidaiyah sampai tahun 1918, dan pada umur
10 tahun sudah hapal Alquran. Setelah itu, Sayyid Qutb karena ingin menjadi guru
melanjutkan pendidikannya di sekolah guru yang diselesaikannya pada tahun 1928.
Kemudian belajar kembali di Darul Ulum, sebuah universitas model barat (yang hasan albana
juga sekolah disana), dan selesai pada tahun 1933. Setelah itu Sayyid Qutb kemudian menjadi
guru yang berada dibawah naungan menteri pendidikan Mesir.

Kementerian pendidikan Mesir mengirimnya ke Amerika Serikat untuk melakukan


penelitian tentang metode pengajaran di Barat. Di Amerika dia menghabiskan waktu selama
2 tahun dari 1948 sampai 1950 sampai ia berhasil meraih gelar MA dari University of
Northern Colorado. Pengalaman di Amerika sangat membekas, sampai dia menulis buku
yang berjudul “Amerika yang Pernah Aku Lihat”. Kemarahan dan perasaan Islam sebagai
Agama yang bisa menyelesaikan segala persoalan menariknya untuk bergabung dalam
gerakan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1951, di usianya yang ke-45.

Inilah saat ia merasa dirinya baru dilahirkan, setelah 25 tahun umurnya dihabiskan dengan
al-Aqaad, sebuah kelompok seni dan syair. Qutb merasakan ketidakbenaran dalam langkah
yang dia ambil. Akhirnya sekitar tahun 1945, setelah Sayyid Qutb menyaksikan Hasan al-
Bana, pendiri al-Ikhwan dibunuh, Qutb merasa simpati dan kemudian mengkaji sosok Hasan
al-Bana.

Pada waktu itu, dia merasa tidak mempunyai nilai dan harga apa-apa dibandingkan Hassan
Albana. Albana, pendiri ikhwanul muslimin, dihukum mati karena bertentangan dengan
pemerintah sekuler pada waktu itu dalam membangun bangsa. IM sangat menentang
dominasi barat di Mesir, dan menurut mereka, cara menyelesaikan persoalan adalah dengan
kembali kepada Islam, termasuk dalam mengatur pemerintahan. Hanya saja, Naserlah yang
berhasil menumbangkan pemerintahan monarky tersebut dan menggantinya dengan system
republic, dalam upaya mewujudkan Pan-Arabism pada tahun 1952. Beberapa orang
sebenarnya mendukung sayid qutb untuk bergabung dengan naser supaya dapat merubah
system pendidikan Mesir, hanya saja Naser terlanjur mengelompokkan Qutb ke dalam
kelompok Islamis. Sayyid Qutb kemudian dipenjara selama sepuluh tahun dari 1954, masa
ketika ia berhasil menyelesaikan tafsir fi dzilalil quran.

Tafsir ini sangat terpengaruh dengan pengalamannya di IM. Banyak pemikiran Sayyid Qutb
terutama tentang cara berhukum terhadap hukum Allah yang dibahas. Kekuasaan semata-
mata hanya milik Allah, bukan pemerintahan yang dholim. Mereka justru perlu diperangi.
Hal inilah yang menyebabkan qutb pada tahun 1965 dihukum gantung oleh Naser.
Dalam al-Ikhwan, sekalipun tidak pernah menjabat sebagai pemimpin, Qutb telah
dinobatkan sebagai pemikir nomor dua setelah Hasan al-Bana. Pemikiran Sayyid Qutb
banyak berpengaruh terhadap gerakan Islam diberbagai negara, seperti di Syiria, Libanon,
Tunisia dan Sudan, tidak hanya dikalangan sunni tetapi juga di kalangan Syiah.

B. Pemikiran politik Sayyid Quthb

Sayyid Quthub, barangkali, saat ini merupakan seorang ilmuwan Muslim yang banyak
mendapat sorotan. Namanya, banyak dikaitkan dengan kebangkitan radikalisme di dunia
Islam. Tak jarang yang kemudian bersikap alergi terhadap pemikirannya. Tapi, secara ilmiah,
sikap apriori semacam itu tentu saja keliru. Banyak karya besar telah dilahirkannya. Salah
satunya, Tafsir Fi Dzilalil Quran. Diantara pemikiran menarik dari Sayyid Quthub adalah
teori tentang “keadilan sosial”.

