Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN KE 6

METODE PEMBAHASAN DALAM TAFSIR MAUDHUI

Yang dimaksud dengan metode adalah jalan, atau langkah-langkah yang harus diikuti,
dan pengamalan ini dari perihal yang berlawanan untuk tafsir maudhui dengan pengertian
secara khusus seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Kemudian kita kembali kepada
pembahasan yang inti dan jelas, melihat pentingnya untuk disampaikan dan menemukan alur
pada asas-asas yang tetap, dan semoga Allah membimbing kita semua.

Adapun yang pertama, langkah-langkah pada umumnya:

1. Pengetahuan yang detail untuk memahami makna tafsir madhui yang harus
diketahui oleh seorang mufassir.
2. Penentuan tema Qurani, yang dimaksudkan adalah pembahasannya dengan
ketentuannya yang detail.
3. Penentuan judul untuknya dari lafadz-lafadz al-Qur’an dari segi zatnya, atau
judul-judul yang menarik dari kemurnian makna-maknanya yang Qurani.
4. Mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema, jika ingin
menguasai seluruhnya.
5. Pembukuannya dari segi makki dan madani, serta menyusun sesuai dengan waktu
turunnya sebuah ayat.
6. Memahami ayat-ayat sesuai dengan penafsiran yang ada, dan mengetahui
keadaannya dari segi sebab-sebab turunnya ayat, naskh, kaidah-kaidah am dan
khususnya, serta lain-lainnya yang dapat mengungkapan makna suatu ayat.
7. Pembagian tema kepada unsur-unsur yang berkaitan, menarik dari ayat secara
dzatnya, dan mengembalikan ayat kepada unsur-unsurnya, memahami dengan
tafsir yang ringkas jika ada yang perlu ditafsirkan, serta menyimpulkan data-data
yang terdekat tanpa membebani, juga menjawab pelbagai keraguan yang berkaitan
dengan tema dari segi dzatnya.
8. Pengamatan yang sempurna dari setiap langkah-langkah yang telah diuraikan
dengan kaidah tafsir maudhui.
Adapun yang kedua, langkah-langkah secara rinci (detail):
1. Yang kami maksud dengan langkah-langkah ini, agar mufassir menentukan dan
menjelaskan tentang apa yang mencapainya dari pembahasan-pembahasan yang
lain, sampai jelas baginya.
2. Menentukan tema yang dimaksud ialah pembahasannya ditentukan dan secara
detail, dari segi bentuknya di dalam al-Quran yang pertama, kemudian dari segi
makna yang kedua, sampai tidak bercampur padanya suatu perkara hukum-hukum
atau masuknya permasalahan, kemudian dari segi sifat-sifatnya.

Dan dari buku-buku yang ditemukan peneliti terhadap pengetahuan tema-tema al-
Quran dan batasanya seperti al-Itqan fi Ulum al-Quran (karya Imam Suyuthi),
Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran (karya Imam al-Zarqani), dan al-Mudkhal li
Dirasat al-Quran al-Karim (karya Imam Abi Syuhbah).

Maka sesungguhnya di dalam kitab-kitab Ulumul Quran, secara umumnya


menentukan tujuan makki dan madani dalam al-Quran. Dan menjelaskan ijaz al-
Quran, akan tetapi belum dispesifikan bab untuk menjelaskan tema-tema al-Quran.
Sedangkan itu merupakan ilmu kepantasan dengan penelitian dan pembahasan. Dan
telah merujuk padanya, guru kami al-Kumy dengan judul: “Rekapitulasi Yang
ditunjukkan Pada al-Quran dari Tema-Tema” dan ini sangat penting dan bermanfaat
dalam pembahasan bab ini. Dan dari kitab-kitab yang bermanfaat lainya adalah
“Perincian/Indeks-Indeks Ayat-Ayat al-Quran al-Karim” yang ditulis oleh Syekh
Muhammad Fuad Abdul Baqi’. Dalam bukunya telah dibagi menjadi 18 bab, dan pada
setiap bab terdapat 350 judul bercabang.

Dan seorang peneliti diharuskan tidak terbebani kemudian mengubah untuk


memasukkan dalam al-Quran, segala sesuatu yang terjadi di dalam tema-tema. Dan
sesungguhnya al-Quran datang sebagai manhaj, agama, pelengkap. Sedangkan ilmu-
ilmu merupakan buatan manusia seperti ilmu kedokteran, ilmu astronomi, yang
merupakan sebuah bukti terhadap keajaiban dari kuasa Tuhan, maka dari itu
himbauan untuk kembali menerima panggilan agama.