Akan tetapi dalam makalah ini kami hanya menjelaskan beberapa dari pemikiran yang
pernah dilahirkan oleh sayyid Quthb. Kami lebih konsen pada pemikirannya dalam bidang
pemerintahan dan politik. Fokus pembahasan kami yaitu pada konsep pemerintahan supra
nasional, persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama, tiga asas politik pemerintahan
islam, bentuk keadilan dalam islam, dan terakhir politik pemerintahan dalam islam.

1. Konsep Pemerintahan Supra Nasional

Sayyid quthb memiliki suatu konsep tentang pemerintahan yang ideal dalam islam.
Menurutnya, pemerintahan yang paling bagus adalah pemerintahan supra nasional. Dalam
sistem ini, wilayah negara meliputi seluruh dunia islam dengan sentralisasi kekuasaan pada
pemerintah pusat. Yang dikelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat islam yang
terdapat diseluruh penjuru dunia islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan. Tentang
pemanfaatan potensi pendapatan yang dimiliki oleh daerah, diutamakan dipakai untuk
kepentingan daerah itu sendiri, dan apabila masih ada lebihnya, maka akan disetorkan ke bait
al-mal atau perbendaharaan pemerintah pusat sebagai milik bersama kaum muslimin yang
akan dipergunakan untuk kepentingan bersama saat dibutuhkan.

2. Persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama

Dalam hal ini negara islam akan menjamin secara penuh hak-hak orang dzimmi dan kaum
musrikin yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, hak-hak mereka akan betul-
betul ditegakkan atas dasar kemanusiaan, tanpa membedakan pemeluk agama yang satu
dengan pemeuk agama yang lain apabila sampai pada persoalan kebutuhan manusia pada
umumnya. Dan negara iskam juga memberikan jaminan persamaan yang mutlak dan
sempurna kepada masyarakat, dan bertujuan merealisasi kesatuan kemanusiaan dalam bidang
peribadatan dan sistem kemasyarakatan .

3. Tiga Asas Politik Pemerintahan Islam

Politik pemerintahan dalam islam dibangun atas asas :

a. Keadilan Penguasa
Keadilan yang mutlak harus diterapkan dalam pemerintahan islam. Seorang penguasa harus
berlaku adil, landasan hukumnya adalah

“sesungguhnya Allah memerintah kamu untuk berlaku adil...” (Q.S. 16:90)

“sesungguhnya orang yang paling dicintai dan dekat kedudukannya di sisi Allah pada hari
kiamat nanti adalah pemimpin yang adil,....” (Q.S. 5:8)

Seorang penguasa dalam mengeluarkan keputusan dan kebijakannya tidak terpengaruh oleh
kepentingan atau keuntungan bagi kalangan tertentu. Suatu keadilan tidak terpengaruh oleh
sebab apapun juga. Setiap individu berhak menikmati keadilan yang sama, tidak ada
diskriminasi antara menreka yang muncul karena nasab dan kekayaan, karena uang dan
pangkat sebagaimana yang ada pada umat di luar Islam, walaupun antara kaum muslimin dan
non islam itu terdapat permusuhan dan kebencian. Sungguh ini merupakan nilai keadilan
yang belum pernah dicapai oleh Hukum Internasional manapun dan juga oleh hukum local
manapun sampai detik ini.

Yang paling penting untuk diketahui tentang keadilan Islam ini adalah bahwa ia bukan
semata-mata sekedar teori- teori mati, tetapi telah terbukti dalam kenyataan hidup sehari-hari.

b. Ketaatan Rakyat

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya, dan orang-orang yang
memegang kekuasaan di antara kamu...” (Q.S. 4:59).

Ketaatan kepada pemegang kekuasaan (pemerintah) merupakan kelanjutan dari ketaatan


terhadap Allah swt dan Rasul-Nya, sebab menaati waliul amri dalam islam bukanlah karena
jabatan mereka, melainkan karena mereka melaksanakan syari’at Allah dan Rosu-Nya. Jadi,
jika seorang penguasa menjalankan pemerintahan tidak sesuai dengan tuntunan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip islam, maka hilanglah kewajiban kita untuk tunduk dan
taat pada penguasa tersebut. Seperti sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

”setiap muslim, suka atau tidak, wajib patuh dan taat pada ketentuan yang telah ditetapkan
(oleh penguasa), kecuali jika ia diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan.”

Dengan demikian keteaatan rakyat kepada penguasa hanyalah terbats dan terikat pada
pelaksanaan syariat islam semata, tanpa persyaratan lain yang tidak adil dalam pemerintahan
dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

c. Musyawarah antara Penguasa dan Rakyat

Musyawarah merupakan salah satu prinsip pemerintahan Islam, sedangkan teknis


pelaksanaanya secara khusus tidak ditertapkan. Dengan demikian bentuknya tergantung pada
kebutuhan saja. Musyawarah juga merupakan sistem dan lembaga tertinggi yang telah
ditetapkan oleh islam. Tujuannya adalah agar penguasa mengetahui apakah keputusan dan
kebijakan yang telah diambilnya benar-benar sesuai dengan kondisi dan dapat diterima oleh
masyarakat secara keseluruhan. Sehingga bukan hanya bagi kepetingan tertentu saja. Dalilnya
adalah qur’an surat As-Syuura ayat 38:
”...dan urusan mereka diputuskan dengan jalan musyawarah antar mereka...’

Namun, dalam konsep ini, masih belum dijelaskan oleh Quthb secara spesifik tentang
”rakyat”. Rakyat yang manakah yang akan ikut berpartisipasi dalam musyawarah tersebut?
Apakah seluruh masyarakat?atau golonga tertentu saja yang memilki kapasitas dan
kemampuan yang dipilih oleh pemerintah sesuai dengan bidang-bidang mereka masing-
masing. Atau melalui wakil-wakil tertentu yang dipilih oleh rakyat seperti yang ada dalam
sistem demokrasi yang menjadi acuan banyak negara.

4. Bentuk Keadilan Sosial Dalam Islam

Dalam bukunya Al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) Qutb
tidak menafsirkan Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Tetapi, ia adalah kekuatan
sosial dan politik konkret di seluruh dunia Muslim. Di sini Qutb melawan Ali Abd al-Raziq
dan Taha Hussein yang menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak bersesuaian. Qutb
menyatakan tidak adanya alasan untuk memisahkan Islam dengan perwujudan-perwujudan
yang berbeda dari masyarakat dan politik.

Sangat susah bagi kita untuk memahami apa itu keadailan sosial sebelum kita kita bisa
memahami konsep ”keseluruhan” islam tentang alam, kehidupan, dan manusia. Islam tidak
memisah-misahkan segala elemen yang ada dalam dunia ini, dan tidak juga menghadapi
maslah-masalah yang terpisah satu sama lainnya. Semua persoalan yang saling terkait satu
sama lainnya. Hal ini dikarenakan islam memiliki konse yang menyeluruh tentang alam,
kehidupan, dan manusia.

Islam memilki bentuk hubungan antara Tuhan dengan Makhluk-nya, hubungan antar sesama
makhluk (baik antara manusia dengan alam, maupun antara manusia dengan manusia
lainnya), antara individu dengan masyarakat, antara individu dengan negara, dan bahkan
antara generasi yang satu dengan generasi yang lainnya. Bentuk hubungan inilah yang
selanjutnya disebut oleh Quthb sebagai Filsafat atau Konsep Islam.

Islam adalah agama kesatuan antara ibadah dan muamalah, antara akidah dan perbuatan,
material dan spritual, nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai moral, dunia dan akhirat, serta bumi
dan langit. Dari kesatuan besar ini, lahirlah ketentuan dan ketetapan, serta arah dan batasan-
batasannya.

Dalam pandangan islam, kehidupan adalah saling tolond menolong dan salin membantu,
tidak ada pertentangan dan permusuhan, semuanya itu merupakan realisasi kepentingan
individu dan masyarakat. Segala sesuatu yang tidak haram, berarti boleh dilakukan. OLeh
karena itulah, menurut islam keadalian tidak harus sama tanpa ada perbedaan. Keadilan yang
mutlak pasti membutuhkan perbedaan, tetapi memberi kesempatan yang merata dan luas
kepada mayarakat untuk menjalani kehidupan. Tetapi tidak keluar dari prinsip-prinsip
keagamaan (islam).