3. Apabila memilih judul, hendaknya menguasai seluk-beluk keseluruhannya, seperti


berikut ini:
A) Harus dalam bentuk lafadz al-Quran yang jelas, dan masing-masing tidak
harus tentang lafadz al-Quran kepada artinya kecuali karena terpaksa, dan
dilarang kosong meninggalkan lafadz al-Quran ke lainnya dari istilah-istilah
manusia. Khususnya di negara-negara yang diragukan maka tidak menempati,
contohnya meninggalkan lafadz “al-syura” kepada lafadz akhir yang dikiranya
sebagai sinonimnya atau yang mendekati, seperti “Demokrasi dalam al-
Quran”.

Dan tidak meninggalkan lafadz “zakat” kepada “pajak masyarakat”


dan tidak meninggalkan lafadz “kebodohan” dengan anggapan istilah islami
pada metode-metode yang bertentangan untuk agama Allah. Dan tidak
berpindah dari berjuang di jalan Allah dengan lafadz-lafadz perselisihan
tingkatan, yang seperti itu ialah istilah-istilah modern. Adapun yang dimaksud
adalah bertentangan dengan al-Quran dalam kalimat.

Sedangkan di kalimat-kalimat atau contoh-contoh ini dari artinya


bertentangan dengan al-Quran dan Islam. Maka “demokrasi” contohnya ialah
bukanlah “musyawarah” keistimewaan, karena musyawarah bagi kami terjadi
pada yang tidak terkontekskan di dalamnya. Maka ingatlah hukum dan
persyari’atan milik Allah satu-satunya, sedangkan “demokrasi” maka bagi
mereka yang berdiri pada asas persyari’atan kaumnya untuk dirinya sendiri,
agar dengan perantara percontohan dari manusia. Maka kedua lafadznya
bertentangan dalam asas yang berdiri pada setiap daripadanya, dan apabila
keduanya ikut dalam sebagian makna-makna pembagian, seperti kebebasan
berpendapat dan lain sebagainya.

B) Memilih lafadz al-Quran yang lebih dipilih, dikumpulkan untuk jumlah lafadz-
lafadz, agar menjadi judul untuk sebuah penelitian, dan inti daripada yang
digantungkan pada sebuah tema dalam memulai, kemudian dikumpulkan
padanya dalam pembentukan tema: pertama, lafadz-lafadz yang berdekatan
untuk artinya. Kedua, lafadz-lafadz yang menerima untuk makna sebelumnya.

Dan ini semua diletakkan pada tempat penelitian, dan perbandinganya


juga merupakan sebuah penjelasan bagi siapa yang menginginkan untuk
penelitian pada peletakkan al-Quran yang lengkap dari tema apapun.
Dan contoh daripada itu, dengan tema: “peperangan dan keselamatan
dalam cahaya al-Quran”.
 Kami pilih untuknya keseluruhan dari lafadz-lafadz untuk menjadi
sebuah judul: “berjuang di jalan Allah”, dan dikarenakannya lafadz-
lafadz terkenal pada tema di dalam al-Quran ini.
Kemudian kami kumpulkan pada apa yang berdekatan padanya
dalam arti seperti: pembunuhan, peperangan, pelemahan, kekuasaan,
kemenangan, persiapan, rampasan perang, pengembalian, dan
perjanjian.
Kemudian digabungkan padanya apa yang diterimanya, seperti:
keselamatan, pelarian, pembai’atan, kegagalan, ketakutan,
pembuangan, dan penyangkalan.
C) Maka apabila ditemukan suatu tema di dalam al-Quran, dan belum ditemukan
lafadz Qurani untuk judulnya secara langsung. Penangkapan judul terdekat
dari lafadz, setelah melihat makna-makna dari apa yang tema contohkan. Dan
contoh daripada tema itu: “kemajuan umat dan peningkatannya secara materi
dan peradaban, kemudian kezalimannya dan kehancurannya. Maka tema ini
berada di dalam al-Quran dengan gaya bahasa yang bermacam-macam.
4. Langkah yang keempat, mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema,
dari aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya. Secara lisan dan pendekatan,
dan pertemuan, dan makna-maknanya.
 Maka di dalam penamaan tafsir al-Wasith, mengambil keseluruhan ayat-ayat
yang dikarang berupa tema sebagai yang lengkap unsur-unsurnya, dari
lafadznya dan dari segala aspeknya sesuai pertimbangan dan pilihan.
 Dan dalam tafsir al-Basith, mengambil semua ayat-ayat nya dan
menginvestasikan sisi temanya, dan itu di dalam risalah-risalah ilmiah, dan
pembukuan individual yang luas seperti yang telah kita bahas.
5. Langkah yang kelima, pembukuan ayat-ayat dari segi makki dan madani, dan tata
tertibnya dari segi zaman diturunkannya, maka peneliti mengetahui bahwa
turunnya ayat ini terjadi di awal masa, atau pertengahan, atau di akhirnya, sampai
jelas padanya perincian-perincian tema Qurani, dan bukan begitu dalam
menentukan, kecuali di dalam hukum-hukum Syariah yang berdiri pada
kebenaranya terhadap pengetahuan tata tertib, seperti ayat-ayat yang turun pada
cara bertahap juga yang bersyariat, seperti ayat-ayat minuman keras, riba, dan
lainya.
6. Langkah keenam, yakni pemahaman ayat-ayat sebelum ada di dalam tafsir
maudhui, dan ini merupakan perkara serius sampai sang penafsir dapat
menertibkannya, dan membukukan unsur-unsurnya. Maka dari itu, seyogyanya
kembali kepada kitab-kitab tafsir yang sesuai dengan tema, agar dapat mengetahui
makna-makna ayat-ayat al-Quran di dalam letak-letaknya, dari tata tartib al-
Mushaf, dan supaya jelas keadaan-keadaannya yang bermacam-macam dari segi
nasakh dan Mansukh, atau kaidah umum dan khusus, dan lainnya.
Dan dengan itu tafsir tahlili menjadi persoalan serius untuk tafsir maudhui, maka
keduanya saling membantu, saling melengkapi, untuk Khidmah pada teks Qurani,
dan membukukan ilmu tafsir semuanya.
7. Langkah yang ketujuh, setelah pemahaman ayat-ayat, dan melihat di dalamnya
tersampaikan. Kemudian penafsir membagi tema kepada unsur-unsur dan bagian-
bagian, dan diikat diantaranya dengan ikatan ilmiah, menjadikan daripada tema
satu persatu, bersambung, rapih dan tertib.
8. Sedangkan langkah yang terakhir, ialah mengikatkan dengan kaidah-kaidah dan
ukuran-ukuran tafsir ini, maka yang dimaksudkan ialah menyampaikan peneguran
para mufassir kepadanya, serta kewajiban memeliharanya, sampai menjauhkan
pengulangan makna yang tidak diinginkan, yang tertera dalam istilah-istilah ilmu
mantiq dan filsafat dan lain sebagainya.
Komentar dalam kitab ini:

Dalam kitab al-Madkhol ini, Abdul Sattar menjelaskan perihal membolehkan


menggunakan lafadz-lafadz yang tidak ada dalam al-Quran. Ia memberikan
contohnya seperi, “Demokrasi dalam al-Quran”. Yang terdapat dalam al-Quran
lafadz yang senada dengan kata Demokrasi ialah “al-Syura”. Menurutnya, kata
demokrasi ini boleh saja digunakan dalam penggunaan metode tafsir maudhui ini,
dengan syarat karena terpaksa atau makna dari kedua lafadz tersebut masih saling
berkesinambungan. Sama halnya juga pada contoh “zakat” dengan lafadz yang
senada lainnya yakni “pajak masyarakat”. Keduanya wajib ditunaikan atau
disalurkan.

Di sini, hanya menjelaskan secara global. Perihal langkah-langkah dalam


metode tafsir maudhui ini, berikut dengan penjelasan atas langkah-langkah
tersebut. Berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam kitab Mabahits
karyanya Musthafa Muslim. Di dalam kitab tersebut dijelaskan pula, ihwal metode
penafsiran maudhui dalam satu surat. Yang menarik dan menjadi inti poin dalam
menafsirkan dengan metode maudhui dalam satu surat, ialah ketika kita
mengetahui esensi daripada surat tersebut melalui indikasi nama suratnya. Dengan
demikian, kita mampu menarik sebuah tema dalam surat yang kita bahas tersebut.

Berbeda halnya dengan Shalah Abdul Fatah al-Khalidy dalam kitabnya Tafsir
Maudhui Baina al-Nadzariyyah wa Tatbiq. Menurutnya, dalam metode tematik ini
terdapat tiga macam model ang dapat diaplikasikan dalam sebuah penafsiran
tematik. Pertama, tafsir tematik tentang istilah-istilah al-Quran. Kedua, tafsir
tematik tentang tema-tema al-Quran. Ketiga, tafsir tematik tentang surat-surat al-
Quran. Berikut ia jelaskan bagaimana prosedur atau langkah-langkah dalam tiga
macam model tafsir tematik tersebut.

Maka menurut hemat penulis, diantara ketiga tokoh tersebut tidak terdapat
sebuah pertentangan atau kontradiksi dalam pembahasan metode tafsir maudhui
ini. Melainkan menjadi satu kesatuan pembahasan secara keseluruhannya, adalah
tugas seorang mufassir maudhui seyogyanya mengikuti langkah-langkah yang
sudah dipaparkan oleh ketiga tokoh tersebut. Demi terciptanya seorang peneliti
tafsir tematik yang aplikatif dan kompetitif, dalam artian focus terhadap kajian
yang hendak dibahas.

Anda mungkin juga menyukai