Islam tidak menginginkan semua orang memilki jumlah kekayaan yang sama dalam hal
ekonomi. Karena hal itu sangat tidak mungkin terjadi. Tetapi islam tidak menghalakan segala
kemewahan yang hanya mendorong manusia hanya tertuju pada khidupan materi (dunia),
tunduk pada nafsu syahwatnya, dan menciptakan kelas-kelas yang berbeda dalam
masyarakat.

Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang
harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari
harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam
menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah
ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada
kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Ia menjamin kehidupan minimum bagi
setiap orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan.

5. Politik pemerintahan dalam islam.

Sayyid Qutb juga konsen terhadap kesengsaraan yang menimpa rakyat dengan penguasa
yang dinilai lalim. Ia menuntut dan melakukan berbagai penentangan terutama melalui
tulisannya dalam menciptakan suasana keadilan. Menurutnya pemerintah pada hakikatnya
adalah pemegang amanat rakyat untuk menjalankan syariah. Pemimpin dipilih oleh rakyat
yang paham Islam dengan cara voting. Meskipun seperti demokrasi Sayyid Qutb tidak setuju
dengan demokrasi sepenuhnya. Demokrasi harus tertetap berada dibawah tuntunan syariat.

Dalam hal zakat misalnya, supaya terbangun keadilan yang sesungguhnya, maka pemerintah
wajib memaksa rakyat untuk membayar zakat. Jika pemerintah tidak malakukan syariat
seperti ini berarti pemerintah tersebut lalim.

Sistem politik islam dibangun atas dua konsep, yaitu konsep kesatuan manusia dalam jenis,
watak, dan pertumbuhan; dan konsep bahwa islam adalah sistem universal yang abadi bagi
masa depan kehidupan manusian.

Politik pemerinthan dalam islam dibangun diatas asas yang bersumber dari hati nurani, lebih
dari sekedar dibangun diatas asas syariat. Politik pemerintahan islam dibangun atas asas
bahwa Allah swt itu selalu hadir dalam setiap saat disisi para penguasa, dan rakyat
mengawasi segala sesuatunya. Pemimpin dan kepemimpinan, kedua-duanya membutuhkan
bimbingan Allah dalam semua segi pelaksanaannya dan takut kepada Allah merupakan
jaminan terakhir bagi terealisasinya keadilan.

Namun, tidak boleh pula dipahami bahwa sistem sosial politik islam hanya dibangun atas
asas yang bersumber dari hati nurani saja. Akan tetapi yang mesti kita pahami adalah bahwa
dalam islam ada jaminan lain selain yang ditetapkan melalui syariat. Inilah yang membuatnya
berbeda dengan sistem-sistem yang lain yang semata-mata didasarkan pada asas undang-
undang semata.

6. Pujian dan Kritik terhadap Pemikiran Sayyid Quthb

Hamid Algar, dalam pengantarnya untuk buku Social Justice in Islam, menyatakan, bahwa
Sayyid Qutb dapat dilihat sebagai orang yang pertama di dunia Islam yang mengartikulasikan
masalah keadilan sosial pada zaman modern. Teori keadilan sosialnya begitu sentral dalam
pemikirannya. Teori ini dipertahankannya sehingga akhir hayatnya. Barangkali karena topik
inilah yang memberikan sambungan antara teologi dan realitas sosial, suatu sambungan yang
menjadi inti dari pemikirannya, yaitu Islam sebagai kekuatan sosial dan politik yang konkret.

Menurut Shepard (1996), walaupun topik yang diambil itu agak sekular yaitu keadilan sosial,
Qutb mengakhirinya dengan teosentrisme penuh dengan titik tekan pada pelaksanaan
Syari’ah sebagai jembatan untuk merealisasikan keadilan sosial. Demikian itu karena, bagi
Qutb, hanya Allah lah yang mengetahui cara merealisasikan keadilan sosial yang benar.
Maka apa yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an dan yang dilaksanakan oleh Nabi-Nya
itulah yang perlu diikuti. Dan warisan itu adalah pelaksanaan Syari’ah.

Sumber:

Quthb, Sayyid. Keadilan Sosial Dalam Islam

Sjadzali, H. Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:
penerbit Universitas Indonesia, 2003.

http://walliyudin.blogspot.com/2011/03/pemikiran-politik-sayyid-quthb.html

Anda mungkin juga menyukai